Share

3|Saatnya Beraksi

“Selamat datang kembali di kehidupan bebasmu, Jenar,” ucap Bian, teman satu selku yang telah bebas satu bulan lebih cepat dariku.

“Senang bisa melihat kamu tertawa lagi, Bian.” Kami saling berpegangan tangan dan tersenyum terharu. Masa-masa sulit kami akhirnya berlalu juga.

“Hei, ini bukan saatnya untuk melankolis. Kita harus bergerak dengan cepat, kalau mau rencana kita berhasil,” desak Talia. Kami menatapnya dengan bingung.

“Kamu yang menyetir. Kami sama sekali tidak menghalangi kamu untuk menjalankan mobil, Talia,” goda Bian. Kami tidak bisa tidak tertawa mendengar namanya disebut. Dia begitu bangga menyebut bahwa neneknya adalah penggemar telenovela dari Meksiko. Dia menamakan salah satu cucunya dengan nama pemeran wanita idolanya. Dia berharap nasib cucunya tersebut akan sama dengannya. Sayangnya, Talia tidak sama seperti Thalia tersebut.

Tidak sampai satu jam kemudian, kami tiba di depan sebuah rumah. Untuk ukuran seorang yang bekerja sebagai abdi negara, rumah itu termasuk mewah. Aku melihat ada dua tempat parkir luar untuk mobil, tetapi satu tempat kosong. Mungkin pemilik mobil itu belum pulang.

“Suaminya tidak ada di rumah. Dinas keluar kota. Jadi, ini adalah saat yang tepat. Dia sendirian.” Talia memberikan sepasang sarung tangan dan penutup kepala berwarna hitam kepadaku. “CCTV ada di dekat pintu depan, jadi kalian akan masuk lewat pintu belakang. Pastikan saat menaiki tangga, kalian tidak tertangkap kamera di pintu itu.” Dia kelihatan khawatir dengan dahi berkerut.

“Beres. Aku dan Bian sudah tahu apa yang harus kami lakukan. Kita sudah merencanakan hal ini selama berbulan-bulan. Kami tidak akan gagal.” Aku menepuk pundak Talia untuk menenangkannya.

“Kamu serius tidak ada alarm pada pintunya, ‘kan?” tanya Bian memastikan. Dia sudah mengenakan kedua sarung tangan hitamnya.

“Tidak. Mereka berdua terlalu yakin bahwa tidak akan ada orang yang berani mengganggu tempat tinggal mereka.” Talia mendengus pelan. “Padahal ada banyak orang yang menginginkan kematian mereka. Lihat saja, tidak ada orang yang berjaga di luar.”

“Setelah ini, mereka pasti akan meminta banyak pengawal pribadi untuk ditempatkan di rumah itu untuk menjaga mereka. Syukurlah, kita orang pertama yang memberi mereka peringatan.” Aku mengedipkan sebelah mataku kepada Talia. “Kamu siap, Bian?”

“Sejak satu bulan yang lalu,” jawabnya sambil menurunkan penutup wajahnya.

Kami keluar dari mobil dan menutup pintunya sesenyap mungkin. Talia segera menguncinya dari dalam. Aku mengikuti Bian yang menyeberang jalan lebih dahulu. Dia bergerak dengan lincah seolah tubuh besarnya itu tidak menjadi beban baginya. Tepat jam satu dini hari, semoga saja semua orang sudah berada di alam mimpinya.

Bian memanjat pagar, lalu bergegas menuju bagian belakang rumah. Aku mengikutinya dengan jarak sedekat mungkin. Dia mempelajari jenis lubang kunci pintu tersebut, lalu mulai menggunakan alat yang dia bawa untuk membukanya. Begitu mendengar bunyi klik sebanyak dua kali, kami tersenyum puas. Dia membuka kenop pintu dan mempersilakan aku masuk lebih dahulu.

Aku menuruti ucapan Talia dengan berhati-hati saat menaiki tangga. Kami bisa saja mengutak-atik kamera tersebut. Tetapi kami memutuskan untuk membiarkannya saja, agar tidak meninggalkan jejak kami pernah datang. Bian memeriksa pintu pertama. Kosong. Dia lanjut memeriksa pintu kedua, lalu menggerakkan kepalanya supaya aku masuk.

