Share

9|Kedua Putraku

Author: Meina H.
last update Last Updated: 2022-11-19 12:31:11

~Jenar~

Aku menunggu dengan gugup melihat mereka lama sekali keluar dari kamar. Seharian ini aku hanya membantu Bian di tokonya, lalu pulang setelah makan siang bersamanya. Aku tidak tahu apa anak-anak akan pulang pada hari ini. Tetapi aku memasak kue andai hari ini keajaiban terjadi.

Syukurlah, mereka tidak bersikap segan kepadaku. Dugaanku benar. Mereka mirip seperti papa mereka. Cara untuk memenangkan hati mereka adalah lewat perutnya. Semoga saja mereka juga menyukai semua makanan yang diberi cokelat, seperti Jeff.

Pintu kamar terbuka, Jax dan Remy segera berebutan berlari mendekati aku. “Mama!” seru mereka sambil memeluk pahaku. Aku tertegun sejenak. Jeff keluar dari kamar dan berdiri di dekat pintu itu. Tidak ada emosi apa pun pada wajahnya.

Aku melihat ke arah dua anak yang masih memeluk aku. Air mata jatuh saat aku akhirnya bisa membelai rambut halus dan lebat mereka. Aku memegang tangan mereka, lalu berlutut. “Kalian tadi memanggil aku apa?” tanyaku tidak percaya.

“Mama!” jawab mereka serentak.

Mataku memanas. Aku segera memeluk mereka agar tidak melihat air mataku. Ya, Tuhan. Bertahun-tahun tidur di kamar dingin itu dan jauh dari mereka, aku akhirnya bisa merasakan mereka lagi di pelukanku. Anakku. Darah dagingku. Alasan aku masih bertahan hidup.

Aku menghujani mereka dengan ciuman, lalu menatap mereka satu per satu. “Iya. Aku adalah mama kalian. Aku sayang dan sangat merindukan kalian. Jax masih kecil saat aku pergi dan Remy, kamu masih bayi, sayang. Lihatlah, kalian sekarang sudah besar!”

“Mengapa Remy dipanggil sayang dan aku tidak?” protes Jax, tidak suka.

Aku tertawa terharu mendengarnya. “Ayo, kalian pasti sudah lapar.” Aku membantu Remy duduk di salah satu kursi yang melingkari meja makan, sedangkan Jeff menolong Jax. “Aku memasak banyak kue, jadi kalian boleh makan sepuasnya. Tetapi jangan sampai kenyang. Aku memasak makanan yang enak untuk makan malam.”

“Piza?” tanya Remy penuh harap saat aku meletakkan satu kue di atas piringnya.

“Kamu suka piza?” tanyaku ingin tahu. Dia menganggukkan kepalanya.

Mereka berdua bergantian memberi tahu aku makanan kesukaan mereka. Sebagian besar adalah makanan favorit papa mereka. Jadi, aku tidak terkejut mendengarnya. Aku menoleh ke arah Jeff yang hanya diam, menikmati kue bagiannya. Ini kejutan yang sangat menyenangkan. Mendengar anak-anakku memanggil mama, jauh lebih indah dari buket bunga mahal mana pun.

Menu pilihan untuk makan malam membuat Jax dan Remy bersorak senang. Aku tidak memasak piza, tetapi spageti dengan bola daging. Aku bisa merasakan Jeff mengarahkan pandangannya kepadaku. Ini adalah makanan kesukaannya. Aku sengaja memilih menu ini agar tidak memakan banyak waktu saat memasaknya.

“Kamu bersama anak-anak saja. Biar aku yang membereskan meja dan mencuci piring,” kata Jeff, menghalangi aku mengangkat piring kosong di atas meja.

Aku melihat ke arah Jax dan Remy yang sedang santai menonton televisi. “Tidak. Kamu saja yang menemani mereka. Semua ini akan lebih cepat selesai bila aku yang kerjakan.”

Jeff tidak melakukan apa yang aku minta. Dia malah mengambil alih menyabuni peralatan makan yang kotor, lalu mengopernya kepadaku untuk aku bilas. Aku tidak protes, dan mengerjakan semua itu dalam diam. Dia beberapa kali sengaja menyentuh lenganku dengan lengannya. Tetapi aku tidak memberi komentar. Aku juga mengabaikan getaran yang dikirim sentuhannya itu ke tubuhku.

