Share

04 | Alur

Suara televisi rumah sakit berdengung seperti lebah, Naya menatap sedikit terkejut pada berita dan saluran gosip di layar datar di sana.

Seminggu berada di rumah sakit, merasa penat dengan kunjungan dokter dan rencana terapi, baru kali ini ia menyalakan televisi dan sekonyong saja menemukan banyak berita simpang siur tentangnya disiarkan.

Ia tahu itu hanya untuk pemancing pemirsa. Bahkan tak ayal membuat judul yang begitu heboh seakan itu benar. Tetapi ini sungguh memuakkan.

Naya adalah seorang model. Ia bergabung dengan salah satu agensi besar yang menaungi para artis, aktor, dan model sekitar enam tahun lalu. Kala itu usianya masih 22 tahun dan masih menempuh studi di salah satu universitas kenamaan, awalnya mengambil jurusan ekonomi namun tak menyangka awal dari terpilihnya dia menjadi gadis sampul malah membawanya pada kesuksesan.

Setidaknya ingatan baik yang satu itu tidak hilang dari kepala Naya.

Maka dari itu, sebenarnya ia tak lagi terkejut dengan berita, gosip, wartawan, bahkan segala perkapalan yang terjadi dalam dunia hiburan. Namun entah mengapa nama Naya Oswald jadi begitu terkenal dan naik, padahal ia merasa tak begitu tersorot berita televisi. Ia terkenal sebagai model yang tenang dan bermain tanpa ingin banyak tersorot.

Tetapi berita-berita seakan telah begitu mengenal namanya sangat lama, komentar jahat terus ditampilkan di layar televisi.

"Jangan lihat televisi!"

Naya benar-benar terkejut tatkala Jonathan tiba-tiba datang menyambar remote televisi. Tampak begitu tandas dengan nada yang tegas.

"Aku hanya ingin lihat serial televisi, kembalikan remote itu."

"Pokoknya kubilang jangan lihat televisi!"

Naya mengernyit lantaran melihat Jonathan yang begitu bersikeras melarangnya. Ia hanya diam, menatap lurus meski mengkal. Ia tak ingin berdebat. Sedangkan Jonathan kini telah meletakkan sekantong makanan di meja samping nakas.

"Aku hanya tak ingin kamu merasa tertekan, Nay. Berita televisi terlalu omong kosong, itu akan memengaruhi proses penyembuhanmu. Kamu mengerti?"

Naya hanya bergeming, mengunci mulutnya rapat. Jonathan menyodorkan satu hamburger ukuran besar dengan dobel keju di sana. Segera saja Naya mengubah ekspresinya.

"Burger besar dengan dobel keju, tidak pakai selada, dan dengan ekstra mayones."

Naya mengambil burger itu dari tangan Jonathan. Suasana hatinya beranjak naik setelah melihat pria itu benar-benar mengabulkan permintaannya.

Jonathan terkekeh, mengusak pelan rambut Naya. "Tapi ingat untuk mematuhi perintahku."

Naya sibuk memakan hamburgernya, berada di rumah sakit membuat lidahnya mati rasa lantaran rasa makanan yang begitu hambar. Beruntunglah Jonathan berbaik hati.

Suara telepon berdering. Jonathan melirik Naya sekilas, sedangkan si Oswald menatap ringan. Tak mengerti mengapa tatapan Jonathan terlihat gusar.

"Angkat saja." begitu ujar Naya sambil lalu, dia tentu tengah asyik mengunyah bongkahan hamburgernya.

Naya hanya berpikir mungkin Jonathan merasa kurang nyaman bila ada yang meneleponnya sedangkan dia bersama Naya.

"Biarkan saja." timpal Jonathan, dia mengacuhkan ponselnya yang berdering.

Tak berselang lama, ponsel Jonathan berdenting. satu surel masuk. Pria itu segera saja menatap layar potret ponselnya.

Email from ZEI Chairman

Subjek: Alur

Pernikahan yuga Sebastian siang ini. Private. 200 undangan hanya keluarga dan kerabat. Buat sorotan media ke arahmu. Datang dan beberkan pernikahannya.

Konfirmasi HADIR atau TIDAK?

Batas konfirmasi: Tiga jam dari sekarang

Konsekuensi: Bentrok alur pemain lain

Jonathan mendecak, baru saja ia merasa tenang untuk beberapa jam. Dan kini harus dimulai lagi dengan mengikuti alur permainan.

"Ada apa, Jo?" Naya bertanya dengan tatapan menelaah, menatapi ekspresi Jonathan yang kaku.

