Share

Lima

Author: Mumtaza wafa
last update Last Updated: 2025-02-12 20:48:10

'Kalau udah nikah jangan baperan, Ta. Udah nikah itu pikirannya harus lebih dewasa.Lagian kalian menikah atas keinginan sendiri. Jangan berantem dikit minta cerai.'

'Tapi Esta capek, Ma. Jagad nggak mau bantuin Esta di rumah.'

'Dia 'kan kuliah, Ta. Kerja juga. Maklumin aja, dia pulang juga pengen istirahat.'

Malam lainnya.

'Kamu ngadu apa sama Mama, Ta?'

'Apaan?'

'Mama bilang aku nggak pernah bantuin kamu. Mama bilang aku nggak pernah ajak ngobrol kamu di rumah. Jangan kayak anak kecil yang dikit-dikit ngadu sama Mama, Ta. Kita udah rumah tangga, emang nggak bisa kamu ngomong langsung sama aku aja?'

'Kamu lupa berapa kali aku ajak kamu bicara tapi kamu bilang capek? Pulang-pulang kamu langsung tidur. Masakan aku bahkan nggak pernah kamu sentuh, terus aku mesti ngomong sama siapa? Tembok?'

'Nggak gitu, Ta.'

Aku tersadar dari lamunan. Semalaman tak bisa tidur memikirkan kejadian akhir-akhir ini. Kemarin, aku pikir Jagad sudah pergi dari daycare. Ternyata lelaki itu kembali lagi dengan membawa kantong kresek yang aku tak tahu apa isinya.

Rasa penasaran malah membuatku semakin tidak tenang. Aku berusaha menyingkirkan Jagad dari pikiran dan menyibukkan diri dengan membersihkan rumah. Tapi, lagi-lagi ucapan teman-teman Aesha kemarin cukup menggangguku.

'Calon suami Mba Aesha datang.'

Aku melirik ponsel yang menyala, pesan dari Liana masuk ke dalam grup yang kubuat bersama Aesha dan Raisa. Grup ghibah, curcol dan curhat juga sebagai wadah untuk Aesha melakukan dakwah pada kami. Terutama aku dan Liana yang memiliki permasalahan rumah tangga.

Liana

[Mas Faisal ke hotel sama ani-ani bandara.]

Aku bengong sebentar, bisa-bisanya Liana sesantai itu. Kalau aku jadi dia, sudah pasti sudah kuobrak abrik dan kutarik rambut perempuan itu. Jika perlu, ku bawa pasukan untuk menggebrek tempat mereka berbuat zina.

[Kamu butuh bala bantuan buat ngelabrak mereka nggak, Na? Kalau butuh aku siap-siap sekarang.]

Aku mengetik balasan karena merasa geram dengan suami sahabatku itu. Selingkuh adalah penyakit dan aku tidak bisa mentolerir meski itu bukan aku yang mengalami.

Liana

[Nggak perlu, Ta. Stay kalem aja, sih. Dia cuma lagi main-main aja, nanti juga balik sama aku lagi. Nggak perlu mengotori tangan buat ngehancurin orang lain.]

“Bodoh!” Refleks aku mengumpat karena sikap Liana yang tidak tegas seperti itu. Malah aku sendiri yang merasa geram.

Aku berbaring di sisi kiri Raya yang tengah tidur sembari memeluk boneka panda. Ku tatap layar ponsel yang masih menampakkan kolom percakapan grup. Aku enggan membalas lagi karena terlalu kesal dengan sikap Liana, sedangkan Raisa dan Aesha akan menasehati dan menguatkan perempuan itu.

Liana lebih beruntung, karena ada mereka ketika masalah datang padanya. Sedangkan aku, tidak ada satupun orang yang menguatkan dan menemani diri ini ketika rapuh. Tak ada yang tahu kalau aku hampir merenggang nyawa dulu saat berjuang untuk melepaskan beban yang Jagad titipkan dalam tubuhku.

Ah, sial.

