Share

Dua

Author: Mumtaza wafa
last update Huling Na-update: 2024-12-05 20:00:54

“Esta, ini aku, Jagad."

Aku meremas ujung baju. Jelas ini bukan waktu yang tepat untuk bertemu dengannya. Paling tidak sampai aku benar-benar move on dari mantan suamiku itu. Sialnya, memang takdir baik tidak pernah berpihak padaku.

“Esta.”

Aku menarik napas dalam lalu membuangnya perlahan guna menghilangkan rasa gugup. Ternyata, bertemu mantan lebih mendebarkan dari pada saat malam pertama menjadi pengantin. Setelah memejamkan mata sebentar, aku membalikkan badan menghadap padanya.

Menyunggingkan senyum canggung, lalu menyapa, “Hai.”

Sebisa mungkin aku memamerkan senyum natural agar tidak terlihat sedang tegang. Jangan sampai Jagad kege-eran karena tahu aku masih menyimpan rasa padanya. Setelah hampir tiga tahun berusaha, nyatanya aku masih merasakan debar yang sama.

“Apa kabar?” tanyanya seolah tanpa beban.

Rupanya hanya aku yang masih menyimpan rasa yang sama. “Baik.” 

Ku jawab dengan penuh percaya diri. Kami saling bertatapan, tapi mungkin hanya aku yang memutar kenangan saat kami bersama. Awal menikah terasa begitu indah, setelah enam bulan berlalu dan kami sama-sama sibuk, semuanya berubah. 

Dia tak lagi menghargaiku. 

'Kamu terlalu manja, Ta. Ngurus begini aja nggak bisa. Aku capek!'

Aku masih ingat bagaimana saat dia marah karena aku tidak bisa memasang gas dan akhirnya aku menunggu dia pulang. Padahal, saat itu aku sudah berusaha tapi gas selalu berdesis. 

Bayangan gas meledak saat tak ada seorangpun di rumah jelas membuatku takut. Tapi reaksinya sungguh mengecewakan. Karena sakit hati, aku langsung pergi ke rumah Mbak Mentari. Besoknya, Jagad menjemputku dan entah apa yang dia katakan sampai Mbak Mentari memarahiku. 

"Ta, bisa ngobrol sebentar?"

Dan di sinilah kami pada akhirnya. Sebuah kafe yang tak jauh dari kantor. Duduk saling berhadapan setelah lebih dari dua tahun lamanya tak bersua. Jagad yang selalu bersikap tenang, sedangkan aku yang terlihat paling menderita. 

Bukan hanya saat itu, tapi juga sekarang. 

"Ada apa?" tanyaku pura-pura tak peduli.

Bukannya aku memang pembohong ulung? Bahkan ketika perpisahan kami dulu, aku yang terlihat paling jahat sampai mertuaku memusuhiku dulu. Image Jagad yang baik di mata kedua orang tuanya dan orang lain, jelas membuatku menjadi tersangka utama penyebab perceraian.

‘Kurang-kurangi ngeluh, Esta.’

Dan masih banyak serangkaian kata-kata lainnya yang membuatku sakit hati sampai sekarang. Entah kenapa malah kini aku mau diajak duduk bersama dengan laki-laki yang sudah membuatku menjadi wanita paling buruk di mata orang lain.

“Kamu banyak berubah, Ta.”

Ujung bibirku berkedut. Basa-basi macam apa ini?

“Hidup itu berjalan dan nggak mungkin aku jadi Esta yang dulu. Kenapa kamu di sini?” tanyaku tanpa ingin lebih lama dengannya. Bertatapan seperti ini dengannya saja sudah membuat jantungku jumpalitan.

“Aku kerja di sini.”

“Hah? Sejak kapan?” Jelas aku terkejut, pasalnya pagi tadi saat ice breaking belum ada Jagad. Aku memicingkan mata, lelaki berhidung mancung itu hanya menatapku diam. Seketika aku teringat dengan ucapan Nadia saat aku kembali ke kantor setelah makan siang tadi.

‘Kamu sih, kelayapan melulu, jadi nggak tau ’kan, kalau ada GM baru.'

