'Kalau udah nikah jangan baperan, Ta. Udah nikah itu pikirannya harus lebih dewasa.Lagian kalian menikah atas keinginan sendiri. Jangan berantem dikit minta cerai.'
'Tapi Esta capek, Ma. Jagad nggak mau bantuin Esta di rumah.' 'Dia 'kan kuliah, Ta. Kerja juga. Maklumin aja, dia pulang juga pengen istirahat.' Malam lainnya. 'Kamu ngadu apa sama Mama, Ta?' 'Apaan?' 'Mama bilang aku nggak pernah bantuin kamu. Mama bilang aku nggak pernah ajak ngobrol kamu di rumah. Jangan kayak anak kecil yang dikit-dikit ngadu sama Mama, Ta. Kita udah rumah tangga, emang nggak bisa kamu ngomong langsung sama aku aja?' 'Kamu lupa berapa kali aku ajak kamu bicara tapi kamu bilang capek? Pulang-pulang kamu langsung tidur. Masakan aku bahkan nggak pernah kamu sentuh, terus aku mesti ngomong sama siapa? Tembok?' 'Nggak gitu, Ta.' Aku tersadar dari lamunan. Semalaman tak bisa tidur memikirkan kejadian akhir-akhir ini. Kemarin, aku pikir Jagad sudah pergi dari daycare. Ternyata lelaki itu kembali lagi dengan membawa kantong kresek yang aku tak tahu apa isinya. Rasa penasaran malah membuatku semakin tidak tenang. Aku berusaha menyingkirkan Jagad dari pikiran dan menyibukkan diri dengan membersihkan rumah. Tapi, lagi-lagi ucapan teman-teman Aesha kemarin cukup menggangguku. 'Calon suami Mba Aesha datang.' Aku melirik ponsel yang menyala, pesan dari Liana masuk ke dalam grup yang kubuat bersama Aesha dan Raisa. Grup ghibah, curcol dan curhat juga sebagai wadah untuk Aesha melakukan dakwah pada kami. Terutama aku dan Liana yang memiliki permasalahan rumah tangga. Liana [Mas Faisal ke hotel sama ani-ani bandara.] Aku bengong sebentar, bisa-bisanya Liana sesantai itu. Kalau aku jadi dia, sudah pasti sudah kuobrak abrik dan kutarik rambut perempuan itu. Jika perlu, ku bawa pasukan untuk menggebrek tempat mereka berbuat zina. [Kamu butuh bala bantuan buat ngelabrak mereka nggak, Na? Kalau butuh aku siap-siap sekarang.] Aku mengetik balasan karena merasa geram dengan suami sahabatku itu. Selingkuh adalah penyakit dan aku tidak bisa mentolerir meski itu bukan aku yang mengalami. Liana [Nggak perlu, Ta. Stay kalem aja, sih. Dia cuma lagi main-main aja, nanti juga balik sama aku lagi. Nggak perlu mengotori tangan buat ngehancurin orang lain.] “Bodoh!” Refleks aku mengumpat karena sikap Liana yang tidak tegas seperti itu. Malah aku sendiri yang merasa geram. Aku berbaring di sisi kiri Raya yang tengah tidur sembari memeluk boneka panda. Ku tatap layar ponsel yang masih menampakkan kolom percakapan grup. Aku enggan membalas lagi karena terlalu kesal dengan sikap Liana, sedangkan Raisa dan Aesha akan menasehati dan menguatkan perempuan itu. Liana lebih beruntung, karena ada mereka ketika masalah datang padanya. Sedangkan aku, tidak ada satupun orang yang menguatkan dan menemani diri ini ketika rapuh. Tak ada yang tahu kalau aku hampir merenggang nyawa dulu saat berjuang untuk melepaskan beban yang Jagad titipkan dalam tubuhku. Ah, sial. Bagaimana aku bisa melupakan masa laluku jika terus mengingatnya? [Kamu bodoh, Na. Bisa-bisanya kamu masih bertahan dengan laki-laki kayak gitu. Kamu berhak bahagia, Na. Kamu dan