Share

Perjuangan Sang Mantan Napi
Perjuangan Sang Mantan Napi
Penulis: Meina H.

1|Istri Sah

~Jenar~

“Mengapa kau diam saja, Jeff? Cepat selesaikan semuanya sekarang,” kata Dina mendesak. Jeff masih diam menatap aku. Wanita di sisinya itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “Ini.” Dia meletakkan sebuah map di atas meja. Suamiku mengambilnya, lalu menggesernya ke arahku.

Aku tidak perlu membukanya untuk tahu apa yang akan dia katakan. “Kamu tahu bahwa kita sudah tidak mungkin untuk kembali bersama. Tanda tangani surat ini. Aku mau kita bercerai.”

Lima tahun lamanya kami berpisah, tidak bertemu, bicara, apalagi saling menyentuh. Lalu pada hari pertama kami bertemu kembali, suamiku justru memberikan aku surat permohonan cerai. Apakah terlalu berat untuk menunggu satu minggu, tidak, satu hari untuk membahas ini?

Ini bukanlah dokumen perceraian yang pertama yang pernah dia berikan kepadaku. Gugatan cerai pertama dia tunjukkan saat aku divonis hukuman penjara selama lima tahun. Ingatanku mengenai ruang persidangan, setiap hakim, penuntut, pengacara, petugas pengadilan, bahkan orang-orang yang menjadi penonton masih jelas. Seolah-olah putusan itu baru terjadi kemarin.

Namun aku tidak mau menandatanganinya. Aku menolak berpisah darinya. Dia sudah berjanji, maka aku tidak akan membiarkan penjara, sahabat, apalagi sehelai dokumen memisahkan kami. Hanya kematian yang bisa menceraikan aku darinya.

“Apa lagi yang kau tunggu? Cepat tanda tangani dokumen itu!” ucap Dina sambil mendekatkan sebuah pulpen kepadaku.

Aku tersenyum, lalu melepaskan pandanganku dari Jeff. Aku meletakkan pulpen tersebut di atas map, kemudian menggeser keduanya kembali ke arah suamiku. Mereka menjemput aku dari penjara begitu aku dibebaskan. Ternyata ini yang mereka siapkan untuk merayakan hari kebebasanku.

“Jawabanku tetap sama,” kataku dengan tenang, meskipun dadaku bergemuruh dengan debaran jantungku yang sangat cepat. Pria yang duduk di depanku ini bukan orang yang mudah untuk dibaca.

“Kau …!” seru Dina marah. Jeff menghentikannya dengan mengangkat tangan kanannya. Wanita itu merapatkan bibirnya dengan kesal, tetapi dia menurut.

“Apa yang kamu inginkan?” tanya Jeff dengan tatapan serius.

Aku dan Jeff duduk berhadapan. Dia menatap aku, maka aku membalas tatapannya. Walau dia bersikap dingin, pasti ada banyak pikiran, ide, dan rencana yang berkecamuk di kepalanya. Namun aku lebih suka melihat percikan cinta yang masih tersisa di matanya.

Tiga puluh delapan tahun tidak membuatnya terlihat tua dan jelek. Dia justru semakin tampan dengan mata tajam, alis lebat, hidung mancung, dan bibir tipisnya yang menggoda. Rambutnya dipotong rapi dengan sedikit rambut halus membingkai wajah ovalnya.

Kami sudah menikah selama hampir sepuluh tahun. Ulang tahun pernikahan kami sekitar tiga bulan lagi, maka kami genap menikah selama satu dekade. Namun hanya lima tahun pertama yang kami jalani bersama, lima tahun berikutnya kami jalani dengan hidup terpisah. Dia bersama anak-anak dan wanita selingkuhannya, sedangkan aku di dalam penjara.

“Kamu telah bersumpah. Aku tidak menginginkan apa pun selain kamu menepati sumpahmu sendiri.” Aku meniru caranya menatap aku. Tenang tanpa menunjukkan adanya emosi sedikit pun. “Kamu tahu sendiri bagaimana kita bisa menikah. Kalau bukan kamu yang mengejar aku dan menjanjikan pernikahan ini untuk selamanya, aku tidak akan mau mengakhiri masa lajangku.”

“Aku sudah tidak mencintai kamu atau menginginkan pernikahan ini. Untuk apa dipertahankan lagi? Pikiran dan perasaan manusia bisa berubah,” katanya dengan dingin.

“Karena itu aku menuntut sumpahmu, bukan perasaanmu kepadaku.” Aku melirik Dina sebelum kembali melihat Jeff. “Aku tidak peduli bila kamu tidur satu ranjang dengannya. Silakan teruskan hubungan kalian. Tetapi aku tidak mau kita bercerai.”

“Sialan! Kau pikir aku ini perempuan apa?!” Dia berdiri dan berteriak keras kepadaku.

