Share

03 | Ingatan Kosong

Awalnya hanya putih yang menusuk mata bahkan dikala matanya memejam. Mengerjap beberapa kali guna menyesuaikan retina matanya lantaran sinar mentari menelisik celah tirai, ditutupinya dengan tangan berusaha menghalangi sinar di depan wajah.

Kepalanya terasa nyeri, semua benda bahkan ruangan terasa berputar. Mengerjap setengah menyipit, matanya menyapu objek apapun yang dilihatnya dengan tatap sayu yang gamang.

Butuh waktu yang hampir-hampir memualkan untuknya biasakan diri dari kepala yang pening. Rasanya ingin muntah seakan dijungkir-balikkan. Tetapi perlahan rasa pening kemualan itu sirna dan digantikan kebingungan baru.

Kali ini adalah sebuah kamar seukuran 5x5 bercat putih. Kini tatapannya terarah pada tangannya sendiri, sembari membolak-balik tangannya dengan jarum infus dan sebuah belalai panjang dengan alat yang menjepit jari telunjuknya.

Wanita itu menoleh kesana-kemari, lantas mengerang dan refleks menyentuh lehernya. Batang lehernya dipasang gips membuatnya tak leluasa kendati untuk menoleh sekian senti. Namun itu tak mengurangi kebingungan dengan keadaan sekitarnya.

Seorang perawat wanita masuk, pintu tertutup otomatis tanpa menyisakan bunyi. Sempat terkejut sesaat, namun sang perawat lantas menghampiri. Berbekal sebuah papan dengan beberapa berkas laporan kesehatan pasien, si perawat berhenti tepat di samping si gadis.

Mengerjap sesaat sebab si perawat terus diam, perawat itu hanya mengecek benda kubus bersuara monoton itu tanpa ucapkan sepatah kata pun yang membuat si pasien wanita merasa tenang.

"Ada apa denganku?" tanya si pasien wanita dengan suara begitu serak nyaris tak terdengar.

Si perawat bertubuh langsing ini tak lantas menjawab, "Apa kau merasa pusing? Mual?"

Si gadis terdiam sejenak dan menelah saliva, "Sangat."

Perawat wanita ini mengangguk dan kembali mencatat pada kertas menyebalkan itu. Beberapa menit dibuat canggung dan hening, si perawat sibuk mengecek keadaannya (maksudnya kondisi beberapa luka di tubuhnya) sedangkan si gadis dibiarkan terus tenggelam dalam kebingungan yang bercokol kuat di benaknya.

"Nona Naya Oswald, kami kesulitan untuk tahu identitasmu. Beruntung ada yang mengenalmu di antara kami. Apa ada hal lain yang kau ingat?"

Si gadis yang di panggil Naya Oswald itu mengernyit bingung, kini dirinya sudah mulai merasa mual disertai kepala yang terus berdenyut. Memahami keadaannya sendiri saja dirinya tak mampu, jadi ada apa dengannya?

"Mengapa aku ada di rumah sakit?" Naya menengok susah payah, mencari kalender pada dinding. "Tanggal berapa sekarang? Aku harus segera pergi menemui ayahku."

Alih-alih menjawab pertanyaannya, si perawat nampak terdiam lalu menulis sesuatu dalam kertas-kertas yang ia bawa. Naya yang mendapati perawat lagi-lagi diam membuatnya kembali menuntut jawaban. "Tanggal berapa sekarang?" tanyanya penuh penekanan.

"11 Februari 2020." begitu sahut perawat datar.

Naya mengernyit. 11 Februari? Bagaimana bisa? Naya merasa semakin pusing kala berusaha untuk terus mengingat waktu yang telah jauh dilampauinya.

"Apa yang terjadi...," Naya memegang kepalanya yang kembali berdenyut. "Ada apa denganku?"

Menghela napas, "Sebentar," membuka laci nakas di samping bangkar rawatnya dan memberikan sebuah foto. "Kami menemukan ini di saku hoodiemu terakhir kali. Mungkin ada seseorang yang kau ingat dalam foto itu?"

Naya patah-patah mengambil foto yang tidak lagi licin. Bahkan potret kertas fotonya seperti bekas diremas-remas, ada sedikit jejak darah. Ada apa sebenarnya ini? Ia kecelakaan?