anak-anak kamu.] Akhirnya aku membalas pesan teman-temanku di grup setelah berhasil menata hati. Liana [Kamu nggak tau rasanya berjuang untuk anak-anak, Esta. Kamu nggak punya anak, jadi bisa ngomong gitu. Anakku butuh sosok ayahnya, dan aku bahagia kalau anak-anakku bahagia. Asalkan dia balik ke rumah, aku nggak masalah. Di rumah dia milikku dan anak-anak, tapi di luar, dia punya orang lain.] Inginku berkata kasar dan memaki Liana untuk menyadarkan perempuan itu. Anak? Alasan klise. Padahal anak-anak akan bahagian kalau ibunya juga bahagia. Tidak tahukah dia banyak anak yang menjadi korban karena keegoisan ibunya bertahan dengan pernikahan toxic itu? Seorang ibu akan melampiaskan amarahnya pada anak ketika bertengkar dengan suaminya. Lalu? Kasus ibu yang menghabisi nyawa anaknya sendiri karena baby blues atau depresi adalah salah satu bukti kalau pernikahan memang semengerikan itu. Dulu, banyak perempuan waras sebelum menikah, tapi wanita akan menjadi gila setelah menikah. Termasuk aku. Aku melirik Raya, batinku menagis, tapi aku membencinya. Iya, dia anak Kak Mentari karena sejak bayi, Raya sudah diurus oleh kakakku. Dan lagi-lagi, perempuan yang akan disalahkan atas apa yang menimpanya. Baperan, kurang iman, kurang bersyukur. Lalu bagaimana dengan laki-laki yang berselingkuh, kdrt, atau tidak bertanggung jawab dengan pasangannya? Aku menangis. Tanganku bergetar ketika mengetik balasan untuk Liana. [Anak-anak akan bahagia kalau ibunya bahagia, Na. Kamu yakin bahagia sekarang?] Aku melempar ponsel ke meja karena tidak mau melihat balasan dari pesan Liana yang akan membela suaminya itu. Kuambil bantal, lalu ku tutup wajah guna menekan suara tangis agar tak terdengar oleh Raya. * * “Ya ampun, Semesta! Jangan bilang kamu habis maraton nonton drakor? Mata kamu bengkak. Nonton apa sih, sampai nangis gitu?” Suara Mala yang cempreng membuat beberapa orang langsung menoleh ke arahku. Mala langsung terkekeh ketika aku mendelik jengkel padanya. “Kayaknya dia lagi merenungi nasib jomblonya, deh. Iya, 'kan. Ta?” Askana ikut menimpali. Aku hanya menjawab dengan gumaman. Padahal, tak ada sekalipun niat dalam hati untuk mencari pasangan lain setelah bercerai dari Jagad. Sudah cukup aku menjadi gila. Menikah buka tentang jatuh cinta antara dua orang manusia berbeda gender. Tapi tentang kesiapan dalam menghadapi apa yang ada di dalamnya. Mertua, ipar, suami, anak dan apalah itu, aku tak mau banyak memikirkannya. Aku seperti menjadi diriku yang dulu meski dengan gelar baru, janda muda. Ada ketakutan dalam diriku jika dekat dan menjalin hubungan yang baru dengan laki-laki. Walaupun ada yang bilang, menikah tak semengerikan itu jika bertemu dengan orang yang tepat, tapi aku lebih memilih untuk menghindarinya. “Ta, dipanggil Pak Jagad.” Aku bergeming, sedangkan dua temanku yang lain malah menggoda. Kugigit bibir bagian bawah pertanda aku sedang gugup. “Buruan samperin, Ta. Siapa tau mau dilamar.” “Cie Esta.” Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan teman-temanku. Tidak tahu saja mereka kalau dulu aku dan Jagad pernah dalam satu selimut. Dalam hati bertanya-tanya, ada apakah gerangan beliau memanggilku? Tiga kali ketukan pintu, barulah terdengar suara bariton Jagad yang menyuruhku masuk. “Bapak maanggil saya?” tanyaku setelah berhadapan dengannya. Pintu kubiarkan terbuka karena jika dia macam-macam, aku langsung teriak agar karyawan lain bisa mendengar suaraku. “Kamu nggak akan di sini kalau saya nggak manggil kamu Esta.” Benar juga. “Ada apa, Pak?” tanyaku tanpa basa basi lagi. Terlihat Jagad menghela napas panjang, lalu menautkan kesepuluh jari-jarinya. “Kamu kenal dengan Aesha?”Aku baru saja sampai rumah ketika kulihat Mas Buana berdiri di depan pintu. Wajahnya tampak tegang, dan aku langsung tahu ada sesuatu yang tidak beres. Hatiku berdebar, perasaanku tidak enak.Sudah pasti dia mau membahas tentang pesan yang dia kirim tadi padaku. Dari sorot matanya, aku bisa menebak ini bukan kunjungan yang menyenangkan.“Matanya biasa aja, Mas. Marah gara-gara aku nggak bales pesan?” Aku mencoba setenang mungkin, meski jantungku berdebar kencang.Mas Buana tidak langsung menjawab. Dia melipat tangannya di dada, matanya menatap tajam ke arahku. "Kamu ada urusan apalagi sama Jagad?" tanyanya dingin penuh tuduhan."Jagad itu atasan aku di kantor. Aku nggak ada hubungan lagi sama dia selain urusan kerja," jawabku sembari melepas sepatu pantofel lalu meletakkan di rak sepatu. "Atasan? Apa itu alasan yang cukup untuk kamu kembali dekat sama dia?" Mas Buana bertanya dengan nada semakin tajam. "Aku tahu gimana Jagad. Aku tahu apa yang sudah dia lakuin ke kamu dulu. Kamu lupa
Keesokan paginya, aku memutuskan untuk tidak masuk kerja. Kutarik napas dalam-dalam saat mengetik pesan izin kepada Jagad, memberi alasan bahwa aku masih syok akibat kecelakaan kemarin. Itu tidak sepenuhnya bohong—rasanya pikiranku belum benar-benar stabil. Namun, sebenarnya, ada hal lain yang lebih mendesak yang membuatku memilih untuk tidak bekerja hari ini. Jagad [Iya, Ta. Maaf, harusnya aku bisa menahannya. Semoga kamu segera pulih.] Jika bukan karena izin, kupastikan tidak akan mengirim pesan pada Jagad. Aku tidak mau berlarut-larut memikirkan mantan suamiku itu. Aku sedang memikirkan Liana. Setelah membaca pesan-pesannya tadi malam, aku tahu aku harus datang menemuinya. Aku tidak bisa membiarkan dia menghadapi semua ini sendirian, apalagi sekarang setelah suaminya benar-benar minta cerai. Jadi, di sinilah aku sekarang, berdiri di depan rumah Liana. Rumahnya yang biasanya selalu terlihat rapi
Aku tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi, hanya berharap dia datang secepat mungkin. Aku tidak tahan lagi berada di sini, apalagi bersama Jagad. Aku butuh seseorang yang bisa membuatku merasa aman, dan untuk saat ini, hanya Mas Auriga yang terlintas di pikiranku.Mobil Jagad rusak parah. Bagian depannya penyok, dan sekarang mogok di tengah jalan tol. Jagad menghela napas panjang, lalu segera menghubungi kantor pusat untuk memberitahu bahwa kami tidak bisa datang, sambil menjelaskan apa yang terjadi. Setelah itu, dia menelepon bengkel, berusaha mencari solusi untuk masalah mobilnya."Astaghfirullah." Aku bergumam sendiri sembari memegang dada yang masih berdebar kencang. Aku tidak bisa lagi duduk di dalam mobil. Rasanya terlalu sempit, terlalu sesak. Jadi, aku keluar, menuju ke bahu jalan. Dengan lutut lemas, aku jongkok di sana, membiarkan tubuhku bergetar karena ketakutan yang masih belum sepenuhnya hilang. Udara siang ini terasa dingin, menusuk, tapi