Mataku membulat tak percaya. “Kamu GM yang baru?”

Jagad mengangguk pelan. Menyebalkan sekali, dia bahkan seperti orang yang tidak punya dosa. 

“Kok bisa?"

Lagi-lagi Jagad hanya mengedikkan bahunya. Sial, itu artinya aku satu kantor dengan mantan. Selama ini aku menyembunyikan status janda dari teman-teman kantorku. Yang mereka tahu, aku masih gadis yang sedang jomblo dan menolak banyak ajakan menikah dari laki-laki.

Aku rasa sudah cukup menikah hanya sekali, bercerai juga sekali. Lebih baik hidup sendiri karena akan merasa lebih tenang. Buat apa mempunyai pasangan tapi malah membuat tersiksa batin. Sekarang, aku lebih nyaman dengan status janda, toh tidak ada yang tahu.

Sepenuhnya hidupku, adalah milikku.

“Nggak ada yang tau statusku di kantor ini, Mereka pikir aku masih gadis. Jadi, kamu bisa 'kan, diajak kerja sama buat menutupi yang terjadi sama kita dulu?" Aku kembali bersuara ketika Jagad memilih diam.

Lelaki di depanku mengambil cangkir kopinya, menyesap pelan, lalu kembali meletakkan cangkir putih di atas meja.

“Kenapa aku harus melakukannya?”

Seringai licik yang muncul di bibirnya membuatku benar-benar frustasi. Jagad, kamu benar-benar menjengkelkan.

*

*

Aku baru saja masuk ke dalam rumah peninggalan kedua orang tuaku. Lantai dingin dan kesunyian yang pertama kali menyambut ketika pintu utama terbuka. Tak lama, dari dalam terdengar suara anak kecil berlari ke arah ku. Sejak kapan bocah kecil ini di sini?

Namanya Raya.

“Ate.”

Aku meringis pelan lalu mengusap pelan kepala gadis mungil berusia satu tahun lebih itu. Lebihnya aku tidak tahu karena tidak mengurusnya. Dia anak Mbak Mentari dan suaminya.

“Kamu baru pulang, Ta?”

Kebiasaan orang wakanda, sudah tahu baru masuk rumah, pake tanya segala!

Aku mengangguk, lalu meletakkan tas di kursi. “Aku pikir nggak ada orang. Sejak kapan Mbak Tari di sini?” tanyaku sembari berjalan menuju lemari pendingin.

Mengambil air mineral untuk mendinginkan kepalaku yang hampir pecah.

“Raya kangen sama kamu.”

Aku melirik gadis kecil yang matanya mengingatkan aku pada seseorang. Buru-buru aku memalingkan wajah tak merespon ucapan Mbak Mentari. Melirik makanan di atas meja, sudah pasti Mbak Tari yang membawakannya.

“Makan dulu, Ta.”

Aku menggeleng. “Aku udah makan, Mbak.” 

Sama Jagad. Sayangnya aku hanya bisa meneruskan kata-kata itu di dalam hati. Mbak Mentari tidak boleh tahu kalau aku bertemu dengan lelaki itu. Dulu, Mbak Mentari begitu membela Jagad ketika kami bertengkar, tapi sekarang hanya kebencian yang tersisa di hatinya.

Sama sepertiku.

“Ta, Mbak Tari sama Mas Elang mau ke luar kota.”

Aku mengangkat kepala, tanganku yang hendak memasukkan kue bawang ke mulut terhenti begitu saja. “Terus?”

“Mbak mau nitip Raya di sini.”

“Nggak bisa!” balasku cepat. Aku bekerja, dan tidak mungkin membawa bocah kecil itu ke kantor meski diperbolehkan.

Apalagi sekarang ada Jagad yang juga bekerja di sana. Aku tidak mau lelaki itu berpikir macam-macam soal keberadaan Raya.

“Ta, tolong Mbak. Kali ini aja.”

“Aku kerja, Mbak.”

“Raya nggak nakal, kok. Dia anteng, Esta. Kamu cukup kasih dia buku dan cemilan.”