Ia menatap foto itu lamat-lamat, hanya ada empat orang di sana; dua orang pria dengan salah satunya pria seusia ibunya atau mungkin lebih tua, dan juga ibu Naya dan Naya yang berwajah ketus.

Posisi fotonya seorang pria muda merangkulnya dengan senyum sabit mengarah ke kamera, pria tua itu dan ibu Naya bersampingan, sedang Naya berada di sana yang satu-satunya tak tersenyum ke arah kamera.

Alis Naya mengernyit, kapan foto ini diambil? Siapa kedua pria ini?

Perawat itu tampak masih menunggunya seolah enggan berpaling dari wajah kusut Naya yang tak kunjung memberikan tanggapan, alisnya mengernyit absolut dengan kerutan. Membiarkan dua alis tebal yang cantik itu hampir saling bertemu.

"Ini aku, ini ibuku." Naya masih mencoba berpikir hingga ia membalik foto itu, sebuah tulisan kecil menjawab kebingungannya.

Dari kanan: Aku, Naya yang sadis, Ibu, Papa.

Pastilah ini bukan tulisannya. Jika tulisannya, tak mungkin ia menyebut namanya sendiri sebagai 'Naya yang sadis' pastilah ia akan mengganti subjeknya menjadi aku. Apa yang sebenarnya terjadi?

Dengan wajah datar si perawat berdeham yang Naya yakin benar bahwa itu disengaja, "Anda ada dalam kejadian kecelakaan beruntun sembilan hari yang lalu. Kami dari pihak rumah sakit sangat bingung tatkala tak menemukan identitas apapun sedang Anda sedang terjebak kritis. Untulah bahwa Anda dikenali. Kami pihak rumah sakit menghubungi tunanganmu. Beberapa kali dia sering kemari menengok Anda. Anda hanya perlu rileks."

Naya mengerjap, semakin terjebak dalam liku fakta baru yang didapatinya bahkan sama sekali tak mampu membuatnya mengingat apapun yang terjadi sebelumnya. Rasanya tulang lehernya nyeri.

"Aku tak mengingat apapun. Aku bahkan.. tidak tahu telah memiliki tunangan."

Naya merasa memulai hubungan dengan seorang pria saja belum pernah. Seingatnya semasa kelas satu SMA adalah kali terakhir ia berpacaran.

Wajah perawat itu tampak menyebalkan untuk beberapa detik, seolah ia tengah menahan rasa kesal teramat sangat padanya, namun sesaat kemudian ia menyunggingkan seulas senyum (terpaksa) dan mengambil papan dengan kertas-kertas menyebalkan itu untuk ia peluk di tangan kiri.

"Baiklah, Nona Oswald. Aku akan segera melaporkan pantauan masalah pada diri Anda. Jika dokter datang memeriksa, kuharap Anda menunjukkan beberapa keluhan yang Anda alami agar membantu prosesnya. Permisi."

Perawat itu berbalik, belum juga mengambil langkah ketiganya, Naya kembali memanggil membuat si suster perawat setengah berbalik.

"Apakah aku boleh menyimpan fotonya?" tanya si gadis Oswald pelan.

"Itu memang milikmu, Nona." ujarnya singkat lantas berbalik.

"Dan," Naya sejenak ragu.

Perawat kembali menoleh, kini lumayan kesal.

Ia merasa kaku mengatakan ini. "bisakah hubungi tunanganku dan katakan aku membutuhkannya?"

Perawat itu tersenyum kecil, "Tentu saja. Itu memang yang hendak saya lakukan selepas ini."

Perwat itu keluar dari kamar rawat Naya. Sedang Naya, pandangannya kembali mengarah ke foto di genggaman. Menatap lamat tanpa berkedip.

Naya dan dirinya sendiri tak mengerti akan segala yang tengah terjadi, dirinya pun tak tahu mengapa ia bisa sampai berada di sini. Di luar pernyataan bahwa ia mengalami kecelakaan beruntun, kini sudah tanggal 11 Februari, sudah ada di tahun 2020, bahkan seorang tunangan.