Jonathan bangkit, mengecup dahi Naya sekilas lantas berkata: "Aku ada keperluan mendadak. Mungkin nanti malam tak dapat ke mari. Tapi aku akan terus meminta perawat melaporkan keadaanmu padaku. Aku tinggal dulu."

Naya hanya mengangguk, sedang Jonathan telah melangkah dengan langkah lebar dan hilang di balik pintu kamar Naya.

Bukan tak memercayai Jonathan, namun Naya hanya merasa bahwa ada sesuatu yang salah di sini. Entah pada Jonathan, atau pada sesuatu yang lain. Sebab kerapkali mengingat, yang ia ingat seperti sekelebat kepahitan. Apakah benar Jonathan yang ia cari dalam ingatannya itu? Namun jika memang iya, mengapa justru rasanya Naya membenci Jonathan? Ada apa ini?

***

Melompat ke tempat lain, yang jauh dari rumah sakit Naya..

Lampu-lampu   gantung elegan menyala bergantian, pendar cahaya ramai-ramai sinari ruangan besar nan luas itu. Pasukan dengan setelan hitam-putih sibuk lalu-lalang kian kemari macam semut sedang asik mengangkut sebongkah gula di atas tubuh mereka, memanglah begitu adanya. Mereka atur apapun yang masih kurang apik demi tata acara terlihat sempurna.

Gelas-gelas kristal berisi   cocktail   bergemelinting terdengar kala dipindahkan ke atas meja-meja panjang bertaplak magenta berenda pita besar. Piring-piring putih tertumpuk rapi dari berbagai ukuran serta lengkap dengan mangkuk sup. Serta jajaran hidangan dalam wadah-wadah super besar turut menggunung hias anekaragam rasa.

Susuri langkah menyisir banyaknya tamu, pasukan hitam-putih berdasi kupu-kupu mengangkat nampan berisikan seloki minuman keras yang barangkali siapa saja hendak cicipi tanpa susah payah buang tenaganya berjalan ke meja panjang. Para tamu undangan sudah penuhi lantai ruangan megah.

Dengung cakap setiap lapis manusia saling bercengrema mengisi hampanya langit-langit, suara sepatu hak tinggi dan pantofel mengilap tak ayal pun terdengar bisingkan telinga yang terbaur samar dalam sayup alunan musik lembut. Semua turut hangatkan suasana dalam ruangan sebesar   ballroom   hotel berbintang.

Sementara lantai pualam telah dipadati banyaknya manusia dengan aktivitas yang bertendensi dengungkan jutaan pola kalimat percakapan singkat, lain halnya suasana kamar Ichi yang terletak di lantai dua. Lengang menyalak rasuki atmosfer ruang kamar hingga terasa sedikit kurang bersahabat.

Mata Ichi sorotkan kekesalan tiada dapat ia hilangkan begitu mudah.

Memutar tubuh perlahan, melihat ke belakang, lenggok kanan-kiri. Entah itu saja yang dilakukan Ichi selama dua jam terakhir. Sibukkan berkutat penampilan, mematut diri didepan kaca. Hanya satu masalahnya, Ichi masih saja merasa tidak percaya diri.

Detik jarum jam dinding terus berputar, seolah masih sabar untuk ingatkan Ichi bahwa dia telah habiskan banyak waktu tanpa tahu diri. Asisten rumah tangganya baru dua menit lalu ingatkan Ichi dengan sopan, pasalnya acara sudah akan dimulai sementara waktu semakin malam hanya untuk menunggu si gadis siap dengan dirinya.

"Gaun ini terlihat aneh kukenakan." seraut wajah bersungut Ichi, sisa guratan kesal belum sempurna hilang dari parasnya.

Ichi melirik Asisten Rumah Tangga (ART) dari cermin, hendak ulangi lagi pertanyaan yang sama nyaris membuat asisten rumah tangganya berbusa menjawab itu. "Tidakkah kau memahami ketidaknyamananku?"

Lihat, bukan? Nyaris berkabut sudah telinga ART-nya itu. Sudah berapa kali Ichi tanyakan seputar topik yang sama, sedangkan hanya bagian punggung saja yang terekspos lantas dijadikannya itu sebagai polemik besar, alih-alih dua jam hanya untuk pecahkan solusi terbaik dari gaun yang tidak nyaman dengan keputusan bulat si gadis yang tak mau mengalah dengan seporsi ego dalam dirinya.

