Share

Permainan Para Konglomerat
Permainan Para Konglomerat
Author: ich

01 | Maut

Aku dan mata sabitmu.

Izinkan aku melayang bersama mereka—ialah ribuan asa dan harapan yang diludahkan ke hampanya udara, tanpa tersentuh iba, dari partikel kecil yang manusia sebut sebagai ... dosa.

Ludahi aku juga bila kau rasa naif ini hanyalah racun.

*

Dulu ia  enggan percaya pada setiap alasan apapun. Pikirnya, seseorang yang alami ‘masalah berkelas’ hanya tengah coba cari-cari alibi tolol, setidaknya yang mampu dijangkau bagi otak sempit yang berpredikat sebagai akal sehat manusia.

Padahal tak ayal, hanya lempar dan salahkan hal lain demi sempurna menutupi atau entah pun mengelak pada suatu hal berdosa yang ia lakukan, semata dilakukan guna cuci tangan dari segala perkara yang mendera.

Para naif yang terjebak dengan masalah berkelas ini misalnya, mereka hanya sekadar ingin keluar dari rumah lantaran didera bosan atau barangkali penat menghadapi setiap omelan orang tua.

Semacam alih-alih berkata bahwa pertengkaran, kedisharmonisan, kasih-sayang yang tak adil, dan alasan klise labil lain yang justru bertendensi merujuk pada konteks: ingin bebas saja. Itu opini yang terbungkus dalam benak rumitnya.

Jangan repot analisis kebenaran dan sanggah dengan realita yang kau punyai. Opini adalah hal yang bebas dikemukakan siapapun. Ia hanya sampaikan opini dari sorot yang ia punya.

Tapi kini ia mengerti bahwasanya dua kata dengan seribu penjabaran—masalah berkelas—ini adalah masalah pelik yang kontan nyata adanya. Bukan dari perspektif satu maupun dua, tapi ia ternyata juga mengalaminya. Ternyata.

Masalahnya, dirinya juga melakukan hal yang sama seperti para penguna lain—menyalahkan keadaan untuk peralihan. Peralihan yang bahkan sejatinya malah sebabkan pembodohan saraf kritis pada otak hingga terjadilah kemunduran dengan persentase drastis yang memicu pada sebuah kelainan. Macam orang kehilangan akal sehatnya. Ia merasa telah menjadi racun sesungguhnya.

Berpikir indah, ia memandang ke bawah dunia yang berkerlap-kerlip dengan cahaya lampu kota, tampak begitu ramai menghiasi malam. Suara riuh mesin kendaraan yang derunya tak sampai ke sini.

Terlalu tinggi untuk dapat mendengar suara omprengan buruk yang memekakan telinga, atau barangkali sentrongan lampu kota dari kendaraan yang menyilaukan retina hingga terasa menusuk ke otak. Di sini tenang dan damai.

Ia menghirup napas dalam-dalam, mengisi ceruk dada dengan oksigen sebanyak mungkin hingga rasanya paru-paru tak sanggup menampung lebih banyak lagi.

Sedikit pusing terus menatap ke bawah sana, lalu apa yang ingin dilakukannya sekarang?

Membiarkan seluruhnya 'melayang' terdengar jadi ide yang bagus bila diwujudkan.

Menutup mata rapat-rapat sedang telinga tengah coba seksama dengarkan desau angin malam yang kini mulai berbisik lirih di telinganya dengan lembut. Membisikkan hal indah. Menjanjikan harapan baru yang segera ingin ia gapai ruapannya.

Angin seolah bilang; “Dosamu akan diampuni, bergabunglah bersama para pemilik asa yang terbuang.”

Naya pikir, apakah ia benar-benar akan terbebas dari semua dosa ini?

***

Delapan bulan lalu yang beracun..

Musik berdentum keras, seorang wanita super gila memacu kebut mobil di jalan beraspal rata tanpa berpikir apapun. Pedal gas ditekan nyaris sampai dasar, persetan dengan hal buruk. Hal buruklah yang akan menyembah padanya. Melantur. Perih tentu saja begitu terasa kala rasanya berpijak di dunia tak ada lagi miliki guna senoktah pun. Ia menghapus aliran air bening bersumber dari pelupuk mata hingga turun membasahi pipi putih berperona alami miliknya.

