Share

4|Wajib Lapor

Bukannya menjawab pertanyaanku, dia berdiri dan kembali ke kamarnya. Perempuan sialan. Apa lagi yang sudah dia rencanakan terhadap keluargaku? Tidak mau menunggu, aku memeriksa kamar anak-anak. Kosong. Pintu yang aku buka benar, karena ada dua tempat tidur untuk anak-anak dan lemari berisi mainan anak laki-laki.

Pintu depan terbuka, aku melihat siapa yang datang. Jeff. Melihat pakaian yang dia kenakan, dia pasti baru saja berolahraga. Aku kembali menuju konter dapur dan memasukkan semua bahan makanan ke dalam wadah tertutup, lalu menyimpannya ke lemari es. Aku berbelanja banyak pagi tadi demi memasak untuk anak-anak. Mengapa aku tadi tidak memeriksa kamar mereka dahulu?

Dina dan Jeff keluar dari kamar dalam keadaan rapi. Perempuan itu menarik tangan suamiku agar dia tidak pamit kepadaku. Ada-ada saja. Dia boleh memiliki pria itu selama yang dia mau. Aku tidak peduli aku masih diperlakukan layaknya istri atau tidak.

“Selamat pagi, Bu!” sapa seseorang dari arah luar pagar.

Aku membalikkan badan setelah mengunci pintu depan. “Selamat pagi.”

Dia memandang aku dari rambut hingga kaki sebelum menatap mataku lagi. “Maaf, Ibu siapa? Pembantu baru di rumah Ibu Dina, ya?” tanyanya ingin tahu. Lancang sekali langsung menebak aku seorang asisten rumah tangga. Apa bajuku seburuk itu sampai dinilai demikian?

“Maaf, Bu. Saya harus pergi. Ada urusan penting.” Aku menggembok pagar kembali, lalu tersenyum kepadanya. Dia masih saja memandang tubuhku dengan saksama.

Aku melihat gedung kantor polisi di mana aku harus melakukan wajib lapor. Seharusnya aku melapor ke lapas di mana aku ditahan. Tetapi mengapa mereka mengirim aku ke tempat ini? Keanehan yang tidak bisa aku protes. Memangnya kepada siapa aku bisa melaporkan keanehan ini? Aku sudah jelas tidak bersalah dan bukti yang memberatkan tidak ada, ajaibnya, aku dijebloskan ke penjara.

Tidak ada yang bisa menolong aku selain diriku sendiri. Talia dan Bian tidak ingin aku libatkan dalam usaha pembersihan nama baikku. Tetapi mereka sendiri yang mengajukan diri sehingga aku tidak kuasa menolak. Apalagi mereka terbukti setia kepadaku.

Aku menunjukkan surat yang aku bawa kepada petugas yang berjaga di dekat pintu masuk. Mereka menunjuk ke arah koridor yang perlu aku lewati lalu pintu di mana petugas yang mengurus aku sudah menunggu. Sebelum memasuki ruangan, aku mengonfirmasi kembali kepada petugas yang lewat. Dia mengangguk dan mempersilakan aku masuk.

Langkahku terhenti di ambang pintu ketika melihat siapa yang berada di balik meja. Seumur hidup, aku tidak pernah merasakan begitu takut sekaligus benci kepada seseorang. Mengapa dia ada di sini? Apakah dia ditempatkan di kantor ini sekarang? Kebetulan sekali dia yang menjadi petugas yang mengurus wajib laporku. Tidak. Ini pasti disengaja.

“Hai, Jenar. Jangan berdiri saja di situ. Duduklah.” Dia tersenyum sambil menunjuk kursi kosong di depannya. Syukurlah, bukan hanya dia yang ada di dalam ruangan ini.

Aku duduk di kursi tersebut, lalu menjawab semua interogasinya dengan singkat. Dia tidak berhenti tersenyum saat mengetik semua jawabanku. Aku menggenggam erat kedua tanganku. Tidak ada yang perlu aku takutkan. Aku sudah bukan Jenar yang lemah lagi. Jika ada yang mencoba menyakiti aku, maka aku sudah bisa melindungi diriku sendiri.

“Baik. Ini bukti kehadiranmu pada hari ini. Aku tunggu kamu dua minggu lagi,” katanya dengan santai.