Mampu membuat dua ART yang menunggu sampai kewalahan hanya untuk hadapi segala bentuk cobaan dari gadis yang belum genap dua puluh tahun itu. Salah sedikit, gadis-ralat. Nyonya (yang seringkali mengamuk karena panggilan itu) akan mengamuk dan sungguh enggan memakai gaun berwarna ivory itu. Tiada peduli meski acara malam ini adalah miliknya.

"Tidak, Nyonya. Gaunnya sungguh pantas. Saya yakin ketidaknyamanan itu akan hilang sebentar lagi."

Ichi mendengus, buru-buru memutar tubuh. Terlihat jelas wajah keberatannya yang segera ingin dicetuskan, namun belum sempat suarakan isi kepala, ketukan pintu kamar terdengar lagi. Lepaskan decak tak sabaran lantas berjalan setengah menghentak menuju pintu yang berisik itu.

Ada ruap daya tiada terelakkan kala perasaan kesal kembali menyergap cepat. Ini membuang-buang tenaga dan segala titik-titik kecilnya. Namun Ichi tidak dapat hentikan perasaan terlampau menyesali siapapun di dunia ini yang cetuskan pertama kali adanya pesta resepsi selepas pernikahan.

Opininya, pernikahan saja sudah cukup menyiksa. Sedang malam ini satu penderitaan kembali dilepaskan untuk menderanya lagi datang dari resepsi yang sungguh merepotkan ini. Acara resepsi terlalu besar mengeruk dompet bolong, jebol macam galian sumur sedalam berbelas meter jauh ke dalam tanah. Tidak tahu berapa uang keluar hanya untuk adakan pesta semegah ini.

Meski Ichi belum berniat turun untuk tahu semua lebih jelas, namun kilas saja bahkan menutup sebelah mata ia dapat mengukurnya dari pasukan hitam putih yang sebanyak itu, dekorasi rumit bagai melilit seluruh ruangan, belum lagi tamu undangan berapa ribu yang hampir semua dihadiri oleh banyak orang bergaun   Balenciaga   dan serata kerlipan asesorisnya.

Sudah, Ichi frustasi berat.

Ya, kendatipun Yugalah yang jadi pihak tersisa atas kesekaratan kantongnya menanggung biaya pesta, tetap saja Ichi tidak dapat berdiam diri. Ia masih tidak sanggup pahami pola pikir pria pucat yang telah menyandang embel-embel 'suami'. Diam! Ini idiot sekali. Lupakan.

Harusnya Yuga terawang jauh ke depan. Semuanya, ratusan juta dia royalkan, itu akan sia-sia nantinya. Sebab-Ichi bingung jelaskan semuanya, namun ... apa yang akan bertahan lama dari pernikahan tanpa pondasi teguh?

Membuka pintu sekali sentak dengan raut masam siap buncahkan makian bagi siapapun yang berani ganggunya lagi, sayangnya didetik selanjutnya Ichi hanya sanggup membatu demi melihat presensi sosok manusia yang tengah digosipkannya bersama batin dan hati kecil. Ingin berteriak frustasi dan menjambak tata rambutnya yang sudah cantik sekali ini.

Ichi cepat-cepat hendak banting pintu, sayangnya untuk kedua kali, kaki berpantofel mahal itu lebih gesit menahan pintu agar tak tertutup lagi. Ichi jadi linu sendiri melihat sepatu sebentukan itu dijadikan pengganjal pintu. Yuga bodoh.

"Hendak kauhabiskan berapa waktu lagi?"

Dilihatnya wajah Yuga yang tengah mengintip dari celah pintu, ingin rasanya Ichi langsung membanting pintu dengan keras dan membuat si pucat rompal. Pria itu tanyakan sesuatu yang jadi sumber kekesalannya.

"Aku belum siap." ketus sekali jawaban Ichi yang masih bersikeras menutup pintu, entah banyak kata sayang di sini, namun memang sayangnya Yuga juga bersikeras mendorong pintu di depan sana. Itu sangat menyebalkan.

Berhasil mendorong pintu lebih kuat, membuat Ichi terdorong sepelemparan batu. Bersungut. Ichi harus relakan dirinya dikuliti oleh tatapan Yuga. Tajam sekali rupanya bagai belati, suaminya itu lontarkan sorot menilai dengan pandangan yang ditujukan dari atas sampai bawah.

"Kau jauh sudah siap." tukas Yuga datar. "Merepotkan."

