Share

8|Salah Paham

Aku tidak mendengar dia membuka pagar, pintu depan, bahkan saat menaiki tangga. Aku baru tahu dia sudah sampai di rumah ketika dia membuka pintu. Itukah sebabnya aku tidak mendengar saat dia pergi tadi? Iya, aku tertidur. Tetapi aku pasti akan mendengar bunyi langkahnya menuruni tangga.

Lampu kamar menyala. Dia menarik napas terkejut melihat aku duduk di tepi tempat tidurnya. Dia melihat ke luar kamar, lalu menutup pintunya dengan cepat dan sesenyap mungkin. Dia memakai baju hitam berlengan panjang dan celana panjang berwarna sama.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya dengan suara berbisik. “Kalau Dina sampai tahu—”

“Mengapa kamu tidak menjawab panggilanku? Kamu dari mana?” tanyaku tidak peduli dengan kekhawatirannya itu. Dia hanya diam. “Apa kamu menemui seorang laki-laki di luar sana untuk memenuhi kebutuhanmu?” Dia masih diam. Aku berdiri dan mendekat, tetapi dia mundur menjauh. Aku baru berhenti setelah dia tersudut di dinding.

“Selama aku di dalam penjara, kamu tidak peduli denganku dan apa yang aku lakukan. Mengapa kamu peduli dengan itu sekarang?” tanyanya menantang.

Aroma mulutnya segar, tidak ada tanda-tanda bau yang lain. Tubuhnya juga hanya mengeluarkan wangi sabunnya yang samar. Tidak ada bau laki-laki. Selama dia tidak tidur dengan pria lain, aku tidak mau tahu apa yang dia lakukan di luar sana.

“Kamu tinggal di rumahku dan masih menjadi istriku.” Aku membelai pipinya. Dia memejamkan matanya. “Aku berhak tahu kamu pergi ke mana dan bertemu dengan siapa.” Aku mendekat, tetapi tangannya di dadaku mencegah aku berdiri lebih rapat dengannya.

“Cara ini tidak akan berhasil untuk menggoda aku ke tempat tidur, Jeff.” Dia membuka matanya, lalu melirik bibirku. “Apa kamu pikir aku masih wanita muda yang sama yang kamu nikahi dahulu? Aku bukan lagi Jenar yang lugu dan lemah. Aku sudah berubah.”

“Aku suamimu, bukan lawanmu.” Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya dan menariknya mendekat. Detik itu juga aku sadar bahwa aku melakukan kesalahan besar. Melihat ekspresinya, aku tahu dia tidak akan menjawab iya. Tetapi tubuhku telanjur menginginkannya.

“Aku sudah memberi tahu syaratnya. Usir wanita itu dari rumahku.” Dia memalingkan wajahnya dariku. “Keluar dari kamarku sekarang juga.”

Aku mundur dan menjaga jarak darinya. Dia masih tidak mau menoleh ke arahku. “Anak-anak akan pulang hari ini. Mulai hari Senin, anak-anak akan aku antar ke rumah sepulang dari sekolah. Lalu mulai minggu berikutnya, kamu yang menjemput mereka.”

Wajahnya segera berubah ceria. “Sungguh? Mereka tidak akan dititip di rumah Ibu lagi??” tanyanya penuh harap. Aku mengangguk pelan. Dia melakukan hal yang tidak kuduga dengan memeluk aku begitu erat. “Terima kasih banyak, Jeff.”

Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dengan membalas pelukannya. Lama sekali aku tidak berada sedekat ini dengannya. Aku menghirup aroma samponya dalam-dalam. Mengikuti instingku, aku mencium rambutnya, lalu turun ke pundaknya. Dia sama sekali tidak keberatan. Aku sekarang tahu bagaimana membuat dia mau menjawab iya untuk tidur denganku.

Jenar memasak sarapan yang aku nikmati bersamanya. Dina masih tidur, jadi dia tidak akan tantrum melihat aku duduk di sini bersama istriku. Sampai di kantor, aku segera mengerjakan setiap tugasku supaya sisa waktuku bisa aku gunakan untuk menyelesaikan presentasiku pada konferensi yang akan aku ikuti nanti.

“Papa datang! Papa datang!” Anak-anak bersorak senang di teras melihat kedatanganku.

