“Esta, ini aku, Jagad."
Aku meremas ujung baju. Jelas ini bukan waktu yang tepat untuk bertemu dengannya. Paling tidak sampai aku benar-benar move on dari mantan suamiku itu. Sialnya, memang takdir baik tidak pernah berpihak padaku. “Esta.” Aku menarik napas dalam lalu membuangnya perlahan guna menghilangkan rasa gugup. Ternyata, bertemu mantan lebih mendebarkan dari pada saat malam pertama menjadi pengantin. Setelah memejamkan mata sebentar, aku membalikkan badan menghadap padanya. Menyunggingkan senyum canggung, lalu menyapa, “Hai.” Sebisa mungkin aku memamerkan senyum natural agar tidak terlihat sedang tegang. Jangan sampai Jagad kege-eran karena tahu aku masih menyimpan rasa padanya. Setelah hampir tiga tahun berusaha, nyatanya aku masih merasakan debar yang sama. “Apa kabar?” tanyanya seolah tanpa beban. Rupanya hanya aku yang masih menyimpan rasa yang sama. “Baik.” Ku jawab dengan penuh percaya diri. Kami saling bertatapan, tapi mungkin hanya aku yang memutar kenangan saat kami bersama. Awal menikah terasa begitu indah, setelah enam bulan berlalu dan kami sama-sama sibuk, semuanya berubah. Dia tak lagi menghargaiku. 'Kamu terlalu manja, Ta. Ngurus begini aja nggak bisa. Aku capek!' Aku masih ingat bagaimana saat dia marah karena aku tidak bisa memasang gas dan akhirnya aku menunggu dia pulang. Padahal, saat itu aku sudah berusaha tapi gas selalu berdesis. Bayangan gas meledak saat tak ada seorangpun di rumah jelas membuatku takut. Tapi reaksinya sungguh mengecewakan. Karena sakit hati, aku langsung pergi ke rumah Mbak Mentari. Besoknya, Jagad menjemputku dan entah apa yang dia katakan sampai Mbak Mentari memarahiku. "Ta, bisa ngobrol sebentar?" Dan di sinilah kami pada akhirnya. Sebuah kafe yang tak jauh dari kantor. Duduk saling berhadapan setelah lebih dari dua tahun lamanya tak bersua. Jagad yang selalu bersikap tenang, sedangkan aku yang terlihat paling menderita. Bukan hanya saat itu, tapi juga sekarang. "Ada apa?" tanyaku pura-pura tak peduli. Bukannya aku memang pembohong ulung? Bahkan ketika perpisahan kami dulu, aku yang terlihat paling jahat sampai mertuaku memusuhiku dulu. Image Jagad yang baik di mata kedua orang tuanya dan orang lain, jelas membuatku menjadi tersangka utama penyebab perceraian. ‘Kurang-kurangi ngeluh, Esta.’ Dan masih banyak serangkaian kata-kata lainnya yang membuatku sakit hati sampai sekarang. Entah kenapa malah kini aku mau diajak duduk bersama dengan laki-laki yang sudah membuatku menjadi wanita paling buruk di mata orang lain. “Kamu banyak berubah, Ta.” Ujung bibirku berkedut. Basa-basi macam apa ini? “Hidup itu berjalan dan nggak mungkin aku jadi Esta yang dulu. Kenapa kamu di sini?” tanyaku tanpa ingin lebih lama dengannya. Bertatapan seperti ini dengannya saja sudah membuat jantungku jumpalitan. “Aku kerja di sini.” “Hah? Sejak kapan?” Jelas aku terkejut, pasalnya pagi tadi saat ice breaking belum ada Jagad. Aku memicingkan mata, lelaki berhidung mancung itu hanya menatapku diam. Seketika aku teringat dengan ucapan Nadia saat aku kembali ke kantor setelah makan siang tadi. ‘Kamu sih, kelayapan melulu, jadi nggak tau ’kan, kalau ada