Bagaimana aku bisa melupakan masa laluku jika terus mengingatnya?

[Kamu bodoh, Na. Bisa-bisanya kamu masih bertahan dengan laki-laki kayak gitu. Kamu berhak bahagia, Na. Kamu dan anak-anak kamu.]

Akhirnya aku membalas pesan teman-temanku di grup setelah berhasil menata hati.

Liana

[Kamu nggak tau rasanya berjuang untuk anak-anak, Esta. Kamu nggak punya anak, jadi bisa ngomong gitu. Anakku butuh sosok ayahnya, dan aku bahagia kalau anak-anakku bahagia. Asalkan dia balik ke rumah, aku nggak masalah. Di rumah dia milikku dan anak-anak, tapi di luar, dia punya orang lain.]

Inginku berkata kasar dan memaki Liana untuk menyadarkan perempuan itu. Anak? Alasan klise. Padahal anak-anak akan bahagian kalau ibunya juga bahagia. Tidak tahukah dia banyak anak yang menjadi korban karena keegoisan ibunya bertahan dengan pernikahan toxic itu?

Seorang ibu akan melampiaskan amarahnya pada anak ketika bertengkar dengan suaminya. Lalu? Kasus ibu yang menghabisi nyawa anaknya sendiri karena baby blues atau depresi adalah salah satu bukti kalau pernikahan memang semengerikan itu. Dulu, banyak perempuan waras sebelum menikah, tapi wanita akan menjadi gila setelah menikah.

Termasuk aku.

Aku melirik Raya, batinku menagis, tapi aku membencinya. Iya, dia anak Kak Mentari karena sejak bayi, Raya sudah diurus oleh kakakku.

Dan lagi-lagi, perempuan yang akan disalahkan atas apa yang menimpanya. Baperan, kurang iman, kurang bersyukur. Lalu bagaimana dengan laki-laki yang berselingkuh, kdrt, atau tidak bertanggung jawab dengan pasangannya?

Aku menangis. Tanganku bergetar ketika mengetik balasan untuk Liana.

[Anak-anak akan bahagia kalau ibunya bahagia, Na. Kamu yakin bahagia sekarang?]

Aku melempar ponsel ke meja karena tidak mau melihat balasan dari pesan Liana yang akan membela suaminya itu. Kuambil bantal, lalu ku tutup wajah guna menekan suara tangis agar tak terdengar oleh Raya.

*

*

“Ya ampun, Semesta! Jangan bilang kamu habis maraton nonton drakor? Mata kamu bengkak. Nonton apa sih, sampai nangis gitu?”

Suara Mala yang cempreng membuat beberapa orang langsung menoleh ke arahku. Mala langsung terkekeh ketika aku mendelik jengkel padanya.

“Kayaknya dia lagi merenungi nasib jomblonya, deh. Iya, 'kan. Ta?” Askana ikut menimpali.

Aku hanya menjawab dengan gumaman. Padahal, tak ada sekalipun niat dalam hati untuk mencari pasangan lain setelah bercerai dari Jagad. Sudah cukup aku menjadi gila.

Menikah buka tentang jatuh cinta antara dua orang manusia berbeda gender. Tapi tentang kesiapan dalam menghadapi apa yang ada di dalamnya. Mertua, ipar, suami, anak dan apalah itu, aku tak mau banyak memikirkannya.

Aku seperti menjadi diriku yang dulu meski dengan gelar baru, janda muda. Ada ketakutan dalam diriku jika dekat dan menjalin hubungan yang baru dengan laki-laki.

Walaupun ada yang bilang, menikah tak semengerikan itu jika bertemu dengan orang yang tepat, tapi aku lebih memilih untuk menghindarinya.

“Ta, dipanggil Pak Jagad.”

Aku bergeming, sedangkan dua temanku yang lain malah menggoda. Kugigit bibir bagian bawah pertanda aku sedang gugup.

“Buruan samperin, Ta. Siapa tau mau dilamar.”

“Cie Esta.”

Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan teman-temanku. Tidak tahu saja mereka kalau dulu aku dan Jagad pernah dalam satu selimut. Dalam hati bertanya-tanya, ada apakah gerangan beliau memanggilku?

Tiga kali ketukan pintu, barulah terdengar suara bariton Jagad yang menyuruhku masuk.

“Bapak maanggil saya?” tanyaku setelah berhadapan dengannya. Pintu kubiarkan terbuka karena jika dia macam-macam, aku langsung teriak agar karyawan lain bisa mendengar suaraku.

“Kamu nggak akan di sini kalau saya nggak manggil kamu Esta.”

Benar juga.

“Ada apa, Pak?” tanyaku tanpa basa basi lagi.

Terlihat Jagad menghela napas panjang, lalu menautkan kesepuluh jari-jarinya.

“Kamu kenal dengan Aesha?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh sembilan

    “Hubungan kamu, itu yang akan menjalani kamu sendiri, Ta. Mbak nggak akan ikut campur, kalau kamu belum yakin, minta waktu lagi. Jangan sampai apa yang dulu udah terjadi, keulang lagi dan bikin kamu makin trauma.” Nasehat Mbak Mentari bisa kuterima dengan baik. Tak seperti biasanya yang menghakimi, kali ini benar-benar menyerahkan sepenuhnya padaku. Mas Auriga tentu saja sudah minta maaf berkali-kali padaku tentang sikap mamanya dan aku tak akan mempermasalahkannya lagi. Toh, itu mungkin hanya ketakutan seorang ibu saja. Selain sikapnya yang membahas masa laluku, mama Mas Auriga cukup baik, dia bahkan memberikan uang untuk Raya. Beliau juga cukup mengenal baik Mas Buana dan tahu kalau aku adiknya. Untuk urusanku dengan Jagad … kesalahpahaman kami mungkin sudah selesai, tapi belum jika soal Raya. Aku hanya butuh waktu sedikit lagi untuk mengatakan soal keberadaan Raya. Iya, aku butuh persiapan dan mental kalau-kalau nanti dia akan menolak

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh delapan

    Aku yakin jika Mama Sera melihat Raya, mungkin dia akan menyadari kalau Raya adalah cucunya, tapi aku akan berusaha untuk tidak mempertemukan mereka. Aku tidak ingin kemungkinan-kemungkinan buruk akan terjadi, misal, mereka menyalahkan aku karena menyembunyikan Raya. “Ta?” “Iya, Mas?” "Kamu nggak enak badan? Apa kita mampir makan dulu?" “Nggak, Mas. Aku nggak apa-apa, kok.” “Beneran? Kamu keliatan diem aja dari tadi. Kalau nggak enak badan kita tunda aja ketemu sama Mamanya, ya?” Aku menggeleng. Mas Auriga sudah effort sekali menjemputku dan Raya, dia bahkan masih memakai setelan kerjanya. Yang kutahu dari Mbak Mentari, Mas Auriga bekerja sebagai seorang engineer yang bekerja di salah satu perusahaan asing. Terkadang dia pergi ke luar kota untuk bekerja. “Aku baik-baik aja, Mas. Mungkin karena gugup jadi begini.” Mas Auriga tersenyum, lalu kembali m

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh tujuh

    Jadi bukan Jagad?Aku menatap undangan di tangan dengan perasaan tak menentu. Lalu, yang aku lihat beberapa kejadian yang melibatkan Aesha dan Jagad itu apa? Aku benar-benar pusing dibuatnya.“Esta?”Aku menoleh dengan pelan ke arah Aesha yang menatapku penuh tanya. Tentu saja dia penasaran dengan ekspresiku yang menunjukkan keterkejutan. Aku harus bicara dengan Aesha nanti, tapi tidak di depan Liana dan Raisa.“Ta? Muka kamu kayak orang syok gitu, sih? Kamu nggak apa-apa?” tanya Liana yang melihatku dengan penuh menyelidik.Aku mengangguk pelan. Aku kembali melirik Aesha yang sedang digoda oleh teman-temanku. Jadi selama ini Aesha benar-benar tidak berbohong?Tarikan napas panjang lalu embusan napas yang ku keluarkan, nyatanya tak membuat dadaku lega. Banyak sekali pertanyaan yang seolah sedang menari-nari di dalam kepalaku.Tentang pernikahan Aesha, juga tentang Jagad. Kenapa Aesha tidak mengatakan padaku kalau dia men

