“Reina ....” Entah sejak kapan pria itu ada di hadapanku.
Aku lantas menyerahkan HP kepadanya. Mas Randi bergegas pergi, karena waktu juga sudah siang. Aku sedikit berlari menghampiri si kembar mengendong mereka, bergegas untuk mengikuti pria itu. Tak lupa aku menyambar dompet diatas meja. Aku menitipkan si kembar Nela dan Neli ke rumah Mila, tetangga sekaligus sahabat terbaikku.Aku berlari menuju ke pangkalan ojek. Aku ingin melihat sendiri siapa sebenarnya Raya, dan ada hubungan apa dia dengan Mas Randi?“Bang, ke jalan laut ya!” Aku naik ke boncengan motor sambil mengenakan helm. Tanpa banyak tanya tukang ojek langsung melajukan motornya. “Cepat sedikit ya, Bang!” perintahku.Abang tukang ojek menjawab dengan menganggukkan kepala. Aku memilih langsung menuju kantor Mas Randi, karena dia pasti menjemput wanita bernama Raya ke rumahnya, jadi aku putuskan untuk menunggu di depan kantornya saja.Tepat jam delapan aku sampai di kantor Mas Randi. Aku duduk menunggu di sebuah warung yang terletak berseberangan dengan kantor tempatnya bekerja.Lima menit kemudian, tampak Mas Randi berboncengan dengan seorang wanita berpakaian minim, memeluk pinggangnya, seorang petugas keamanan menyambut kedatangan mereka. Mereka berhenti dan memarkirkan motor di halaman kantor. Halaman yang lebih banyak terdapat mobil dari pada motor. Hatiku terasa sesak saat melihat dia membukakan helm wanita di hadapannya, mereka berjalan masuk ke dalam kantor, tangan Mas Randi memeluk pinggang Raya. Hatiku semakin hancur, air mataku pun luruh membasahi pipi.Setelah mereka masuk, aku bergegas menghampiri penjaga keamanan.“Maaf, Pak. Saya mau tanya, yang barusan datang berboncengan pakai motor itu siapa ya, Pak?” tanyaku.“Oh, itu tadi Mbak Raya, manajer disini sendang yang laki-laki itu, Mas Randi, salah satu staf kantor. Emang ada apa ya, Mbak?” tanya penjaga keamanan yang masih berdiri di pintu gerbang.“Tadi saya kira ... teman saya, maaf saya salah orang.” Setelah mendengar penjelasan petugas keamanan aku bergegas kembali ke seberang jalan, lantas naik ke atas motor tukang ojek, kembali pulang ke rumah.***“Reina, ada apa?” tanya Mila, saat aku berjalan memasuki halaman rumah dalam keadaan menangis.“Mas Randi, Mil. Aku tadi mengikutinya ke kantor, dia berboncengan sama wanita lain. Mereka tampak sangat mesra,” aduku.Aku duduk di kursi yang berada di teras rumah, tampak si kembar sedang asyik bermain boneka.“Mungkin, wanita itu teman kerjanya, jangan ambil kesimpulan dulu dong! Kamu harus cari tahu dulu kebenarannya.” Mila mengambil selembar tisu yang dari atas meja, lantas memberikannya padaku.“Semalam aku dengar mereka berbicara di telepon, tadi pagi juga aku membaca pesan wanita itu. Apalagi sekarang Mas Randi sifatnya sudah tak seperti dulu lagi,” ucapku terisak menjelaskan semuanya pada Mila.