GM baru.' Mataku membulat tak percaya. “Kamu GM yang baru?” Jagad mengangguk pelan. Menyebalkan sekali, dia bahkan seperti orang yang tidak punya dosa. “Kok bisa?" Lagi-lagi Jagad hanya mengedikkan bahunya. Sial, itu artinya aku satu kantor dengan mantan. Selama ini aku menyembunyikan status janda dari teman-teman kantorku. Yang mereka tahu, aku masih gadis yang sedang jomblo dan menolak banyak ajakan menikah dari laki-laki. Aku rasa sudah cukup menikah hanya sekali, bercerai juga sekali. Lebih baik hidup sendiri karena akan merasa lebih tenang. Buat apa mempunyai pasangan tapi malah membuat tersiksa batin. Sekarang, aku lebih nyaman dengan status janda, toh tidak ada yang tahu. Sepenuhnya hidupku, adalah milikku. “Nggak ada yang tau statusku di kantor ini, Mereka pikir aku masih gadis. Jadi, kamu bisa 'kan, diajak kerja sama buat menutupi yang terjadi sama kita dulu?" Aku kembali bersuara ketika Jagad memilih diam. Lelaki di depanku mengambil cangkir kopinya, menyesap pelan, lalu kembali meletakkan cangkir putih di atas meja. “Kenapa aku harus melakukannya?” Seringai licik yang muncul di bibirnya membuatku benar-benar frustasi. Jagad, kamu benar-benar menjengkelkan. * * Aku baru saja masuk ke dalam rumah peninggalan kedua orang tuaku. Lantai dingin dan kesunyian yang pertama kali menyambut ketika pintu utama terbuka. Tak lama, dari dalam terdengar suara anak kecil berlari ke arah ku. Sejak kapan bocah kecil ini di sini? Namanya Raya. “Ate.” Aku meringis pelan lalu mengusap pelan kepala gadis mungil berusia satu tahun lebih itu. Lebihnya aku tidak tahu karena tidak mengurusnya. Dia anak Mbak Mentari dan suaminya. “Kamu baru pulang, Ta?” Kebiasaan orang wakanda, sudah tahu baru masuk rumah, pake tanya segala! Aku mengangguk, lalu meletakkan tas di kursi. “Aku pikir nggak ada orang. Sejak kapan Mbak Tari di sini?” tanyaku sembari berjalan menuju lemari pendingin. Mengambil air mineral untuk mendinginkan kepalaku yang hampir pecah. “Raya kangen sama kamu.” Aku melirik gadis kecil yang matanya mengingatkan aku pada seseorang. Buru-buru aku memalingkan wajah tak merespon ucapan Mbak Mentari. Melirik makanan di atas meja, sudah pasti Mbak Tari yang membawakannya. “Makan dulu, Ta.” Aku menggeleng. “Aku udah makan, Mbak.” Sama Jagad. Sayangnya aku hanya bisa meneruskan kata-kata itu di dalam hati. Mbak Mentari tidak boleh tahu kalau aku bertemu dengan lelaki itu. Dulu, Mbak Mentari begitu membela Jagad ketika kami bertengkar, tapi sekarang hanya kebencian yang tersisa di hatinya. Sama sepertiku. “Ta, Mbak Tari sama Mas Elang mau ke luar kota.” Aku mengangkat kepala, tanganku yang hendak memasukkan kue bawang ke mulut terhenti begitu saja. “Terus?” “Mbak mau nitip Raya di sini.” “Nggak bisa!” balasku cepat. Aku bekerja, dan tidak mungkin membawa bocah kecil itu ke kantor meski diperbolehkan. Apalagi sekarang ada Jagad yang juga bekerja di sana. Aku tidak mau lelaki itu berpikir macam-macam soal keberadaan Raya. “Ta, tolong Mbak. Kali ini aja.” “Aku kerja, Mbak.” “Raya nggak nakal, kok. Dia anteng, Esta. Kamu cukup kasih dia buku dan cemilan.” Aku menghela napas berat. Raya memang anteng