“Papa, besok hari Sabtu. Kita jadi pergi ke kebun binatang?” tanya Jax penuh harap.

“Bukan besok. Hari Minggu,” kata Jeff meralat. Jax mengangguk mengerti, walaupun keningnya masih berkerut, sibuk berpikir sendiri.

“Besok kita ke mana, Pa?” tanya Remy, ingin tahu. “Kita berenang, ya, Pa!?”

“Boleh,” jawab Jeff singkat. Anak-anak bersorak senang mendengarnya. “Tetapi minggu depan kita tidak pergi ke mana pun. Siapa yang ingat hari Sabtu hari ulang tahun siapa?”

Jax dan Remy terlihat berpikir dengan serius. Aku menoleh ke arah Jeff. Dia tidak memberi petunjuk kepadaku siapa yang berulang tahun Sabtu depan. Apa itu artinya dia akan pergi bersama Dina dan anak-anak, sedangkan aku tinggal di rumah?

Jeff menjawab pertanyaannya sendiri dengan menyebut nama anak Lauren. Aku menelan ludah dengan berat. Aku positif tidak akan bisa ikut. Lauren tidak akan mau menerima aku di rumahnya. Bisa-bisa dia histeris dan menyebut aku sebagai pembunuh di depan semua tamu.

“Sudah waktunya tidur,” kata Jeff saat kedua anak itu terkantuk-kantuk.

“Gendong, Pa,” kata Jax dengan manja.

Jeff tidak mengatakan apa pun. Dengan mudahnya, dia menggendong kedua anaknya ke kamar mandi. Aku mematikan televisi, lalu berjalan ke kamarku di lantai atas. Untuk pertama kalinya sejak pulang ke rumah, aku bisa tidur sampai pagi. Aku dan Bian sepakat untuk tidak menggunakan akhir pekan dalam melakukan aksi kami. Talia perlu hadir untuk keluarganya di rumahnya.

Teringat dengan ucapan Bian, aku harus memikirkan cara untuk membantu dia lepas dari masalah. Apa yang terjadi terhadapnya adalah sebuah ketidakadilan. Negeri ini memiliki hukum yang melindungi orang yang membunuh demi membela diri. Kasusnya denganku hampir mirip. CCTV yang seharusnya merekam kejadian itu mendadak hilang entah ke mana.

“Selamat pagi, Mama!” seru Jax dan Remy yang berlari keluar dari kamar mereka.

Jax bisa duduk dengan mudah, sedangkan Remy kesulitan untuk menaiki kursi. Aku tertawa saat menolongnya untuk duduk. “Selamat pagi, para pangeran tampan. Aku harap kalian suka dengan nasi goreng.” Aku menyendokkan nasi yang masih mengepulkan asap itu ke atas piring.

“Suka, Ma!” jawab mereka serentak.

Mereka membuktikannya dengan makan begitu lahap. Jax bahkan minta tambah dan adiknya tidak mau kalah. Aku menuruti permintaan mereka. Jeff akan membawa mereka berenang, jadi mereka membutuhkan energi untuk bisa bersenang-senang di air.

Dina pasti masih tidur, jadi aku tidak perlu menunggu. Aku makan bersama anak-anakku. Jeff datang beberapa saat kemudian, tetapi kami serentak menolak dia duduk sebelum membersihkan tubuhnya yang berkeringat. Ketika dia bergabung bersama kami, aku merasakan hidupku lengkap.

Mereka pergi berenang berempat, aku memutuskan untuk tidak ikut. Dina menatap aku dengan tajam bukanlah pertanda baik. Aku tidak mau suasana yang menyenangkan itu rusak seandainya saja dia sengaja membuat drama. Anak-anak berhak untuk menikmati akhir pekan mereka tanpa gangguan.

“Orang lain menghabiskan waktu bersama keluarga, kamu malah ada di sini bersamaku,” kata Bian sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku memilih untuk datang membantu di tokonya.

