Bianca Anastasya merupakan putri dari mendiang Rinda dan Andhika. Keduanya menikah tanpa mendapatkan restu dari kedua orang tua Andhika.
Kedua orang tua Andhika merupakan pengusaha sukses di kotanya. Sedangkan Rinda hanya seorang anak panti asuhan yang tidak diketahui asal usulnya . Itulah yang menjadi penyebab Andika dan Rinda tidak mendapatkan restu dari orang tua Andhika. Andhika dicoret sebagai keluarga Sebastian yang tak lain ayah dari Andhika. Kumudian ia diusir dari rumahnya yang mewah. Ia diusir tanpa membawa apapun kecuali baju yang ia pakai. Kini Bianca hidup sendiri tanpa sanak saudara. Kadang kala ia mengingat kehidupan sebelumnya. Ia akan menangis saat mengingat suami dan kedua anaknya. Seperti saat ini ia tidak bisa tidur karena mengingat mereka. Namun bukannya menangis di dalam kamar, Bianca malah memilih menangis diatas pohon mangga yang ada di samping rumahnya. Dia tidak mengetahui jika tindakannya itu membuat para warga takut. "Hiks...hiks...." Tiga orang yang sedang melakukan ronda dengan berkeliling langsung kaget mendengarnya. "Kalian dengar sesuatu tidak? " tanya Bapak-bapak yang bernama Anton. Dia merupakan tetangga yang rumahnya di sebelah rumah Bianca. Ketiganya berhenti berjalan untuk memastikan jika mereka tidak salah dengar. Mereka menoleh kanan kiri untuk memastikannya. "Kayak ada yang nangis nggak sih? " tanya Jaka dengan suara agak berbisik. Entah kenapa ia merasa agak takut mendengar tangisan itu. "Hemmm...apa mungkin Bia yang nangis. " "Bisa jadi sih. Tapi masak Bia nangis di atas pohon mangga sih. Ini sudah malam loh! " sanggah Pak Anton yang memang sudah hafal dengan kondisi rumah Bianca. "Iya juga sih. Tapi kalau bukan Bia siapa dong yang sedang menangis tengah malam gini ? " Ketiga orang itu saling pandang. Kemudian ketiganya berteriak sama-sama. "Lari! " Mendengar teriakan mereka, Bianca langsung menghentikan tangisannya. Kemudian ia terbang keatas atap rumah untuk melihat apa yang sedang terjadi. Rumah Bianca di kelilingi oleh pagar setinggi dua setengah meter. Dari tempatnya sekarang ia tidak bisa melihat yang terjadi di luar pagar. Meskipun tempat yang ia naiki lebih tinggi dari pagar. Karena pohon mangga yang ia naiki daunnya cukup lebat. Untuk itulah Bianca memilih naik ke atas atap. Sehingga ia bisa melihat kejadian di belakang pagar. Saat Bianca terbang ke atas, kebetulan salah satu dari tiga orang itu sedang menoleh ke rumah Bianca. Ia jadi yakin jika yang menangis tadi hantu penunggu pohon mangga. Bianca penasaran dengan apa yang membuat ketiga lelaki itu berlari terbirit-birit. Ia tidak merasa bersalah sama sekali. "Mereka kenapa sih? Malam-malam bukannya tidur malah berlarian di jalan, " gerutu Bianca tanpa rasa bersalah. Setelah iti Bianca masuk kedalam kamarnya. Ia turun dari atas atap dengan cara meluncur ke bawah. Ketiga lelaki yang berlari tadi akhirnya tiba di pos ronda. Nafas mereka ngos-ngosan. Salah satu teman mereka yang berjaga di sana sampai terheran-heran. "Kalian kenapa sih? " "Hantu! " jawab ketiganya secara bersamaan. "Hantu apaan sih? Kalau ngomong mbok yang jelas, " tegur nya dengan logat jawanya. Mereka tidak menjawab. Mereka mengambil minuman