مشاركة

Tiga puluh Tujuh

مؤلف: Mumtaza wafa
last update آخر تحديث: 2025-08-25 21:00:14

Aku duduk di samping tempat tidur Raya yang masih tertidur setelah dokter memberikan antibiotik. Sekilas, wajahnya tampak tenang, namun aku tahu betapa tubuh kecilnya masih berjuang melawan rasa sakit.

Besok seharusnya adalah hari pernikahan Aesha. Namun, aku tidak bisa hadir. Bukan hanya karena situasi Raya, tapi juga karena rasanya aku tidak mungkin meninggal Mas Buana juga.

Aku ingin sekali hadir tapi anakku sedang sakit dan dirawat di rumah sakit.

Sesekali aku menjenguk Mas Buana di ruang ICU. Kondisinya belum menunjukkan perkembangan signifikan, meski operasi berjalan lancar. Melihat tubuh kakakku yang terbaring tak berdaya, rasa bersalah sering menghantuiku.

Seandainya aku bisa mencegah mereka pergi hari itu, mungkin semuanya akan berbeda. Ponsel di tanganku bergetar. Sebuah pesan dari Aesha masuk.

Aesha

[Esta, aku ngerti kamu nggak bisa datang. Jaga Raya baik-baik, ya. Aku harap Mas Buana cepat sembuh.]

Aku membalas p
استمر في قراءة هذا الكتاب مجانا
امسح الكود لتنزيل التطبيق
الفصل مغلق

أحدث فصل

  • Pernah Menyesal Menikah   Empat Puluh

    Diingin Aku sedang duduk di ruang tamu sambil memperhatikan Raya yang tengah asyik bermain dengan mainannya. Ada banyak kekalutan yang bersarang di kepala. Aku belum tahu harus berbuat apa dengan semua yang terjadi belakangan ini. Tiba-tiba, suara bel rumah membuyarkan lamunanku. Aku bangkit dari tempat duduk, berjalan menuju pintu. Ketika kubuka, di sana berdiri Mbak Mentari, tersenyum lembut sambil membawa kotak kecil di tangannya. “Assalamu’alaikum, Esta,” sapanya hangat. “Wa’alaikumussalam, Mbak. Silakan masuk,” jawabku sambil mempersilakannya masuk. Ada sesuatu yang berbeda hari ini, entah mengapa aku merasakan suasana hatinya lebih serius dari biasanya. Setelah Mbak Mentari duduk di sofa, aku segera mengambil minuman untuknya. "Mbak udah nggak mabok?

  • Pernah Menyesal Menikah   Tiga puluh Sembilan

    Setelah memastikan Raya tertidur dengan tenang, aku pamit pada Jagad untuk menjenguk Mas Buana. Dia sudah sadar dan dipindahkan ke ruang rawat inap. Jagad hanya mengangguk sambil mengelus rambut Raya yang masih terlelap.Aku bisa melihat kekhawatiran di matanya, meski dia tidak mengucapkannya. Aku melangkah keluar kamar Raya, menyusuri koridor rumah sakit yang mulai sepi. Sejak kecelakaan itu, aku jarang sempat berbicara dengan Mas Auriga. Dia lebih banyak berjaga di ruang Mas Buana, mungkin juga karena merasa segan dengan kehadiran Jagad di dekatku dan Raya. Sesampainya di ruangan Mas Buana, aku melihat pintu sedikit terbuka. Dari balik pintu, samar-samar terdengar suara Mas Auriga yang sedang berbicara dengan Mas Buana. Aku mengetuk pelan, lalu masuk.“Semesta ....” Mas Buana tersenyum lemah dari atas tempat tidurnya.Di sebelahnya, Mas Auriga yang duduk di kursi, juga menoleh ke arahku. Dia langsung bangkit dari duduknya, memberi rua

  • Pernah Menyesal Menikah   Tiga puluh Delapan

    Aku duduk di sudut ruangan, memperhatikan Jagad yang sedang menyuapi Raya. Mereka tampak begitu akrab, seolah-olah tidak ada jeda waktu di antara hubungan ayah dan anak itu.Jagad berbicara pelan sambil tersenyum, menceritakan sesuatu yang membuat Raya tertawa kecil. Gadis kecilku itu mengangguk-angguk, menikmati setiap suapan dan cerita dari ayahnya. Tawa mereka yang terdengar ringan mengisi ruangan yang sebelumnya sunyi. Aku menghela napas pelan. Keberadaan Jagad semakin mengusik hatiku. Setiap kali melihatnya, ada perasaan yang dulu sempat kusimpan rapat-rapat kini kembali muncul ke permukaan.Tapi, apakah aku benar-benar bisa memberinya kesempatan lagi setelah semua yang terjadi? Aku tidak yakin.Jagad menoleh ke arahku, mungkin menyadari aku sedang memperhatikannya. Dia tersenyum kecil, lalu kembali fokus pada Raya."Kamu tahu nggak, Ray? Waktu dulu, Bunda sama Ayah pernah naik sepeda keliling kota," kata Jagad sambil menyuapkan ses

