“Aku tidak mau melakukan hal konyol seperti ini.”
Suara serak dan dalam pria itu—ntah terdengar menyerupai bisikan kecil, meski Moreau dapat mendengar sangat jelas, bahkan menafsirkan nada enggan yang begitu kentara di sana. “Ini tidak konyol,” dia membantah setengah jengkel. “Tapi kau yang tidak punya selera humor,” dan meneruskan dengan kata – kata jujur. Abihirt terlalu kaku. Sungguh sangat tidak menyenangkan jika ayah sambungnya masih akan bersikap seperti itu. “Sekarang lihatlah ke kamera.” Ahmed sudah begitu siap. Moreau tidak akan membiarkan Abihirt hanya diam tanpa minat. Secara naluriah memeluk lengan pria itu—memaksa supaya ayah sambugnnya bersiap – siap. Sementara dia melebarkan sudut bibir ke arah kamera. “Tersenyumlah sedikit, Mr. Lincoln.” Abihirt mati gaya. Itu yang sudah bisa Moreau duga. Dia diam – diam mengembuskan napas kasar dan menarik lengan ayah sambungnya lebih dekat. Paling tidak, ini tak akan terlihat buruk saat dia haru“Dia tidak makan apa pun sejak tadi pagi, Moreau. Matahari juga begitu terik. Kau yakin akan terus membiarkannya seperti itu?” Moreau tidak yakin, tetapi dia tidak bisa—secara tiba tiba, memberi Abihirt kesempatan untuk terlibat di hidupnya lagi. Pria itu sedang, terlihat gelisah dengan sesekali menyentuh kening, bahkan tampaknya Abihirt perlu menyeka butiran keringat. Caroline benar. Matahari begitu terik. Kontras terhadap cuaca tadi malam. Ini mungkin bisa membuat kondisi Abihirt berakhir lebih buruk. Moreau tidak lupa bahwa suhu tubuh pria itu benar – benar di luar dugaan. Dia tanpa sadar mengepalkan jari – jari tangan dengan erat. “Kau ingin aku apa, Caroline? Kita tidak mungkin membiarkannya masuk ke dalam. Dia sudah tahu Lore anakku. Jangan sampai mendapat informasi kalau aku memiliki anak kembar.” Iris biru terang Moreau tidak sedikitpun teralihkan dari tubuh Abihirt di sana. Bagaimanapun, tubuh pria itu tidak lagi duduk dengan tegak. Abihirt mungkin
Semua terungkap begitu mudah. Moreau menghela napas tanpa sadar. Rasanya, keputusan yang dia ambil berakhir percuma, meski ada begitu banyak keinginan untuk tidak mengatakan kebenaran. “Dia bukan anakmu dan tidak akan pernah menjadi anakmu. Kau harus pergi!” ucap Moreau diliputi pelbagai dorongan tak terduga. Dia ingin segera membawa Lore pergi. Meninggalkan Abihirt sendiri di sini. Persetan jika pria itu masih berusaha menunggu. Namun, genggaman tangan Abihirt yang mencegah tindakannya, segera menghentikan Moreau di tempat. Dia tersentak kaget merasakan bagaimana suhu tubuh pria itu begitu menyengat. “Aku tidak akan pergi sampai kau memaafkanku.” Suara serak dan dalam pria itu kembali mencuak ke permukaan. Abihirt nyaris menarik simpatisan dalam dirinya, tetapi hal tersebut segera berubah saat pernyataan mantan suami Barbara lagi – lagi meninggalkan sensasi yang tak pernah dia harapkan. "Aku mohon, beri aku kesempatan." Moreau mendesis, lalu men
Samar – samar … sesuatu yang menyentuh lembut di sekitar tulang rahang membuat kelopak mata Abihirt mengerjap. Butuh usaha keras sekadar merangkak ke permukaan. Semalam, dia sengaja membiarkan badai hujan menguyur tubuhnya hingga membasah lembab dan sekarang … mulai merasakan dampak fatal setelah ego melarang untuk melangkah pergi. Moreau jelas tidak akan berubah pikiran. Dia sudah coba mengerti jika akan dibutuhkan waktu lebih lama untuk menggangap kesalahan di masa lalu telah menemukan harga yang pantas. Secepatnya, Abihirt berharap. Secepatnya Moreau akan bersedia memberinya kesempatan sekadar menebus kesalahpahaman yang dia miliki—dulu sekali. Atau bahkan, berharap … saat ini, sentuhan – sentuhan tangan—masih merambat lembut di rahangnnya, adalah jari – jemari yang sering dia genggam sebelum lima tahun terasa seperti neraka. Tubuh Abihirt menegang ketika ternyata … dia menemukan seseorang yang berbeda. Senyum yang begitu mengagumkan di sana. Gadis keci