Bagus. Ibu tidak menggunakan cara yang sama untuk menahan mereka. Ibu berdiri dan menunggu sampai aku mendekat. Aku meminta anak-anak mengambil tas mereka agar aku bisa bicara dengan Ibu berdua saja. Dia terlihat tidak senang, bahkan tidak tersenyum saat aku mencium pipinya.

“Jax dan Remy akan menderita tinggal di rumahmu bersama pembunuh itu,” kata Ibu mengumpat. “Saat kamu sadar bahwa yang aku katakan ini benar, semuanya sudah terlambat.”

“Jenar adalah ibu mereka,” ucapku, mengingatkannya.

“Wanita itu akan menyakiti kedua cucuku. Mengapa kamu tidak mengerti juga, Nak? Dia membunuh rekan kerjanya dengan sadis. Lihat saja bagaimana dia sekarang. Tidak ada rasa penyesalan sama sekali.” Ibu melihat ke arah bagian dalam rumah. “Kalau kamu tidak melakukan sesuatu, maka Jax dan Remy akan tinggal di sini sampai kamu menceraikan perempuan itu.”

“Ibu tidak punya hak atas mereka,” kataku yang tidak gentar sama sekali dengan ancamannya.

“Aku adalah nenek mereka. Tentu saja aku punya hak atas mereka,” serunya bersikeras. “Kalau perlu aku akan memanggil Lauren dan suaminya supaya kamu tidak merebut mereka dariku.”

Ini bukan cara berpikir ibuku. Jelas sekali dia terpengaruh oleh orang lain. “Jangan terpengaruh ucapan Dina. Aku adalah anak Ibu. Seharusnya Ibu lebih percaya kepadaku.”

“Dina tidak ada hubungannya dengan semua ini,” bantahnya sengit. “Aku tahu bahwa perempuan itu sangat jahat. Aku percaya kepadamu, tetapi tidak dengan perempuan itu.”

“Ibu lebih percaya kepada Dina,” kataku dengan tajam. Dia terdiam mendengar kalimatku itu. “Ibu tidak perlu menjaga anak-anak lagi. Jenar sudah pulang, dia bisa menjaga mereka di rumah.”

“Apa katamu?” protes Ibu dengan keras. “Kamu tidak bisa melakukan itu, Jeff!”

Aku segera menggandeng tangan Jax dan Remy ketika mereka datang dengan tas dan kantong plastik di tangan mereka. Ayah berjalan di belakang mereka, mungkin dia memberi mereka kudapan untuk mereka nikmati di perjalanan. Ibu masih protes, tetapi aku tidak mendengarnya lagi.

“Papa bertengkar dengan Nenek?” tanya Jax saat kami sudah jauh dari rumah Ibu. Aku menggumam pelan, sengaja tidak menjawab dengan jelas. “Aku juga pernah bertengkar dengan Mama. Tetapi kami sudah berbaikan lagi. Jadi, Papa pasti akan berbaikan dengan Nenek.”

“Papa, aku tidak mau tinggal di rumah Nenek lagi. Aku mau tinggal sama Papa. Apa Papa tidak sayang aku dan Kak Jax lagi?” ucap Remy yang tiba-tiba saja menangis dengan keras. “Mengapa Papa tidak mau kami tinggal sama Papa?”

Aku menepikan mobil, lalu menarik napas panjang merasakan emosiku naik ke ubun-ubun. Inilah alasan aku tidak mau mereka bermalam di rumah Ibu. Dina tidak boleh ikut campur dalam urusan mendidik anak-anak lagi. Aku tidak suka mereka salah paham kepadaku.

Setelah merasa sedikit tenang, aku keluar dari mobil, lalu masuk ke jok belakang. Aku melepas sabuk pengaman Remy dan memangku anak kecil yang sedang menangis itu. Aku juga melakukan hal yang sama pada sabuk Jax, lalu memangkunya di pahaku yang lain.

“Aku sangat sayang kalian berdua. Mulai hari ini, kalian akan selalu pulang ke rumah. Oke?” ucapku menghibur mereka. Keduanya mengangguk pelan.

Dina ada acara makan dengan teman-temannya, jadi aku tidak perlu menjemputnya ke tempat kerja. Ini adalah waktu yang tepat untuk memperkenalkan anak-anak kepada ibu kandung mereka. Aku tidak boleh memisahkan mereka terlalu lama. Kalau bukan karena ulah ibuku, mereka sudah saling mengenal sejak sehari yang lalu.