botol yang tersedia di dalam pos ronda. "Kami bertemu penampakan," jawab Pak Anton setelah selesai minum. "Yang bener? " "Beneran. Tadi kami dengar suara orang nangis di atas pohon. Kalau menurut kamu orang mana yang mau nangis di atas pohon tengah malam begini? " "Orang galau mungkin saja." "Tapi bukan itu saja loh. Tadi Aku juga lihat, hantu itu terbang ke atas atap. Memangnya Bianca bisa melakukannya? " "Bia putrinya almarhum pak Andhika? " "Memangnya Bia yang mana lagi coba? " "Jangan-jangan hantunya Bu Rinda? " tebak Jaka. "Hush...kalau ngomong yang bener. Kalau sampai ada yang dengar bisa jadi masalah, " tegur Pak Anton. "Terus siapa dong? Masak Bia bisa terbang. Kan nggak mungkin banget gitu loh. " "Ya bukan Bia juga. Kalau menurut aku sih itu mbak kunti yang sering dibicarakan sama orang-orang. Kita nggak pernah percaya cerita mereka. Soalnya kita belum pernah melihat secara langsung. Jadi menurut aku itu mbak kunti yang sedang dibicarakan orang-orang. " Apa yang dibicarakan mereka memang benar. Akhir-akhir ini banyak orang yang sudah diganggu oleh sosok yang sering diberi nama mbak kunti. Bukan hanya satu dua orang saja yang sudah pernah diganggu oleh sosok itu. "Betul juga. Terus bagaimana dong. Kalau gini ma aku nggak mau ikut ronda lagi. Mending tidur di rumah." "Besok kita lapor sama pak Rt. Semoga saja beliau dapat memberi solusi. Kalau tidak kita bisa minta tolong sama ustadz Ahmad. Bagaimana? " usul Bayu. "Usul kamu bagus juga. Terus sekarang bagaimana? " "Ya nggak bagaimana-bagaimana. Kita disini saja sampai pagi. " Keesokan hari berita munculnya mbak kunti jadi pembicaraan warga. Bahkan ibu-ibu membeli sayur sambil ngomongin soal hantu yang terkenal cantik. Bianca yang hendak membeli sarapan, di hentikan oleh ibu-ibu itu. "Mau kemana Bia? " "Mau beli nasi uduk Bu. Kenapa memangnya? " "Kamu semalam tidur nyenyak apa tidak. " "Kamu dengar suara aneh-aneh tidak? " "Nggak ada yang ganggu tidur kamu kan? " Pertanyaan ibu-ibu itu membuat Bianca pusing. "Sebenarnya ada apa sih, Bu? " "Semalam Pak Anton dan yang lain melihat penampakan di rumah kamu. " "Penampakan? " "Betul." "Kalau boleh saya tahu penampakan apa ya Bu? " "Penampakannya mbak kunti. " "Mbak kunti? Siapa dia? " tanya Bianca dengan polos. Wajahnya nampak penasaran dengan sosok mbak kunti yang sedang di bicarakan oleh ibu-ibu itu. Pertanyaan Bianca tentu saja membuat ibu-ibu itu kaget. Bagaimana mungkin Bianca tidak mengetahui soal mbak kunti. "Kenapa Bu, ada yang aneh? " "Kamu beneran tidak tahu? " dengan polos Bianca menganggukkan kepalanya. Di tempatnya dulu memang tidak ada yang namanya mbak kunti. Mungkin saja ada tetapi dengan nama yang berbeda. Ibu-ibu itu saling pandang. Kemudian mereka memberi nasehat untuk berhati-hati. "Terimakasih Bu. Kalau begitu Saya pergi dulu." "Silahkan." Bianca melanjutkan langkahnya, namun baru beberapa langkah dia kembali berhenti. Zeta menghentikan motornya di samping Bianca. "Kamu mau kemana? " "Mau cari sarapan. Kamu sendiri mau kemana?" "Ke rumahmu lah. Kan kamu sendiri yang bilang mau kuliah bareng. Jadi barengan tidak?" "Maaf aku lupa." "Tidak masalah. Yuk naik! " Bianca naik di belakang