LOGIN“Sekarang, kamu bukan buangan, Shakira. Kamu adalah aset berhargaku. Senjataku untuk jatuhin Ben Danardjanto.”
Kalimat itu membuat Shakira terdiam. Kata-kata Luis meluncur begitu dingin, seolah-olah semua kebaikan yang ia terima hanyalah bagian dari permainan besar yang disusun oleh pria itu. Namun, jauh di lubuk hatinya, Shakira tahu ia memang tidak punya banyak pilihan selain mengikuti arus.
Terlebih dia ingin melihat putri semata wayangnya hidup secara layak dan mendapatkan apa yang seharusnya didapatkan balita mungil dan lucu itu. Shakira rela melakukan apapun untuk menebus rasa bersalahnya.
“Oke,” lanjut Luis tenang, “Besok, kita ketemu. Ada hal yang perlu kita bicarain. Jangan tanya kita ketemu dimana, karena semua udah kuatur. Aku nggak mau ada risiko sekecil apa pun.”
“Ya, Luis.”
“Apa kartu tanda pegawai sebagai karyawan sales and marketing Hartadi Group udah kamu terima?”
Shakira menatap name tag yang tergeletak di meja apartemennya, lalu kembali melayangkan pertanyaan.
“Boleh aku tanya kenapa aku dikasi pekerjaan sebagai staff sales dan marketing, Luis? Bukannya itu nggak ada dalam perjanjian?”
“Aku berubah pikiran. Aku pikir penting untuk mastiin kamu dalam pengawasanku, Ra. Karena aku berani jamin, Ben nggak mungkin tinggal diam setelah kamu bikin dia syok untuk pertama kalinya. Dan aku butuh kamu untuk hancurin dia.”
Shakira diam sambil menatap gemerlap lampu kendaraan dari jendela apartemennya.
“Dia pasti nyari kamu. Kalian belum sah bercerai kan?”
“Belum,” ucapnya pelan.
“Akan aku selesaikan perceraian kalian secara sepihak.”
Shakira mengerutkan kedua alisnya mendengar ucapan Luis yang terasa mendominasi tanpa kompromi.
“Luis, itu --- ”
“Ingat, aku yang pegang alur permainan ini.”
Shakira kembali mengatupkan bibirnya. Ia sadar, pekerjaan ini bukan sekadar pekerjaan. Itu adalah langkah pertama untuk masuk ke medan perang yang tidak pernah Shakira bayangkan.
“Aku nggak nyangka kalau aku bakal kamu manfaatin sampai ke akar-akarnya, Luis Hartadi,” bisiknya lirih.
Luis tersenyum lagi, kali ini lebih tajam. “Kalau fasilitas yang aku kasih masih kurang, bilang aja. Akan aku sesuaikan. Asal kamu ada di pihakku. Dan pihakku harus selalu menang.”
Klik. Sambungan terputus begitu saja, meninggalkan Shakira dalam diam.
Tidak mau larut dalam keputusannya yang berbahaya ini, Shakira kemudian mengajak Belliza untuk tidur. Pertama kalinya di ranjang mewah dan empuk apartemen ini.
Putrinya nampak senang dengan kenyamanan ini. Shakira ikut tersenyum bahagia melihat putrinya bahagia. Meski ada bayang-bayang ketakutan di dalam hatinya.
Keesokan paginya, Shakira berdiri di depan cermin apartemen. Wajahnya terlihat lebih segar meski matanya masih menyimpan bayangan letih. Ia merapikan kemeja putih bersih yang sejak semalam sudah tergantung rapi di dalam lemari, lengkap dengan rok pensil hitam dan blazer senada.
Isi lemarinya penuh dengan pakaian. Begitu juga dengan lemari kecil putrinya yang lengkap dengan pakaian balita perempuan.
Luis tidak main-main dengan imbalan yang diberikan. Dan itu artinya, Shakira juga harus memberikan yang terbaik.
Setelan itu nampak sederhana, namun ketika Shakira melihat merk dan mencarinya harganya di laman internet, itu cukup membuat tangannya bergerak menutup mulutnya sendiri.
Untuk sesaat, ia terdiam. Pantulan dirinya di cermin membuatnya teringat pada masa lalu, saat ia masih aktif bekerja, saat ia begitu disayang keluarganya yang juga bergelimang harta, dan sebelum hidupnya jungkir balik karena pengkhianatan.
“Devano.”
“Ben.”
Kini, sosok dalam cermin itu bukan lagi Shakira yang runtuh, melainkan Shakira yang kembali berdiri tegak.
Tangannya menyentuh lembut kerah kemeja. Napasnya dalam, seolah ia sedang mempersiapkan diri memasuki babak baru. Di meja rias, ada lipstik nude yang ia pulaskan tipis, cukup untuk memberi kesan profesional. Rambut panjangnya diikat rendah, rapi ,dan praktis.