dan tidak rewel seperti kebanyakan anak lainnya. Tapi masalahnya bukan itu. Andai saja Jagad tidak satu kantor denganku, sudah pasti aku akan mempertimbangkan membawa Raya. “Nggak bisa, Mbak.” Aku menatap Mbak Mentari dengan tatapan memohon. Aku melirik gadis mungil yang tengah menatapku. Ah, sial. Tatapan itu selalu membuatku enggan melihat pada Raya berlama-lama. “Esta, tapi 'kan, dia ….” “Dia anak Mbak Tari!” Aku bisa melihat raut terkejut dari Raya yang mendengar suara kerasku. Aku memalingkan wajah, menyesal karena membuat dia takut. “Apa karena ada Jagad?” Aku membeliakkan mata terkejut dengan pertanyaan Mbak Mentari. “Mbak Tari tau?”"Semesta, apa yang kamu harapkan untuk masa depan kita?" tanya Jagad sambil menatapku dengan penuh kasih."Aku berharap kita selalu bisa bersama, mendukung satu sama lain, dan membesarkan anak-anak dengan penuh cinta dan kebahagiaan," jawabku dengan yakin.Jagad mengangguk, "Aku juga berharap begitu. Kita telah melalui banyak hal dan aku yakin kita bisa menghadapi apapun yang datang."Kami berdua saling berpandangan dengan penuh harapan dan keyakinan. Anak-anak kami adalah masa depan, dan bersama-sama kami akan menghadapi setiap tantangan dengan kepala tegak.Setelah hari yang panjang, akhirnya kami punya waktu untuk beristirahat. Aku merenung sejenak, bersyukur atas semua berkah yang diberikan. Kehidupan tidak selalu mudah, tetapi dengan cinta dan dukungan dari orang-orang terdekat, semuanya menjadi lebih ringan dan indah."Jagad, aku merasa sangat beruntung memiliki keluarga ini," kataku sambil menatapnya."Kita beruntung memil
Aku, merasakan perasaan campur aduk saat melihat Raya masuk ke kamar VIP bersama Mama Sera. Jagad yang selalu tahu cara memastikan keluarganya nyaman, telah memesan kamar VIP ini sehingga kami bisa menikmati momen-momen berharga tanpa gangguan.Raya tampak begitu antusias saat menyambut kelahiran Alam, anak kedua kami. Ketika Mama Sera menggendong Alam, Raya juga menunjukkan keinginannya untuk menggendong adiknya."Bun, aku mau gendong adik," pinta Raya dengan mata berbinar-binar.Mama Sera tersenyum lembut, "Nanti ya, sayang. Adik Alam masih butuh istirahat sekarang. Kalau nanti sore aja, gimana?"Raya mengangguk dengan semangat. "Oke, nanti sore ya, Bun!"Aku tersenyum melihat interaksi mereka. Hati ini terasa lega dan hangat melihat semangat Raya. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, Mama Sera yang dahulu pernah menyuruhku untuk tidak terlalu banyak anak karena takut repot, kini menjadi nenek yang paling antusias."Ma, makasih
Lebih dari setengah jam aku berada di ruang operasi, detik demi detik terasa panjang dan menegangkan. Tubuhku sudah mulai lelah, tapi rasa cemas dan harapan membuatku tetap bertahan.Semua terasa sedikit kabur di tengah rasa sakit yang perlahan mereda. Aku menutup mata, menahan napas, berharap semuanya segera berakhir dengan baik.Kemudian, suara yang kutunggu-tunggu akhirnya terdengar, tangis bayi yang keras, memenuhi ruangan. Tangisan itu menggetarkan hatiku, membuat segala rasa sakit dan lelah hilang begitu saja.“Selamat, Bu. Anak Ibu laki-laki,” ucap dokter sambil tersenyum, mengangkat bayi kecil itu agar aku bisa melihat wajahnya.Aku menatap bayi itu, terharu sekaligus bahagia. "Masya Allah, dia sehat, Dok?"“Alhamdulillah, sehat, Bu. Anak Ibu kuat sekali,” jawab dokter, masih tersenyum sambil membawa bayiku untuk dibersihkan.Beberapa saat kemudian, aku mendengar langkah-langkah di luar ruangan. Jagad, yang sudah menunggu
