LOGIN“Jangan mempermalukan dirimu sendiri dengan pulang dalam penampilan seperti itu.”
Mika tertegun. Bingung.
Pria ini … apakah benar sedang peduli padanya.
“Sudah. Aku keluar dulu.”
“Tunggu.” Mika kembali menarik tangan Noval. Ia teringat pada kejadian di jalan tadi. “Lukamu … bagaimana? Ayo kubantu obati dulu.”
“Hanya luka kecil.”
“Tetap saja berdarah.” Mika menghapus sisa air matanya, mencoba memfokuskan diri pada hal lain. Perempuan itu sedikit memutar lengan Noval untuk melihat luka di siku pria itu, bekas terjatuh tadi. “Kan. Berdarah.” Ia mendongak. “Punya obat merah tidak?”
“Tidak.”
Mika menghela napas pelan. “Aku ke warung depan dulu,” katanya. Lalu sebelum Noval bisa menjawab, perempuan itu sudah bangkit dan berlari keluar dan kembali ke sisi Noval dengan obat merah dan plester luka.
“Berlebihan,” komentar Noval. Namun, ia pasrah saja saat Mika membersihkan dan mengobati lukanya. Ekspresinya bahkan tidak berubah. Pria itu hanya menatap Mika dengan tatapan datar.
Kemudian, Noval berucap, “Tangisanmu tadi terlalu keras untuk pria berengsek seperti kekasihmu itu.”
“Mantan,” ralat Mika cepat. “Sudah putus.”
“Hm.”
Mika kemudian diam. Ia menangkap poin Noval, bahwa ia tidak perlu menangisi Ridwan sampai sebegitunya karena pria itu hanyalah pria berengsek yang bejad saja.
Ya. Harusnya Mika bersyukur sudah ditunjukkan kenyataan seperti ini.
***
Setelah momen asing bersama Noval tadi siang, Mika kembali ke toko terlebih dahulu sebelum pulang.
Untungnya, tidak ada yang menanyakan kenapa wajahnya sembab. Apalagi mentertawakannya.
Atau mungkin, mereka sebenarnya tidak peduli. Sementara Olip tidak tahu ada di mana saat ini karena sejak tadi, Mika tidak melihatnya di rumah.
Entah ke mana dia dan Ridwan hingga sampai sekarang belum pulang juga. Sudahlah. Mika Tidak peduli.
"Aku pulang!"
Saat Mika sedang menikmati mi instan di depan televisi, ia mendengar suara sang adik. Otomatis, ia mendengus. Tapi ia tidak mengatakan apa pun.
Tak lama kemudian, Olip sudah ada di hadapannya.
"Eh. Ada kakak tercinta." Olip tersenyum, tampak seperti tengah mengejek. Dia jelas-jelas sedang merayakan kemenangannya. "Terima kasih ya, kakak aku tercinta. Akhirnya Kak Mika mau putus dengan Kak Ridwan. Terbaik deh.
Mika melihat ekspresi haru sang adik yang tampak dibuat-buat. Namun, ia tidak berkomentar ataupun menjawab.
“Kami nggak perlu repot sembunyi-sembunyi kalau mau ketemu. Sekarang, Kak Ridwan sudah resmi jadi milik aku seutuhnya."
"Apa? Kamu dan Ridwan sudah pacaran?"
Mika melihat ibunya keluar dari kamar sambil bertanya. Rupanya suara riang Olip terdenagr oleh wanita paruh baya itu.
Olip mengangguk. "Iya, Bu. Terima kasih dulu dong sama Kak Mika yang sudah mau mengalah untuk aku," ujar Olip dengan melirik ke arah kakaknya yang masih menikmati mie instan dengan wajah sok polos.
Ah. Mika jadi tidak nafsu makan lagi.
Apalagi saat sang ibu kemudian berucap, "Terima kasih ya, Nak. Kamu memang kakak yang baik."