“Lebih baik kamu tanyakan langsung pada suamimu siapa sebenarnya wanita itu,” saran Mila. Aku hanya mengangguk mendengar perkataan Mila. “Biar anak-anak sama aku dulu, kamu istirahat sana! Biar pikiranmu lebih tenang,” ucapnya.Aku beranjak meninggalkan mereka, lantas masuk kamar. Memang yang aku butuh kan saat ini adalah menyendiri.Sore harinya aku bangun, memasak, menyiapkan makan malam untuk si kembar dan Mas Randi. Masalah dengan Mas Randi sudah aku putuskan untuk menanyakan langsung kepadanya, perihal wanita yang bersamanya.Tepat pukul lima sore, Mas Randi pulang. Anak-anak kebetulan masih di rumah Mila, jadi mereka tak perlu melihat Seandainya kedua orang tua mereka bertengkar.“Mas, jujur sama aku! Siapa Raya?” tanyaku saat Mas Randi masuk ke dalam rumah, aku langsung bertanya pada pokok permasalahan.“Dek, mas bisa jelaskan,” katanya.Aku menghindar saat dia berusaha mendekat dan menyentuhku. “Nggak ada yang perlu dijelaskan, Mas,” ucapku terisak.“Iya, aku mengaku salah! Aku semalam berbincang dengannya di telepon, dan aku pagi ini juga berjanji akan menjemputnya untuk berangkat bersama ke kantor. Tapi aku tidak ada hubungan apa-apa sama dia!” jelas pria yang sudah mendampingiku selama lima tahun itu.Sejak dari awal hubungan kami, aku telah menegaskan padanya kalau aku tidak suka dibohongi apalagi diduakan.“Sekarang belum! Tapi nanti? Entahlah, Mas!” ucapku berjalan meninggalkannya.“Dek ....” Dia meraih tanganku, menghentikan langkahku. “Iya, aku jujur, aku tertarik padanya, dia itu cantik, pintar, modis, dan pandai merawat diri.“Apa kamu bilang, Mas?!” teriakku. Aku membalikkan badan, menghadap ke arah pria yang benar-benar menjijikkan.“Iya! Dia itu berbanding terbalik denganmu. Aku itu selalu bosan dengan penampilanmu yang setiap hari hanya mengenakan daster, rambut acak-acakan, dan wajah tanpa polesan,” cacinya.Seketika aku mengangkat tangan kanan, melayangkannya ke pipi kiri pria yang masih berstatus sebagai suamiku, seketika pipinya merah membentuk telapak tangan.“Asal kamu tahu, Mas! Aku begini itu karena kamu!” ucapku menunjuk wajahnya. “Kau tidak pernah punya waktu untuk kami, walau sekedar menjaga anak-anak sebentar, saja tidak pernah! Boro-boro dandan, mandi saja terburu-buru, takut terjadi apa-apa pada si kembar kalau aku tinggal lama-lama. Kamu pernah memberi uang untuk ke salon? Tidak pernah ‘kan? Uang yang kamu berikan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Pernahkah kamu bertanya, bagaimana aku seharian mengurus anak atau membereskan rumah! Pernahkah?! Aku ini bukan pembantu, Mas! Aku istrimu!” ucapku marah.“Urusan anak, membereskan rumah itu memang kewajibanmu! Tugasku hanya mencari nafkah untuk kalian!” Dia berbicara dengan nada agak keras.“Bukan cuma kewajibanku, Mas! Tapi kewajiban kita bersama untuk merawat dan mendidik anak-anak,” jawabku.“Kamu saja yang enggak bisa bagi waktu!” Dia berjalan beberapa langkah menjauhiku.“Apa maksudmu, Mas?!” Aku berjalan mendekatinya.“Yuli, dia itu janda punya anak, tapi dia bisa bekerja, merawat anaknya, bahkan dia pun bekerja! Sedangkan kamu!” Dia menunjukku. “Hanya diam di rumah dan mengurus anak saja tidak becus!”“Dia punya pembantu, Mas. Lihat anak-anaknya, mereka kekurangan kasih sayang kedua orang tuanya. Yuli jarang di rumah, dia selalu disibukkan dengan pekerjaan, tidak ada waktu untuk sekedar bercengkerama dengan anaknya. Jangan pernah bandingkan aku dengan dia! Karena aku adalah aku, aku tidak akan seperti orang lain.”