“Kayak dulu,” gumamnya lirih, seolah hendak meyakinkan diri bahwa ia masih mampu.
Tangannya bergerak lincah menyiapkan Beliza, putri kecilnya itu sudah siap dengan seragam kecil yang lucu untuk dititipkan di daycare. Gadis mungil itu memeluk boneka kelinci kesayangannya, menatap ibunya dengan senyum polos.
Shakira tersenyum, berjongkok sebentar untuk mengecup kening putrinya.
“Kita akan baik-baik aja, sayang,” bisiknya. “Bunda janji.”
Hatinya berdegup lebih kencang dari biasanya. Bukan hanya karena hari ini ia kembali mengenakan pakaian kerja, tapi karena ia tahu langkah kecil ini adalah bagian dari permainan besar Luis Hartadi.
Kemudian sebuah nomor baru mendadak masuk ke dalam ponsel sederhana Shakira. Ia menatap layar sejenak, ragu, sebelum akhirnya menekan tombol hijau.
“Selamat pagi, Bu Shakira.” Suara bariton yang tenang terdengar di seberang. “Saya sopir pribadi yang ditugaskan oleh Pak Luis. Saya sudah menunggu di lobi apartemen. Mobil siap mengantar Anda dan putri Anda.”
Jantung Shakira berdegup lebih cepat. Ia menoleh ke arah Beliza yang sibuk merapikan boneka kelincinya.
“Iya, saya segera turun,” jawabnya pelan.
Tak lama kemudian, Shakira menggandeng Beliza menuruni lift menuju lobi. Di depan pintu, sebuah sedan hitam mengilap dengan sopir berjas rapi sudah menanti. Pintu belakang segera dibukakan, seolah ia seorang tamu kehormatan. Shakira sempat canggung, tapi genggaman kecil tangan Beliza menguatkannya.
Mereka melaju melewati jalanan kota yang mulai ramai. Mobil itu berhenti sejenak di depan sebuah daycare bergaya modern dengan cat warna pastel. Beliza menoleh pada ibunya, seolah meminta kepastian.
Shakira tersenyum, mengusap rambut putrinya. “Bunda jemput nanti sore ya? Main yang baik ya, sayang.”
Beliza mengangguk sebelum masuk ke pelukan pengasuh yang ramah. Saat mobil kembali melaju, Shakira memandang ke luar jendela, hatinya berkecamuk. Setiap menit perjalanan ini terasa berat, seolah membawanya ke dunia yang berbeda.
Dan benar saja, ketika mobil berbelok masuk ke halaman sebuah gedung pencakar langit, matanya membesar. Di hadapannya berdiri kantor megah Hartadi Group. Menjulang angkuh dengan dinding kaca berkilau yang memantulkan cahaya matahari pagi. Sebuah simbol kekuasaan, kemewahan, dan ambisi.
Sopir itu membuka pintu dengan sopan. “Pak Luis sudah menunggu di dalam, Bu.”
Shakira menghela napas panjang. Lalu, dengan langkah yang penuh keraguan sekaligus tekad, ia melangkah memasuki lobi yang dipenuhi aura kemegahan dan dingin kuasa.
Ia tahu, sejak detik itu, hidupnya tidak lagi sepenuhnya miliknya sendiri.
Lobi Hartadi Group terasa begitu asing bagi Shakira. Marmer putih berkilau, lampu kristal yang menjuntai, serta derap langkah karyawan berjas rapi membuatnya merasa seperti kembali ke dunia yang dulu pernah ia kenal, namun kini berbeda.
Lebih dingin, megah, dan menekan.
Seorang resepsionis menunduk hormat begitu sopir pribadi mendampinginya. “Silakan ikut saya, Bu Shakira. Pak Luis sudah menunggu di lantai paling atas.”
Lift pribadi itu bergerak naik dengan kecepatan halus, tapi jantung Shakira berdebar lebih kencang dari mesin lift yang mendesing. Jemarinya meremas tali tas kerja yang ia bawa. Baginya, pertemuan ini bukan sekadar panggilan kerja. Ini semacam ikatan tak kasat mata dengan pria yang kini memegang kendali penuh atas hidupnya.
Begitu pintu lift terbuka, ia disambut oleh koridor luas yang dipenuhi kaca besar dengan pemandangan kota. Suara langkah sepatu hak rendahnya terasa nyaring di lantai yang mahal. Seorang sekretaris mengetuk pintu ruang kerja, lalu mempersilakan Shakira masuk.
Ruangan itu luas, dengan jendela dari lantai ke langit-langit memperlihatkan panorama kota yang gemerlap meski masih pagi. Meja kerja kayu hitam mengkilap berdiri megah di tengah, dan di baliknya ada … Luis Hartadi.
Sang CEO muda penuh ambisi.