Zeta. Lagi-lagi Biancai merasa takjub dengan kendaraan yang saat ini ia naiki. Ia sudah sering melihatnya. Namun baru kali ini naik di atasnya. Zeta membawa Bianca kembali ke rumahnya untuk bersiap. Bianca memakai pakaian Bianca asli yang ada di dalam lemari. Untungnya tidak semua pakaiannya di bawah kerumah Adrian. Begitupun dengan buku-bukunya. Hanya beberapa barang, termasuk ponselnya. Setelah siap Bianca menghampiri Zeta yang menunggunya di ruang tamu. "Ayo berangkat!!! ""Akhirnya Tuan sadar juga, " ucap Jimmy dengan lega. Ia terpaksa membawa Adrian ke rumah sakit karena tidak kunjung sadar. Sedangkan Rangga mengurus kekacauan yang ditimbulkan oleh Chiara. "Dimana Aku? " tanya Adrian dengan bingung. "Di rumah sakit. Saya terpaksa membawa Tuan kesini karena Tuan tak kunjung sadar. Untunglah tidak ada yang serius. Sebenarnya apa yang terjadi Tuan? " tanya Jimmy penasaran. Adrian kemudian mengingat kejadian yang membuat dirinya sampai pingsan. Bulu kuduknya tiba-tiba merinding. "Dimana Bianca? " "Masih ada dikantor. Apakah Bianca yang sudah membuat Anda pingsan? " "Bukan. Sepertinya kantor kita sudah tidak aman. Coba kamu cari orang pintar untuk mengamankannya." "Bukankah sudah ada satpam ngapain malah cari orang pintar. Tapi orang pintar seperti apa yang Anda cari? " tanya Jimmy dengan bingung. Sepertinya anak itu belum faham apa yang Adrian maksud. "Ada hantu di kantor." "What!!! jadi gosip itu memang benar? " "Gosip yang mana?
Bianca mempelajari dokumen yang diberikan oleh Adrian padanya. Dokumen itu berisi contoh surat kerja sama dengan perusahaan lain yang perlu ia pelajari. Bianca diminta Adrian untuk mempelajari semua ia dokumen itu hingga faham. Ia dengan patuh melakukan apa yang disuruh oleh Adrian. Sebenarnya Adrian hanya ingin menguji Bianca. Sudah lama Bianca tidak menghubunginya. Ia merasa Bianca tidak lagi sama seperti biasanya. Bahkan tatapan penuh damba yang biasa ia tunjukkan tidak lagi ia dapatkan. Jika Bianca sedang fokus dengan dokumen yang ada dihadapannya, tidak dengan Adrian. Adrian sesekali menatap Bianca dari kursi yang ia duduki. Sedangkan Chiara duduk dihadapan Adrian menatap Adrian tanpa kedip. Adrian menempatkan Bianca di dekat pintu . Dengan begitu, setiap ada tamu Bianca harus membukanya. "Buatkan Aku kopi, " ucap Adrian dengan suara yang agak keras. Bianca menghentikan kegiatannya dan menatap Adrian yang juga sedang menatapnya. "Tuan berbicara pada Saya? " tany
Di iringi tatapan bingung teman-temannya, Bianca meninggalkan ruangan yang sudah baru dia hari ia tempati. Nadia yang terima dengan keberuntungan Bianca, menatapnya dengan tajam. Kenapa seorang anak magang bisa menarik perhatian Adrian? Apa jangan-jangan wanita yang dibicarakan oleh keluarga Adrian semalam adalah Bianca? "Tidak bisa dibiarkan. Aku harus memberi anak magang itu pelajaran, " gumam Nadia dengan lirih. Sandra yang kala itu sedang menatapnya, begidik sendiri. Dia yakin jika Nadia akan melakukan sesuatu yang membuat Bianca tidak lagi menjadi sekretaris Adrian. Dia tidak sabar menunggu pertunjukan apa yang akan Nadia mainkan. "Sudah-sudah, lanjutkan pekerjaan kalian. Orangnya juga sudah tidak ada kok, " ucap Bu Rena. "Terus Aku berangkat sama siapa? " tanya Tomi. "Sama Sandra saja." "Kok jadi Aku sih. Nggak mau lah, " tolak Sandra dengan terang-terangan. "Mau tidak mau ya harus mau. Hanya kamu yang tidak mempunyai tugas. " Bianca tidak mengetahui j