Maksud Naya di sini, semua merujuk dengan apa yang terjadi sebelumnya. Ingatannya seakan hilang. Tubuhnya kini seperti onggokan mayat tak berguna yang tertidur kaku di atas bangkar. Tak ada yang dapat diingatnya.

"Di ingatanku hanya ada ingatan—kemarin adalah hari ulang tahunku. Ayah tidak hadir. Ibu pergi bersama temannya. Hari itu hujan deras. Dan, seorang pria yang baru kukenal mengingat hari ulang tahunku. Dia sipit. Satu-satunya yang peduli padaku. Namun kini, aku malah lupa. Siapa namanya? Kepalaku pusing."

Naya mencengkeram kepalanya, pening. Sekelebatan ingatan mendadak menghampiri, tetapi terlalu buram.

***

Kala Naya menelan sesendok makan siangnya di atas nakas pendek yang diletakkan persis di antara tubuhnya di atas bangkar, di temani seorang perawat ramah yang menyuapinya dengan sabar.

Naya menoleh pada si perawat, "Aku sudah kenyang."

Perawat itu tampak ingin memaksanya untuk makan sedikit lagi, namun melihat wajah Naya yang seolah enggan, si suster langsung membereskan nakas makan itu dan memindahkannya ke nakas dorong.

Naya tak berdusta, memang itu yang dirasakannya. Ia tak bergurau. Naya memang mendadak merasa kenyang, setidaknya tiga sendok yang ia makan sudah lebih dari cukup. Ia merasa ingin istirahat saja.

Harinya terlalu membingungkan. Baru sadar dari koma pasca-kecelakaan yang dialaminya pagi ini, dan langsung mendapat banyak serbuan fakta baru. Itu membuatnya merasa tertekan.

Rasanya dirinya begitu lelah seharian terbangun dalam keadaan yang berbeda—maksudnya, tidakkah kau merasa lelah saat kau berusaha mengingat dan itu tentang dirimu sendiri bahkan yang seharusnya otak kecilmu tahu semuanya?

Biasanya otak setiap orang mampu tahu dan mengenal lebih dari apapun tentang 'dirinya sendiri', tapi Naya, otaknya bak lembaran kertas putih yang kosong. Iya, kosong. Tanpa coretan apapun.

Hanya kejadian yang sepertinya, setahun lalu? Iya, kurang lebih hanya ada memori setahun lalu yang ia ingat dan masuk dalam otaknya. Setelahnya? Bahkan sampai hari ini pun ia tak mengingat apapun. Bahkan bagaimana ia bisa mendapatkan kecelakaan itupun Naya tak mampu mengingatnya.

Ia tidak mengharapkan ibu atau ayahnya. Entah mengapa mengingat orang tuanya justru membuat Naya merasa sesak dan ingin menangis. Tetapi tak tahu perihal apa.

Mereka seharusnya di sini, mencoba mengingatkannya sesuatu atau paling tidak menghiburnya. Menenangkannya setelah kecelakaan. Naya membutuhkan kedua orang tuanya.

Namun diri seakan tak sanggup mengharap. Yang kini menjadi harapannya, semoga pria yang entah bergelar ‘tunangan’ Naya ini mampu membawa beberapa hal melegakan.

Jujur saja Naya ingin tahu, dengan yang sebelum-sebelumnya terjadi. Yang lebih spesifik adalah; Sejak kapan dan bagaimana bisa mereka bertunangan?

Naya dengan lamunannya sedangkan perawat ramah itu dengan aktivitas membereskan nakas sisa makanan si wanita, keduanya sama-sama terkejut kala seseorang datang.

Masuk kamar rawat Naya kelewat tergesa-gesa, kelewat rusuh. Pria itu tampak terengah-engah, satu tangannya memegang gagang pintu stainless steel itu, dan satunya memegang lutut dengan berusaha mengatur napasnya.

Naya terus memandang pria itu dengan perasaan takut yang dipadu sempurna dengan rasa curiga. Masih dengan terengah, pria itu kembali menegakkan tubuhnya dan menabrak iris abu-abu Naya dengan tatapan teduhnya.

"Kamu terlalu hebat, Nay." Pria itu menghampiri bangkar rawat Naya. "Aku khawatir. Syukurlah."

