PR yang dikeluarkan oleh Next In Company adalah berupa sebuah surat yang telah disalin digital agar bisa disebar di beberapa sosial media perusahaan, berisikan perihal akan melakukan tindakan legal kuasa hukum agar tidak lagi ada komentar dengan ujaran kebencian yang berlebihan. Foto ini kemudian menjadi perbincangan banyak orang. Terutama ketika akun pribadi Albert Ventagio langsung melakukan like dan mengomentari postingan tersebut. Albertventagio: Good Luck. Entah komentar ini ditunjukan kepada siapa. Yang jelas nitizen meyakini jika Albert, yang diketahui sebagai sekretaris perusahaan Next In, sedang menyindir orang-orang yang telah melakukan hate comment. Dibawah balasan Albert, ada dekitar 450 balasan dari nitizen yang menyatakan dukungan mereka, dan menyetujui tindakan menyindir tersebur. Tak lama kemudian, dunia media sosial kembali digemparkan dengan isu seorang selebriti yang sedang memakai narkobaㅡkasus nya saat ini sedang ditangani oleh pihak kepolisian. Sontak saja ha
Kerena pernikahan Irene dan Mino tidak dipublikasikan secara langsung, tidak banyak orang yang mengetahui pernikahan mereka. Sehingga, bukan salah rumah sakit ketika membutuhkan dokter Irene sebagai dokter jaga di sana. Perempuan itu dengan cekatan membenahi barang-barang yang dibutuhkan. Melirik Mino yang masih sibuk dengan laptop. "Aku pergi dulu." "Tunggu sebentar." Mino melepaskan kacamata anti-radiasi yang ia gunakan. Berjalan menuju istrinya seraya merogoh saku celana belakang. Ia keluarkan dompet hitamnya, dan mengeluarkan kartu gold. "Ini, gunakanㅡuntukmu.""Tapiㅡ""I'm your legal husband right now. Which mean all your need are my responsibility." Irene tidak segan mengambil kartu emas tersebut dan memasukannya ke dalam tas dengan asal, "Baiklah akuㅡ""Sebelum pergi, ayo biasakan berciuman dan berpelukan?" Wajah Irene telak merah. Perempuan itu dengan segera mendekat. Berjinjit dan mengecup pelan bibir Mino, sebelum membiarkan pria itu memeluknya dengan erat. "Alright, ha
Ketika nelihat Lee menyanggupi permintaannya, perempuan dengan rambut hitam panjang ini tersenyum lega. "Terima kasih," setelah itu Irene kembali menuju ruangannya. Namun, siapa yang menyangka ditengah jalan, dia bertemu dengan Clara. Perempuan dengaj rambut ikal itu sedang bersandar pada tembok rumah sakit seraya memegang rokok. Langkah Irene terhenti sejenak, "Kamu," Irene tidak tahu siapa nama perempuan di depannya ini, "Mohon maaf, tapi ini adalah rumah sakit, tidak bisakah merokok di sebelah sana?" ujarnya seraya menunjuk pada sebuah tempat dengan tulisan Smoking Area. Clara tidak bergeming. Wanita itu terdiam seraya menyesap perlahan rokoknya. Ia bukanlah perokok aktif, hanya saja situasinya sekarang ini membuat ia frustrasi setengah mati. Diliriknya sinis perempuam di hadapannya, "Apakah kau puas?" Irene mengangkat sebelah alis, "Puas?" Menggelengkapan kepala, "Apa maksud mu?" sambungnya. Mengeluarkan asap dari mulut, Clara terkekeh kecil, "Pergilah sejauh mungkin." Clara t
Hari cerah di Washington DC. Louis Mino Dendanious, sedang bersantai seraya menonton televisi chanel bisnis. Dia mengamati sejenak perkembangan bisnis ekspor dan impor produk Amerika ke luar negeri sebagai salah satu acuan inovasi bisnis ke depan. Ditangannya terdapat teh hangat yang masih mengepul, ia seruput diam-diam seraya melirik ke arah samping; Irene sedang meletakan kepalanya di bahu Mino. Mereka terdiam, menikmati saat-saat kehingan namun juga begitu harmonis bagi dua orang. "You're so clingy." Entah apakah itu sebuah pernyataan atau sebuah ejekan, Irene hanya merespon dengan dengusan kecil. Wanita itu merangkul lengan Mino, mendongak kan kepala hingga bibirnya menyentuh kulit, mencium rahang Mino dengan penuh keintiman. "You don't like it?"Mino memberikan jawaban dengan sebelah alis yang terangkat. "What do you mean? Kau seperti bukan Irene-ku."Perempuan itu kini mengenakan pakaian tidur berbahan sutra putih, atasannya hanya menggunakan strip di bahu sebagai penopang pa