Tanganku berhenti di udara ketika menerima surat darinya. “Dua minggu lagi?” tanyaku heran. “Aku baca surat itu dengan jelas. Aku hanya perlu melapor sebulan sekali untuk enam bulan ke depan.”

“Kamu akan melapor ke sini setiap dua minggu sekali selama satu tahun.” Dia menatap aku dengan tajam, menantang aku untuk melawannya. “Sepertinya penjara sudah membuat kamu buta huruf.”

Aku tidak bicara lagi agar dia tidak menambah masa wajib laporku. Setelah sampai di luar gedung itu, aku menarik napas panjang. Dadaku bergemuruh karena detakan cepat jantungku. Berengsek! Aku sudah mendekam di penjara selama lima tahun dan harus melapor lagi selama satu tahun?? Sial! Apa dosaku sampai hal ini terjadi kepadaku?

Kalau aku mendapatkan pembebasan bersyarat, aku mengerti mengapa aku harus wajib lapor. Tetapi aku menjalani masa hukumanku secara penuh di penjara. Lalu mengapa mereka melakukan ini kepadaku? Apa belum cukup mereka merenggut lima tahun hidupku secara paksa?

“Jenar.” Aku merasakan seseorang meletakkan tangannya di pundakku.

Aku segera maju, menjauh darinya. Suara itu tidak akan pernah aku lupakan. Aku membalikkan badan dan melihat petugas tadi berdiri di dekatku. Dia tidak lagi memasang wajah garang, tetapi tersenyum ramah kepadaku. Hal yang tidak akan bisa menipu aku lagi.

“Kita sudah lama tidak bertemu. Aku permisi untuk minum kopi. Ayo, kita mengobrol sebentar.” Dia mengulurkan tangannya.

“Maaf, aku tidak bisa.” Aku menggelengkan kepalaku. Melihat angkutan umum yang aku tunggu sudah tiba, aku segera melambaikan tanganku, menghentikan mobil itu.

“Aah, aku tahu. Kamu marah karena aku menambah masa wajib lapormu,” katanya sambil tertawa kecil. “Aku bisa mengubahnya lagi kalau kamu mau bicara denganku sebentar. Apa kamu tidak mau berbagi cerita denganku seperti dahulu?”

“Tidak. Terima kasih.” Mobil itu berhenti di depanku. Tanpa membuang waktu lagi, aku segera masuk. Aku tidak peduli dia masih berdiri di tempatnya atau kembali ke kantornya. Pandanganku terarah ke jendela depan mobil.

Jantungku mulai berdetak dengan normal dan getaran tanganku berkurang. Aku bisa menjalani ini. Satu tahun ini akan aku lewati dengan baik, sama seperti masa hukumanku. Semuanya akan berjalan dengan cepat dan tanpa aku sadari, aku menjadi wanita bebas. Tetapi sebelum itu, aku secepatnya harus membersihkan namaku.

Sampai di depan sebuah halte, aku melihat keadaan di sekelilingku. Bian benar-benar tahu memilih lokasi yang bagus. Ada sebuah sekolah dan beberapa gedung perkantoran di dekat ruko yang dia sewa. Aku masih percaya tidak percaya dia bisa membuat kue yang sangat enak.

Nama tokonya mudah diingat karena dia menggunakan namanya sendiri. Ada beberapa orang yang duduk di dalam sambil menikmati sepiring kue dan minuman dingin. Tetapi toko itu hanya punya beberapa meja saja. Jumlah pengunjung yang mampir untuk membeli kue lebih banyak daripada yang berniat untuk duduk dan mengobrol santai.

Melihat dia sedang kerepotan, maka aku masuk melewati konter yang bisa diangkat. Lalu memakai salah satu celemek yang tersedia dan mulai melayani pengunjung. Hingga jam makan siang tiba, orang-orang yang datang bukannya berkurang malah semakin membeludak.

Bian meletakkan sepiring kue di depanku. Seorang karyawannya menaruh secangkir teh di depanku dan kopi di depan sahabatku. Baru menjelang sore kami bisa menarik napas sejenak. Karyawannya bisa melayani pelanggan tanpa bantuan kami lagi.

