Share

Glow up

“Assalamualaikum.” Aku mengucap salam sebelum masuk ke dalam rumah Mila.

“Wa’allaikum salam,” jawab Mila. “ Kamu, enggak mandi dulu?” tanyanya.

“Enggak akh ... aku sudah kangen sama anak-anak,” ucapku menghampiri mereka.

Mana mungkin aku bisa dengan santai saat anak-anak masih ada di rumahnya, dia sudah terlalu banyak membantu, jadi aku tidak mau terlalu merepotkannya.

“Mil, kalau aku bekerja mengenakan jilbab gimana?” tanyaku memandang Mila.

“Enggak apa-apa sih! Itu kan hak kamu,” jawabnya yang sedang duduk di lantai bermain lego bersama kedua putriku.

“Aku takutnya, kalau aku berjilbab akan mempengaruhi pelanggan kafe kamu,” terangku sambil membereskan mainan yang berserakan di lantai.

“Enggaklah ... terserah kamu yang penting kamu nyaman,” ucapnya yang juga membantu membereskan mainan.

“Terima kasih ya, Mil.” Aku memeluk Mila.

Aku ingin menutup aurat, mungkin kejadian di kafe adalah teguran dari Allah, mereka menggodaku karena auratku yang masih terbuka. Kejadian di kafe tidak aku ceritakan pada Mila, karena dia sudah terlalu banyak membantu, aku tidak ingin merepotkannya lagi.

“Mil, aku pulang dulu, terima kasih, ya.” Aku pamit setelah selesai membereskan semua mainan yang berserakan. Aku menggandeng Nela dan Neli, berjalan pulang ke rumah.

“Mas Randi!” ucapku terkejut melihat Mas Randi datang bersama dengan Raya, ketika aku dan kedua putriku akan masuk ke dalam rumah.

“Aku hanya ingin mengambil berkas-berkas yang tertinggal,” ucapnya  masuk ke dalam, melewatiku yang masih berdiri di ambang pintu.

Sebenarnya aku merindukannya, hidup bersama selama   beberapa tahun, tak mungkin dapat begitu saja aku melupakan sosok Mas Randi yang selama ini mengisi hari-hariku. Suka maupun duka kami lalui bersama, hingga kehadiran orang ketiga, menghancurkan segalanya.

“Oh ... jadi, kamu istri Mas Randi, pantas saja dia ninggalin kamu, kusut gitu,” ucap Raya menghinaku.

Dia berjalan mendekati kami, berdiri dengan tangan bersila di depan dada, matanya tajam menelisik setiap inci tubuhku.

“Sayang, kalian masuk dulu, ya!” perintahku pada Nela dan Neli.

“Iya, Unda.” Mereka berlari masuk ke dalam rumah.

“Heh, jaga bicaramu! Kau yang merampas Mas Randi dengan segala daya pikatmu.” Aku menunjuk wajahnya, ingin sekali aku menarik rambutnya yang panjang, tapi enggan aku lakukan, bukan tidak berani, melainkan demi harga diri.

“Aku tidak merampasnya, suamimu saja yang tidak tahan melihat kecantikanku,” ucapnya membela diri.

Aku memang mengakui, kalau dia itu, cantik, menarik, dan kaya, jika dia berdiri bersanding denganku, perbedaan kami memang terlalu jauh, bagaikan langit dan bumi.

“Ayo, Sayang, sudah ketemu,” ucap Mas Randi menunjukkan sebuah map di tangannya.

“Ayah!” teriak kedua putriku berlari keluar mengejar ayah mereka, yang berjalan akan meninggalkan rumah.

“Mas, tak bisakah kau menemui kedua putrimu sebentar,” pintaku menarik tangannya.

“Maaf, aku sibuk,” jawabnya menepis tanganku.

Mereka berjalan bergandengan tangan, masuk ke dalam sebuah mobil berwarna merah milik Raya. Mobil melaju membelah jalanan bersamaan dengan tangis putriku yang pecah karena rasa rindu akan pelukan ayah mereka.

“Cup ... Sayang, ayah ada pekerjaan, Nela dan Neli kan anak pintar jangan menangis, ya,” ucapku menenangkan mereka. Dia memang keterlaluan, mengabaikan anak-anak hanya demi wanita lain.

Hatiku begitu teriris melihat perlakuannya terhadap kami. Luka yang belum sembuh, kini semakin menganga.

***AyraFarzana***

Hari ini, aku berangkat kerja tidak lagi mengenakan  rok di bawah lutut, melainkan rok panjang dan lebar, dengan jilbab berwarna hitam sebatas dada.

“Bunda, kerja dulu ya, Sayang, kalian baik-baik sama tante Mila. Jangan nakal, ya!” pamitku. Sebenarnya aku tidak tega meninggalkan mereka, tapi apa daya aku bekerja juga untuk mereka.

“Ya, Unda, “ jawab mereka kompak, sebelum pergi aku mencium mereka bergantian.

“Mil, titip ya, minimal sampai aku bisa bayar asisten rumah tangga buat mengasuh mereka,” kataku mendekati sahabatku itu.