Memacu kebut bahkan sama sekali tak membuatnya gentar barang setengah hati pun tidak. Kini pergi sejauh mungkin dan berharap tak lagi pernah ditemukan akan sedikit membuatnya tenang, sekiranya itu adalah tujuannya kini.

Fakta bahwa ia mutlak lebih takut hidup kekal daripada mati. Ia selalu berpikir, kekal bersama ribuan hal konyol rumit dan dikejar gunungan dosa, orang gila mana yang memilih terus hidup? Oh ayolah, hidup itu tak ada gunanya lantaran terus merasa tidak tenang.

Mengambil ponsel yang sedari tadi berbunyi di jok sebelah pengemudi. Musik keras yang liar meraung-raung bahkan pun terdengar sampai keluar nyatanya sama sekali tak ada fungsi, tadinya ia berharap bahwa setidaknya musik dapat alihkan benak berantakannya atau melupakan bising ponsel yang sedari tadi telah membelenggu, ponselnya tak henti boleh jadi sibuk menerima datangnya bondongan pesan pun telepon yang masuk silih berganti tiada jeda.

Nyatanya pelaku pengirim pesan itu ialah orang yang sama, juga seseorang yang teramat dikenalnya.

MESSAGE FROM  IBU

Lari bersama masalah? Percuma saja, kau lari dan itu malah membiarkan masalah semakin membesar. Pulang. Ayo rencanakan pertemuan kita, berempat saja. Membahas semuanya. Aku tahu kau kaget dengan ini semua. Namun biarkan ibu menjelaskan. Ibu mohon.

Cih! Ia membaca pesan itu bahkan nyaris membuatnya tak tahan. Pulang? Bahkan ia tak yakin miliki rumah sebagai tempat berpulang sekarang.

Segera saja jemari tangan kirinya mengetik cepat sebuah pesan singkat, sembari sesekali melirik ke arah jalanan, tangannya tetap lihai menari di atas papan ketik putih ponselnya. Hanya butuh sepersekon saja untuk terkirim.

Tidak, ia tidak butuh pertemuan. Atau mungkin penjelasan. Itu tak ada gunanya, ia membenci semua tragedi lengit yang tersembunyi di balik punggungnya. Tangisnya kini semakin menjadi, membuka kaca lantas melempar ponselnya keluar sekuat tenaga yang dimilikinya.

Sebuah truk gandeng yang melaju dari belakang sisi kiri sukses meremukkan ponselnya dengan gencatan ban bundar besar. Si sopir tampak menatapnya sekilas kala mobil mereka untuk sepersekon sejajar.

Sedang dirinya tak acuh, atensinya hanya tertuju pada satu titik. Ia bahkan terus melihat dari spion mobilnya, tertuju pada benda pipih yang remuk dan semakin hilang tak terlihat jelas wujudnya, Tertawa setengah menangis. Wajah wanita itu terlihat sangat frustrasi.

Namun ia tidak peduli, meski disisi satu ia merasa lega tiada lagi pesan omong kosong, entah mengapa di sisi lain dirinya merasa sungguh sedang digahar habis nyaris hasilkan liang terlalu dalam pada hatinya.

Jujur batinnya sangat senang dikhawatirkan, apalagi ini seorang manusia berharga. Namun ia terlampau muak, kenyataan membuatnya kecewa, sedang selama ini takdir mempermainkannya di dalam sebuah kebungkaman. Semua jelas kebohongan. Ia ditipu.

Ia melamun. Meski hanya sejenak, tetap saja—jangan bodoh—ini jalanan antarkota. Semua kendaraan bahkan seakan kesurupan bermain dengan pedal gas mereka.

Lamunan buat kesadarannya menurun, membuatnya tak awas. Kesadarannya baru kembali tatkala pendengarnya menangkap suara klakson dari sisi kiri mobilnya memecah gendang telinga, mengalahi raungan musik. Terdengar begitu nyaring, berisik menuntut sebuah perhatian.

Menoleh pada pengemudi mobil yang baru saja memecah gendang telinganya. Seorang pria tua dan istrinya, tengah coba memperingatkannya akan sesuatu. Menunjuk-nunjuk arah belakang. Si wanita mengernyit, cepat menyapu pandang pada spion tengah, melihat refleksi keadaan jalan di belakang.