“Itu hanya bualanmu saja!” Mas Randi duduk di kursi.“Alasan kau bilang, Mas! Kau sudah keterlaluan Mas! Cinta yang selama ini aku selami ternyata sia-sia. Menyesal aku memilihmu sebagai imam!” Aku berjalan cepat menuju kamar, mengambil sebuah koper yang ada di atas lemari, memasukkan seluruh pakaian ke dalamnya. Kucoba menahan perih yang, walau terasa menyakitkan.Bersambung .....POV HASANPOV HASAN“Maaf, Pak, anak-anak hari ini tidak masuk sekolah.”Sore itu, seperti biasa, sepulang kerja, aku menjemput anak-anak di sekolah mereka. Namun, saat tiba di sana aku tidak melihat mereka di sekolah.Aku lantas menghampiri wali kelas mereka untuk bertanya apakah mereka sudah di jemput oleh Reina. “Nela dan Neli hari ini tidak berangkat sekolah, Pak,” kata Bu Septa—Wali kelas mereka.“Tidak berangkat ya, Bu?” aku kembali bertanya untuk memastikan.“Iya, Pak.” Bu Septa menganggukkan kepala.‘Apa mereka sakit?’ pikirku.Merasa khawatir, aku pun bergegas pulang ke rumah. ***Setibanya di rumah. Suasana tampak sepi, pintu pagar juga terkunci. Aku pun turun dari mobil untuk membukanya sendiri. Saat memasuki halaman rumah, mobil Reina juga tak terlihat di halaman. Aku bergegas turun, memutar gagang pintu. Ternyata pintu rumah masih dalam keadaan terkunci. Untung aku selalu membawa cadangannya di dal
Pada saat pertama Hasan memperkenalkan Reina sebagai calon istrinya. Aku merasa kecewa. Dia tidak seperti menantu yang aku idam-idamkan. Reina memang wanita yang baik dan santun. Namun, sayangnya dia seorang janda dengan dua orang anak. Tidak ada yang salah dengan statusnya. Namun, sebagai seorang ibu aku ingin wanita yang terbaik untuk putranya.Malam itu, Hasan memohon kepadaku. Namun, aku tetap kekeh tidak mau merestui hubungan mereka.“Umi, hanya Reina yang Hasan cinta. Kalau Umi tidak mau merestui hubungan kami. Hasan memilih pergi dari rumah ini.” Putraku satu-satunya itu benar-benar pergi dari rumah.“Hasan!” Dia bahkan tidak mau mendengar panggilanku. Hasan berlari menuju ke mobilnya yang terparkir di halaman. Dia melajukannya dengan asal. Bahkan, sebelum keluar halaman, mobil Hasan sempat menabrak pot bunga yang berjajar di pinggir pagar rumah.Hasan marah dan pergi, semua karena Reina. Wanita itu yang membuat putraku marah. Sebelumnya
Mas Hasan sangat lega, mendengar Aisyah juga menolak perjodohan. Jadi, tidak perlu mencari alasan untuk membatalkannya, karena Mas Hasan juga tidak ingin menikah lagi.Tinggal berbicara dengan Umi. Semoga Umi bisa menerima keputusan Mas Hasan.“Yang ini salah, Sayang,” ucap Mas Hasan menunjuk ke buku yang ada di hadapan mereka. Mas Hasan begitu telaten dalam mendidik dan menjaga anak-anak, walau mereka bukan anak kandung Mas Hasan.“Papa, kapan ke Bali lagi?” tanya Nela memandang Mas Hasan.“Insya Allah, Sayang,” jawab Mas Hasan.“Reina, ibu mau bicara.” Pada saat kami sedang asyik belajar, tiba-tiba Umi datang.Dari raut wajahnya sepertinya Umi sedang kesal.“Ya, Umi.” Gegas aku mendekati wanita itu.Kami pun akhirnya memutuskan untuk berbicara di teras.“Reina, orang tua Aisyah ke rumah,” ucapnya.“Terus mereka bilang apa?” Aku pura-pura tidak tahu, walau sebenarnya beberapa hari yang lalu kami bertemu.“Aisyah menolak perjodohan dengan Hasan.”Umi menceritakan, jika A