“Ih ... apaan sih?! Aku ikhlas melakukan semua ini,” ucap Mila.

“Terima kasih, ya Mil.” Aku memeluknya.

“Da ... Sayang.” Aku berjalan meninggalkan mereka menuju tempat kerja.

***

“Ya, ampun Rei, kamu cantik sekali mengenakan hijab,” ucap Nadia memujiku saat kami sedang mencuci gelas dan piring kotor di dapur.

“Apaan sih, Nad?!” ucapku sambil mengelap gelas yang baru di cuci Nadia.

“Iya, kamu terlihat lebih anggun,” pujinya.

“Bukankah, menutup aurat merupakan kewajiban setiap muslim,” terangku.

“Iya, juga ... emang Pak Herman mengizinkanmu memakai jilbab?” tanya Nadia.

“Mila, pemilik kafe ini yang memberi izin.”

Nadia memandangku. “Kamu kenal, Bu Mila?” tanyanya.

“Dia sahabatku,” jawabku.

“Rei, kamu dipanggil Pak Herman,” ucap Anto berdiri di ambang pintu.

“Sudah, sana! Biar aku saja yang mengerjakan.” Nadia mengambil Alih gelas yang ada di tanganku.

“Terima kasih, Ya.” Aku mengelap tangan dengan kain yang tergantung di dinding sebelum ke ruangan Pak Herman.

***

“Assalamualaikum, Pak,” sapaku pada Pak Herman yang duduk di meja kerjanya.

“Reina, kenapa sekarang kamu berpakaian seperti ini?” Dia memandangku dari ujung kaki ke ujung rambut.

“Iya, Pak, saya rasa kejadian yang menimpa saya kemarin, karena saya tidak menutup aurat, sehingga pria tersebut tergoda,” terangku yang masih berdiri di depan meja kerjanya.

“Oh ....” Dia menganggukkan kepala. “Duduklah, Reina,” ucapnya mempersilahkan. Dia yang awalnya duduk bersandar, menegakkan badan ke depan, memandangku.

Aku langsung duduk dengan posisi tangan berpangku pada paha. “Ada apa ya, Bapak, memanggil, saya?”

“Reina, kamu jangan bekerja di kafe ini lagi!”

“Maksud, Bapak?” tanyaku kaget mendengar ucapannya, aku memandang pria yang berusia sekitar empat tahun di atasku.

“Reina, menikahlah denganku, aku akan mencukupi segala kebutuhanmu.” Dia berdiri di dekat jendela, memandang keluar. 

“Maaf, Pak, haram bagi Anda  melamar saya yang masih berstatus istri orang,” terangku.

“Aku akan menunggumu, Reina, sampai kamu benar-benar bercerai dengan suamimu.” Dia memandangku, berjalan dan kembali duduk.

“Maaf, Pak cari saja wanita lain yang lebih baik dari saya,” tolakku.

“Tapi ... Rei, aku menyukaimu, sejak pertama melihatmu.” Dia mencoba meraih kedua tanganku, tapi aku menepisnya.

“Kalau sudah tidak ada yang ingin di sampaikan lagi, saya permisi, Pak. Saya masih ada banyak pekerjaan.” Aku berdiri, berlalu meninggalkannya.

Aku tidak memiliki pikiran untuk menikah lagi, walau nanti pada akhirnya aku bercerai dengan Mas Randi, rasanya sulit untuk menjalin suatu hubungan yang baru, bila nanti akhirnya akan kembali terluka.

***

“Ada Rei, kenapa Pak Herman memanggilmu?  Apa dia marah karena kamu berhijab?” tanya Nadia saat aku kembali ke dapur.

“Tidak, dia memintaku untuk berhenti bekerja, Nad.” Aku berdiri di dekatnya. Menata segelas moccacino dan ketang goreng ke atas nampan.

“Kenapa?” Nadia memandangku penasaran.

“Dia ingin aku menikah dengannya.” Aku menghela nafas, melepaskan sesak di dada. Ujian datang bertubi-tubi menghampiriku.

“Sudah, terima saja Pak Herman, dia itu duda, kalau aku jadi kamu, aku pasti akan menerima cintanya,” ucap Nadia yang sedang menggoreng kentang.

“Apaan sih?! Aku belum resmi bercerai, Nad. Aku juga tidak akan gegabah dalam memilih pendamping hidup, kalau benar-benar suamiku telah resmi menceraikanku, apalagi aku bukan gadis lagi, melainkan ibu dari dua orang anak,” ucapku sebelum meninggalkannya, mengantarkan makan ke pelanggan.

“Pelayan!” teriak seorang yang duduk di meja nomor sepuluh, saat aku akan berjalan kembali ke dapur. aku bergegas menghampirinya.

“Maaf, Kak, mau pesan apa?” tanyaku saat menghampirinya.

“Kamu ....” ucapnya menunjuk wajahku. Memandangku dari unjung ke ujung, dengan tawa mengejek.

“Reina ....” timpal lelaki yang berjalan dari belakangku lalu duduk di samping wanita itu.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status