Matanya yang buram lantaran air mata hanya dapat menangkap laju kendaraan besar beberapa puluh meter di belakang sana. Kendaraan besar serupa kontainer itu seakan mengancam dengan suara klakson yang panik.

Ia menoleh pada mobil Pak Tua yang memperingatinya itu, mobil itu masih setia mempertahankan laju demi mengingatkannya akan suatu bahaya di belakang.

Riuh suara klakson terus terdengar, panjang sekali, kali ini dari kedua kendaraan itu, hingga diakui sempurna membuatnya panik setengah mati. Ia hanya menatap kosong Pak Tua itu yang terus mengisyaratkannya untuk minggir sebari berteriak, "Remnya blong!"

Otaknya yang kosong tak tanggap ambil tindakan. Jujur suara Pak Tua itu seakan tertimbun perpaduan antara suara musik mobilnya yang terlalu kencang, suara klakson, dan sekelumit pikiran kosongnya yang syok. Terasa seperti adegan yang diperlambat.

Ia tidak tahu apa tindakannya ini terlambat atau tidak, dirinya tancap gas dan membanting setir ke kiri. Entah apa yang terjadi dengan mobil Pak Tua dan istrinya itu, ia rasa tadi ada bunyi yang buruk. Runyam.

Tak ada pikiran sama sekali ia menoleh ke spion, dirinya sudah dirundung panik yang tak tahu diri hinggap. Sedang akibat ia membanting setir ke kiri, kaca spion kanannya rongak parah.

Nahasnya, pengambilan tindakan untuk membanting setir ke kiri rupanya terlambat, sebab sepuluh sekon setelah ia membanting setir, menyerobot jalan si Pak Tua, truk kontainer di belakangnya yang melaju itu sudah tiba di pantat mobilnya. Menghajar mobilnya dengan tumbukan moncong kontainer yang besar.

Ia berteriak histeris hampir putus pita suara demi merasai kontainer itu menabrak mobilnya tak main-main. Suara tumbukan mengerikan terdengar meremangkan bulu kuduk lantaran terlalu mengerikan.

Menangis tersedu dengan tangan mencengkram setir kuat-kuat, berkedip sepersekon detik. Sebulir air matanya yang jatuh terasa ikut mengapung. Jadi ini rasanya bebas. Wajahnya diterpa angin kematian kala terpental dibalik kemudi. Ia sudah tak tahu lagi arah kemudinya yang benar, bagaimana posisi mobilnya kini, dan bagaimana rupa fisik mobilnya saat ini.

Bersamaan dengan terpentalnya diri, dikocak di dalam mobilnya sendiri yang kini sibuk terpelanting jauh mempertontonkan aksi kecelakaan maut pada banyak pasang mata. Mobilnya terbanting, remuk, dan terguling.

Naya. Mengerang. Dari mobilnya yang terbalik, darah yang mengucur dari banyak bagian tubuhnya, kepala yang pening, suara rintihan, akan tetapi masih tinggal sejumput kesadaran—masih tersisa menunggu direnggut.

Matanya mengerjap begitu lambat, saksikan kengerian dari tubuhnya yang lelai tak berdaya mati rasa. Ada banyak mobil di sini. Terguling. Sekarat. Beruntun. Kacau. Korban.

Kembali mengerjap lambat di antara rasa pening yang tak segera dimahfumi, ia tertawa setengah merintih sendiri menampilkan deretan gigi yang bagai diolesi selai darah.

Jadi ... para korban beruntun ini ... juga pendosa ... sepertinya?

Naya terbatuk, darah memuncrat tak tahu diri. Ia kembali tertawa mengerikan. Bagus, hidupnya akan segera berakhir. Ia tak perlu bertanggung jawab atas kehancuran keluarganya, tak perlu merasa sengsara dengan permainan sesat para konglomerat biadab itu.

Naya tertawa lagi. Jonathan Grease, akan kuingat nama itu sebagai sumber petaka. Keluarga bajingan itu. Ayah pria itu yang bejat. Naya mengerjap begitu perlahan, ia tak sanggup lagi. Rupanya, kelopak mata itu tidak lagi terbuka. Semua terganti dengan ... hitam.[]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status