Pria itu duduk dengan postur santai namun penuh wibawa, setelan jas hitamnya terpasang sempurna. Saat tatapannya bertemu Shakira, ada senyum samar yang lebih menyerupai garis licin kekuasaan daripada keramahan.
“Welcome. Silahkan duduk.” Suaranya berat, terkontrol, dan tanpa basa-basi.
Shakira menelan ludah, lalu duduk di kursi yang tersedia di hadapan meja besar itu. Ruangan mendadak terasa dingin, meski pendingin ruangan tidak begitu kuat.
Luis menyandarkan tubuhnya ke kursi, jari-jarinya bertaut rapi di atas meja. “Gimana perjalananmu ke sini? Apa anakmu udah di daycare?”
Pertanyaan itu membuat Shakira sedikit terkejut, ia tidak menduga pria ini memperhatikan detail sekecil itu.
Jika untuk hal detail saja Luis memperhatikannya, bukan tidak mungkin jika hal detail yang akan Luis minta untuk mengultimatum Danardjanto Group pun harus ia lakukan dengan sebaik mungkin.
“Ya, dia udah di daycare. Makasih, Luis.”
“Pak Luis. Sekarang aku bosmu.”
Shakira sedikit terkejut lalu mengangguk patuh. Kemudian pikirannya berkelana ke kejadian satu malam itu yang membutnya segera menggeleng pelan.
“Mulai hari ini, hidupmu bakal berbeda. Kamu sekarang adalah asetku yang harus ditempatin di posisi yang tepat.”
Kemudian sebuah ketukan terdengar di pintu.
“Masuk,” suara Luis terdengar rendah namun berwibawa.
Seorang pria berpenampilan rapi dengan kacamata tipis masuk. Shakira mengenalnya. David, asisten pribadi Luis.
Ia meletakkan sebuah map berwarna hitam di atas meja kerja. “Semua sudah disiapkan, Pak.”
Luis hanya mengangguk, matanya sekilas melirik map itu sebelum kembali menatap Shakira. Lalu mendorong map itu perlahan ke arah Shakira.
:-0
Keesokan harinya, Luis segera kembali ke Jakarta. Sebelum melaksanakan rencana perjalanannya bersama Shakira, ia harus menutup semua jejaknya, terutama dari mata Nadine.Luis menghubungi Nadine dan mengajaknya makan malam romantis di sebuah restoran mewah yang biasa mereka kunjungi. Ia tahu, ia harus bersikap manis dan meyakinkan untuk membuat kebohongannya terasa alami.Nadine tampak gembira. Ia menyambut Luis dengan antusias.Malam itu, di bawah cahaya lilin yang temaram, Luis memainkan perannya dengan sempurna. Ia memuji penampilan Nadine, membicarakan rencana masa depan mereka, dan memastikan Nadine merasa dicintai.Setelah hidangan penutup disajikan, Luis meraih tangan Nadine, sorot matanya meyakinkan.“Sayang, ada sesuatu yang harus kubicarakan,” ujar Luis dengan nada serius.Nadine menatapnya khawatir. “Ada apa, Den Mas?“Hartadi Group akan memperluas ekspansi kita ke pasar Asia Tenggara, dan Malaysia adalah gerbangnya. Ini adalah proyek terbesar yang pernah kami tangani.”Luis
“Saya tahu ini mungkin terlalu cepat dan tidak pantas diucapkan saat ini, tetapi menurut sudut pandang saya, satu-satunya yang membuat Nona Shakira benar-benar mau hidup adalah kehadiran seorang anak.”“Kekuatan mentalnya sangat bergantung pada kehadiran putrinya. Kehilangan putrinya telah merenggut alasan dia bernapas.”“Setelah dia pulih sedikit dari fase kritis ini, Den Mas dan Nona Shakira harus mempertimbangkan untuk memiliki anak baru. Itu adalah satu-satunya cara, satu-satunya janji masa depan yang dapat mengalihkan fokusnya dari duka dan depresi yang mengancam nyawanya.”Luis terdiam, terpaku oleh saran itu. Memiliki anak baru?Meskipun Luis kini tahu kebenaran mengerikan tentang malam di Bali dan betapa besar kesalahannya terhadap Shakira, ide untuk memiliki anak dengannya, anak yang akan menjadi "pengganti" Belliza, terasa terlalu besar, dan mungkin tidak adil bagi Shakira.Luis menggeleng perlahan.“Dokter Adrian, saya menganggap Shakira sebagai seorang teman, tidak lebih.
