Share

2|Keluarga Kecilku

Hatiku hancur melihat anak-anakku tidak mengenali aku sebagai mama mereka, tetapi memanggil wanita lain dengan sapaan itu. Darahku yang mengalir di darah mereka. Aku yang mempertaruhkan nyawa ketika melahirkan mereka. Aku memberi keluarga Agung dua orang anak laki-laki sebagai penerus. Begini mereka membayar keringat dan darahku.

Belum cukup menyaksikan perempuan lain berbincang dan bercanda layaknya ibu dan anak selama dalam perjalanan singkat yang terasa panjang itu, aku diberi kejutan lain. Ayah, Ibu, dan Lauren juga datang ke rumah yang aku yakin adalah tempat tinggal baru keluargaku. Mereka keluar dari mobil begitu melihat mobil yang Jeff kemudikan mendekat.

“Kakek! Nenek!” seru Jax dan Remy secara bersamaan.

“Iya! Itu Kakek dan Nenek yang datang untuk melindungi kalian,” ucap Dina yang menatap tajam ke arahku. Dia segera keluar dari mobil, lalu membukakan pintu untuk anak-anak.

Aku membantu membukakan sabuk pengaman Remy, ketika Dina membantu Jax. “Terima kasih!” seru Remy yang segera menoleh ketika Dina memanggil namanya. Aku belum sempat membalas ucapan putraku tersebut. Aku mengepalkan kedua tangan, tetapi langsung teringat dengan latihan yang sudah aku jalani. ‘Tenang, Jenar. Semua bisa diatasi dengan kepala dingin.’

Jeff membukakan pintu di sampingku. Mungkin dia sudah tidak sabar untuk segera pergi dari tempat ini. Urusan yang harus dia kerjakan di kantornya tentu sangat mendesak. Aku menarik napas panjang, kemudian memberanikan diriku untuk keluar dan menghadapi keluarga suamiku yang sedang marah.

“Ayah, Ibu, Lauren, kita bertemu lagi,” ucapku dengan sopan. Lima tahun tidak bertemu, mereka tidak banyak berubah, terutama sikap mereka kepadaku. “Aku sudah bebas.”

“Kalau begitu, pergilah. Mengapa kamu malah datang ke sini? Kamu wanita bebas, jadi kamu bisa melakukan apa saja yang kamu mau.” Ibu menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya. “Aku tidak mau hidup putraku dan kedua cucuku ikut hancur karena kamu. Kamu bisa saja marah dan gelap mata. Aku tidak mau nyawa mereka melayang.”

Aku memejamkan mata merasakan sakitnya tuduhan itu. Belum cukup luka yang ditorehkan Dina, Ibu juga tidak mau kalah. Tidak pernah tebersit sedikit pun di benakku untuk menyakiti suamiku, apalagi anak-anakku sendiri. Tetapi aku hanya diam dan tidak menjawab.

“Bu, aku harus kembali ke kantor. Aku mohon, bicarakan baik-baik di dalam,” kata Jeff menengahi. Dia menoleh ke arah Ayah sambil memberikan tasku. “Tolong, jaga keluargaku, Ayah. Biarkan Jenar istirahat dan jangan marahi dia lagi. Dia masih istriku.”

“Apa?? Apa maksudmu, Jeff? Mengapa kamu belum juga mengurus perceraian kalian?” protes Ibu dengan keras sambil menatap aku dan Jeff secara bergantian. Ayah segera menenangkannya.

“Pergilah, Jeff. Aku yang akan menjaga mereka,” kata Ayah. Mendengar itu, Jeff terlihat lebih tenang. “Ayo, Nak. Masuklah. Lauren akan menunjukkan di mana kamarmu.” Ayah tersenyum kepadaku.

Aku mengangguk menurut. Jeff meninggalkan sisiku dan berjalan mendekati mobilnya. Aku menoleh dan melihat dia masuk ke mobil sebelum mengikuti Ayah dan Ibu masuk ke rumah. Suamiku sama sekali tidak mau melihat ke arahku sesaat pun.