Jangan salahkan Naya yang merasa ketakutannya memuncak, pasalnya penampilan pria ini kelewat aneh dimatanya. Penampilannya nyaris mirip para manusia cuek penampilan.

Ripped jeans

yang tampak sobek di bagian lutut membuat kesan mengerikan, Jaket hitam, sneakers, dan topi putih. Namun masalahnya penampilan itu membuat pria itu tampak menganggumkan. Terlalu tampan.

Naya tak menatap pria itu, tatapannya diarahkan ke bawah. Samar-samar aroma parfum pria itu menggelitik penghidunya. Ada sesuatu yang terasa familier dengan aroma ini.

Membawa ingatan yang masih buram namun seakan ia kenali. Ia dapat menemukan ingatan yang diantarkan oleh aroma parfum ini, namun ia tak sanggup menyingkap apa ingatan itu.

Pria itu menekuk lututnya di atas lantai, menyejajarkan jarak pandangnya dengan Naya. Sedang si gadis Oswald itu menoleh sedikit, "Siapa kau?"

Pria itu melepas topinya, "Aku mencarimu, semua orang juga." katanya lembut.

Kini Naya merasa seolah disadarkan kembali dengan tatapan teduh yang terasa familier ini, namun kala otak mencerna ingin menemukan setitik ingatan. Hebatnya sistem otak enggan memberi petunjuk.

"Apakah, kau yang menyematkan cincin dijariku?"

Pria itu melirik cincin di jari manis Naya, alisnya mengerut samar lantas menoleh pada suster perawat.

"Cedera otak selepas kecelakaan itu." ucap perawat singkat.

Pria itu mengangguk paham, namun tak lantas menjawab. Pria itu hanya menatap Naya dengan tatapan teduhnya, sedangkan Naya masih menunggu pria itu menjawab.

Pria itu mengerjap sebentar, "Iya, Nay. Aku yang menyematkannya dijarimu."

"Jadi kamu tunanganku?"

"Iya, kamu itu milikku."

"Aku tidak bisa mengingat apapun." Naya menatap pria itu lama, "Namamu?"

Pria itu tersenyum, senyum yang menyentuh mata kini terbitkan dua lengkung sabit yang memesona. "Jonathan. Dulu kamu sering memukulku dengan kamus Bahasa Jermanmu setiap kesal."

Naya tersenyum, "Iya. Kamu memang terlihat menyebalkan." tak lama ia tertawa karena melihat wajah Jonathan berubah memanyun.

Namun tatkala melihat Naya tertawa semanis itu, Jonathan kini malah tersenyum penuh bunga. "Aku tidak pernah melihatmu tertawa, Nay. Rupanya memang semanis itu, ya? dengar, kamu harus benar-benar jadi milikku. Aku menginginkanmu, Nay. Sungguh."

Perlahan Jonathan mencondongkan badannya, Naya memejam, ia belum pernah berciuman sebelumnya. Apakah Jonathan hendak menciumnya?

Perlahan ia merasai hidung Jonathan bergesekan pelan dengan telingannya, Naya merasa ada kupu-kupu di sana.

“Selamat datang kembali di Neraka, Nay. Senang melihatmu.”

Yang Naya dengar hanya dua kalimat pendek itu dari Jonathan, membuatnya sontak menoleh. Mengernyit. Tak mengerti. Sedang pria itu mendadak tersenyum manis, matanya menyipit.

Jonathan merasa ini akan seru. Naya sudah kehilangan memorinya. Dia kehilangan ingatan dan semua kenangan satu tahun terakhirnya. Semua menjadi mudah untuk mengatur skenario selanjutnya.

Sedangkan Naya kini terjebak kebingungannya sendiri. Berusaha mengingat. Apakah tidak ada yang penting?

Naya.

Wanita itu sama sekali tidak tahu bahwa sebelumnya dia adalah wanita yang gila. Lantas neraka apa yang Jonathan maksud? Benarkah Jonathan Grease tunangannya? Mengapa rasanya nama itu tak asing.

Naya hanya tak tahu bahwa dia pernah melakukan tiga dosa besar.[]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status