Aku tersenyum melihat wanita itu tidur pulas di tempat tidur berukuran besarnya seorang diri. Bian menunjuk ke arah kursi yang ada di depan sebuah meja rias. Aku mengangguk setuju. Dia menggeser kursi itu bersamaan dengan aku membekap mulut perempuan itu dengan lakban hitam.

Dia segera membuka matanya, tetapi masih tidak sadar apa yang sedang terjadi terhadapnya. Bian memegang kedua tangannya, sedangkan aku mengangkat kedua kakinya. Kami segera memindahkan dia ke kursi, lalu mengikat kedua tangan dan kakinya. Begitu mengerti apa yang terjadi kepadanya, dia memberontak sekuat tenaga. Kami hanya menonton ketika kursi itu jatuh ke belakang.

Kami menunggu sampai dia tenang, lalu Bian memperbaiki posisi kursi tersebut. Napas wanita itu memburu ketika dia berusaha untuk mengenali kami. Aku menoleh ke arah Bian, dia mengangguk mengerti. Dia mengeluarkan sebuah tablet dari tasnya dan memainkan sebuah video. Mata wanita itu melotot begitu mengenali adegan yang ada pada layar di hadapannya.

Hal yang dahulu membuat aku nyaris muntah itu, justru menjadi alat yang berguna untuk membalas perbuatannya. “Rahasia yang berbahaya untuk diketahui oleh publik. Iya, ‘kan, Ibu Kepala Lapas?”

Dagu wanita itu bergetar dengan hebat. Entah karena gentar mendengar kalimat yang baru aku ucapkan atau lakban di mulutnya menempel terlalu ketat. Dia tidak bisa mengenali kami dengan wajah tertutup, tetapi aku yakin dia sudah tahu siapa aku lewat suaraku.

Kedua matanya menatap aku dengan tajam sampai mengeluarkan air. Dia berusaha untuk membuka ikatan pada tangannya dan kakinya. Tetapi usahanya itu sia-sia belaka. Dia mendesah keras. Melihat itu, aku menundukkan badan agar wajahku dan wajahnya sejajar.

“Kamu ingin mengatakan sesuatu?” Aku memegang lakban tersebut. “Satu teriakan saja, aku akan membuat wajahmu babak belur. Aku tahu bahwa kamu sangat sayang pada muka cantikmu ini.” Dia diam. Aku membuka lakban itu dengan paksa, tidak peduli dia memejamkan mata menahan sakit.

Dia terbatuk-batuk. Bian memberikan sebuah gelas berisi air kepadanya. Dia tidak menolak ketika sahabatku meletakkan bibir gelas ke mulutnya. Setelah beberapa teguk, dia berhenti. Dia menatap aku dan Bian secara bergantian.

“Jenar? Kamu pasti Bian.” Dia tertawa sinis. “Kamu pikir aku takut dengan ancaman video itu? Kamu yang seharusnya takut. Apa kamu tahu apa yang akan terjadi kepadamu begitu polisi tahu bahwa kamu melakukan kejahatan di masa wajib lapormu?”

“Ah, iya. Mengenai hal itu. Bagaimana bisa seorang yang menjalani hukuman dengan penuh, tanpa diberi potongan masa hukuman setelah bersikap baik, malah diminta wajib lapor ketika bebas?” Aku mendekatkan wajahku kepadanya. Dia menelan ludah dengan berat. “Jika aku menyelidiki hal ini, mungkinkah aku akan menemukan bukti kejahatanmu yang lain, Ibu Kepala Lapas?”

“Hah. Kamu coba saja. Tidak akan ada yang membiarkan kamu menyelidiki apa pun.” Dia tersenyum dengan arogan. “Kalian mau menyebarkan video itu? Silakan. Dalam waktu satu detik, video itu akan lenyap dan kalian yang akan masuk penjara.”

“Tetapi, Ibu Kepala Lapas ….” Aku memasang wajah lugu, walaupun dia tidak bisa melihatnya. “Nama pengirimnya tidak lain adalah Ibu sendiri. Jadi, kami tidak akan pernah tertangkap.”