“Kamu udah siap buat ikut tranning hari ini 'kan, Ta?”Aku mengangguk pasrah. Keputusan sudah dubuat, begitu juga dengan karyawan yang akan ikut ke kantor pusat untuk melakukan trainning. Ada enakm orang, termasuk aku dan juga … Jagad. Tentu sja, lelaki itu yang akan terjun langsung mengawasi kami.“Udah.”Askana melirik jam tangannya. “Bukannya berangkat jam sepuluh ya, Ta? Kok kamu masih santai di sini, sih?” tanya Asakana heran.“Esta mah, emang nggak niat. Padahal jalan sama Pak Jagad. Kapan lagi nebeng bosa ganteng yang suamiable itu,” ucap Mala menggoda.Suamiable? Rasanya aku ingin tertawa terbahak sambil kayang. Kalau saja Jagad seperti itu, kami mungkin tak akan bercerai. Dulu, pikiranku sama seperti Mala, Jagad adalah sosok laki-laki yang sangat suamiable. Baik, perhatian, tapi itu dulu, sebelum kami memutuskan untuk menikah.Iya, semua ekspektasiku tentang menikah dengan Jagad ketinggian. Kupikir akan seperti
“Jadi benar dugaan aku selama ini?”Aku melirik Mas Auriga, lelaki itu juga tampak tak paham dengan ucapan Jagad. Dia berdiri di depan gerbang menatap kami dengan tajam. “Dugaan apa yang kamu maksud, Jagad?” tanyaku penasaran.Lelaki itu malah melirik pada Raya yang berdiri takut-takut seolah paham tengah terjadi sesuatu. Raya berada di sisi Mas Auriga, memeluk kaki laki-laki itu erat. Lihatlah, bahkan baru beberapa hari lalu mereka bertemu, tapi Raya sudah cukup dekat dengannya.Jagad memerhatikan setiap gerak-gerik kami, memicingkan matanya seolah sedang mengulitiku dan Mas Auriga. Aku tak paham kenapa bisa sampai repot sekali mengikutiku seperti ini. Bukannya dia mau menikah dengan Aesha? BIsa-bisanya dia ingin tahu dengan kehidupanku seperti ini.“Malam itu, aku liat kamu sama dia di halte," ucap Jagad pelan dengan mata masih menghunus padaku.Keningku berkerut. “Malam itu?”Kepalanya mengangguk pelan. “Malam di mana kita bertengkar dan kamu pergi dari rumah. Aku nyusulin kamu ka
‘Ada surat buat kamu, Ta.’Aku menatap nanar amplop coklat yang bertuliskan pengadilan agama. Mas Buana sempat ingin menemui Jagad, tapi aku melarangnya karena sudah tahu pertemuan mereka nanti akan seperti apa. Setelah bertanda tangan, aku memutuskan untuk tidak datang selama sidang.Aku hanya ingin memudahkan proses perceraian kami. Selain itu, kondisiku tak cukup baik karena mengalami morning sickess yang cukup parah dan kandunganku cukup lemah. Hingga suatu saat, aku dan Mbak Tari berada di salah satu rumah sakit untuk memeriksakan kandungan.Saat itu yang mengantar Mas Auriga karena Mas Buana dan Mas Galih sedang ada urusan di luar. Kami bertemu dengan Jagad dan Mamanya.‘Esta?’Aku menoleh, begitu juga dengan Mas Auriga yang sedang duduk di sebelahku. Mama Jagad menatapku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan, sedangkan Jagad tampak tanpa ekspresi di sebelahnya.‘Kamu pucet, Ta? Sakit?’ tanya Mama mertuaku perhatian.