"Titip ya, Sha.”
Aku melepaskan genggaman tangan Raya lalu meyerahkan pada Aesha. Kebetulan dia salah satu pengurus di daycare yang merangkap paud. Tas kecil berisi makanan dan susu kotak juga buku-buku bergambar milik Raya kuserahkan pula pada Aesha. “Memangnya Mbak Tari ke mana, Ta?” tanya Aesha sembari mengambil tas yang kusodorkan padanya. “Ke luar kota,” jawabku singkat. Aku tak mau membahas perdebatan kami semalam, juga tentang Mbak Mentari yang tahu kalau aku dan Jagad satu kantor. Mbal Tari yang tidak mau mengaku, akhirnya membuat mood-ku sedikit hancur. Sepertinya Aesha juga melihat wajahku yang muram, dia tak banyak bertanya meski aku tahu pikirannya dipenuhi dengan rasa penasaran. Aku bahkan tak mengucapkan salam perpisahan atau sekedar kata-kata mutiara untuk Raya. Yang kutahu, Aesha menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkahku. Tanganku menarik tuas gas motor, meninggalkan bangunan dua lantai dengan cat warna warni khas anak-anak. Aku juga tidak membuang waktu untuk melihat mata Raya, aku takut anak itu malah manja dan meminta ikut denganku. Selama masih ada Jagad di kantorku, aku tak akan membawa Raya ke sana. “Ya ampun, datang-datang muka udah ditekuk aja, Ta. Masih jomblo, ya?” Suara cempreng Askana menyambut ketika aku baru saja masuk ke dalam ruangan. Dia dan Mala terkikik geli melihat wajahku yang semakin ku tekuk. “Udah tau belum kalau ada GM baru?" tanya Mala berjalan menuju mejaku. "Ganteng tau, Ta. Kayaknya sih, masih single. Soalnya di jarinya nggak ada cincin." “Memangnya kalau udah nikah, laki-laki juga harus pake cincin?” Aku bertanya dengan nada sensi. Pasalnya, dulu selama menikah hanya aku yang memakai cincin nikah. Bukan apa, tapi karena saat itu memang keuangan Jagad sangat minim sehingga hanya mampu membeli satu cincin. Pernikahan kami sangat sederhana, dilakukan di KUA, lalu makan-makan keluarga. Tak ada istimewa karena orang tuanya tak mau mengeluarkan uang untuk pernikahan kami. ‘Kalian yang memutuskan nikah muda, jadi kalian juga yang bertanggung jawab dengan keputusan kalian sendiri.’ Begitu kata mendiang Papa mertuaku dulu. Beliau juga sempat menentang pernikahan kami karena merasa aku dan Jagad masih terlalu muda untuk berumah tangga. Selain karena ekonomi, juga faktor emosi yang masih belum stabil. Nyatanya, apa yang mereka khawatirkan ada benarnya, dan sekarang malah aku yang menyesal pernah menikah. Harusnya ku siapkan mental dan ilmu dulu sebelum memutuskan, bukan hanya karena fomo banyak yang menikah muda lalu dijadikan konten mesra-mesraan sehingga membuat kaum jomblo kebagian nyengir. “Ya nggak juga, sih. Tapi kayaknya emang beneran jomblo, kok." Askana menyerahkan beberapa berkas padaku. “Apaan, nih?” tanyaku mengangkat map hijau dari Askana. “Itu berkas yang Pak Jagad minta. Aku sakit perut, tolong kasihin, ya?" Setelahnya, Askana langsung kabur meninggalkanku yang masih bengong dengan berkas di tangan. Aku melirik Mala meminta bantuan, tapi gadis itu hanya mengedikkan bahunya tak peduli. Astaga, haruskah pagi-pagi seperti ini aku bertemu dengan mantan? Menarik napas dalam, lalu membuangnya perlahan. Tanganku terayun mengetuk pintu. "Permisi, Pak." Tak ada jawaban. Aku menempelkan telinga di pintu mencari suara kehidupan dari dalam. Hanya untuk memastikan apakah Jagad ada di ruangannya atau tidak. "Esta? Kamu ngapain?" Aku tersentak kaget, mengelus dada lal,u mendelik padanya. Terlihat kerutan di antara kedua alis Jagad seolah sedang bertanya salahnya di mana. Aku berdehem, kemudian menyodorkan map di tangan. “Dari Askana,” kataku lalu langsung kabur dari hadapan Jagad. * * Sejak kehadiran Jagad di kantor, aku tak bisa menjadi Semesta yang seperti biasa. Aku harus menjaga image di depan lelaki itu. Sikapku harus terlihat anggun dan dewasa. Aku sengaja melakukan itu agar Jagad tak lagi menilaiku kekanak-kanakan seperti dulu. Aku ingat dulu, setiap kali aku marah padanya, dia mengatakan aku seperti anak kecil. 