Prang!
Tiba-tiba, sebuah suara keras memecahkan keheningan. Seorang gadis yang sedang menyusun kue pada etalase, sontak menoleh ke arah pintu di samping meja kasir. “Ibu!” seru gadis bersurai hitam. Dia menyimpan nampan kue secara sembarang, lalu berlari menuju ruangan di balik pintu itu. Mata sang gadis membulat, tatkala melihat ibunya yang sudah terjatuh dari kursi roda. Tak hanya itu, dia bisa melihat loyang kue berserakan di dekat wanita paruh baya—yang nampak rapuh. “Ibu, sedang apa di sini?” tanya gadis itu. Dia berjongkok, mencoba memastikan kondisi ibunya. “Floryn, Ibu lupa belum membuat kue blackforest untuk ayahmu. Hari ini hari jadi pernikahan kami,” papar wanita paruh baya itu dengan suara yang lemah. Tatapannya terlihat linglung. Bahkan dia tidak fokus menatap anaknya. Mendengar penuturan sang ibu, gadis yang bernama Floryn mematung. Dalam hitungan detik, pandangannya terlihat kabur. Genangan air kini menumpuk di pelupuk mata. Bibir Floryn bergetar. “Ibu.” Suara Floryn bergetar sekarang. Tanpa disadari buliran air mata kini sudah membasahi pipi gadis berumur 24 tahun itu. Floryn terisak, lalu dia segera menghapus pipinya yang terasa basah. “Ayo aku bantu untuk duduk di kursi roda dulu,” ajaknya. Floryn membantu ibunya—Viona—untuk kembali duduk di kursi roda. Kemudian dia beranjak ke arah kulkas, dan mengeluarkan kue yang sejak tadi dibicarakan ibunya. Floryn pun mendekat pada Viona. “Lihat! Kuenya sudah aman, Bu,” ucap Floryn. Viona menatap kue yang di atasnya terdapat dua buah ceri merah. Sorot matanya berbinar, dan kedua sudut bibirnya terangkat. “Syukurlah, Kevin pasti suka,” terangnya senang. Berbeda dengan Viona yang merasa tenang, Floryn menatap nanar wajah sang ibu. Dadanya terasa sesak sekarang, jahitan luka dihatinya perlahan terbuka. “Sekarang, bagaimana kalau Ibu kembali ke kamar? Bukankah Ibu sedang membuatkan syal untuk hadiah ulang tahunku akhir tahun nanti?” ujar Floryn, mencoba untuk tegar. Viona pun mengangguk, tak ada yang harus di khawatirkan lagi. Kemudian Floryn mendorong kursi roda Viona, membawa wanita itu menuju kamarnya. Di sana Floryn menyelimuti kaki sang ibu dan memberikan peralatan rajut untuknya. “Ibu, aku kembali ke toko sebentar, ya,” ucap Floryn. Melihat ibunya yang sudah tenang dan kembali fokus dengan alat rajutnya. Floryn pun segera kembali ke toko kue, yang memang letaknya tepat di samping rumahnya. Namun, langkah Floryn terhenti saat melihat foto keluarganya yang menempel di dinding ruang keluarga. Untuk beberapa saat, tatapannya itu tertuju pada sosok pria yang ada pada gambar tersebut. “Ayah, aku harus bagaimana? Aku nggak tega lihat ibu tersiksa seperti ini. Kenapa Ayah tega meninggalkan kami berdua?” lirihnya. Lagi, buliran bening kini membasahi pipinya. Kenangan kelam itu kembali membayangi Floryn. Dia masih ingat dengan jelas, momen ketika tiba-tiba ayahnya dinyatakan meninggal oleh dokter. Padahal saat pagi, Floryn masih bercengkrama hangat dengan Kevin, ayahnya. Selepas kepergian Kevin, kondisi Viona perlahan memburuk. Awalnya Viona terkena stroke. Namun, seiring berjalannya waktu, Viona terkena penyakit demensia. Akibat rasa traumanya yang mendalam ditinggal oleh malaikat penjaganya. Ting! Suara dentingan bel dari toko kue menyadarkan Floryn. Dia mengerejap, lalu segera mengusap pipinya yang basah. Setelah itu, dia bergegas menuju tokonya. “Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Floryn pada sosok pelanggannya yang baru saja tiba. “Saya ingin bertemu dengan Floryn Viorentina Winata,” terang pria dengan balutan kemeja berwarna hitam. Tangan kanannya menenteng sebuah tas. Floryn terperanjat, tatkala pria misterius itu mencari dirinya. Bahkan bisa mengetahui nama lengkapnya dengan tepat. “Ma-maaf, ada urusan apa, ya?” tanya Floryn dengan hati-hati. Matanya sibuk menelisik sosok pria misterius itu. “Anda Floryn?” tanya pria itu dengan spontan. Floryn menjilat bibirnya yang terasa kering. Dia merasa tidak nyaman sekarang. “Y-ya, ta-tapi