Share

Dendam Membara

  Setelah Pak Suwito menyuruh dalang dan seluruh pemain gamelan untuk menghentikan pertunjukannya, Pak Suwito berbicara kepada seluruh warga yang menonton pertunjukan wayang kulit.

  "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Salam Pak Suwito.

  "Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." Jawab sebagian besar warga yang menonton.

  "Saya mewakili Pak Jatmiko beserta keluarganya, memohon maaf kepada seluruh warga yang sedang menyaksikan pertunjukan wayang kulit. Saya mengumumkan bahwa pertunjukan wayang kulit tidak dilanjutkan lagi, dikarenakan sebuah insiden telah terjadi dengan keluarga Pak Jatmiko. Oleh karena itu, Saya harap seluruh warga bisa kembali ke rumahnya masing-masing. Atas perhatiannya Saya ucapkan terima kasih. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Salam Pak Suwito.

  Mendengar pemberitahuan kalau pertunjukan wayang kulit tidak dilanjutkan, seluruh warga yang sedang duduk diatas tikar, bergegas bangkit berdiri dan pergi meninggalkan halaman rumah Pak Jatmiko dengan perasaan kecewa.

  Setelah selesai memberikan pengumuman, Pak Jatmiko menunggu kedatangan pihak kepolisian.

  Setelah menunggu sekitar 15 menit berlalu, akhirnya sebuah mobil polisi datang bersama dengan mobil ambulance. Begitu sampai didepan rumah Pak Jatmiko, tiga orang polisi dan dua petugas rumah sakit turun dari atas mobil.

  "Selamat malam! Apa benar ini rumahnya Pak Jatmiko?" Tanya seorang polisi ketika berada dihadapan Pak Suwito.

  "Betul sekali Pak! Mari masuk kedalam rumah Pak!" Ajak Pak Suwito. Mereka pun berjalan menuju kamar tidur Miranti. Begitu muncul didalam kamar Mira, seorang polisi berseru.

  "Apa yang terjadi dengan laki-laki itu?" Tanyanya.

  "Menantu Saya dibunuh dengan racun yang dimasukkan kedalam kopi hitam, Pak! Dan perempuan itu pelakunya!" Seru Pak Jatmiko sambil menunjuk kearah Bi Tinah.

  "Demi Allah bukan Saya pelakunya Pak!" Seru Bi Tinah membela diri.

  "Tapi apa benar Ibu yang telah membuat kopi hitam itu?" Tanya polisi.

  "Betul Saya yang membuat kopi itu, tapi Saya hanya membuat kopi itu seperti biasanya!" Bantah Bi Tinah.

  "Kalau begitu, sekarang Ibu ikut Kami ke kantor polisi! Ibu bisa memberikan keterangan disana!" Ucap polisi itu.

  "Tapi Saya berani bersumpah, kalau bukan Saya pelakunya Pak!" Seru Bu Tinah.

  "Bawa perempuan itu!!" Perintah polisi itu kepada dua kawannya. Mendengar ucapan atasannya, dua polisi itu langsung memborgol kedua tangan Bi Tinah.

  Sementara itu, begitu masuk kedalam kamar tidur Miranti, kedua petugas rumah sakit langsung memeriksa keadaan di tubuh Bondan.

  "Maaf Pak, untuk menyelidiki kasus ini. Kami akan melakukan otopsi jenazah menantu Bapak! Apakah Bapak mengizinkannya?" Tanya polisi itu.

  "Silahkan Pak!" Balas Pak Jatmiko.

  Mendengar ucapan Pak Jatmiko, kedua petugas itu bergegas mengangkat tubuh Bondan dan membawanya menuju mobil ambulance.

  "Saya mohon kepada Bapak dan semua yang ada disini, untuk keluar dari dalam kamar ini!" Pinta polisi itu. Mendengar perintah itu, Pak Jatmiko dan yang lainnya keluar dari dalam kamar Miranti. Begitu semuanya telah keluar dari dalam kamar, polisi itu memasang policelines yang membentang melewati pintu kamar.

