Share

Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya
Perkataan Tetangga yang Kadang Ada Benarnya
Penulis: Ayra N Farzana

Kata Tetangga

“Mas, nanti pulang kerja, mampir ke minimarket sekalian ya! Susu anak-anak habis,” pintaku pada Mas Randi, suamiku, yang akan berangkat kerja. Dia hanya mengangguk mengiyakan.

Kami menikah, selama lima tahun, dikaruniai dua orang anak perempuan sekaligus. Urusan belanja bulanan memang biasa mas Randi yang melakukannya. Aku hanya berbelanja kebutuhan sehari-hari seperti sayuran dan lain sebagainya pada tukang sayur yang lewat.

Namaku Reina, seorang ibu rumah tangga, Mas Randi tidak mengizinkanku bekerja, dengan alasan tidak ada yang mengurus anak-anak. Dia tidak ingin anak-anak di rawat oleh asisten rumah tangga, karena khawatir kalau mereka tidak memperlakukan anak-anak dengan baik.

Terkadang aku merasa bosan, melakukan aktivitas monoton setiap harinya. Namun, kehadiran Nela dan Neli putri kembar kami, sedikit menghiburku.

Mas Randi bukan tipe suami yang romantis, dia tergolong suami yang sangat cuek. Terkadang aku merasa kalau dia tidak benar-benar mencintaiku.

“Mbak, penampilannya kusut amat! ntar, suaminya di ambil orang lo!” ucap ibu-ibu kompleks yang sedang membeli sayur. Aku tak menanggapi ucapan mereka, toh mas Randi tak pernah mempermasalahkannya.

Sehari-hari aku memakai daster, dengan rambut yang di jepit ke atas, mau berdandan bagaimana coba? Mau makan aja terburu-buru, bahkan mau ke kamar mandi saja, terkadang harus membawa si kembar karena rewel. Bayangkan sendiri bagaimana repotnya.

Si kembar Nela dan Neli berusia tiga tahun, mereka lagi aktif-aktifnya. Terkadang saat aku berbenah rumah, mereka berantem saling berebut mainan. Saat itulah butuh kesabaran yang ekstra.

Mas Randi berangkat kerja jam delapan, pulang jam empat sore, terkadang apabila ada pertemuan mendadak, malamnya dia akan berangkat lagi.

Nela dan Neli sudah tidur, jam menunjukkan pukul delapan malam, mas Randi belum pulang. Aku duduk di ruang keluarga, istirahat sejenak, menonton TV sambil menunggunya pulang. Tak berapa lama terdengar suara motor di depan rumah. Aku berjalan menuju pintu, untuk menyambut kedatangan mas Randi.

“Kok sampai malam mas?” ucapku menghampirinya, Mas Randi membuka helm lalu turun dari motor.

“Maaf, dek. Tadi nggak sempat ke mini market, ada pertemuan soalnya,” jawab Mas Randi.

“Ya, nggak apa-apa Mas, Mas sudah makan?” tanyaku seraya mengambil alih tas kerjanya.

“Sudah tadi, aku mau mandi dulu, gerah soalnya.” Mas Randi berlalu, masuk ke kamar mandi.

Aku bergegas ke kamar, meletakkan tas di atas nakas, lalu menyiapkan pakaian ganti, sebuah kaos lengan pendek, dengan celana selutut.

HP mas Rendi bergetar saat aku meletakan  pakaian ganti mas Randi di atas tempat tidur, tampak nama Raya disertai foto seorang wanita muda dengan gaya dan dandanan kekinian.

‘Akh ... mungkin dia rekan kerja mas Randi,’ Pikirku.

“Dek, lagi ngapain?” Mas Randi tiba-tiba memelukku dari belakang.

“Apa-apaan sih mas, nanti anak-anak lihat,” ucapku berusaha melepaskan diri, tapi mas Randi makin erat memelukku.

“Nggak bakalan lihat, anak-anak sudah tidur.” Mas Randi menunjuk Nela dan Neli yang tidur satu kamar dengan kami, dengan tempat tidur yang berbeda. Lampu kamar akhirnya di matikan.

Lewat tengah malam, aku terbangun karena haus, berjalan keluar, mengambil minum di dapur. Namun, saat melewati ruang tamu,  terdengar Mas Randi sedang berbicara lewat telepon. Dia kelihatan bahagia sekali dari nada bicaranya. Aku urungkan niat ke dapur untuk mengambil minum dan kembali ke kamar.

Aku berusaha memejamkan mata. Namun, pikiranku tak mau terpejam, masih penasaran, siapa yang bicara lewat telepon dengan mas Randi tengah malam begini.

Hingga suara azan subuh terdengar, aku beranjak dari tempat tidur, mandi lantas menunaikan kewajiban dua rakaat. Melakukan aktivitas memasak  sebelum si kembar Nela dan Neli bangun.

“Dek, masak apa?” mas Randi menghampiriku yang sedang masak telur balado.

“Masak telur, Mas. Mas mau aku Buatkan kopi?” Aku menoleh mas Randi yang duduk di meja makan.

“Boleh,” jawabnya, aku lantas membuatkan kopi hitam, dengan satu sendok gula kesukaannya.

“Ini Mas, kopinya!” aku meletakan kopi di hadapan Mas Randi. “Oh, iya Mas, tadi malam mas bicara sama siapa?” karena penasaran aku bertanya pada mas Randi.

“Oh ... i-tu, Aldi, teman kerja mas, lagi ada masalah katanya,” jawab Mas Randi, sedikit tergagap. Ucapan Mas Randi mungkin benar, Aku hanya mengangguk mengiyakan.

A

Aku berlanjut menyiapkan makanannya di atas meja, saat meletakan telur balado di atas piring, Mas Randi memeluk dari belakang, meniup telingaku, nakal.

“Apaan si Mas! Geli tau!” aku mencoba melepas pelukannya. “Mas, lepaskan dong, aku kan lagi menyiapkan makanan buat Mas,” ucapku mencoba melepaskan diri darinya.

“Makanan entar aja! Aku mau makan yang ini saja,” ucapnya sebelum mengendongku masuk ke kamar.

Setelah memandikan Nela dan Neli kami berempat duduk di meja makan untuk makan bersama.

"Neli mau es cream. Nanti pulang kerja beli ya!” pinta Neli kepada Ayahnya menggunakan logat  ala anak balita.

"Nela juga mau.” Nela nggak mau kalah sama Neli.

“Ya, nanti ayah belikan! Bunda mau minta juga enggak?” tanya mas Randi, melihatku.

“Bunda, enggak minta apa-apa?” jawabku.

“Ya, sudah ayah berangkat  dulu ya!” Selesai makan mas Randi, pamit untuk berangkat kerja. Tak lupa dia mencium Nela dan Neli bergantian, lalu mengulurkan tangannya kepadaku.  Aku mencium punggung tangan mas Randi.

Saat membersihkan meja makan kudapati HP mas Randi tertinggal.

Ada sebuah pesan dari Raya.

[Ran, jadi jemput aku enggak?]

Lantas aku membuka log panggilan. Ternyata yang menelepon mas Randi semalam adalah Raya. Aku melihat foto dirinya yang tampak muda, cantik, seksi dan terawat di Hp mas Randi.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status