Marcus memutuskan untuk menetap sejenak. Irene merupakan wanita dengan personality yang tidak bisa Marcus bayangkan; terlihat dingin tapi juga hangat. Benar-benar tipe yang berbeda dari beberapa perempuan yang telah ia kencani selama ini. Entah mengapa, Marcus merasa ia dan Irene adalah teman lama yang berpisah dan kembali dipertemukan. Obrolan mereka juga selalu seru, sering sekali bertukar pikiran, dan juga bercanda. Tidak seperti kakaknya yang kaku. "Oh, lalu apa pekerjaan mu sekarang?" Perempuan dengan rambut dicepol itu menatap ke arah adik iparnya. "Membantu Mino di perusahaan?""Aku?" Marcus menunjuk dirinya sendiri seraya melirik sinis Mino, yang dibalas dengan tatapan jegah dari sang kakak. "Bekerja di bawah nya dan menjadi bawahan dia? Lebih baik jadi duta shampoo, oops."Irene terbahak, tertawa puas hingga terpingkal-pingkal. Ketawanya terlihat kencang namun tidak berisik. Mino menatap lama pada sosok perempuan yang berstatus sebagai istrinya tersebut. Ah, selama mereka
Mobil Mercy hitam E Class yang dikendarainoleh supir pribadi melaju dengab kecepatan konstan dari Washington menuju New York. Memang bukan perjalanan yang singkat, akan tetapi dengan adanya kendaraan pribadi bisa menghemat pengeluaran transportasi Ireneㅡlupakan kartu gold yang diberikan oleh Mino, selama Irene masih bisa menggunakan uangnya sendiri, dan selama kebutuhan itu tidak mendesak, Irene masih mampu menghidupi dirinya sendiri. Terutama ketika ia adalah seorang dokter. Lee merupakan ketua dari Beta, pria itu mengikuti Irene dan duduk di kursi samping supir, sementara Irene duduk di kursi penumpang. Di belakang mereka terdapat mobil Alphard yang mengikuti dari belakang; itu adalah mobil bodyguard bawahan Lee, hanya saja jumlahnya tidak fantastis, mungkin sekitar 5 sampai 6 bodyguard dikerahkan untuk menjaga Irene. "Lee, berikan makanan yang diplastik hitam untuk yang lainnya ya, aku masak kebanyaka tadi," ujar Irene. Perempuan itu menunjuk pada platik hitam yang posisinya muda
Mino sedang memeriksa ulang data di dalam PC kantor. Pria itu tidak sendiri tentunya, ada Albert yang menemaniㅡdia sedang duduk di salah satu sofa dengan beberapa dokumen kertas yang berserakan di atas meja. Terdapat kopi yang telah tertandas hingga setengah cangkir, dan dingin. Dalam keheningan yang memuakan, suara pintu terbuka menjadi trigger tersendiri. Mino dengan kesal membanting salah satu dokumen ke atas meja, "Blaire, sudah aku bilang berapa kali, aku sibuk, tidak mau diganggu!" Suara Mino keras, penuh emosi. Albert yang juga melihat ke arah pintu, tertegun. Pria dengan rambut hitam itu menelan saliva. "Mino," tegur Albert. Mino mengalihkan padangannya dari PC ke arah sang sahabat, sorot matanya dipenuhi dengan amarah, "What?" "Jadi, kau tidak mau diganggu oleh ku?" Tak lama kemudian alunan merdu menembus gendang telinga Mino. Pria dengan jas cokelat tua itu terdiam membeku. Matanya menatap ke arah Albert dengan penuh tanda tanya seolah ia sedang berhalusinasi, sebelum k
Di sisi lain, Irene yang masih terlelap terganggu oleh bunyi dering ponselnya sendiri. Perempuan itu mengeratkan selimutnya, tangannya meraih-raih ke nakas meja, sebelum mendapatkan ponselnya sendiri. Ia kemudian mengangkat telepon dengan suara serak, "Hello?" "Kenapa suara mu terdengar serak, Rene? Kau sakit?" Mendengar suara sahabatnya Irene terbelalak. Perempuan itu segera terbangung, tetapi kemudian rasa sakit menghantamnya dibagian bawah tubuh. Menarik napas banyak-banyak, ia bersumpah akan menendang Mino dan plmembatasi kegiatan bercinta mereka ke depannya! "Nope, aku baru bangun tidur." Berdekhem pelan, "Bagaimana Jennie, ada sesuatu?" "Ah ya, just want to inform you that My wedding day are two days to go." "Ah?" Sejenak, Irene melupakan segalanya. Lalu berteriak kencang, "Ya ampun, Jennie. Selamat! Finally you got what you wanted." Jennie tertawa kecil mendengar reaksi sahabatnya, "Yea, sure, thank you. Jangan lupa datang, okay?" "Tentu." Keduanya saling bertukar kabar