Aku menghela napas berat. Raya memang anteng dan tidak rewel seperti kebanyakan anak lainnya. Tapi masalahnya bukan itu. Andai saja Jagad tidak satu kantor denganku, sudah pasti aku akan mempertimbangkan membawa Raya. 

“Nggak bisa, Mbak.” Aku menatap Mbak Mentari dengan tatapan memohon.

Aku melirik gadis mungil yang tengah menatapku. Ah, sial. Tatapan itu selalu membuatku enggan melihat pada Raya berlama-lama.

“Esta, tapi 'kan, dia ….”

“Dia anak Mbak Tari!”

Aku bisa melihat raut terkejut dari Raya yang mendengar suara kerasku. Aku memalingkan wajah, menyesal karena membuat dia takut.

“Apa karena ada Jagad?”

Aku membeliakkan mata terkejut dengan pertanyaan Mbak Mentari.

“Mbak Tari tau?”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh sembilan

    “Hubungan kamu, itu yang akan menjalani kamu sendiri, Ta. Mbak nggak akan ikut campur, kalau kamu belum yakin, minta waktu lagi. Jangan sampai apa yang dulu udah terjadi, keulang lagi dan bikin kamu makin trauma.” Nasehat Mbak Mentari bisa kuterima dengan baik. Tak seperti biasanya yang menghakimi, kali ini benar-benar menyerahkan sepenuhnya padaku. Mas Auriga tentu saja sudah minta maaf berkali-kali padaku tentang sikap mamanya dan aku tak akan mempermasalahkannya lagi. Toh, itu mungkin hanya ketakutan seorang ibu saja. Selain sikapnya yang membahas masa laluku, mama Mas Auriga cukup baik, dia bahkan memberikan uang untuk Raya. Beliau juga cukup mengenal baik Mas Buana dan tahu kalau aku adiknya. Untuk urusanku dengan Jagad … kesalahpahaman kami mungkin sudah selesai, tapi belum jika soal Raya. Aku hanya butuh waktu sedikit lagi untuk mengatakan soal keberadaan Raya. Iya, aku butuh persiapan dan mental kalau-kalau nanti dia akan menolak

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh delapan

    Aku yakin jika Mama Sera melihat Raya, mungkin dia akan menyadari kalau Raya adalah cucunya, tapi aku akan berusaha untuk tidak mempertemukan mereka. Aku tidak ingin kemungkinan-kemungkinan buruk akan terjadi, misal, mereka menyalahkan aku karena menyembunyikan Raya. “Ta?” “Iya, Mas?” "Kamu nggak enak badan? Apa kita mampir makan dulu?" “Nggak, Mas. Aku nggak apa-apa, kok.” “Beneran? Kamu keliatan diem aja dari tadi. Kalau nggak enak badan kita tunda aja ketemu sama Mamanya, ya?” Aku menggeleng. Mas Auriga sudah effort sekali menjemputku dan Raya, dia bahkan masih memakai setelan kerjanya. Yang kutahu dari Mbak Mentari, Mas Auriga bekerja sebagai seorang engineer yang bekerja di salah satu perusahaan asing. Terkadang dia pergi ke luar kota untuk bekerja. “Aku baik-baik aja, Mas. Mungkin karena gugup jadi begini.” Mas Auriga tersenyum, lalu kembali m

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh tujuh

    Jadi bukan Jagad?Aku menatap undangan di tangan dengan perasaan tak menentu. Lalu, yang aku lihat beberapa kejadian yang melibatkan Aesha dan Jagad itu apa? Aku benar-benar pusing dibuatnya.“Esta?”Aku menoleh dengan pelan ke arah Aesha yang menatapku penuh tanya. Tentu saja dia penasaran dengan ekspresiku yang menunjukkan keterkejutan. Aku harus bicara dengan Aesha nanti, tapi tidak di depan Liana dan Raisa.“Ta? Muka kamu kayak orang syok gitu, sih? Kamu nggak apa-apa?” tanya Liana yang melihatku dengan penuh menyelidik.Aku mengangguk pelan. Aku kembali melirik Aesha yang sedang digoda oleh teman-temanku. Jadi selama ini Aesha benar-benar tidak berbohong?Tarikan napas panjang lalu embusan napas yang ku keluarkan, nyatanya tak membuat dadaku lega. Banyak sekali pertanyaan yang seolah sedang menari-nari di dalam kepalaku.Tentang pernikahan Aesha, juga tentang Jagad. Kenapa Aesha tidak mengatakan padaku kalau dia men