“Kamu benar-benar sukses membuka toko kue impianmu,” godaku sambil menggigit lemper yang segera membuat aku menggumam pelan. “Mm …. Ini lezat sekali!”

Bian tertawa kecil. “Makanlah sebanyak yang kamu mau. Masih ada satu kotak lagi yang sudah aku siapkan untukmu.” Dia mengedipkan sebelah matanya.

Aku bersorak senang mendengarnya. “Kamu memang sahabat terbaikku!” Aku segera menerima sekotak kue yang dibawa karyawannya ke meja kami. “Ceritakan kepadaku. Kamu tinggal di mana? Bagaimana kabar keluargamu?”

Wajahnya berubah sedih. “Aku tidak seberuntung kamu, Jenar. Aku menyewa sebuah kamar di luar kota. Aku dan suamiku sudah bercerai dan anak-anak ikut dengannya. Jadi, aku sendirian.” Dia menundukkan kepalanya.

Aku menyentuh tangannya. “Maafkan aku, Bian. Aku tidak tahu—” kataku ikut sedih. Aku berpisah dengan anak-anak selama bertahun-tahun, jadi aku bisa membayangkan rasanya. Tetapi terpisah dari mereka selamanya adalah hal yang berat.

Dia menggelengkan kepalanya. “Mengapa kamu meminta maaf? Ini bukan salahmu. Aku sadar aku sudah melakukan kesalahan besar. Seharusnya aku tidak membunuh bosku.”

“Tidak, Bian.” Aku segera memotong ucapannya. “Kamu membela diri. Pilihannya hanya kamu atau dia yang mati. Bukan salahmu kalau pengacara keluarganya berhasil membuat kamu dijerat pasal pembunuhan. Kita akan mencari cara untuk membersihkan namamu. Oke? Suami dan anak-anakmu akan menyesal sudah menilai kamu dengan buruk.”

“Tidak perlu repot-repot. Prioritas kita saat ini adalah kamu. Nasibmu lebih sial dariku. Kamu tidak bersalah, tetapi dihukum penjara. Aku memang sudah menghilangkan nyawa orang.” Dia menepuk pelan tanganku yang memegang tangannya. “Jadi, kamu menerima tawaranku untuk bekerja di sini?”

Aku tersenyum. “Anak-anak tidak tinggal bersamaku. Entah sampai kapan mereka akan tinggal di rumah mertuaku. Apa kamu tidak keberatan seandainya aku mengubah-ubah jadwal kerjaku?”

“Tentu saja tidak. Kamu sudah sangat menolong aku tadi. Mengenai gaji, aku akan memberi upah yang layak. Kamu jangan khawatir.” Dia mengedipkan sebelah matanya.

Setelah berbincang mengenai tugas dan tanggung jawabku di tokonya nanti, aku pulang agar bisa menyiapkan makan malam untuk keluargaku. Aku fokus memikirkan Jeff dan anak-anak supaya tetap bahagia mengerjakan segalanya untuk mereka. Aku menganggap Dina sebagai tamu tidak tahu diri yang tidur dan makan gratis di rumah kami.

Walaupun Jeff tidak menyentuh tabungan yang ada di rekeningku, aku berhemat dengan bepergian menggunakan angkutan umum. Aku tidak mau membuang uang dengan menggunakan taksi. Halte terdekat dari perumahan berada tidak jauh dari pos satpam. Jadi, aku bisa berjalan kaki ke rumah.

Baru berjalan beberapa langkah, aku merasa ada yang memerhatikan. Aku sengaja tidak mencari tahu dengan melihat ke kanan dan kiriku. Siapa pun yang sedang mengikuti aku tidak boleh tahu bahwa aku menyadari kehadirannya. Aku perlu melihat siapa dia.

Ketika aku memasuki perumahan dan melewati pos keamanan, aku segera bersembunyi di balik tembok. Sebuah mobil ikut masuk, dan aku bergerak ke balik dinding pos agar tidak bisa dilihat dari sisi jalan di mana mobil itu melintas. Dari kaca jendela depannya, aku bisa melihat siapa yang mengendarai mobil tersebut.

Aku mengerutkan kening. “Mengapa dia ada di sini? Apa yang dia lakukan dengan mengikuti aku?” batinku merasa tidak enak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status