Menarik tangan Ichi sebelum mampu ucapkan kalimat tangkal mujarab untuk menolak kesekian kalinya. Terlalu terlambat untuk lakukan muslihat, barangkali guna coba lepaskan tangan Yuga dari pergelangannya. Sebab kini mereka telah benar-benar tiba di anak tangga teratas, siap untuk turun.

Hal itu tak ayal menarik perhatian para hadirin untuk mendongak menatap mereka di atas sini. Bukan hanya sekadar toleh apatis belaka, melainkan segera dibubuhi senyum yang lantas mengembang. Satu tepuk tangan lantas mengundang tepuk tangan lain hingga seluruhnya menggemuruh, serbu Ichi dan Yuga bagai dihujani anakpanah yang kehadirannya sungguh jadi esensi penting. Memang benar, mereka adalah sepasang bintang malam ini.

Yuga hanya ingin kenalkan sosok istrinya, sebab pernikahan mereka empat hari lalu digelar tertutup tanpa seorang pun tahu kecuali keluarga. Benar perkataan Ichi, pernikahan ini konyol. Mereka adalah dua orang manusia yang miliki ajang kepentingan masing-masing. Yuga tidak mengerti Ichi, begitu sebaliknya bagi Ichi, dia tak paham taktis tindakan Yuga.

Mereka; Ichi dan Yuga, kini sempurna jadi dua tak terpisahkan di antara banyak pasang mata. Hanya tidak tahu saja hadirin bahwa dari awal, pernikahan ini telah dibangun atas dasar pondasi rapuh, atas dasar dua jalinan benang takdir yang terbentang dan entah sejak bila terhubung nyaris kompleks.

Banyak skeptisitas dan ruai untuk tutupi segala rumpang yang parah demi wujudkan keutuhan. Semuanya mustahil, keduanya harus saling pelajari hakikat pernikahan secara integral dan mutlak. Dan lebih hebatnya, Ichi dan Yuga adalah dua manusia yang disatukan atas ketidaksengajaan dan memiliki perspektif pikir saling bertolak belakang.

Yuga menoleh. Tatapi wajah terpekur Ichi yang masih edarkan sorot matanya. "Alih-alih terus undur waktu resmi kita. Selarut apapun, sampai malam jatuh nanti, semua tamu pada akhirnya tetap akan melihat cantik memikatmu dengan gaun itu."

Ichi membalas tatap Yuga setelah alihkan atensinya. Menunggu si suami datar melanjutkan ucapnya, sebab kalimat barusan sengaja digantungnya dengan nada menuntun.

Merengkuh pinggang Ichi erat, "Ketidaknyamananmu, mari tutupi bersama untuk malam ini saja. Jadi, boleh kugenggam untuk formalitas kita?"

Menarik napas tertahan. Lepaskan segala keegoisannya yang sudah jauh tak bertakar. Ribuan hadirin tidak paham masalahnya, lantas biarkan saja mereka riang berkonsepsi dan teriakkan pujian "serasi" kepada Ichi dan Yuga malam ini.

Biarkan mereka sejenak berpikiran bahwa mereka memang pasangan serasi sebelum semua akhirnya runtuh tidak lama lagi. Untuk hari ini Ichi akan lunturkan egoistis itu.

Menoleh menatap Yuga canggung, ia loloskan anggukkan kepalanya samar sekali. Sementara itu, tidak perlu menunggu lama atas kepekaan suaminya, tangan Yuga telah berpindah menggenggam tangannya. Hangat sekali rasanya tangan besar itu.

Aman sekali terasa sejak menggenggam Yuga yang dibencinya ini, seolah dia sedang tawarkan perlindungan abadi 24/7 lewat genggamannya. Ingin katakan bahwa ia suka rasa genggaman dan euphoria hatinya kini, namun Ichi hanya tidak ingin cepat-cepat membiarkan dirinya jatuh cinta, apalagi untuk pernikahan yang akan segera saja hancur. Tidak lama lagi.

Ketika itu, bersamaan dengan Yuga menuntunnya menuruni tangga dengan anggun, seketika itu juga kembali bergemuruh tepuk tangan dan lontar riuh tanggapan manis yang membumbung tinggi nyaris menyentuh langit-langit, mendedah Ichi untuk cicipi rasa jadi seorang teramat penting yang disadari eksistensinya.

Pantaskah ia menerima teramat banyak harapan besar pun kelimpahan yang bergelimang?  Tetapi Yuga dan dirinya, pernikahan ini hanya untuk memenuhi keinginan ayah. Di luar itu, sudah Ichi katakan bahwa Yuga miliki segalanya. Popularitas dunia bahkan dia juga dapat membungkam dunia.[]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status