Bian mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. “Memangnya kalian bisa apa? Kalian bukan ahli IT, bagaimana kalian bisa memasuki akunku? Kalian pikir aku ini bodoh?” ejeknya.

“Mudah saja.” Aku mengangguk ke arah Bian. Dia mendekati wanita itu, lalu membuka kunci layar ponsel itu dengan sidik jari tengah kanannya. “Semua orang tahu bagaimana membuka ponselmu ini. Bian tinggal mengirim videonya, lalu tarraa … Ibu mempublikasikan video itu di media sosial Ibu.”

“Berengsek! Kalian memang penjahat tidak berguna yang tidak pernah bertobat!” makinya sekeras mungkin. Aku segera membungkam mulutnya kembali. “Tidaakk! Tid—”

Dia tadi begitu arogan, lalu sekarang ketakutan. Bagus. Tidak banyak yang tahu bahwa wanita ini punya orientasi seksual yang menyimpang. Kami para korbannya yang mengetahuinya. Video ini adalah satu-satunya bukti yang kami punya. Karena kami baru bisa merekam pelecehan yang dia lakukan, setelah menemukan petugas lapas yang juga muak dengan caranya memimpin.

“Segera publikasi video itu,” perintahku kepada Bian. Wanita itu memberontak dengan keras. Dia berusaha mengatakan sesuatu, tetapi kami tidak bisa memahaminya. “Ada apa, Ibu Kepala Lapas? Aku publikasikan videonya sekarang?” Dia segera menggelengkan kepalanya dengan liar. “Jangan dipublikasikan?” Dia kini mengangguk-angguk dengan cepat.

Aku tersenyum. “Apa Ibu sudah siap untuk bicara baik-baik?” tanyaku pelan. Dia mengangguk lagi. “Permintaan kami hanya satu, Bu. Bekerjalah dengan benar. Jangan siksa para tahanan. Perlakukan mereka selayaknya manusia. Kalau aku mendengar Ibu berbuat semena-mena lagi, tidak ada tawar-menawar. Video itu akan kami sebar.”

Kami meninggalkan rumah itu tanpa insiden. Talia masih menunggu di dalam mobil. Dia membuka kunci sentral dan kami segera masuk. Kami menunggu beberapa saat sebelum pergi. Jantungku berdebar begitu cepat membuat dadaku terasa sesak. Aku sangat puas, rencana pertama kami berjalan dengan baik.

“Semuanya sesuai dengan rencana. Laporkan kepada kami jika dia tidak menepati janjinya.” Aku memberikan sarung tangan dan penutup kepala yang aku pakai tadi kepada Talia.

Semoga saja wanita itu menepati ucapannya. Video itu sebenarnya bisa merusak reputasiku juga. Tetapi aku sudah tidak peduli dengan itu. Aku adalah seorang mantan napi, jadi tidak ada satu hal pun yang bisa merusak namaku lagi. Nama baikku sudah tercoreng sejak hakim mengetuk palu dan menyatakan aku bersalah.

Aku pulang tanpa ada yang mengetahui dan menjadi orang pertama yang bangun pada pagi harinya. Aku berpikir demikian sampai aku melihat sesuatu di atas nakas. Aku menyalakan lampu meja, lalu melihat ada sebuah kartu ATM, buku tabungan, setumpuk uang, dan sebuah kotak dengan gambar ponsel. Jeff. Dengan penampilan seadanya, aku keluar dari rumah menuju gerbang depan komplek.

“Waah! Aromanya enak sekali!” Dina keluar dari kamar dengan mantel sutra yang tidak ditutup pada bagian depannya, dan salah satu bahunya dibiarkan terbuka.

Aku hanya diam melihat dia mengambil salah satu panekuk dan menaruh di sebuah piring. Dia memakannya dengan lahap. Setelah satu potong habis, dia melihat ke arah tumpukan kue tersebut. Aku tidak terkejut melihat dia tidak menambah makanannya. Pasti dia takut gemuk.

“Untuk apa kamu memasak makanan sebanyak ini? Anak-anak tidak akan memakannya.” Dia berdiri dengan wajah tersenyum.

Aku mematikan kompor, lalu menoleh ke arahnya dengan bingung. “Mengapa tidak?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status