“Papa, apa perempuan jahat itu masih ada di rumah kita?” tanya Jax, ketika aku mematikan mesin mobil di garasi luar rumah.

Cerita buruk apa lagi yang Ibu katakan kepada anak-anakku? “Aku lelah. Pasti kalian juga begitu. Kita mandi, lalu aku akan ceritakan segalanya. Oke?” tanyaku dengan lembut. Mereka mengangguk cepat.

Aroma yang sedap memasuki penciumanku saat aku membuka pintu depan. Jax dan Remy juga melakukan hal yang sama. Wanita ini benar-benar tidak mudah menyerah. Dia tidak tahu anak-anak kami akan pulang atau tidak sore ini, tetapi dia tetap memasak kue untuk mereka.

“Tante masak kue?” tanya Remy ingin tahu. Tubuhnya tidak cukup tinggi untuk bisa melihat apa yang ada di atas meja.

Jenar tersenyum bahagia. “Iya. Apa kamu suka kukis dengan butiran cokelat?” Dia menyodorkan sepiring penuh kue tersebut.

Mata Remy juga Jax membulat senang. Tetapi sebelum mereka berhasil mengambil kue itu, aku memegang tangan mereka. “Kalian mandi dan ganti baju, baru boleh makan kue.”

“Nanti kuenya habis, Pa,” protes Remy.

“Aku akan simpan kue bagian kalian,” kata Jenar, menenangkan mereka.

Anak-anak bersorak senang, lalu meletakkan tas mereka begitu saja di lantai. Aku membantu mereka membersihkan diri dengan benar, lalu membawa mereka yang mengenakan mantel handuk ke kamar. Kedua tas mereka sudah terletak di atas meja di kamar tersebut.

Aku memutuskan untuk mengatakan yang sejujurnya kepada mereka. Dina sedang tidak ada di rumah, maka ini adalah waktu yang tepat. Siapa pun yang melihat Jax dan Remy pasti tahu bahwa mereka berdua adalah anakku dengan Jenar. Remy bahkan sangat mirip dengan mamanya.

“Orang itu adalah mama kami?” tanya Jax tidak percaya.

Dia masih berusia tiga tahun saat dipisah dari ibunya. Wajar saja dia tidak mengingat wajahnya. Apalagi Dina langsung memasuki kehidupan kami dan entah bagaimana malah mengajari dia memanggilnya mama. Ibu dan Lauren mendukung perbuatannya sehingga aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Semua foto kami bersama Jenar telah disimpan entah di mana. Foto pernikahan kami, foto keluarga kami saat Jax berusia satu tahun, foto keluarga kami saat Jenar sedang hamil muda, bahkan fotoku berdua dengannya tidak tersisa satu pun di rumahku. Rumahku. Dina tidak akan berani melakukan hal itu tanpa dukungan Ibu dan Lauren.

“Mama bukan mama kami?” tanya Remy dengan wajah polosnya. Aku membelai rambutnya.

“Dina adalah mama apa?” tanyaku pelan. Aku tidak membiarkan keluargaku merusak kenangan mereka mengenai ibu kandung mereka. Jadi, kami punya rahasia yang aku yakin sudah Ayah ketahui. Karena itu, dia menjadi sekutuku yang menjaga agar Jax dan Remy tidak keceplosan.

“Mama Kedua,” jawab Jax dengan cepat.

“Mama apa sebelum kedua?” tanyaku lagi. Dia sudah kelas dua SD, jadi dia sudah mengenal angka.

“Mama Pertama?” jawab Jax setengah bertanya. Aku tersenyum. “Jadi, dia adalah Mama Pertama? Aku dan Remy punya dua mama?”

Aku mengangguk pelan. “Dina adalah mama yang membesarkan kalian saat Mama melakukan tugas berat di luar kota.” Aku bicara sepelan mungkin. Mereka pasti mengerti jika aku menggunakan analogi ini, karena aku sering dinas keluar kota.

“Dia sudah kembali, jadi kalian perlu belajar memanggilnya mama. Dia akan bersikap sangat baik kepada kalian, karena dia sangat menyayangi kalian berdua.” Aku membelai kepala mereka yang mendengarkan aku dengan saksama. “Jangan sakiti dia. Apa kalian mengerti?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status