“Apa kamu menyukai Aisyah, Reina?” tanya Umi saat kami tiba di rumahnya.“Bagaimana menurutmu dengan gadis itu?”Aku lantas menceritakan pada Umi, seperti Aisyah. Walau belum lama kami saling mengenal. Namun, aku merasa senang dan nyaman saat bersama Aisyah. Aku seperti memiliki seorang teman dan adik perempuan.“Bagaimana caranya memberitahu Mas Hasan tentang perjodohan ini, Umi?” Aku memandang Umi yang duduk di sampingku.Kami pun membahas bagaimana cara untuk memberi tahu Mas Hasan tentang rencana perjodohannya dengan Aisyah.“Kamu coba yang membujuk Hasan untuk menerima Aisyah,” pinta Umi.Umi juga memintaku untuk memberitahukan rencana perjodohan ini secara perlahan padan Mas Hasan.Aku pun mengiyakan. Dulu aku memang tidak menyukai kehadiran orang ketiga dalam rumah tanggaku. Sekarang pun, aku masih sama. Namun, keadaan yang memaksa untuk menerima hal itu. Sebenarnya aku juga lebih senang hidup sendiri, dari pada memiliki seorang madu. Namun, entah apa yang ada di pikir
Seorang gadis berpenampilan seksi berjalan menuruni tangga secara perlahan. Dia memakai celana di atas lutut dengan tank top berwarna merah. Rambut gadis itu tergerai panjang dan berwarna merah. Dia berjalan menghampiriku dan Umi. Tanpa memberi salam, gadis itu langsung duduk di kursi yang terletak berhadapan dengan kami.“Sinta, perkenalkan ini Reina.” Bu Anis menunjukku. Aku tersenyum dan menangkupkan kedua tangan di dada. “Beliau uminya Hasan.” Bu Anis menunjuk Umi.Umi memandang gadis itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia duduk dengan satu kaki berada di atas kaki yang lainnya. Aku sangat risi melihat kulit pahanya yang terlihat jelas. Aku lantas memandang Umi, tak percaya dengan gadis pilihannya.“Umi, apa enggak salah ini?” bisikku.“Umi tidak tahu juga, teman Umi yang merekomendasikannya,” jawab Umi.Bu Anis pun menjelaskan kedatangan kami pada anaknya.“Untuk mahar saya mau seratus juta. Pesta harus diselenggarakan di gedung yang mewah,” ucap gadis itu. Bu Anis yang
Dua minggu setelah kedatangan Umi. Umi kembali menghubungiku. Dia bilang sudah menemukan calon istri kedua untuk Mas Hasan. Aku dan Umi pun janji untuk bertemu dengan gadis itu usai pulang kerja.“Mas, nanti sore aku ada keperluan sebentar. Aku pulangnya agak telat, ya.” Izinku pada Mas Hasan saat kami sedang sarapan di meja makan.“Mau ke mana?” tanyanya memandangku yang sedang menyendokkan nasi ke dalam piringnya.“Umi memintaku untuk mengantarkan ke rumah temannya,” ucapku bohong.Aku takut Mas Hasan marah, jika aku berterus terang. “Oh, baiklah. Nanti biar anak-anak bersamaku,” ucapnya. “Terima kasih, Mas.” Aku lega dia mengizinkan untuk pergi bersama Umi. Sejak Umi meminta Mas Hasan untuk menikah kembali, dia jarang sekali ke rumah Umi. Berbeda denganku yang sering berkunjung ke rumahnya. Selesai sarapan kami pun bersiap untuk berangkat kerja. “Aku berangkat dulu, ya.” Pamit Mas Hasan. Sebelum berangkat, dia mencium keningku.“Hati-hati, Mas.” Aku mengulurkan tangan dan menc