Mika akhirnya meletakkan makanannya dan menatap ibunya. “Ibu mengatakan itu karena tidak tahu apa yang sudah Olip lakukan, kan?” ucapnya. Tanpa sadar, kedua matanya mulai berair lagi, sekalipun ia bertekad bahwa Ridwan adalah pria bejad yang tak layak untuknya. “Selama ini Olip sering berhubungan badan dengan Ridwan, Bu. Di belakangku! Anak tersayang ibu itu sudah berkali-kali berzina, menurut pengakuannya sendiri!”
"Hus!” sergah Bu Tuti. Langsung menegur Mika. “Jangan sembarangan kamu. Kalau ngomong dijaga. Adik sendiri kok dikatakan berzina."
Mika menatap ibunya dengan tak percaya. “Ibu … jangan-jangan selama ini Ibu tahu?” cetusnya.
Sang ibu kemudian menggaruk belakang kepalanya, tanpa menjawab.
Saat itulah Mika paham.
"Ya Allah, Bu.” Suara Mika bergetar. Rupanya tidak hanya sang adik dan mantan kekasih Mika saja yang hari ini menyakitinya. Sang ibunya sendiri rupanya terlibat. “Tega banget Ibu sama aku."
Mika pun bangkit dan langsung menuju kamarnya.
Pantas saja kedua orang tuanya mendukung permintaan Olip yang tidak masuk akal kemarin.
Pikiran dan hati Mika kacau sekali. Baru saja ia mencoba dan bertekad untuk memulihkan hatinya, serta tampil kuat. Tapi pengkhianatan orang tuanya sendiri sungguh tidak masuk akal.
Perempuan itu masuk kamar, tidak memedulikan salam seorang tamu yang baru saja datang di depan pintu.
Sementara itu, di ruang tamu, Bu Titi dan Olip pun menjawab bersamaan. Keduanya segera melihat siapa tamu yang datang malam-malam.
Terlihat seorang pria paruh baya dengan syal yang menutupi lehernya.
"Pak Heru." Bu Tuti dengan terkejut menyapa. Pria itu adalah ayah dari Noval.
"Pak Purnomo ada, Bu?" Pria paruh baya bernama Heru itu bertanya.
Bu Tuti pun mengangguk. "Ada-ada, Pak. Silakan masuk, biar saya panggilkan shami saya dulu."
Pak Heru mengangguk. Pria itu masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa.
Tak lama, Pak Purnomo keluar.
"Eh, Pak Heru." Dia menyalami tangan tamunya. "Ada apa nih, Pak? Sepertinya ada sesuatu yang ingin dibicarakan?"
Pak Heru tersenyum tipis. Pria itu menatap lamat-lamat Pak Purnomo.
"Begini, Pak. Sebelumnya, maaf kalau kedatangan saya mengganggu Bapak,” jelas Pak Heru kemudian. “Saya datang kemari karena atas permintaan anak saya, Noval."
Bu Tuti yang baru saja keluar membawa minuman mengerutkan kening. Dia memberikan minuman itu pada sang suami dan tamunya lalu ikut duduk di samping Pak Purnomo.
"Permintaan Noval? Ada apa memangnya, Pak?" Pak Purnomo pun bertanya.
Pak Heru masih mempertahankan senyumnya. "Noval mengatakan pada saya kalau dia ingin menikahi putri Bapak."
Tentu saja hal itu membuat Bu Tuti dan Pak Purnomo terkejut. Keduanya saling pandang dengan bibir menganga.
"Noval ingin melamar putri kami, Pak?"
Pak Heru yang mengangguk.
"Tapi, Pak. Olip masih kuliah. Mana mungkin dia mau menikah?" ujar Pak Purnomo kemudian. Sekalipun bukan itu alasan utamanya.
Namun, Pak Heru yang mendengar nama Olip justru mengerjapkan matanya beberapa kali. Bingung.