Bianca tiba di perusahaan lebih pagi dari hari kemarin. Ia langsung menuju ruangan tempatnya bekerja. Sudah ada Rena, Siska dan Tomi yang lebih dulu tiba. "Selamat pagi semuanya, " sapa Bianca dengan ramah. "Selamat pagi, " sapa Rena dan Tomi. "Selamat pagi. Begitu dong, jangan sampai berangkat seperti kemarin, " puji Sandra yang mengandung sindiran. Bianca hanya tersenyum sambil duduk di kursinya. Sandra yang merasa diabaikan merasa geram. Entah kenapa pagi ini moodnya berantakan. Maunya marah-marah terus. Mungkin karena sedang ada tamu bulanan. "Pagi every body! " teriak Bella dengan senyum ceria. Sandra yang hendak mengeluarkan lahar jadi mengurungkan niatnya. "Ini kantor bukan hutan! " ucap Sandra dengan ketus. "Biasa aja kali Mbak." "Ada kabar apa nih, sumringah banget, " ucap Tomi yang melihat keduanya kan berdebat. Bianca menunjukkan cincin yang ada dijari manisnya dengan tersenyum lebar. Semalam kekasihnya datang melamar bersama kedua orang tuanya.
Seperti yang sudah direncanakan oleh Nadia sebelumnya. Setibanya di rumah Nadia merengek pada kedua orang tuanya untuk segera mendatangi kediaman Abraham. "Ayo lah Pa... Ma, mumpung saat ini Adrian tidak punya kekasih. Nadia minta Papa sama Mama membujuk Tuan Abraham agar mau menerimaku menjadi menantunya, " bujuk Nadia pada kedua orang tuanya. Padahal dia baru saja pulang dari kantor. "Setidaknya kamu mandi dulu deh. Nanti kita bicarakan lagi setelah kamu segar, " ucap sang Mama dengan lembut. "Tidak mau. Aku mau Papa sama Mama berjanji dulu," rengek Nadia dengan manja. "Akan Papa usahakan, " ucap tuan Broto yang tak lain Papa Nadia. Kelemahannya adalah tak tega menolak keinginan sang putri. "Pokoknya nanti malam kita harus ke rumah mereka. Titik tidak pakai koma! "tekan Nadia dengan cemberut. "Tidak bisa begitu dong Sayang. Masak mendadak. Setidaknya kita harus buat janji dulu dengan mereka. Bagaimana kalau saat tiba di rumah mereka, mereka sedang tidak ada di rumah
Rio mengusap pipinya yang terasa panas akibat tamparan Bianca. Rio tidak menyangka tamparan Bianca sangat terasa. Bahkan sampai giginya ikutan ngilu. Rio merasa hari ini sangat sial. Bukan hanya rasa sakit yang ia rasakan. Namun ia juga merasa malu dan harga dirinya terasa diinjak-injak oleh gadis didepannya. "Kamu berani menamparku! " pekik Rio tidak percaya. "Kenapa tidak berani. Buktinya kedua pipimu sudah aku tampar, " jawab Bianca dengan santai. "Kamu!!!!! " Rio bingung mau mengucapkan apa sangking kesalnya. Mau membalas juga tidak etis. Apalagi lawanya seorang perempuan. Keduanya menjadi pusat perhatian pengunjung supermarket. Wajah Rio semakin merah menahan amarah. Pemilik supermarket sekaligus ayah dari Rio buru-buru datang setelah mendapat laporan dari karyawannya. "Ada apa ini,Rio?" tanya Ayah Rio dengan suara yang agak keras. Baru juga datang sudah mendapatkan laporan tidak baik. "Gadis gila ini menamparku, " jawab Rio dengan agak takut. Rio tidak men