Share

7. Telepon

Bola mata Cassandra seketika membola setelah mendengar celetukan dari sang suami. Lagi-lagi wanita itu harus memutar otak agar Alfian tak curiga dengan permainanya dan Randa.

"Kan Mas sendiri yang buat itu, kok malah tanya ke aku sih?" Wanita itu berusaha bersikap sesantai mungkin agar Alfian tak semakin curiga.

Alfian terdiam sejenak, bahkan mata lelaki itu memincing. Jari telunjuknya menari-nari menelusuri noda merah di dada sang istri hingga membuat Cassandra memejamkan mata karena sensasi geli yang dibuat oleh sang suami.

"Aku seperti tak merasa jika sydah membuat sebanyak ini semalam, tapi sudahlah. Kamu memang terlalu menggoda sampai membuatku lupa daratan."

Cassandra tersenyum lega mendengar ucapan sang suami yang selalu mempercayai setiap dusta yang terlontar dari bibir tipis miliknya. Alfian langsung menenggelamkan wajahnya di dua buah melon kembar milik sang istri. Menikmatinya seperti seorang bayi yang tengah kelaparan. Cassandra menggigit bibir bawahnya, menikmati setiap rasa yang diberikan oleh sang suami yang saat ini sedang mengungkungnya dengan kenikmatan. Permainan panas keduanya baru berakhir ketika pagi menjelang, Alfian dan Cassandra berpelukan dengan tubuh polos yang hanya ditutupi oleh selimut.

Pagi telah kembali menyapa bersama hawa dingin yang menusuk kulit dan sinar mentari yang mulai menggeser pekatnya malam. Suara kicau burung di luar jendela mengusik indera pendengaran Cassandra dan memaksa sepasang mata indah miliknya untuk segera terbuka. Tubuhnya begitu lelah akibat pertempuran panas semalam, rasanya ingin sekali wanita itu kembali terlelap. Namun, Cassandra tetap bangkit. Kamar mandi adalah tujuan utamanya untuk membersihkan diri sebelum turun ke lantai bawah.

Setelah selesai memoles wajahnya dengan make up tipis, wanita itu mulai mendekat ke arah sang suami yang masih terbuai dalam mimpi indahnya.

"Mas, bangun. Sudah pagi," bisik mesra Cassandra di telinga Alfian.

Melihat sang suami yang sama sekali tak bergeming, wanita itu mulai menciumi seluruh wajah Alfian dengan penuh rasa sayang. Otak jahil Cassandra membuatnya menghentikan kecupannya tepat di bibir Alfian dan menggigitnya kecil hingga si empunya membuka mata. Cassandra hendak menjauhkan wajah, namun Alfian malah lebih dulu meraih tengkuknya hingga mereka kembali berciuman dan saling bertukar saliva satu sama lain. Alfian baru melepaskan ciuman sang istri setelah merasa mulai kehabisan napas.

"Maass, lihat nih lipstik aku jadi berantakan begini?" protes Cassandra sembari mengerucutkan bibir, membuat sang suami semakin gemas dibuatnya.

"Lha kan kamu sendiri yang mulai nakal tadi," ucap Alfian kemudian terkekeh.

"Ya udah, Mas mandi gih. Aku mau bantuin ibu masak buat sarapan." Wanita itu keluar dari kamar setelah merapikan kembali lipstiknya yang sempat berantakan, meninggalkan Alfian yang masih terkekeh melihat tingkah lucu sang istri.

Cassandra mulai menuruni anak tangga, menghampiri Bu Yuni yang sudah berkutat di dapur sedari tadi. Sejenak wanita itu terdiam, memperhatikan punggung ibu mertuanya. Wanita yang menyayangi dirinya selayaknya anak kandung sejak pertama bertemu beberapa bulan yang lalu. Cassandra berharap, kebahagiaanya saat ini tak akan pernah berakhir apalagi sampai dihancurkan oleh Randa.

"Sayang, kamu sudah bangun, Nak? Kenapa melamun di situ?" Suara lembut Bu Yuni berhasil membuyarkan lamunan Cassandra, wanita muda itu tersenyum dan mendekat ke arah sang ibu mertua.

"Tadi Cassandra mau bantuin Ibu masak, eh malah udah mateng semua ternyata. Kalau gitu Cassandra bantu tata di meja makan aja deh." Cassandra segera membawa masakan ibu mertuanya ke meja makan, diikuti oleh Bu Yuni yang langsung menghenyak di salah satu kursi.

Keduanya mengobrol sembari menunggu Alfian yang baru turun sepuluh menit kemudian.

"Wah harum banget baunya, sarapan apa kita pagi ini?" celetuk Alfian yang baru saja menghenyak di samping sang istri.

"Nasi goreng ikan asin sama telur mata sapi, kesukaan kamu tuh," balas Cassandra menggoda sang suami.

Seperti biasa, keluarga itu selalu makan dengan diiringi canda tawa. Usai sarapan, ketiganya memilih untuk bersantai sembari mengobrol di meja makan. Namun, obrolan itu terhenti kala ponsel Cassandra berdering. Alfian dengan sigap mengambil ponsel sang istri yang berada di atas meja. Kedua alisnya bertaut kala photo profil w******p Randa terpampang pada panggilan dari nomor tanpa nama itu.

"Siapa yang telepon, Mas?" tanya Cassandra pada sang suami yang masih memegangi benda pipih miliknya.