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh enam

    Aku hanya bisa tersenyum kecil mendengar kata-katanya. Ada perasaan hangat yang merambat di dadaku, tapi juga sedikit rasa ragu. Jagad. Sosok yang selalu menghantuiku setiap kali aku berpikir tentang masa lalu dan masa depan Raya. Pikiran tentang Jagad muncul begitu saja. Aku jadi teringat kata-katanya waktu itu, bahwa mungkin dia nggak akan pernah bisa menerima Raya. Kalau benar begitu, apa aku harus terus berharap? Apa benar aku harus melupakan masa lalu dan menerima kehadiran orang lain dalam hidupku?Aku melirik Mas Auriga, yang sekarang tengah sibuk memperhatikan Raya. Dia selalu ada, selalu hadir untukku dan Raya. Tapi kenapa, sampai sekarang, aku masih merasa ada tembok yang menghalangiku untuk melangkah lebih jauh?“Ta?” suara Mas Auriga membuyarkan pikiranku.“Iya, Mas?”“Tawaranku masih belum berubah. Aku masih menunggu jawaban kamu.”Aku terdiam sejenak. Mas Buana benar, Mas Auriga adalah sosok yang baik, isianya yang

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh Lima

    Dia berdiri di sana, menatapku dengan wajah datar tanpa ekspresi. Seolah semua yang terjadi antara kami selama ini tidak meninggalkan bekas apa pun baginya. Hanya tatapan kosong, yang membuatku entah merasa lega atau malah semakin sesak. Senyum di wajahku perlahan menghilang, digantikan oleh helaan napas panjang yang keluar tanpa bisa kutahan.Jagad tidak bergerak mendekat, tidak mengatakan apa pun. Dia hanya berdiri di sana, seperti bayang-bayang masa lalu yang menolak hilang meski aku sudah mencoba sekuat tenaga untuk melupakannya. Rasanya ... perih. Aku mencoba menatap ke arah lain, memalingkan pandangan dari mantan suamiku itu. Tapi rasa itu tetap ada. Perasaan tentang betapa salahnya semuanya, betapa aku tidak pernah benar-benar bisa menghapusnya dari hidupku.Mala, yang mungkin menyadari perubahan di wajahku, langsung merangkulku lagi. "Kamu nggak apa-apa, Ta?"Aku hanya mengangguk kecil. "Iya, aku baik-baik aja."Tapi dalam hati,

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh Empat

    Jadi bukan Jagad yang akan menikahi Aesha? Tapi kalau bukan Jagad, kenapa aku selama ini merasa semuanya kebetulan?Di daycare, juga Jagad yang bertanya aku kenal Aesha atau tidak. Lalu, nama depan Jagad yang katanya sempat Aesha sebut dan menurut Raisha calon suami Aesha. Lalu saat kami bertemu di supermarket beberapa waktu yang lalu ketika kepulangan Mas Buana. Harusnya aku bertanya langsung saja dengan Aesha. Tetapi sejak selesai kajian beberapa waktu lalu, hubungan kami tidak terlalu bagus. Aesha jadi jarang me nimbrung di grup, mungkin juga sedang sibuk dengan persiapan pernikahannya. Aku terus memikirkan ini bahkan saat motorku berhenti di depan rumah. Pikiranku terpecah antara apa yang baru saja kudengar dan kenangan masa lalu yang masih terus membayangiku. Aku mematikan mesin dan berdiri sejenak, membiarkan embusan angin sore mengusap wajahku. Lalu, suara tawa kecil terdengar dari halaman depan.Aku menoleh dan menemu

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status