“Apa boleh buat. Aku tidak mau wanita pengganggu itu merusak suasana.” Aku memberikan sekotak kue kepada seorang wanita yang sudah menunggu. “Selamat menikmati.”

Aku menarik napas panjang, lega akhirnya semua orang sudah mendapatkan pesanan mereka. Hanya ada dua tamu, sepasang kekasih, yang sedang asyik duduk menikmati kue mereka. Tidak ada banyak pelanggan menjelang makan siang, berbeda sekali dengan hari kerja.

“Apa kamu yakin keluargamu tidak akan mencari kamu untuk makan siang?” tanya Bian sambil meletakkan secangkir kopi untuknya di atas meja.

“Jeff akan membawa mereka makan siang di restoran kesukaan anak-anak,” jawabku singkat. Aku menggigit lemper daging ayam buatannya dan menggumam pelan. “Aku belum mencoba resep yang kamu berikan. Entah mengapa setiap kali aku berniat untuk membuatnya, aku merasa minder.”

“Jangan merendah. Kamu juga bisa memasak.” Dia mencibir. Aku tertawa melihatnya. “Nasi goreng buatanmu tadi bisa kamu titipkan di sini. Aku tidak sempat memasak berbagai jenis makanan, tetapi ada saja pelanggan yang mencari nasi goreng, nasi campur, atau bubur ayam untuk sarapan mereka.”

“Serius??” tanyaku tertarik. “Aku bisa saja memasak beberapa menu sarapan sebagai uji coba. Mana yang mereka minati akan aku masak lebih banyak.”

“Tentu saja aku serius,” katanya senang.

Ini adalah kabar baik. Aku bisa mendapatkan uang tambahan dari membantu Bian di toko juga dari menjual makanan. Walaupun Jeff yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami pada saat ini, aku juga mau membantu seperti yang dahulu aku lakukan. Anak-anak membutuhkan banyak biaya untuk pendidikan mereka sampai kuliah nanti. Kami harus mulai menabung.

“Sampai jumpa besok.” ucapku sebelum pulang. Bian mengangguk. Aku mencium kedua pipinya, lalu melenggang santai menuju halte dengan sekotak makanan di tanganku.

Belum ada mobil di garasi luar pertanda mereka masih jalan-jalan. Anak-anak pasti senang ketika mereka mencicipi kue pemberian Bian. Langkahku terhenti saat melihat ada yang berubah dengan meja makan. Aku ingat ada sepiring penuh nasi goreng dan sepiring lauk-pauk untuk sarapan di atas meja. Tetapi tidak ada tudung saji di sana.

Aku memeriksa wastafel dan tidak ada piring kotor di dalamnya. Aku mengikuti aroma nasi goreng itu sampai menemukannya. Darahku mendidih melihat di mana nasi goreng beserta lauknya itu berada. Perempuan tidak tahu diri itu benar-benar menguji kesabaranku.

Makanan yang aku siapkan dengan bangun subuh dibuangnya begitu saja ke tempat sampah. Mereka belum kembali, pintu depan juga tadi dalam keadaan terkunci. Lalu kapan dia datang dan melakukan ini?

“Sabar, Jenar. Akan ada waktunya untuk bermain-main dengan wanita itu,” batinku menghibur diri.

Aku memasak makanan kesukaan anak-anak untuk makan malam. Tetapi mereka tidak pulang juga. Ketika aku mendengar bunyi pagar dibuka, jam menunjukkan pukul sembilan malam. Mereka keluar rumah seharian. Apakah anak-anak tidak lelah setelah berenang?

Dina masuk sambil membopong Remy, sedangkan Jeff membawa Jax. Aku mendahului mereka dari pintu depan untuk membuka pintu kamar. Melihat mereka tidak akan membutuhkan aku lagi, maka aku pergi ke kamarku.

“Ya?” Aku baru saja berganti pakaian, pintu kamarku tiba-tiba dibuka dari luar. Aku menoleh dan sesuatu dilemparkan tepat ke arah wajahku. Kedua tanganku refleks melindungi kepalaku dari benturan benda tersebut.