Kejadian yang menurutku sangat lucu. Perempuan bernama Adina ini dahulu bekerja di perusahaan yang sama denganku. Kami adalah sahabat baik karena bekerja di satu divisi. Siapa yang menyangka bahwa dia sanggup menikam aku dari belakang?

“Kamu marah, Dina? Apa kamu tidak salah?” tanyaku, menantangnya. “Aku adalah istri sah Jeff, sedangkan kamu hanya wanita simpanan. Aku yang seharusnya marah.”

“Aku bukan wanita simpanan. Aku adalah kekasih Jeff, tunangannya, calon istrinya yang sah. Akulah yang bersamanya selama kau membayar perbuatan jahatmu di penjara. Istri itu hanya status. Kau sudah bukan nyonya di rumah Jeff lagi!” semprotnya dengan ketus.

“Aku masih istrinya dan nyonya di rumahnya. Kamu sedang delusi, Dina.” Aku tertawa kecil, lalu melirik ke arah kedua jari manisnya yang tidak dihiasi cincin. Aku sengaja memain-mainkan cincin kawin di jari manis kananku. “Kamu hanya wanita simpanan.”

“Jeff! Mengapa kau hanya diam saja? Apa kau tidak akan membela aku yang sudah dia hina?” protesnya kepada suamiku.

“Kamu yang memulai, selesaikan sendiri masalahmu dengannya.” Jeff mengambil map itu dan meletakkannya di tepi meja. “Kita bisa lanjutkan percakapan ini nanti. Aku sudah lapar.”

Aku tersenyum mendengarnya. Dina merapatkan bibirnya dan menatap aku dengan marah. Dia pasti sudah tidak sabar untuk menjadi Nyonya Agung. Dia pikir setelah bertahun-tahun menghangatkan ranjang suamiku, maka Jeff akan mudah saja menjadi miliknya. Aku yang dahulu mungkin akan mudah menyerah. Aku yang sekarang bukan Jenar yang lemah dan penurut lagi.

Makanan kami diantar tidak lama kemudian. Aku memilih menu sendiri, sedangkan Jeff membiarkan Dina memesan menu untuk mereka. Sepertinya itu yang menjadi kebiasaan mereka selama ini. Usia mereka berapa? Tujuh belas tahun?

Jadi, aku tidak heran melihat mantan sahabatku itu menunjukkan pengabdiannya dengan melayani suamiku. Setiap kali piring Jeff hampir kosong, dia akan menambahnya dengan nasi, lauk-pauk, atau sayuran. Dia baru berhenti ketika pria itu berkata cukup.

Terdengar bunyi benda bergetar. Jeff dan Dina serentak memeriksa ponsel mereka. Ternyata benda komunikasi milik suamiku yang menimbulkan bunyi. Dia menyapa orang yang menelepon, lalu diam mendengarkan dengan saksama. Wajahnya berubah serius ketika telepon itu berakhir.

“Aku tidak bisa lama-lama. Ada masalah di tempat kerja yang harus segera aku urus.” Jeff memberi map yang ada di tepi meja kepada Dina.

“Apa?? Tidak bisa begitu. Masalah ini harus kita selesaikan sekarang! Aku tidak mau pulang kalau kamu tidak memaksa dia menandatangani surat itu!” Dina tidak mau menerima map itu, malah menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya.

Aku hanya menyaksikan interaksi di antara mereka sambil menyendokkan suapan terakhir ke dalam mulutku. Terbiasa dengan makanan di dalam penjara, aku tidak mau menyia-nyiakan makanan lezat pertamaku setelah keluar dari kurungan. Melihat mereka tidak menyentuh makanan yang ada di piring saji, aku segera menekan bel yang ada di vas bunga.

“Cepat, habiskan makananmu. Aku serius. Aku harus kembali ke kantor sekarang.” Dia mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa lembar uang berwarna merah, lalu meletakkannya di dalam map mini berwarna hitam yang sengaja ditinggalkan pelayan.

Seorang wanita muda memasuki ruangan kami, aku segera memintanya untuk membungkus semua makanan yang tidak habis. Bukan makanan yang ada di atas piring Jeff dan Dina. Aku tidak sudi menyentuh sisa makanan mereka. Dina mengejek aku rakus, tetapi aku tidak peduli.

Jeff hanya diam saja selama dalam perjalanan, sedangkan Dina sesekali mengeluh karena tujuan mereka pada hari ini tidak tercapai. Aku mau tahu apa yang bisa dia lakukan untuk mengubah keputusanku. Karena perceraian kami tidak tergantung kepada Jeff, tetapi aku. Suamiku sudah lama membubuhkan tanda tangannya pada surat itu. Hanya tinggal menunggu coretan dariku.

Ketika kami memasuki sebuah perumahan, aku terkejut melihat keadaan di sekeliling kami. Jeff tidak membawa kami ke kantornya, tetapi ke rumah. Sesuatu yang hangat segera memenuhi dadaku. Dia berhasil. Sebelumnya, kami tinggal di sebuah apartemen sempit.