Luis mencoba keras untuk mengingat malam itu.Ia memejamkan mata, memaksakan memorinya bekerja. Yang ia ingat hanya nafsu yang mendominasi, alkohol yang mengalir deras, dan kesenangan.Ia ingat jika menyuruh David untuk memanggil seorang perempuan panggilan mahal dan terawat.‘Tapi kenapa jadi Shakira? Ya Tuhan, aku meniduri Shakira, dan aku melupakannya.’ Batin Luis.Luis kembali menghubungi David dan langsung diangkat.“Iya, Pak? Ada yang bisa dibantu?”“Aku ingin kamu selidiki semua tentang hotel tempat Shakira bekerja dan kapan dia dipecat. Dan cari tahu persis apa yang terjadi pada malam itu di kamar hotelku. Jangan sampai ada yang luput.”“Lalu cari tahu siapa Devano. Aku mau informasi lengkap!”“Siap, Pak. Saya akan bergerak sekarang,” jawab David.Luis mengakhiri panggilan dan duduk di kursinya, kepalanya pusing.****Keesokan paginya, Luis sarapan sendiri. Kemudian Bu Ningsih muncul di ruang makan, wajahnya tampak lelah dan cemas.“Pagi, Den Mas,” sapa Bu Ningsih.“Pagi, Bu Ni
Luis masuk ke ruang tamu yang kacau balau itu.Amarahnya memuncak melihat Shakira dalam kondisi mengenaskan, mabuk dan dikelilingi pecahan kaca. Namun, ia tahu amarah tidak akan menyelesaikan apa-apa.Ia menatap Bu Ningsih yang terlihat putus asa. Beberapa asisten rumah tangga yang lain mulai muncul di ujung koridor, terbangun oleh keributan itu.“Bu Ningsih, dan kalian semua,” perintah Luis dengan suara rendah namun tajam, menunjukkan otoritasnya. “Kembali ke kamar kalian. Ini bukan urusan kalian. Aku yang akan urus ini. Jangan ada yang tanya, dan jangan ada yang bicara soal ini ke siapa pun.”Bu Ningsih ragu, tetapi melihat tatapan tegas Luis, ia mengangguk patuh. Ia dan para ART segera membersihkan pecahan dekanter itu lalu meninggalkan ruangan, membersihkan diri dari kekacauan itu.Kini hanya Luis sendirian yang menghadapi Shakira.Shakira, yang kesadarannya sudah sangat terganggu oleh alkohol, menatap Luis yang memakai jubah tidur berwarna biru gelap. Matanya tidak fokus.Dia bing
“Oke. Aku keluar. Tapi ingat, kamu nggak bisa keluar dari rumah ini tanpa izinku, Shakira,” ujar Luis dingin.“Persetan, Luis! Kamu nggak ada hak ngurung aku!”Luis tidak peduli dengan ucapan Shakira kemudian berjalan menuju pintu, lalu menutupnya dan kembali ke kamar.Shakira resmi terkurung dan menjadi tahanan sementara di dalam rumah Luis.Kini amarahnya memudar, berganti rasa lelah dan keputusasaan yang baru. Ia merosot kembali ke ranjang, menangis tersedu-sedu. Ia tahu, Luis tidak akan melepaskannya begitu saja.Setelah Luis pergi, ruangan itu hanya menyisakan isak tangis Shakira dan suara Bu Ningsih yang bergerak membersihkan pecahan mangkuk di lantai. Bu Ningsih tidak menyalahkan Luis, ia tahu Luis melakukan itu karena peduli, dengan caranya yang keras.Setelah ruangan bersih, Bu Ningsih kembali ke sisi ranjang, membawa mangkuk bubur hangat yang baru dan segelas teh panas yang baru diantarkan seorang asisten rumah tangga.“Non, sudah ya. Jangan siksa diri Non,” bujuk Bu Ningsih
Mobil melaju kencang, meninggalkan kompleks pemakaman. Luis mendekap tubuh Shakira di pelukannya. Ia mengguncang bahu Shakira dengan lembut, berusaha membangunkannya.“Ra! Bangun! Shakira!”Ia menepuk-nepuk pipi Shakira yang pucat, tetapi Shakira tetap diam, matanya terpejam rapat. Bibirnya yang semula bergetar karena amarah kini menjadi garis lurus yang dingin.Rasa takut menjalar di hati Luis. Setelah Belliza pergi, ia tidak boleh kehilangan Shakira juga.“Vid, hubungi Dokter Adrian sekarang! Bilang ini darurat! Sekarang!” perintah Luis tegas.“Baik, Pak.”Luis kembali fokus pada Shakira. Ia membuka jasnya dan menyelimuti Shakira, mencoba menghangatkan tubuhnya. Ia menempelkan telinganya ke dada Shakira, memastikan detak jantung wanita itu masih ada.“Bertahan, Ra.”Selama perjalanan pulang, Luis mendekap Shakira erat-erat, tidak melepaskannya barang sedetik pun, memohon dalam hati agar wanita itu tetap hidup.Setibanya di rumah, Luis segera membaringkan Shakira yang begitu lemah di