Anda si-siapa?” Floryn berbicara dengan terbata-bata. Keresahan sudah mulai terasa menjalar di setiap jengkal tubuhnya. Floryn merasa privasi dirinya terusik. Pria itu tidak langsung menjawab. Dia mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari tas hitam dan memberikan pada Floryn. “Apa ini?” tanya Floryn bingung. Dia segan untuk menerima benda tersebut. “Buka saja. Saya mendapatkan tugas dari atasan saya untuk memberikan ini pada Anda,” terang pria itu lagi. Untuk sesaat Floryn terdiam. Matanya menatap gamang pada benda berwarna cokelat itu. “Ambil dan bukalah,” desak pria itu sambil menyodorkan amplop tersebut. Rasa penasaran mulai mengusik dirinya, Floryn pun menerima. Dengan hati-hati dia membuka amplop tersebut. Kemudian dia mengeluarkan secarik kertas dari dalamnya. Matanya langsung tertuju pada judul yang tertera di bagian atas tengah. Surat Perjanjian. Dua kata itu sukses membuat kedua alis Floryn hampir bertemu. Bola matanya bergerak dari kiri ke kanan. Membaca dengan seksama setiap kata dan kalimat yang tertulis pada secarik kertas tersebut. “Apa apaan ini?!” pekik Floryn. Dia beralih menatap pada pria misterius itu. Napasnya menderu sekarang. “Tidak! Aku tidak bisa terima. Tidak mungkin ayahku bikin perjanjian seperti ini. Dia tidak pernah membicarakan hal gila ini padaku!” Namun, pria itu merespon dengan mengedikkan bahunya. Dan itu sukses membuat Floryn kesal. “Kembalikan ini pada atasanmu. Bilang padanya, kalau aku menolak perjanjian ini! Aku tidak mau menikah dengan pria yang sama sekali tidak aku kenal!" tegas Floryn. Dia melempar kertas tersebut. Kertas itu terjatuh ke lantai, pria itu segera memungutnya. Kemudian dia menatap Floryn. “Baiklah, akan aku sampaikan. Tapi, tolong siapkan uang pinalti atas konsekuensi menolak perjanjian ini,” terangnya. Sontak Floryn terperanjat, “Pinalti?” ulangnya. “Ya, 1 Miliar. Anda harus membayar uang pinalti, karena menolak perjanjian ini.” “Apa? 1 Miliar? Gila!” BERSAMBUNG ….“Floryn, tunggu!” seru Nael, ketika Floryn menepis tanggannya dan pergi. Ia beranjak, mengikuti Floryn. Namun, istrinya sudah masuk ke dalam kamar Viona dan menguncinya.“Flo? Buka sebentar,” pinta Nael, dengan suara yang pelan.Sayang, tak ada jawaban dari dalam. Nael masih mematung di tempat, tangisan Floryn membuat Nael sedikit terusik. Ini adalah pertama kali, dia melihat Floryn sekacau itu.Akhirnya Nael berbalik, menuju lantai bawah. Tujuannya adalah bertemu dengan Ida. Setelah mendapati orang yang dicarinya, Nael membawa Ida ke halaman belakang.“Floryn kenapa, Bu?” tanya Nael.Ida tak langsung menjawab, ia menatap mata Nael dalam.“Jawab aja, Bu! Floryn kenapa? Tadi aku lihat dia menangis, dan … rambutnya, kenapa berantakan seperti itu?”Saat di kamar, Nael melihat, bahwa rambut bagian kiri Floryn sedikit lebih pendek dari sebelahnya.Ida menghela napas kasar. “Floryn berantem sama Non Gabby,” ucap Ida.Nael memiringkan kepalanya, dan menautkan kedua alisnya. Menuntut Ida untu
“Ibu!” seru Floryn, yang mendapati ibunya duduk di lantai dengan kursi roda yang terguling ke sampingDi sana Viona tidak sendirian, ada Gabby yang berdiri dengan menyilangkan tangan di depan dada. Di dekatnya, berdiri dua orang tamu yang tampak kikuk dan bingung.Segera Floryn berlari, berjongkok dan memastikan kondisi ibunya.“Eh, anak parasit! Kalau punya orang tua dijaga, dong! Sumpah bikin malu tahu nggak?” hardik Gabby dengan tatapan jijik.Namun, Floryn tak menanggapi ocehan Gabby. Dia sibuk memastikan kondisi ibunya.“Ibu, nggak papa, kan? Apa ada yang sakit?” panik Floryn. Ia menggenggam tangan Viona yang gemetar dan pupil mata Viona pun tak luput dari getaran yang sama.“Kevin! Jangan tinggalkan aku. Aku mohon, aku tidak bisa hidup tanpamu, Kevin!” jerit Viona.Floryn membeku di tempat, tangannya masih menggenggam sang ibu. Jeritan itu seolah memantul di dinding memori. Viona berteriak, memanggil nama suaminya dengan suara yang sangat pilu, sama seperti satu tahun yang lalu.