“Lepaskan aku.” Suara Moreau tegas mengingatkan. Sekuat tenaga mendorong tubuh Abihirt hingga dekapan pria itu terlepas. Langit malam terlihat berbeda. Gumpalan awan pekat dan sulur – sulur suara petir bergemuruh seakan mengingatkan bahwa sebentar lagi akan terjadi badai hujan. “Sebaiknya kau pergi sebelum basah di sini.” Hanya itu. Moreau segera mengambil tongkat baseball, lalu kembali ke dalam rumah. Dia tidak mengatakan apa – apa saat mendapati Caroline sedang menunggu di ruang tamu dengan tegang. Tidak tahu apa yang sedang wanita itu pikirkan. Moreau segera mengunci pintu, lalu melangkah lebih dekat. “Dia sudah pergi?” tanya wanita paruh baya itu dengan nada khawatir tersirat begitu kental. Sesuatu yang membuat Moreau tidak bisa menunggu lebih lama, selain menggeleng samar. Mungkin perlu menduga – duga bahwa di dalam diri Caroline … masih tersirat rasa peduli yang berusaha wanita itu sembunyikan. “Aku tidak tahu apakah Abi akan pergi atau tidak. Biarkan saja. Aku lelah m
“Bohong. Kau tak pernah merasa bersalah. Kau hanya menginginkanku melayani seks konyolmu itu, dan dengan menemukanku; keinginanmu terasa semakin besar,” ucap Moreau diliputi napas menggebu – gebu. Dia begitu marah, hanya ... belum secara utuh bisa meluapkan hal yang menggantung di lehernya. Abihirt tampak menggeleng samar, seolah pria itu ingin memberi tahu betapa penilaiannya adalah kesalahan besar. Mantan suami Barbara bahkan telah mengendurkan sentuhan di pergelangan tangan Moreau. Memberi sedikit—setidaknya sebuah kebebasan singkat, karena bagaimanapun … dia tidak memiliki kesiapan ketika Abihirt memeluknya erat. Tiba – tiba saja. Tongkat di tangan Moreau terlepas. Suara benda terjatuh sudah sampai di telinga, tetapi dia membeku di tempat; bertanya – tanya apa yang sebaiknya dilakukan saat aroma maskulin pria itu—masih sama—masih selalu memabukkan; menyergap hingga yang tersisa adalah sesuatu begitu sesak dan menyakitkan. “Aku sangat merindukanmu, Moreau. Jan
“Aku tidak akan melakukan sesuatu yang buruk. Kau tenanglah. Ini tidak akan lama. Aku hanya akan mengusir Abi pergi. Dia harus pergi atau jika tidak, Lore dan Arias akan bertemu ayah mereka. Itu hal yang tak bisa dibiarkan terjadi.” Tanpa berusaha memikirkan apa pun lagi. Moreau membuka pintu rumah, kemudian melangkah cepat mendatangi Abihirt di sana. Pria itu tampak bingung melihatnya memegang tongkat baseball. Dia tidak main – main; terserah jika akan ada penilaian konyol. Moreau tak merasa perlu menjaga harga diri saat sementara ada sesuatu yang lebih mahal untuk dipertahankan. “Kau membuntuti-ku, kan?” tanyanya, merasa nyaris tak bisa menunggu dengan sabar. Belum ada reaksi signifikan. Moreau tak yakin jika tiba – tiba mantan ayah sambungnya akan mengatakan jawaban. Bagaimanapun, mata kelabu di sana menatap penuh antisipasi yang bersarang hebat. Apakah sungguh Abihirt sedang membayangkan, kalau – kalau dia akan melakukan sesuatu di luar dugaan? Moreau h