Mereka berjalan menuju bagian dalam rumah, aku mengikuti. Anak-anak sedang duduk melingkari meja makan. Ada segelas jus jeruk dan sepotong kue di atas piring untuk mereka masing-masing. Dina menawarkan jus itu kepada Ayah dan Ibu yang segera mereka tolak. Aku melihat baik-baik apa yang dia pegang. Jus kemasan. Apakah Jeff membiarkan dia memberi racun itu kepada anak-anakku? Orang tuanya saja menolak meminum itu.

“Apa yang kamu lakukan di situ? Ayo, cepat, ikut aku,” ucap Lauren yang berdiri di dekat tangga, tidak sabar.

“Ini, Nak,” kata Ayah yang memberikan tasku kepadaku.

Aku mengikuti Lauren menuju lantai atas. Ada empat pintu di lantai tersebut. Dia berjalan menuju pintu yang dekat dengan jendela. Kamar itu cukup besar dengan sebuah kasur yang cukup untuk dua orang dewasa, sebuah lemari pakaian tiga pintu, bufet, sebuah kursi dengan mejanya, dan jendela besar di satu sisi kamar.

“Ini kamar yang Kak Jeff siapkan untukmu. Jangan coba-coba ke kamar utama di lantai dasar. Itu kamar Kakak dengan Kak Dina. Apa kamu mengerti?” katanya dengan nada tajam. “Jangan turun ke bawah sebelum kami pulang. Aku tidak sudi melihat wajahmu lagi!” Dia sedikit mendorong aku agar masuk ke kamar.

Aku menurut dengan tidak keluar dari kamar. Tubuhku lelah dengan perubahan yang aku alami dan kejutan demi kejutan yang menyambut. Aku tidak ingat kapan aku tertidur. Tetapi saat membuka mata, keadaan di sekitarku sudah gelap.

Keadaan di lantai bawah sudah sepi. Hanya lampu di ruang makan yang dibiarkan menyala. Mungkin keluarga Jeff sudah pulang dan penghuni rumah sudah tidur di kamar mereka. Mendengar bunyi pagar dibuka, jantungku berdebar dengan kencang. Siapa yang datang malam-malam begini?

Hanya ada garpu yang bisa aku jadikan senjata, maka aku memegangnya dengan erat. Aku berjingkat mendekati pintu, lalu menyibak celah tirai jendela sedikit agar bisa melihat siapa yang memasukkan alat ke lubang kunci. Sebelum aku bisa melihatnya, pintu terbuka. Aku segera mendekati orang itu, tetapi dia bergerak lebih cepat dengan menangkap pergelangan tanganku.

“Jenar!” katanya dengan suara tertahan. Aku tertegun mendengarnya. “Apa yang kamu lakukan!?”

Terbiasa menjaga diri selama berada di penjara, aku selalu bersikap waspada. Hal yang tidak bisa aku ubah begitu saja. Walaupun aku sudah punya teman-teman yang senasib dan selalu bersikap baik kepadaku, aku tidak terlena. Karena hanya ada satu orang yang akan selalu setia kepadaku dan tidak mungkin berkhianat, yaitu diriku sendiri.

“Jeff??” bisikku pelan. Dia pasti bersuara begitu pelan supaya anak-anak tidak terbangun. “Mengapa kamu datang diam-diam begini? Di mana mobilmu? Aku sampai berpikir ada pencuri yang mencoba untuk masuk ke rumah.” Dia melepaskan tanganku, lalu menutup pintu.

“Makanlah,” ucapnya sambil meletakkan kantong yang dia bawa ke atas meja.

Melihat dia tidak berniat menjawab pertanyaanku, aku tidak mendesaknya. Ada dua buah kotak di dalam kantong itu. Satu kotak berisi nasi goreng dan yang lain berisi martabak telur. Makanan kesukaanku bila dia pulang malam. Dia memberikan sebuah sendok.

“Terima kasih,” ucapku pelan. Aku mulai menyantap nasi tersebut. Jeff hanya berdiri bersandar di konter, tanpa mengatakan apa pun. “Apa kamu mau?” Aku menawarkan martabak itu kepadanya, tetapi dia menggelengkan kepalanya. Dia meletakkan segelas air minum di dekatku ketika aku memasukkan potongan terakhir martabak ke mulut.