  • Pernah Menyesal Menikah   Tiga puluh Tujuh

    Aku duduk di samping tempat tidur Raya yang masih tertidur setelah dokter memberikan antibiotik. Sekilas, wajahnya tampak tenang, namun aku tahu betapa tubuh kecilnya masih berjuang melawan rasa sakit.Besok seharusnya adalah hari pernikahan Aesha. Namun, aku tidak bisa hadir. Bukan hanya karena situasi Raya, tapi juga karena rasanya aku tidak mungkin meninggal Mas Buana juga.Aku ingin sekali hadir tapi anakku sedang sakit dan dirawat di rumah sakit. Sesekali aku menjenguk Mas Buana di ruang ICU. Kondisinya belum menunjukkan perkembangan signifikan, meski operasi berjalan lancar. Melihat tubuh kakakku yang terbaring tak berdaya, rasa bersalah sering menghantuiku.Seandainya aku bisa mencegah mereka pergi hari itu, mungkin semuanya akan berbeda. Ponsel di tanganku bergetar. Sebuah pesan dari Aesha masuk.Aesha[Esta, aku ngerti kamu nggak bisa datang. Jaga Raya baik-baik, ya. Aku harap Mas Buana cepat sembuh.]Aku membalas p

  • Pernah Menyesal Menikah   Tiga puluh Enam

    Aku terbangun dari tidur yang tak terlalu lama namun terasa seperti seabad. Udara dingin ruang rumah sakit masih menyelimutiku. Aku melirik ke tempat tidur Raya, yang sedang tertidur lelap di pelukan Jagad.Dia memeluk Raya dengan lembut, satu tangannya dijadikan bantalan kepala anak kami. Jagad sendiri tertidur di sisi ranjang, napasnya tenang dan teratur.Aku terdiam, terharu melihat pemandangan di depanku. Meskipun dulu Jagad begitu menjauh, kini dia tampak seperti ayah yang begitu penuh kasih.Hatiku berdenyut, perasaan yang berkali-kali aku tepis muncul kembali, entah perasaan apa, mungkin sebuah kehangatan. Tapi aku tidak mau mengakuinya—setidaknya tidak sekarang.Pintu kamar pelan-pelan terbuka, dan Mbak Mentari masuk. Dia membawa tas kecil berisi makanan dan beberapa barang yang mungkin kubutuhkan. Ketika melihat pemandangan Jagad dan Raya, Mbak Mentari menghentikan langkahnya, matanya melebar karena terkejut. “Ya ampun …,” gumam

  • Pernah Menyesal Menikah   Tiga puluh Lima

    "Aku stres, depresi. Aku nggak bisa menerima kehamilanku ketika kamu bahkan bilang kalau aku hamil, itu bukan anak kamu. Aku stres karena Mas Buana yang terlalu berisik. Aku stres karena aku takut nggak bisa besarin dia sendiri."Aku mengusap wajah dengan kasar, menahan air mata yang mendesak di kelopak mata. Dadaku sesak, mataku menatap Raya yang tertidur dengan jarum infus tertancap di lengan kecilnya. "Aku nggak bisa melahirkan di secara normal karena kejang. Aku sempat koma dan Raya berada di ruang NICU karena berat badannya di bawah normal bayi baru lahir. Dia ... seharusnya belum waktunya lahir, tapi demi keselamatan, dokter bilang terpaksa harus mengeluarkan Raya. "Kamu tau? Aku sempat nggak mau melihat Raya yang mirip sama kamu. Aku benci kenapa benih kamu bikin hidupku hancur, bikin aku hampir mati. Kita udah nggak ada hubungan apa pun tapi aku harus berjuang dengan sesuatu yang kamu tinggalkan. Kamu pikir itu mudah, Gad?""Esta, aku ng

فصول أخرى
استكشاف وقراءة روايات جيدة مجانية
الوصول المجاني إلى عدد كبير من الروايات الجيدة على تطبيق GoodNovel. تنزيل الكتب التي تحبها وقراءتها كلما وأينما أردت
اقرأ الكتب مجانا في التطبيق
امسح الكود للقراءة على التطبيق
DMCA.com Protection Status