Aroma woody samar tercium di kamar Nael. Pria itu sudah berpenampilan rapi dengan kaus polonya, bersiap untuk menghabiskan waktu libur bersama temannya. Hari ini, Nael memiliki janji untuk bermain golf, sebuah pelarian dari segala pikiran yang berkecamuk akhir-akhir ini.Saat dirinya hendak meraih handle pintu, mata Nael tertuju pada sebuah kotak kecil yang terletak di atas nakas. Dirinya ingat, semalam Floryn meninggalkan benda ini, katanya ini pemberian dari ibu mertuanya. Dengan penasaran, Nael pun meraih kotak tersebut dan membukanya.“Sapu tangan?” gumamnya, ketika mendapati sebuah sapu tangan berwarna putih dengan sebuah jahitan bergambar bintang jatuh.Nael mengeluarkan sapu tangan itu dari kotaknya. Kemudian dia mendapati sebuah kertas kecil dari dalam, yang bertuliskan;‘Jangan biarkan cahaya bintang itu redup. Bertahanlah!’Kalimat itu seperti gema di benaknya, indah namun samar. Nael mengerutkan kening. Apa maksud semua ini? Bukankah Viona mengidap penyakit demensia? Kenapa
Kepala Floryn berdenyut. Perkataan Nael di telepon bersama dengan seseorang, terus berdengung di telinganya. Saat makan malam, Floryn merasa tersiksa, karena sandiwara Nael yang dilakukan di depan kakeknya.Bualan demi bualan, dilontarkan dari mulut busuk Nael. Demi menunjukkan bahwa mereka adalah pasangan yang berbahagia. Ingin rasanya Floryn menampar suaminya, tapi dia mengingat janjinya.“Floryn?” panggil Viona.Seketika Floryn tersentak, dia tersadar dari lamunannya. Kemudian memusatkan perhatian pada sang ibu.“Kenapa, Bu?” tanya Floryn.Viona memegang sebuah kotak berwarna hitam. “Berikan ini pada Nael,” ucapnya sambil menyodorkan kotak tersebut.Pupil Floryn membulat, mulutnya sedikit menganga. Floryn membeku, bahkan napasnya ini terasa melambat.“Ayo, ambil,” pinta Viona.Floryn menggeleng, lalu tangannya terulur, menyambut pemberian Viona.“Sebentar … Ibu ingat Nael?” tanya Floryn, yang masih tidak menyangka dengan apa yang didengarnya.Selama mereka tinggal di sini, Viona ti
Malam itu entah kenapa terasa sangat dingin sekali. Floryn memeluk tubuh Viona, mencari kehangatan di dalam dekapannya.“Kamu seperti bayi, Flo,” cetus Viona.Floryn membenamkan wajahnya di dekapan Viona. “Bukankah aku memang bayi Ibu?” timpal Floryn. Dia enggan menunjukkan air matanya di depan Viona.Mendapati fakta ibunya mengalami penyakit komplikasi, membuat kekhawatiran Floryn semakin menjadi. Pertanyaan-pertanyaan bernada negatif terus berputar di otaknya. Bagaimana jika ibunya ikut pergi dan memilih bersama dengan ayahnya?“Iya, kamu memang bayi Ibu, Flo. Tapi, kenapa kamu selalu memilih untuk dipeluk oleh ayahmu?” cetus Viona.Floryn tak menajawab, dia semakin erat memeluk Viona. Saat kecil, Floryn memang lebih dekat dengan Kevin. Dia benar-benar menyayangi ayahnya, dan selalu merasa cemburu jika ayahnya dekat dengan sang ibu. Seolah ibu dan anak itu saling bersaing untuk mendapatkan perhatian Kevin.“Apa karena ayahmu sudah tidak ada, jadi sekarang kamu bersandar pada Ibu? Ib
Mata Floryn sembab, dia baru saja menangis. Meluapkan emosi yang dia rasakan. Begitu kejamnya mulut Grace dan perlakuan buruk Gabby terhadap Floryn. Tidak hanya itu, bisa-bisanya Nael diam saat istrinya diperlakukan buruk seperti tadi.Setelah tenang, Floryn kembali ke kamar. Namun, tujuannya hanya untuk mengambil gawai miliknya.“Dari mana saja kamu?” tanya Nael, saat mendapati Floryn baru saja masuk ke dalam kamarnya.Sayangnya, Floryn tidak menggubris pertanyaan Nael. Dia langsung mengambil gawai yang di simpan di atas nakas. Kemudian dia berjalan, hendak keluar dari kamar.“Mau ke mana?” tanya Nael lagi.Langkah Floryn terhenti, dia menoleh. “Aku tidur di kamar Ibu,” jawabnya.“Aku tidak izinkan! Lagi pula ada bi Ida di sana menjaga bu Viona.”“Bi Ida akan tidur di kamarnya. Mulai sekarang aku akan tidur bersama ibu,” kata Floryn, yang tidak mengindahkan ucapan suaminya.