Jeff berdiri di belakangku ketika aku selesai meneguk air minum tersebut. Aku mengerutkan kening merasakan dia menggeser kursi ke belakangku sebagai sinyal agar aku berdiri. Aku menurutinya. Dia memegang lenganku, lalu menarik aku mendekat. Pipinya menempel di pelipisku. Aku mendengar dia menghirup napas panjang.

“Hanya kamu yang cocok dengan aroma bunga ini,” bisiknya pelan. Aku memejamkan mata saat dia memeluk tubuhku dengan erat. “Aku merindukan kamu, Jenar.” Dia mencium sisi kepalaku, pelipisku, pipiku membangkitkan sensasi pada setiap ciuman yang dia tinggalkan. Tetapi sebelum dia berhasil menyentuh bibirku, aku menghalanginya dengan tanganku.

Dia memegang tanganku itu, lalu mencium telapaknya. Matanya menatap aku dengan dalam. “Aku ingin tidur denganmu.” Aku membuka mulut untuk menjawab, tetapi dia segera memotong, “Kamu tidak bisa menolak. Jangan lupa, kamu masih istriku.”

“Kamu menginginkan aku, Jeff?” Aku menggodanya dengan mendekatkan wajahku kepadanya. Dia menyambutnya dengan melakukan hal yang sama, tetapi aku segera menghindar saat dia berniat mencium bibirku. “Usir wanita itu dahulu dari rumahku.”

Jeff merapatkan bibirnya. Matanya menatap aku untuk beberapa saat sebelum dia melepaskan aku. “Kamu tahu aku tidak bisa melakukan itu.”

“Tidak bisa atau tidak mau,” tantangku. Dia hanya diam, lalu pergi ke kamar yang ada di sebelah kiri. Jadi, itu adalah kamar utama di mana dia dan perempuan itu tidur.

Aku menghembuskan napasku secara perlahan. Jantungku berdebar begitu cepat, tetapi sengaja aku abaikan. Aku yakin dia sudah merasakannya saat kami berpelukan tadi. Darahku berdesir membuat tubuhku gemetar. Ya, Tuhan. Aku juga menginginkan dia.

Lima tahun lebih kami tidak tidur bersama. Aku sudah berpuasa selama bertahun-tahun. Ketika kesempatan ini akhirnya datang, sudah ada perempuan lain di ranjangnya. Aku tidak mau berbagi. Bila dia menginginkan aku, maka dia harus mengusir Dina.

Jam digital di atas nakas menunjukkan beberapa menit sebelum jam dua belas. Hampir tengah malam. Aku berganti pakaian dan mengenakan sepatu kets. Sepelan mungkin, aku keluar dari kamar ke pintu depan. Aku harus segera pulang sebelum ada yang bangun, karena aku membawa satu-satunya kunci yang ada di rumah.

“Masalah ini harus aku selesaikan besok. Jangan sampai urusan kunci membongkar rencanaku,” batinku saat mengunci gembok pagar kembali.

Aku meneteskan pelumas ke engsel pintu dan pagar sebelum membukanya. Karena itu, semua pintu dan pagar tidak mengeluarkan bunyi saat aku buka maupun tutup. Jeff dan Dina tidak akan menyadari bahwa aku keluar dari rumah. Tidak ada seorang pun di luar. Para tetangga sepertinya sudah tidur juga. Aku berjalan setengah berlari menuju gerbang masuk perumahan.

Tidak jauh di depan, aku melihat sebuah mobil yang aku kenali. Jadi, dia meninggalkan mobilnya di sini. Mungkin dia tidak mau anak-anak terbangun saat dia pulang pada malam sebelumnya. Sesuatu yang hangat memenuhi dadaku. Dia ayah yang baik.

Dua cahaya berkedip dua kali dari arah depan. Aku memicingkan mataku. Itu adalah sinyal yang kami sepakati. Aku melihat ke sekelilingku sebelum memasuki mobil. Bagus. Tidak ada orang di sekitarku. Dua orang wanita di dalam mobil serentak menoleh ke arahku saat aku membuka pintu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status