"Olip?" tanyanya. “Kenapa jadi Olip, Pak? Noval mengatakan kalau ia ingin melamar Nak Mika.”
Dalam ruang tamu rumah Mika, kini duduk empat orang di sana. Noval, Mika, Pak Eko dan Olip. Ya. Olip. Perempuan itu datang untuk menemui Mika.Mika yang melihat penampilan Olip merasa terkejut. Dia meneliti penampilan adik tirinya itu dengan seksama. Tampak sangat berbeda dengan Olip yang dulu, yang modis dan penuh gaya.Olip saat ini terlihat sangat kucel. Bukan Olip yang ditemukan Pak Eko kemarin. Dia sudah membersihkan diri. Hanya saja, masih terlihat sangat berbeda dari biasanya."Kak Mika. Aku ke sini untyuk meminta maaf sama Kak Mika. Untuk semua yang aku lakukan. Semua kesalahan aku dan semua kesalahan Ibu," ujar Olip dengan kepala menunduk.Tentu saja dia tidak berani menatap Mika karena merasa tak pantas.Ada yang aneh dari kalimat Olip bagi Mika. Perempuan itu hanya mengatakan permintaan Maaf untuk dirinya dan ibunya.Tak ingin banyak tahu, Mika hanya mengangguk saja. "Iya. Aku harapo kamu tidak mengulanginya lagi."Olip segera menggeleng pelan. "Tidak akan, Kak. Tidak akan
Suara sirine polisi menggema di sebuah jembatan. Sebuah kasus baru saja terjadi di tempat itu di mana seorang istri membunuh suaminya sendiri. Penyelidikan pun masih berlanjut.Ya. Pemukulan yang dilakukan oleh Bu Tuti untuk melindungi putrinya Olip berakhir dengan Pak Purnomo ynag harus kehilangan nyawanya.Tempat itu pun kini tampak ramai oleh warga sekitar. Tak sedikit pula pengguna jalan yang berhenti hanya sekedar untuk melihat.Termasuk seorang pria paruh baya yang membonceng putrinya. Mereka baru saja dari pasar."Ada apa, Mas?" tanya Pak Eko pada salah satu pengendara yang berhenti."Ada pembunuhan, Pak. Katanya ada seorang istri yang membunuh suaminya. Dipukul pakai batu katanya," ujar pria itu."Astaga." Pak Eko menggeleng. Dia dan Miya mencoba mengintip dari sela-sela orang yang melihat juga.Dia bisa melihat sebuah kantung jenazah baru saja dikeluarkan oleh petugas. "Kira-kira apa masalahnya, ya? Kok sampai dibunuh begitu?" tanya Miya yang ikut penasaran juga."Kata warga
"Ayo! Ayo! Ayo cepat. Serang dia. Serang!" Pak Purnomo dan beberapa pria lainnya terus berteriak. Mereka kini sedang berdiri melingkari sebuah arena tarung ayam."Yeah!" Siraman itu menandakan kalau pertarungan sudah selesai. Sayangnya, usainya pertandingan itu berbarengan dengan wajah Kecewa yang terlihat pada Pak Purnomo."Akh. Nggak becus banget sih," Una pria itu. Dia pun harus menelan kesalahan dan harus kehilangan uangnya.Pak Purnomo mengambil ayamnya yang sudah kalah. Dia berjapan cepat sembari memegang kepala ayam yang sudah tampak lemas itu. "Dasar ayam si*l. Tanding gitu aja nggak bisa menang. Rugi aku kasih kamu makan," ujarnya sembari terus mencaci maki ayam itu. Belum lagi cara membawanya yang tidak manusiawi."Akh. Ayam tidak berguna!" teriaknya kesal sembari membanting ayam yang ada di tangannya. Tampak ayam itu yang kejang beberapa kali sampai akhirnya tidak bergerak sama sekali."Rasakan itu." Tak merasa bersalah sama sekali, pria itu langsung pergi meninggalkan ayam