Aku merasakan kontraksi luar biasa. Harusnya minggu depan jadwalku melakukan operasi sectio, tapi kontraksi datang satu minggu lebih awal.Rasa nyeri ini tidak seperti yang pernah kurasakan sebelumnya, membuat tanganku gemetar saat meraih ponsel untuk menghubungi Jagad.“Halo, Mas?” suaraku terengah, tertahan oleh rasa sakit yang datang bergelombang.“Ya, Sayang? Ada apa?” Jagad terdengar sedikit panik di ujung sana.“Sepertinya, sepertinya aku akan melahirkan. Kontraksinya kuat sekali,” ucapku sambil sesekali menarik napas panjang, berusaha menahan rasa nyeri yang makin menusuk.“Sekarang? Bukannya jadwal operasi minggu depan?” tanya Jagad kaget.“Iya, tapi kontraksinya tiba-tiba datang dan rasanya sakit sekali,” jawabku sambil melirik ke dalam kelas di mana Raya sedang asyik belajar.Aku memang sengaja menunggui Raya di sekolahnya karena dia tidak mau ditinggal, apalagi di pagi hari tadi moodnya sedikit jelek sehi
Aku dan Aesha duduk di sudut kafe, memilih tempat yang nyaman untuk mengobrol. Sudah lama aku tak bertemu dengannya sejak kehamilanku yang semakin besar. Aesha, sahabatku sejak lama, tersenyum hangat sambil mengelus perutnya yang kini mengandung anak keduanya. Aku sedang menunggu Raya pulang sekolah dan mengisi waktu dengan janjian bersama Aesha. "Kamu kelihatan makin sehat, Ta," kata Aesha sambil mengelus perutnya. "Jadi gimana rasanya hamil lagi setelah sekian lama?" Aku tersenyum, menatap secangkir teh hangat di depanku. "Aneh, campur aduk. Kadang nggak percaya aja, Aes, tapi juga bersyukur banget masih bisa ngerasain jadi ibu lagi. Aku pikir dulu, setelah perpisahan itu, aku nggak akan pernah merasakannya lagi." Aesha mengangguk pelan, seolah memahami perasaanku. "Tuhan kasih kesempatan kedua, Esta. Tentu ada maksudnya." Aku mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Sha. Kadang aku merasa diberi
Tiga tahun telah berlalu sejak pernikahan kami yang kedua. Waktu berjalan begitu cepat, begitu banyak hal yang telah terjadi, dan entah bagaimana, aku merasa semuanya seperti mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan.Di depanku, layar USG menampilkan gambar bayi kecil yang bergerak-gerak pelan. Aku tersenyum sambil menoleh ke arah Jagad, yang memangku Raya di depanku.Matanya berbinar, tak kalah bahagia dariku.“Itu adik Raya?” tanya Raya, matanya terpaku pada layar.Aku mengangguk-anggukkan kepala, kemudian menatap layar di depan sana.“Iya, sayang. Itu adiknya Raya. Nanti Raya bakal punya teman main di rumah, nggak sendirian lagi.”Raya tersenyum lebar, tampak sangat antusias. “Yeay! Adik Raya! Nanti Raya bisa ajak adik main boneka sama masak-masakan!”Aku tertawa mendengar ucapan polosnya. “Tapi nanti jangan rebutan ya, kakak kan harus ngemong adik.”Dia mengangguk mantap. “Iya, Raya janji nggak rebutan sama adi