'Kita udah dua puluh tahun, Ta. Bisa nggak sih, kamu belajar lebih dewasa sedikit? Gini aja nggak bisa!' 'Apaan, sih, Ta! Aku kerja jadi sales penjualan, ya wajar kalau teman kerjaku perempuan! Kamu jangan kekanakan, ya!' Banyak lagi kata-kata yang cukup menyakitiku. Bagaimana aku tidak cemburu? Dia berboncengan dengan rekan kerjanya, katanya sih, sebar brosur. Tapi harus banget pegangan perut? Dan firasatku ternyata kejadian juga. Mungkin Jagad memang tak menganggap kalau temannya ada hati, tapi sebagai sesama perempuan jelas aku merasakannya. Malam-malam curhat putus dengan pacarnya. Oke aku cemburu. Tapi lagi-lagi Jagad bilang aku cemburu tak beralasan. Saat aku mengancam akan pulang ke rumah Mbak Tari, dia malah memarahi ku balik. 'Bisa nggak sih, kalau ngambek nggak usah kabur-kaburan? Kita udah gede! Udah nikah. Jangan umbar aib rumah tangga kita sama kakakmu!' Oh, ternyata dia baru sadar kalau sudah menikah denganku. Nyatanya, dia lebih sibuk dengan teman-teman dan ponselnya. Dulu, katanya aku prioritas, setelah menikah ternyata semua berubah. Aku tak lagi menjadi yang pertama baginya. Aku menggeleng pelan, naik ke atas motor, lalu menghela napas panjang sebelum melaju menuju daycare Aesha. Aku harus menjemput Raya tentu saja. Kalau saja tidak ingat kalau dia ... aku menggeleng berusaha menghilangkan pikiran buruk di kepalaku. 'Raya itu anaknya nurut, Ta.' 'Raya mirip banget sama kamu.' 'Ta, Mbak Tari mau dinas. Jagain Raya bentar, ya.' Ah, Raya. Gadis kecil itu hampir saja merenggut masa mudaku. Setengah jam aku baru sampai di depan daycare memarkirkan motor sedikit jauh dari pintu gerbang karena banyak kendaraan dari orang tua lain yang menjemput anak-anak mereka. Aku berjalan dengan menenteng bolu dari toko kue yang cukup terkenal asal kita Bandung. Sengaja kubeli untuk Aesha sebagai tanda terima kasih karena sudah mau menjaga Raya secara gratis. Langkahku terhenti sebelum memasuki gerbang daycare. Memicingkan mata untuk meyakinkan diri kalau aku tak salah lihat. "Jagad? Kenapa dia di sini?"Setelah Mas Auriga pamit, aku dan Raya masuk ke dalam rumah. Raya terlihat lelah setelah bermain seharian di halaman, sementara aku masih tenggelam dalam pikiran tentang percakapanku dengan Mas Auriga.Di ruang tengah, Mas Buana duduk di sofa sambil menonton televisi. Begitu aku masuk, dia langsung menoleh, menurunkan volume televisi dan menatapku dengan penuh perhatian.“Auriga udah pulang?” tanya Mas Buana sambil tersenyum, meski aku bisa lihat ada rasa penasaran di matanya.“Udah, barusan, Mas,” jawabku sambil menggandeng tangan Raya yang sudah mulai mengantuk.Mas Buana mengangguk. “Oh, gitu. Terus … gimana? Kamu udah bikin keputusan soal Auriga?”Aku terdiam sebentar, menatap Raya yang sekarang sudah duduk di lantai, asyik bermain dengan boneka-bonekanya. Aku tahu pertanyaan itu akan datang, dan sekarang adalah waktunya aku harus memberi jawaban.“Aku udah ngomong sama Mas Auriga, Mas,” kataku pelan. “Aku bilang kalau aku ng
Sore itu, aku dan Mas Auriga duduk berdua di teras rumah, mengawasi Raya yang berlarian di halaman. Dia baru saja selesai bermain dengan Mas Auriga, dan sekarang kembali asyik dengan mainan-mainan kecilnya di dekat kami.Udara sore yang sejuk menambah keheningan di antara kami, tapi aku tahu obrolan serius yang akan terjadi tak bisa dihindari lebih lama lagi.Mas Auriga menghela napas, kemudian menoleh ke arahku. "Ta, aku mau bicara soal ... kita. Masa depan kita."Aku mengangguk, meski hatiku sedikit berdebar. Ini adalah saat yang sudah aku pikirkan berhari-hari."Aku tahu, Mas. Aku juga mau bicara soal itu."Dia menatapku dengan penuh perhatian, seolah mencari jawaban dari ekspresi wajahku."Aku serius, Ta. Aku benar-benar ingin melangkah lebih jauh sama kamu. Aku pengen kamu jadi istri aku, jadi ibu buat anak-anak kita nanti."Perkataannya itu membuat hatiku sedikit bergetar, tapi aku harus jujur."Mas, maaf