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh enam

    Aku hanya bisa tersenyum kecil mendengar kata-katanya. Ada perasaan hangat yang merambat di dadaku, tapi juga sedikit rasa ragu. Jagad. Sosok yang selalu menghantuiku setiap kali aku berpikir tentang masa lalu dan masa depan Raya. Pikiran tentang Jagad muncul begitu saja. Aku jadi teringat kata-katanya waktu itu, bahwa mungkin dia nggak akan pernah bisa menerima Raya. Kalau benar begitu, apa aku harus terus berharap? Apa benar aku harus melupakan masa lalu dan menerima kehadiran orang lain dalam hidupku?Aku melirik Mas Auriga, yang sekarang tengah sibuk memperhatikan Raya. Dia selalu ada, selalu hadir untukku dan Raya. Tapi kenapa, sampai sekarang, aku masih merasa ada tembok yang menghalangiku untuk melangkah lebih jauh?“Ta?” suara Mas Auriga membuyarkan pikiranku.“Iya, Mas?”“Tawaranku masih belum berubah. Aku masih menunggu jawaban kamu.”Aku terdiam sejenak. Mas Buana benar, Mas Auriga adalah sosok yang baik, isianya yang

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh Lima

    Dia berdiri di sana, menatapku dengan wajah datar tanpa ekspresi. Seolah semua yang terjadi antara kami selama ini tidak meninggalkan bekas apa pun baginya. Hanya tatapan kosong, yang membuatku entah merasa lega atau malah semakin sesak. Senyum di wajahku perlahan menghilang, digantikan oleh helaan napas panjang yang keluar tanpa bisa kutahan.Jagad tidak bergerak mendekat, tidak mengatakan apa pun. Dia hanya berdiri di sana, seperti bayang-bayang masa lalu yang menolak hilang meski aku sudah mencoba sekuat tenaga untuk melupakannya. Rasanya ... perih. Aku mencoba menatap ke arah lain, memalingkan pandangan dari mantan suamiku itu. Tapi rasa itu tetap ada. Perasaan tentang betapa salahnya semuanya, betapa aku tidak pernah benar-benar bisa menghapusnya dari hidupku.Mala, yang mungkin menyadari perubahan di wajahku, langsung merangkulku lagi. "Kamu nggak apa-apa, Ta?"Aku hanya mengangguk kecil. "Iya, aku baik-baik aja."Tapi dalam hati,

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh Empat

    Jadi bukan Jagad yang akan menikahi Aesha? Tapi kalau bukan Jagad, kenapa aku selama ini merasa semuanya kebetulan?Di daycare, juga Jagad yang bertanya aku kenal Aesha atau tidak. Lalu, nama depan Jagad yang katanya sempat Aesha sebut dan menurut Raisha calon suami Aesha. Lalu saat kami bertemu di supermarket beberapa waktu yang lalu ketika kepulangan Mas Buana. Harusnya aku bertanya langsung saja dengan Aesha. Tetapi sejak selesai kajian beberapa waktu lalu, hubungan kami tidak terlalu bagus. Aesha jadi jarang me nimbrung di grup, mungkin juga sedang sibuk dengan persiapan pernikahannya. Aku terus memikirkan ini bahkan saat motorku berhenti di depan rumah. Pikiranku terpecah antara apa yang baru saja kudengar dan kenangan masa lalu yang masih terus membayangiku. Aku mematikan mesin dan berdiri sejenak, membiarkan embusan angin sore mengusap wajahku. Lalu, suara tawa kecil terdengar dari halaman depan.Aku menoleh dan menemu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status