  "Kalau begitu, Kami mohon pamit dahulu! Kalau ada keperluan kelengkapan informasi, Kami harap Bapak siap untuk memberikan keterangan kepada Kami!" Pinta polisi itu sambil mengajak Pak Jatmiko bersalaman.

  "Iya Pak! Saya siap kapan saja untuk datang ke polres!" Balas Pak Jatmiko sambil menyambut tangan kanan polisi itu.

  "Terima kasih kerjasama, Pak! Selamat malam!" Salam polisi itu sambil melepaskan tangannya.

  "Malam Pak." Balasnya.

  Sementara itu, setelah berhasil menaruh serbuk berwarna putih kedalam secangkir kopi hitam, lelaki berumur sekitar 25 tahunan itu pergi meninggalkan rumah Pak Jatmiko melewati pintu belakang. Karena suasana disekitar rumah Pak Jatmiko sangat ramai, tidak ada satupun orang yang mencurigai lelaki berkacamata itu.

  Begitu berhasil keluar dari area rumah Pak Jatmiko, Lelaki itu mengambil sebuah sepeda miliknya yang diparkirkan dipinggir jalan bersama sepeda yang lainnya. Setelah membayar sekeping uang lima rupiah, lelaki itu bergegas mengayuh sepedanya meninggalkan tempat itu.

  Sesampainya didepan rumah berdinding anyaman bambu dan berlantai tanah, pemuda itu membawa masuk sepedanya kedalam rumah. Lalu Dia berjalan menuju kamar tidurnya.

  Melihat anaknya sudah pulang, seorang perempuan menghampirinya kedalam kamar tidur anak lelakinya.

  "Sudah pulang Pramono?" Tanya perempuan itu ketika berdiri didepan pintu.

  "Sudah Mak!" Balas lelaki berkacamata yang bernama Pramono.

  "Kok tumben cepat, memangnya sudah selesai wayang kulitnya?" Tanya perempuan yang ternyata adalah emaknya Pramono.

  "Belum Mak! Cuma Aku ngantuk! Dalangnya kurang suka juga!" Balasnya.

  "Oh, ya sudah tidur! Besok pagi kan kerja!" Ucap emaknya.

  "Iya Mak!" Balasnya. Lalu emaknya Pramono berjalan menuju kamar tidurnya. Begitu emaknya pergi, Pramono duduk diatas ranjang tidur yang terbuat dari besi.

  "Miranti, Aku pastikan sekarang air mata sedang membanjiri wajahmu yang cantik!" Ucap Pramono.

  "Aku tidak akan membiarkan Kamu hidup tenang, Mira! Kalau Aku tidak bisa memilikimu, Aku pastikan tidak akan ada laki-laki lain yang bisa memilikimu! Aku ingin Kamu menderita, Mira! Setelah dahulu, Kamu menghina dan merendahkan diriku!" Ucap laki-laki yang rambutnya disisir belah tengah itu.

  Sementara itu, disebuah jalanan yang sepi, terlihat seorang laki-laki mengayuh sepedanya menuju suatu tempat. Laki-laki bertubuh tinggi besar itu, memiliki wajah tampan berkulit kuning langsat. Walaupun rambutnya panjangnya sebahu, tapi tetap terlihat macho. Pada punggung lelaki itu terdapat sebuah tas selempang berukuran cukup besar.

  Pada sebuah rumah yang berbentuk khas peninggalan Belanda, Dia berhenti mengayuh sepedanya. Pemuda itu pun menuntun sepedanya menuju pintu depan rumah itu.

  "Assalamu'alaikum." Salam pemuda itu. Setelah membuka pintu depan.

  "Wa'alaikumsalam. Baru pulang Ricky?" Tanya seorang perempuan yang muncul dari korden di pintu tengah.

  "Iya Bu. Anak-anak sudah pada tidur, Bu?" Tanya laki-laki yang bernama Ricky sambil bersalaman dan mencium punggung telapak tangan perempuan itu.

  "Sudah Rick. Ya sudah sekarang makan dahulu sana!" Pinta perempuan yang usianya lebih dari setengah abad itu.