Namun Jeff berhasil membeli rumah dengan uangnya sendiri, walau tanpa bantuanku. Aku cepat-cepat menghapus sesuatu yang membasahi pipiku. Ini bukan saatnya untuk menangis dan bersikap sentimental. Ini adalah hal yang membahagiakan.

“Tunggu di sini sebentar,” ucap Jeff saat dia menghentikan mobil di depan sebuah rumah.

Dia keluar dan Dina tidak ikut dengannya. Aku menoleh ke arah kanan dan kiri. Rumah yang ada di sekitarku termasuk sederhana, tidak sebesar dan semewah barisan rumah dekat gerbang masuk. Jeff meminta kami untuk menunggu, siapa yang tinggal di sekitar sini?

“Aku mencintai mereka. Jeff dan anak-anak juga sayang kepadaku. Jangan pernah bermimpi aku akan melepaskan mereka hanya karena kau sudah keluar dari penjara dan tidak mau bercerai,” ucap Dina dengan nada mengancam.

“Kamu yang bermimpi bisa merebut mereka dariku.” Aku tersenyum kepadanya. “Aku berada di dalam penjara saja kamu tidak bisa memisahkan kami. Apa yang bisa kamu lakukan sekarang, Dina? Merengek-rengek seperti tadi tidak akan membuat Jeff memenuhi permintaanmu.”

“Heh, penjahat! Pembunuh sepertimu tidak akan bisa mengalahkan aku! Apa kau sudah lupa apa statusmu!? Kalau kau lupa, aku yang akan terus mengingatkan Jeff dan anak-anak supaya mereka segera mengusir kau dari hidup mereka!” pekiknya marah.

Dugaanku benar. Dia tahu bahwa aku bukanlah saingannya. Karena itu, dia berusaha keras agar aku menandatangani surat itu sebelum tiba di rumah. Menarik. Bertahun-tahun bersama, ternyata tidak membuat dia berhasil memikat hati suamiku.

“Semakin kamu berusaha untuk memisahkan kami, semakin besar juga usahaku untuk menjaga mereka. Waktumu sudah habis, Dina. Nyonya Agung yang sah sudah pulang,” kataku dengan tenang.

“Oh, ya? Kita lihat saja nanti.” Dia tersenyum licik.

Tawa anak-anak mengalihkan perhatianku. Aku menoleh ke arah rumah yang dimasuki Jeff dan melihat dia menggandeng dua anak laki-laki di tangan kanan dan kirinya.

Aku segera mengenali mereka. Jaxton adalah putra pertama kami. Dia sudah berusia delapan tahun pada tanggal delapan Maret yang lalu. Lalu bayi kecilku, Jeremy, genap berusia empat tahun enam bulan. Jika bukan karena mereka berdua, aku tidak akan bisa bertahan menghadapi semua ini. Satu tahun pertama di penjara bagaikan neraka.

Mataku memanas. Akhirnya, aku bisa bertemu dengan kedua anak yang sudah lama tidak aku lihat. Jantungku berdebar kencang merasakan mereka berada sedekat ini denganku. Jeff membuka pintu belakang di mana aku berada.

“Ayo, masuk dan segera kenakan sabuk pengaman kalian,” ucap Jeff yang membantu Remy masuk lebih dahulu. Dia berpindah ke tengah jok dengan wajah riang. Menyadari ada orang di sisinya, dia mengangkat wajah bak malaikatnya itu.

“Papa! Ada tamu?” tanyanya dengan polos ke arah Jeff.

“Bukan, Nak. Dia bukan tamu. Aku akan memperkenalkan dia kepada kalian nanti. Ayo, Jax, pasang sabuk pengamanmu. Aku harus ke kantor secepatnya,” kata Jeff yang segera menutup pintu. Melihat Jax dan Remy mengalami kesulitan, aku membantu mereka.

“Terima kasih,” ucap Remy dengan sopan. “Nama kamu siapa?”

“Remy, apa kau tidak rindu aku?” tanya Dina mengalihkan perhatian putraku.

“Mama!” panggil Remy dan Jax serentak. Dadaku berdenyut sakit mendengar panggilan itu. Bukan dia mama mereka. Siapa yang tega melakukan ini?

Aku melihat ke arah Jeff lewat kaca spion depan. Dia menghindari tatapanku. Setelah bertahun-tahun aku sendirian di dalam penjara tanpa pernah mendapat kunjungan darinya, dia membuat anak-anakku menganggap perempuan lain sebagai mama mereka?

Meina H.

Hai, teman-teman. (。’▽’。)♡ Terima kasih sudah mampir. Semoga suka dengan cerita Jenar dan perjuangannya setelah keluar dari penjara. Bila ada saran dan kritik, jangan segan untuk memberi komentar. Jika teman-teman menyukai cerita ini, sumbang gem/permata dan beri rating, ya. Terima kasih atas dukungannya. Selamat membaca. ♡♡♡ Salam sayang, Meina H.

| 1

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status