Bunyi benda jatuh ke lantai memecahkan keheningan di kamar tidurku. Aku menjauhkan tanganku dari wajahku dan melihat apa yang dia lemparkan ke arahku. Aku menghitung sampai sepuluh di kepalaku untuk meredakan amarah yang mendadak muncul.

“Mengapa kau melihat aku seperti itu? Kau mau membunuh aku?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Harapan Sijabat
kenapa harus buka kunci terus?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Perjuangan Sang Mantan Napi   76|Keadilan Ditegakkan

    ~Jeffrey~ Istriku bersaksi dengan berani dan menjawab setiap pertanyaan dengan gamblang. Apa pun kata yang digunakan kuasa hukum para terdakwa atau hakim saat bertanya, jawaban Jenar tidak berubah. Itu adalah bukti bahwa dia tidak berbohong atau mengarang jawabannya. Dia kembali duduk di sisiku setelah kesaksiannya dianggap selesai. Aku memegang tangannya dan meletakkan di atas pangkuanku. Aku bisa merasakan Dina tidak mengalihkan pandangannya dariku, tetapi aku mengabaikannya. Perbuatannya atas istriku tidak termaafkan. “Sayang sekali, sidangnya tertutup, jadi kami tidak bisa ikut menyaksikan yang terjadi selama sidang,” keluh Ibu. Ayah yang memanggil anak-anak, maka Ibu yang membukakan pintu rumah. “Pihak tergugat yang keberatan sidang itu dilaksanakan secara terbuka. Tidak apa-apa, Bu. Sidang masih berjalan dengan baik,” kataku, menjelaskan. “Papa! Mama!” seru anak-anak yang berlari mendekati kami. Aku meminta mereka untuk pamit kepada kakek dan nenek mereka, lalu kami keluar m

  • Perjuangan Sang Mantan Napi   75|Sepuluh Tahun

    Jax dan Remy setengah menarik tanganku saat keluar dari taksi. Aku membawa banyak kantong plastik berisi keperluan sekolah mereka, jadi tidak bisa berjalan dengan cepat. Di mana Jeff? Apa dia tidak mendengar bunyi mesin mobil atau seruan anak-anak? Aku butuh bantuan dengan bawaanku. Lalu mengapa semua orang ini datang bersamaan ke rumah kami? Tidak ada acara khusus pada hari ini, juga tidak ada rencana akan membuat acara. Hanya ada suamiku di rumah, Lalu apa yang mereka lakukan di sini? Oh, tidak. Jangan-jangan terjadi sesuatu terhadap Jeff. “Cepat buka pintunya, Ma!” desak Jax. Tanganku gemetar saat mencari kunci di dalam tas, karena rasa khawatir. Putraku itu bergerak lebih cepat dengan menekan kenop pintu. Ternyata tidak dikunci. “Papa!” panggilnya serentak dengan adiknya. Aneh. Mengapa tirai jendela ditutup semua? Lampu juga tidak dinyalakan. Ke mana perginya mereka yang memarkirkan mobilnya di depan rumah? Anak-anak malah tertawa cekikikan di ruang depan sambil berjalan ke arah

  • Perjuangan Sang Mantan Napi   74|Sampai Kapan

    Walaupun aku sudah bisa menebak siapa dan apa alasannya, aku mau mendengarnya langsung dari mulut kuasa hukumku. Polisi tadi sudah memberi petunjuk yang cukup jelas. Karena tidak mungkin hanya Wahyo yang melaporkan aku bila mereka sampai yakin bisa menjebloskan aku ke penjara lagi.Namun sebelum Franky menjawab, pintu ruangan dibuka dan seorang polisi masuk. Dia hanya mengangguk ke arah pengacaraku, lalu menutup pintu kembali. Apa maksud anggukan itu? Aku melihat ke arah Franky yang berdiri dari kursinya.“Kamu bebas. Ayo, kita pergi dan bicara di tempat lain saja.” Dia berjalan mendekati pintu.Sebuah ide bermain di kepalaku mendengar kalimat pertamanya itu. “Apa aku boleh melakukan satu hal sebelum kita pergi?”Entah apa yang Franky katakan, aku mendapat izin dari polisi. Pria itu menunggu di dekat pintu masuk, sedangkan seorang petugas menemani aku. Dia bersikap baik kepadaku dan tidak bersikap kasar seperti rekannya yang pernah membawa aku ke tahanan ini.“Akhirnya! Aku tahu kamu

