Share

Mulai Bangkit

Hingga larut malam, aku belum bisa tidur, berdiri di samping jendela, memandang keluar, menikmati indahnya gelap malam. Semilir angin membelai wajah, lalu masuk ke dalam kamar, bulan berbentuk sabit, menyubangkan sedikit sinarnya agar gelap malam tak terlalu mencekam.

Kelelawar nampak beterbangan berpindah dari dahan ke dahan lainnya, mencari buah yang mulai masak. Tak terasa tetes-tetes air mulai berjatuhan membasahi pipi, mengingat kebersamaan kami.

***

Pagi menjelang, mataku bengkak sisa tangis semalam, si kembar masih tampak nyenyak dalam mimpi mereka.

Aku bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan, membuka kulkas, mencari sesuatu yang bisa aku masak, tapi tidak ada apa pun di sana.

Sayup-sayup suara tukang sayur terdengar. Aku keluar untuk berbelanja. Tampak empat ibu mengerumuninya.

“Pak, bayam, sama cabainya mana?” tanyaku.

“Ini, Bu,” ucap tukang sayur, menunjuk barang yang aku pinta.

Aku lihat Bu Mirna dan Bu Anna sedang berbisik, sesekali melirik ke arahku.

“Kami sudah bilang kemarin! Jadi istri itu, harus pintar dandan. Sekarang terbukti ‘kan! Suaminya di ambil orang!” ucap Bu Ana. Aku tak menghiraukan omongan Mereka.

Segera kuambil segala keperluan yang  dibutuhkan, dan bergegas kembali ke rumah.

Aku membanting pintu dengan keras, suara nyaring dentuman terdengar sampai ke telinga mereka yang sedang bergunjing. Mereka memandangku dengan mulut yang komat-kamit entah apa yang mereka bicarakan? Kenapa mereka justru menyalahkanku yang jelas-jelas menjadi korban?

“Ada apa?” Mila masuk ke dalam rumah, menghampiriku yang duduk di meja makan. “Aku tadi mendengar suara dentuman keras dari sini, ada apa Reina?” tanyanya. Melihat aku menangis, dia duduk, meraih kedua tanganku dan menggenggamnya erat.

“Aku, tidak kuat dengan hinaan mereka, Mil!” keluhku menumpahkan segala luka.

“Jangan dengarkan mereka, jadikanlah apa yang menimpamu kemarin, sebagai pelajaran untukmu, Rei. Esok pasti ada sebuah kebahagiaan untukmu,” nasihatnya

“Tapi, rasanya sungguh sulit sekali, Mil. Aku ... aku belum bisa melupakan rasa sakit atas pengkhianatan Mas  randi, aku juga masih mencintainya, Mil,” ungkapku.

“Ayolah! Mana Rei yang selalu ceria, semua pasti akan segera berlalu. Kamu pasti bisa Rei, ayo bangkit dari kesedihan ini,”  ujarnya menyemangatiku. Mila menepuk pundakku pelan.

“Ayolah Reina, pikirkanlah masa depan anak-anakmu. Mereka membutuhkanmu! Tersenyumlah dan lupakan semuanya!” pintanya.

Mila tersenyum, memandang ke arah kamar. Aku juga memandang ke arah yang sama. Kedua putriku, tengah berjalan ke arah kami. Mila menunjuk mataku, memberi kode agar menghapus air mata di pipi.

“Kalau kamu mau? Kamu bisa bekerja di tempatku, mulai besok!” tawarnya, tanpa dia, entah akan jadi seperti apa aku ini. “Anak-anak sementara biar bersamaku.”

“Terima kasih, ya, Mil!” Aku memeluk tubuh kurus Mila.

“Santai, aja! Aku juga suka kesepian di rumah sendiri. Jadi dengan keberadaan mereka bisa menemaniku,” ucapnya.

***

Hari ini merupakan hari pertama Aku berangkat kerja. Aku mengenakan kemeja berwarna kuning, dengan setelan rok di bawah lutut berwarna hitam. Aku memoles  wajah dengan sedikit bedak, lantas memakai mate lipstik berwarna merah muda di bibir.

1

Aku berjalan dengan menenteng sebuah tas kecil di bahu. Ibu-ibu kompleks yang sedang berbelanja, memandangku takjub. Mereka tampak berbisik menggunjingkanku.

“Percuma dandan, kalau suaminya sudah direbut orang!”  Bu Anisa tertawa, diikuti dua ibu kompleks lainnya. Abang tukang sayur hanya  menggelengkan kepala, menanggapi mereka. Aku terus berjalan tak menghiraukan segala ucapan mereka.

***

Aku bekerja di Cafe Mila, yang terletak dekat kompleks. Dia sengaja menempatkanku di kafe terdekat agar bisa pulang saat istirahat.

“Mbak!” panggil, seorang pria yang duduk di kursi nomor delapan.

Aku bergegas berjalan menghampirinya “Selamat siang, Kak,” sapaku. “Mau pesan apa Kak?” tanyaku.

Aku mencatat makanan yang dia pesan ke dalam sebuah buku catatan kecil.

Tak butuh waktu lama aku kembali untuk mengantarkan makanan.

“Silakan ... Kak,” ucapku seraya meletakan makanan di atas meja.

“Mau ke mana?” pria itu menarik tanganku, saat aku akan kembali ke belakang.

“Maaf, Kak, saya masih ada pekerjaan,” ucapku.

“Sebentar saja! Aku akan memberimu uang tips yang besar,” ucapnya merendahkanku.

“Kak, tolong lepaskan saya,” ucapku memohon.

“Temani aku sebentar saja, Cantik,” rayunya.

“Maaf, saya tidak bisa!” tolakku, aku menepis tangannya kasar, lantas berjalan meninggalkannya.

“Jangan sok jual mahal, Kamu!” teriaknya, semua orang yang ada di kafe memandang ke arahku.

“Ada apa ini?” ucap manajer kafe menghampiriku.

“Dia, menggodaku, Pak” aduku.

“Hei! Jelas kamu yang telah menggodaku, Nona,” ucapnya menyudutkanku.

“Pak ....” belum selesai aku menyelesaikan ucapan, Pak Supervisor meminta untuk kembali ke tempat dengan mengibaskan tangan. Dari kejauhan aku melihatnya sedang membicarakan sesuatu dengan pria tersebut.

“Reina, ke ruangan saya sekarang, ada yang akan saya bicarakan!” perintahnya saat kembali.

“Baik, Pak.” Aku mengikuti berjalan menuju ruangannya.

“Reina, aku harap kau bisa bersikap lebih sopan terhadap pelanggan,” tegurnya.

“Tapi, Pak, dia yang berusaha menggoda saya,” bantahku membela diri.

“Tidak ada kata tapi Reina, kalau kamu bukan sahabat Mila, mungkin saat ini juga kamu sudah saya pecat!” ucapnya.

“Rei, aku tahu kamu butuh uang, aku dengar dari Mila, suamimu pergi dengan wanita lain,” ucapnya.

“Apa maksud, Bapak?” tanyaku.

“Aku bersedia, memenuhi segala kebutuhanmu dan kedua anakmu, asal kamu mau menuruti kemauan saya,” tawarnya.

“Maaf, Pak. Saya bukan perempuan murahan!” ucapku marah meninggalkan pria itu.

“Reina ....”

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status