Share

BAB 7 | That Day

FLASHBACK ON

Satu tahun lalu.

Seorang pria paruh baya tengah berdiri menghadap jendela dengan ponsel yang di dekatkan ke telinga kanan. Aroma roti dari dalam etalase kaca memenuhi ruangan sebuah toko roti. Ujung matanya berkerut seiring senyuman yang semakin mengembang. Dia adalah Alan Smith, seorang pria sekaligus seorang ayah yang memiliki sifat hangat dan penyayang. Ia tertawa pelan mendengar lelucon putrinya di telepon.

“Apakah tidak masalah jika Papa tidak menjenguk oma?” tanya Alan sedikit khawatir.

Saat ini putrinya, Alexa Smith sedang pergi ke kota lain untuk menjenguk sang nenek. Lebih tepatnya, nenek Alexa yang ingin dijenguk oleh cucu satu-satunya itu. Alexa yang selama ini disibukkan dengan kegiatan kuliah tidak ada waktu untuk menemui neneknya. Dan kini ia sedang libur kuliah membuat Alexa tidak dapat menolak permintaan neneknya.

“Ha ha ha, tentu saja tidak. Bahkan, oma berkata pada Alexa kalau dia bosan dijenguk oleh Papa terus,” balas Alexa suara tawanya terdengar renyah.

Alan tertawa pelan, ia menggeleng-gelengkan kepala merasa diejek oleh putrinya sendiri. Alexa adalah anak satu-satunya dari pernikahan Alan dan istrinya, Alan tidak menyangka kalau putrinya ini sudah berkepala dua. Proses pertumbuhan Alexa dari kecil hingga sekarang masih terekam jelas di pikirannya. Bahkan istrinya selalu mengabadikan momen pertumbuhan Alexa yang kemudian dijadikan sebuah album foto.

Tiba-tiba kelopak matanya melebar sekejap ketika melihat partikel-partikel putih yang turun dari langit. Salju pertama yang turun di bulan Desember ini begitu indah dipandang.

“Alexa, it's just snowing here, (Alexa, di sini baru turun salju)” ujar Alan memberitahu putrinya yang selalu menantikan salju pertama turun.

“Benarkah?” Alan dapat mendengar langkah kaki Alexa yang tergesa-gesa. Pasti sedang mendekati jendela. Beberapa detik kemudian Alexa kembali berbicara, “Ya, Papa benar. The snow is so beautiful, (Saljunya sangat indah)” gumam Alexa di seberang telepon.

“Ah, ya. Mama sedang apa, Pa?” tanya Alexa beberapa saat kemudian. 

“Mama? Dia sedang pergi karena ada beberapa keperluan yang perlu diurus,” jawab Alan.

“Satu tahun belakangan ini mama sering sibuk. Memangnya apa yang sedang mama kerjakan?” tanya Alexa. Sebelumnya ia tidak begitu penasaran namun akhir-akhir ini rasa penasarannya mendadak muncul.

“Hm, semacam bisnis dengan teman-temannya,” tutur Alan apa adanya sembari mengedarkan pandangan menatap kondisi luar toko roti. “Alexa, tunggu sebentar ya. Jangan matikan teleponnya.”

Setelah mengatakan itu Alan menyimpan ponselnya di atas etalase kaca yang berisi berbagai macam roti. Ia keluar dari toko roti kemudian memanggil dua anak, satu laki-laki dan satu perempuan yang berdiri di seberang toko rotinya dan menyuruh kedua anak tersebut masuk.

“Siapa nama kalian?” tanya Alan, sedikit membungkuk menyesuaikan dengan tinggi kedua anak tersebut.

“Aku Mike dan ini adikku namanya Mary,” jawab Mike, seorang anak laki-laki yang Alan perkirakan berusia sekitar sepuluh tahun.

Alan memandang jaket lusuh yang dikenakan kedua anak tersebut, ia merasa prihatin. Alan tersenyum lalu mengusap belakang kepala Mike dan Mary secara bergantian. Tidak seperti kondisi sekarang yang dingin, Alan justru menebar kehangatan untuk Mike dan Mary. Ia tidak segan-segan untuk menolong siapa pun termasuk kedua anak kecil di depannya.

“Apa kalian tidak kedinginan?” tanya Alan ketika melihat bibir pucat Mike dan Mary juga tubuh mereka yang sedikit menggigil.

Mike tidak menggeleng ataupun mengangguk, namun Mary dengan cepat mengangguk. Tipikal anak kecil yang polos, langsung bereaksi ketika ditanya mengenai keadaannya. Alan berdiri tegap, melangkah mendekati lemari kayu dengan tinggi seratus lima puluh sentimeter dan lebar lima puluh sentimeter yang berada di pojok ruangan, ia mengambil dua syal berwarna merah.

Istrinya, Xania Smith telah merajut banyak syal disela waktu luangnya dan disimpan di lemari toko roti Smith. Kata Xania, Alan boleh memberikan pada siapa pun yang membutuhkan saat musim dingin tiba. Maka dari itu, Alan memberikan syal pada Mike dan Mary masing-masing satu.

“Pakailah, agar tubuh kalian tetap hangat,” ucapnya, memberikan pada Mike satu lalu memakaikan pada Mary.

“Sangat hangat,” gumam Mary melebarkan senyumnya hingga terlihat lesung pipit di kedua pipinya yang berisi.

“Terima kasih, Paman. Kami akan mengembalikan syalnya setelah kami mencucinya.” Mike membungkuk sopan pada Alan.

“Tidak perlu mengembalikannya, Mike. Syal ini Paman berikan untuk kamu dan Mary,” tutur Alan lembut. “Ah, ya. Apakah kalian mau roti?” tanya Alan setelah memastikan syal Mike dan Mary terbalut sempurna di leher.

Mike menggelengkan kepala pelan kemudian berkata, “Tidak, kami tidak punya uang untuk membelinya, Paman.”

Alan bergumam panjang pura-pura berpikir lalu berkata setelahnya, “Bagaimana kalau kalian membayarnya di musim dingin selanjutnya?”

Mata Mike berbinar, “Bolehkah, Paman?”

Alan mengangguk pasti, “Tentu saja. Kalau begitu pilihlah, kalian mau roti yang mana.”

Mike dan Mary duduk di tempat yang tersedia di dalam toko roti sembari melahap roti yang telah mereka pilih. Sedangkan Alan kembali mengambil ponselnya untuk melanjutkan percakapan dengan Alexa di telepon.

“Alexa, apakah kamu masih di sana?” tanya Alan setelah mendekatkan ponselnya ke telinga.

“Tentu saja. Aku mendengar semua yang terjadi di toko rotimu, Pa,” sahut Alexa.

“Papa hanya membantu mereka semampunya,” imbuh Alan yang memperhatikan Mike dan Mary diam-diam.

“Papa selalu baik seperti biasa. I'm proud of you! (Aku bangga padamu!)” ucap Alexa tulus.

Alan tersenyum, “Papa juga bangga padamu, Sayang.”

FLASHBACK OFF

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status