  • Perjuangan Sang Mantan Napi   73|Tak Diundang

    Kakiku terasa lemas, tetapi aku berusaha untuk tetap berdiri dengan tegak. Kejadian beberapa minggu yang lalu kembali bermain di benakku. Mengapa mereka datang lagi? Anak-anak berada di rumah dan aku tidak mau memberi mereka trauma untuk kesekian kalinya. Aku melihat antara dua pria yang berdiri di depan pagar dan kunci pintu di hadapanku. Aku tahu bahwa aku tidak akan bisa menghalangi mereka melakukan tugas. Namun atas dasar apa mereka kini mendatangi rumah kami? Pasti ada hubungannya denganku. “Ada apa? Mengapa kamu tidak membuka pintu?” tanya Jeff yang ternyata berdiri di belakangku. Dia mengintip dari jendela, lalu mendesah pelan. “Biar aku yang bicara dengan mereka.” Aku mengangguk dan bergeser agar dia bisa membuka pintu dan keluar rumah. Aku mengintip apa yang dia lakukan di luar lewat jendela. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak bisa mendengar. Namun aku bisa menebak bahwa kedua polisi itu membawa kabar buruk, karena suamiku terlihat kesal. Apakah tujuan mereka datang

  • Perjuangan Sang Mantan Napi   72|Akan Kubuktikan

    Kelima pria dan wanita itu mundur selangkah dan memasang wajah kecut melihat ke arah pria yang datang tersebut. Tentu saja mereka mengenalinya. Nyaris tidak ada yang tidak pernah mendengar namanya. Dia sudah banyak sekali memenangkan kasus sulit, tetapi kliennya menang. Mereka kini tahu siapa yang sedang mereka hadapi. Bukti palsu. Polisi mana yang mau menerima laporan didasarkan atas bukti palsu? Aku tidak akan melakukan hal yang sama yang telah mereka perbuat kepadaku. Aku akan membuktikan bahwa dengan prosedur yang benar pun, aku bisa menjebloskan orang jahat ke penjara. “Aku baru tahu di sini adalah kantor polisi,” kata Franky yang berjalan mendekat, lalu berdiri di depanku. “Pulanglah sebelum aku mengajukan laporan baru. Kalian pasti berada di sini untuk mengancam saksi. Apa kalian tidak tahu bahwa mengancam saksi ada hukumannya?” Membuktikan bahwa mereka tidak tahu, mereka terlihat panik. “Ti-tidak. Kami tidak datang untuk mengancam siapa pun,” kata salah satu dari mereka, men

  • Perjuangan Sang Mantan Napi   71|Yang Terakhir

    Berbekal rekaman dari wanita pada malam sebelumnya, aku dan Moira berencana untuk melihat kelanjutan nasib dari polisi jahat tersebut. Aku sudah mengirim kopinya ke surelnya. Dia membalas dan meminta untuk bertemu. Itu yang aku tunggu-tunggu. Tentu saja bukan aku atau Moira yang akan menemuinya, tetapi wanita yang tidur bersamanya. Aku sudah berjanji kepada Jeff dan Franky, maka aku tidak akan mengingkarinya. Aku tidak boleh terlibat dalam urusan yang melanggar hukum lagi. Bila terpaksa, maka aku tidak boleh sampai ketahuan. “Apa kamu akan terus melakukan ini kepada orang yang menyakiti kamu, keluarga, atau sahabatmu?” tanya Moira setengah menggoda. Aku tertawa kecil. “Tidak. Ini yang terakhir. Para polisi itu tidak mengerjakan tugasnya dengan baik, jadi aku harus memberi mereka pelajaran. Bila tidak, mereka akan terus bersikap sewenang-wenang.” “Iya, kamu benar. Tetapi terus terlibat dalam hal yang berbahaya, tidak baik untukmu.” Moira melihat aku dengan serius. “Jax dan Remy memb

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status