Motor milik Pak Eko berhenti di depan kediaman Mika. Keduanya menatap rumah kecil yang dulu ditinggali Pak Purnomo, banyak orang yang bekerja di sana."Rumahnya diperbaiki, Pak," ujar Miya.Pak Eko pun mengangguk. "Iya.""Apa mungkin diperbaiki lagi karena Kak Olip akan tinggal di sini lagi?" tanya Miya kemudian. Namun, dalam hatinya dia meragukan praduganya sendiri."Mana bapak tahu. Lebih baik kita tanyakan Mika langsung saja," ujar Pak Eko kemudian."Ya sudah ayo." Keduanya pun berjalan ke arah kediaman Mika. Mereka baru menyadari ada dua pria yang berdiri di depan rumah Mika."Siapa mereka?" tanya Miya pada bapaknya.Pak Eko berdecak. "Mana bapak tahu, Miya. Kita, kan sampainya sama-sama."Mereka semakin mendekati. "Siapa kalian?" tanya Pak Eko. Dia menatap kedua pria di hadapannya dengan memicing."Seharusnya kami yang menanyakan hal itu," ujar salah satu pria.Pak Eko merasa tidak suka. "Kami mertuanya adik Mika. Kalian siapa? Kenapa kalian berdiri di depan rumah Mika?" tanya Pa
Beberapa bupan berlalu. Tampak Olip berjalan di pinggir trotoar dengan langkah lesu. Perempuan itu terlihat sangat jauh berbeda dengan kali terakhir melihatnya. Tampak lusuh dan kurus, hanya terlihat perutnya yang membesar karena usia kandungan yang bertambah.Rambutnya yang acak-acakan juga beberapa noda di wajah membuat Olip terlihat seperti seorang pengemis, gelandangan. Dia menguap keningnya yang dipenuhi keringat."Aku lapar," ujarnya kemudian. Perempuan itu mengelus perutnya dan mengedarkan pandangan.Samoa akhirnya dia melihat tong sampah tak jauh dari keberadaannya. Olip mempercepat langkah agar dia bisa sampai pada tong sampah itu. Setelah di dekatnya, dia mulai mengorek-orek tempat sampah itu untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan."Mana ya? Roti atau sisa nasi begitu untuk mengganjal perut." Olip terus mengorek tempat sampah di hadapannya.Jangan heran kalian melihat hal ini. Olip sudah melakukannya sejak lama. Semua ini karena Pak Purnomo, bapaknya tidak pernah memberikan
"Bapak ini apaan sih?" tanya Olip kesdal. Dia mencoba menarik tangannya yang sejak tadi ditarik oleh Pak Purnomo ketika dia menolak keluar dari rumah mertuanya.Olip mengentakkan kakinya kesal. "Ngapain coba narik aku tadi? Mereka udah ijinin aku tinggal di sana. Kok malah nggak boleh? Mereka yang punya rumah kok Bapak yang nggak ngebolehin?" Dia semakin kesal.Sedangkan Pak Purnomo sendiri juga ikut-ikutan kesal pada putrinya yang satu ini. "Heh! Itu bukan rumah kita," ujarnya dengan menunjuk ke arah rumah Pak Eko sebelumnya."Ya memang bukan rumah kalian. Setidaknya mereka itu mertua aku, mau merawat aku.""Kamu tega ninggalin kita?" tanya Pak Purnomo kemudian."Bapak sendiri tega lihat aku terlantar di jalanan. Aku ini sedang hamil loh," ujar Olip masih kekeh dengan pendapatnya."Heh! Kamu mau tinggal sama mertua kamu itu? Dia sudah pernah jahat sama kamu waktu dulu kamu tinggal di sana," ujar Bu Tuti mencoba mengingatkan bagaimana kelakuan Bu Lestari ketika Olip dulu tinggal di ru