"Ini nggak ada namanya, tapi dari photo profilnya kok mirip sama Om Randa ya." Ucapan Alfian hampir saja membuat Cassandra gelagapan, namun wanita itu berusaha untuk bersikap biasa saja.

"Oh ya, sini aku lihat." Cassandra meraih handphone yang berada di tangan sang suami dan sengaja menerima telepon itu tanpa menjauh dari sana agar tak membuat suami dan mertuanya curiga.

"Halo Pak Randa," sapa Cassandra dengan lembut.

"Cassandra, aku ingin bertemu denganmu besok." Terdengar suara dingin Randa di ujung telepon.

"Aduh, Pak maaf. Saya nggak bisa mutusin sendiri, kan sekarang saya sudah punya suami."

"Aku tidak mau tahu, pokoknya besok kamu harus bertemu denganku di caffe Florida jam satu siang," tegas Randa tak mau dibantah.

"Baik, Pak. Saya akan bicara sama suami saya dulu." Cassandra terus menyunggingkan senyum agar kecemasan yang ia rasakan saat ini tak terlihat. Wanita itu bisa bernapas lega kala Randa langsung mematikan panggilan teleponnya secara sepihak seperti biasa.

"Sial, dia neror aku nggak kenal waktu," batin Cassandra dalam hati kemudian meletakan kembali handphonenya ke atas meja.

"Randa? Bukankah itu ayahnya Dira?" tanya Bu Yuni dengan kedua alis yang saling bertaut.

"Iya, Bu. Pak Randa itu mantan atasan Cassandra, dulu Cassandra kerja jadi sekretaris pribadinya." Lagi-lagi Cassandra harus menebar kebohongan untuk menutupi kisah masa lalunya.

"Ada apa, Sayang? Kok dia telepon kamu?" sahut Alfian yang sedari tadi sudah merasa penasaran mengapa Randa sampai menelepon istrinya.

Cassandra menghela napasnya dalam, otaknya kembali berputar. Mencari-cari alasan agar bisa menemui Randa esok hari. Jika tidak, bisa dipastikan lelaki tua itu akan benar-benar menghancurkan kehidupannya.

"Itu lho, Mas. Sekertarisnya tiba-tiba resign karena hamil muda dan harus bed rest, jadi dia minta aku untuk menggantikan posisi itu. Kalau nggak bisa selamanya ya minimal sampai dia menemukan sekertaris yang baru."

"Terus?"

"Dia minta aku temui dia di caffe Florida besok siang, tapi aku bilang kalau aku harus minta izin dulu sama kamu karena sekarang aku udah punya suami. Gimana? Apa kamu izinkan?" Cassandra berpura-pura untuk meminta pendapat sang suami.

"Memangnya kamu masih pengen bekerja setelah jadi istriku?" Alfian membalikan pertanyaan dari sang istri, sedangkan Bu Yuni hanya diam menyimak pembicaraan mereka. Wanita paruh baya itu tak mau ikut campur dalam rumah tangga putranya.

"Pengen sih, Mas. Jujur, aku juga bosan kalau cuma di rumah aja. Kalau kerja kan aku tetap bisa produktif, ya sekalian nambahin tabungan buat biaya pendidikan anak kita nanti," ucap Cassandra yang selalu berhasil untuk meluluhkan hati sang suami.

"Tapi kalau nanti kamu hamil gimana? Aku juga nggak mau kalau sampai kamu dan calon anak kita kenapa-kenapa lho."

Ya Tuhan, mendengar Alfian membahas kehamilan membuat Cassandra semakin merasa bersalah pada suaminya. Bagaimana jika ia kembali mengandung anak Randa, mengingat kemarin mereka melakukan hal terlarang itu tanpa pengaman dan Randa menyemburkan benihnya di dalam rahim Cassandra.

"Nanti kalau hamil kan aku bisa resign juga, Mas? Boleh ya, kalau boleh besok siang aku akan temui Pak Randa." Cassandra menangkupkan kedua tanganya di depan dada sebagai tanda memohon.

Alfian mendengus kemudian menatap ke arah sang ibu, berniat untuk meminta pendapat wanita paruh baya yang sedari tadi hanya diam menyimak.

"Gimana menurut, Ibu? Apa Alfian harus izinkan menantu Ibu ini untuk kembali bekerja?" tanya Alfian pada wanita yang telah melahirkannya.

Bu Yuni terdiam sejenak, menatap anak dan menantunya secara bergantian kemudian menyunggingkan sebuah senyuman teduh.

"Menurut Ibu, boleh saja Cassandra bekerja. Toh orang hamil itu bukan penyakit, kalaupun dia hamil dan kondisi kandunganya baik-baik saja. Dia tetap bisa bekerja, nanti setelah mendekati hari lahiran baru cuti atau resign." Ucapan Bu Yuni membuat Cassandra langsung menhambur ke dalam pelukanya.

Cassandra memang beruntung memiliki mertua seperti Bu Yuni, bukan hanya baik. Tapi pemikiranya juga cukup terbuka.

"Makasih ya, Bu. Ibu memang paling bisa mengerti Cassandra, aku beruntung sekali memiliki mertua seperti Ibu," ucap Cassandra setelah mengurai pelukan itu.

"Baiklah, aku izinkan kamu bekerja. Tapi kamu harus janji, kalau nanti kamu hamil dan kondisi kamu nggak memungkinkan. Kamu harus resign, aku nggak mau kandungan kamu kenapa-kenapa," tegas Alfian menatap dalam manik mata sang istri yang langsung menganggukan kepalanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status