  "Iya Bu." Balasnya. Ricky berjalan menuju kamarnya. Setelah menaruh tas didalam kamarnya, lelaki itu kembali keluar dari dalam kamar menuju dapur untuk mencuci tangannya. Lalu Ricky mengambil piring dan sendok dan membawanya ke ruang makan untuk mengambil nasi, lauk, dan sayur.

  "Bagaimana hari ini Rick, apa banyak pelanggan yang datang?" Tanya perempuan itu.

  "Alhamdulillah banyak, Bu Khotijah!" Seru Ricky lalu memakan makanan yang ada diatas sendoknya.

  "Syukur alhamdulilah, kalau begitu Ricky!" Ucap perempuan yang bernama Bu Khotijah.

  "Iya Bu. Alhamdulillah banyak yang suka pijatan Ricky, Bu!" Balasnya.

  "Iya Ricky. Banyak sedikit rizki kan harus disyukuri!" Ucap Bu Khotijah.

  "Iya Bu. Bukankah sejak Ricky tinggal disini, Ricky selalu mensyukuri rizki yang didapat tiap hari kan Bu?" Tanya Ricky.

  "Iya Ricky. Walaupun Kamu berasal dari keluarga yang kaya raya, tapi Kamu tidak malas bekerja sedari kecil, Ricky! Mulai dari jualan koran, jualan minuman, ojek payung, sampai akhirnya ada yang mengajarkanmu pijat. Sampai akhirnya setelah lulus sekolah, Kamu bisa buka usaha jasa pijat sendiri." Cerita Bu Khotijah mengenang masa kecil Ricky.

  "Iya Bu. Walaupun awal tinggal disini, rasanya Ricky ingin kembali ke rumah peninggalan kedua orang tua Ricky. Tapi mau bagaimana lagi, di rumah itu Ricky lebih tersiksa dari pada tinggal disini. Jadi Ricky lebih kerasan tinggal disini. Karena Ricky ingin terus bersekolah. Makanya mau tidak mau Ricky bekerja sepulang sekolah, seperti anak-anak lainnya." Balas Ricky sambil membayangkan masa kecilnya yang menderita.

  "Tapi dengan Kamu bekerja sedari kecil, itu membuat Kamu menjadi mandiri, Ricky! Mental Kamu menjadi lebih kuat menghadapi dunia yang penuh tantangan ini. Apalagi kedua orang tuamu dan adik-adikmu sekarang sudah tiada." Ucap Bu Khotijah.

  "Iya Bu. Bersyukur Aku dahulu bertemu Bu Khotijah, sehingga Aku bisa tinggal disini. Aku seperti mempunyai keluarga baru lagi semenjak tinggal disini." Balas Ricky.

  "Iya Ricky. Ibu membangun panti asuhan ini, bertujuan untuk menolong anak-anak yang kurang beruntung sepertimu, Ricky! Dan juga, biar Ibu tidak kesepian lagi. Semenjak meninggalnya suami dan anak Ibu, karena kecelakaan." Ucapnya.

  "Tapi Bu, Aku mau tanya. Sampai kapan Aku bisa tinggal disini? Sedangkan cuma Aku, Novi, dan Kinan yang sudah selesai sekolah dan belum menikah, tapi masih tinggal disini." Tanya Ricky.

  "Sampai kapanpun Kamu dan yang lainnya, bisa tinggal di panti asuhan Permata Bunda ini, Ricky!" Balas Bu Khotijah.

  "Terima kasih Bu. Ibu sangat baik kepada Kami semua. Ibu menganggap Kami seperti anak kandung Ibu sendiri. Makanya sejak dahulu Aku selalu menolak jika ada yang mau mengadopsi Aku menjadi anaknya. Aku tidak ingin berpisah dengan Bu Khotijah." Ucap Ricky sambil mengingat masa lalunya.

  "Iya Ricky. Padahal dahulu, setiap ada yang mau mengadopsi anak di panti asuhan ini, selalu mereka memilih Kamu yang berwajah tampan." Balasnya. Kemudian Ricky membayangkan kenangan masa kecilnya, sampai Dia bertemu dengan Bu Khotijah.

  

  

  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status