Raya cemberut lucu. "Bunda main? Mau main sama Bunda." Raya merengek dengan suara khasnya yang cadel. "Ayah Aya mau sama Bunda."Jagad tertawa pelan, kembali melirikku seolah memintaku untuk merespon Raya."Kalau mainnya sama Ayah aja gimana? Main sama Ayah nggak kalah seru, loh.""Mau sama Bunda." Raya mendongak, menatapku dengan mata berkaca-kaca.Aku menghela napas panjang kemudian hanya bisa mengangguk, meski dalam hati sedikit aneh rasanya mendengar percakapan yang begitu ... keluarga. Seolah-olah kami adalah keluarga yang utuh. Padahal kenyataannya, hubungan kami dengan Jagad sudah berakhir bertahun-tahun lalu.Di tengah perjalanan, Jagad memutar lagu anak-anak di radio. Raya langsung ikut menyanyi, menggerakkan tangannya mengikuti irama.Raya mengikuti dengan semangat walaupun pelafalannya belum begitu jelas, suaranya sedikit fals tapi tetap terdengar lucu. Jagad ikut bernyanyi, sesekali melihat ke arah kami dengan senyum
“Jadi mereka udah sering datang?”Aku menatap Mas Buana sebentar, membuang napas panjang, lalu mengangguk pelan. Mata Mas Buana tak lepas dari Mama Sera dan Jagad yang sedang bermain dengan Raya.“Kamu mau balikan sama dia?” tanya Mas Buana lagi.“Mas, plase.”“Kenapa? Bukannya dia mau nerima Raya? Nggak seperti yang kamu takutkan selama ini. Kamu juga masih cinta sama dia 'kan, Ta?”“Mas ….”“Mas udah nggak bisa jagain kamu lagi, Ta. Tubuh Mas udah nggak sekuat dulu, kalau kamu mau balikan sama dia, Mas nggak akan menghalangi.”Aku mendesah pelan, menoleh pada Jagad dan Mama Sera yang sedang menyuapi Raya makanan. Mas Buana sudah pulang dari rumah sakit sejak seminggu yang lalu, dan selama itu di melihat Jagad yang selalu datang ke rumah setiap kali pulang kerja.Bahkan, minggu kemarin Jagad mengajak Raya dan aku pergi, meski akhirnya aku menolak dan membiarkan Raya pergi dengannya sendiri. Aku masih fokus pada kesembuhan Mas Buana setelah operasinya.Memang, kata dokter tidak ada ko
Hari ini Mas Buana sudah diperbolehkan pulang. Mbak Mentari tadi yang mengabari, aku membereskan rumah dan menyiapkan makanan untuk Mas Buana. Katanya, Mas Buana harus bed rest untuk beberapa hari lagi ke depan. Baru saja aku melangkahkan kaki ke luar rumah untuk membuang sampah, langkahku terhenti ketika melihat Mama Sera yang berada di depan gerbang. Bibirnya melengkung ke atas membentuk senyuman ketika melihatku keluar rumah. “Esta.” Aku tersenyum canggung. Sejak Mama memintaku memberi kesempatan kedua untuk Jagad, aku jadi sedikit segan dengan beliau. Mama yang mengirimi kami makanan selama berada di rumah sakit, bukan hanya untukku dan Jagad, tapi juga untuk Mbak Mentari dan Mas Auriga yang menemani Mas Buana secara bergantian. “Esta, Mama boleh masuk?” tanya Mama Sera menatapku penuh harap. Aku yang sempat melamun sebentar langsung tersadar, lalu mengangguk. Berjalan ke ara
Diingin Aku sedang duduk di ruang tamu sambil memperhatikan Raya yang tengah asyik bermain dengan mainannya. Ada banyak kekalutan yang bersarang di kepala. Aku belum tahu harus berbuat apa dengan semua yang terjadi belakangan ini. Tiba-tiba, suara bel rumah membuyarkan lamunanku. Aku bangkit dari tempat duduk, berjalan menuju pintu. Ketika kubuka, di sana berdiri Mbak Mentari, tersenyum lembut sambil membawa kotak kecil di tangannya. “Assalamu’alaikum, Esta,” sapanya hangat. “Wa’alaikumussalam, Mbak. Silakan masuk,” jawabku sambil mempersilakannya masuk. Ada sesuatu yang berbeda hari ini, entah mengapa aku merasakan suasana hatinya lebih serius dari biasanya. Setelah Mbak Mentari duduk di sofa, aku segera mengambil minuman untuknya. "Mbak udah nggak mabok? Kangen sama Raya, ya?" tanyaku sambil tersenyum. Mbak Mentari mengangguk sambil melihat ke arah Raya yang sedang bermain. "Iya, Mbak kangen banget sama bocah kecil ini. Tapi sebenarnya, ada hal lain yang ingin Mbak bicara