Floryn kini sedang berdiri di depan pintu, yang tersemat sebuah tulisan ‘Direktur Legal, Research & Bussines Development, Niskala Corp – Nathanael Hartono’. Tangannya kini terangkat dan mengepal, hendak mengetuk pintu itu. Namun, dia menjeda sebentar, sedang memberi ruang untuknya menenangkan diri.
Kemarin, setelah melayangkan protes pada pria misterius. Floryn disarankan untuk bertemu dengan atasan pria itu—yang bernama Nathanael—di kantornya. Kemudian, dengan perasaan menggebu Floryn pun datang hari ini. Tok. Tok. Tok! Floryn mengetuk pintu tiga kali. “Masuk!” seru seseorang dari dalam ruangan itu. Floryn pun masuk ke ruangan tersebut. Sebenarnya dia sudah menunggu pria itu sejak dua jam yang lalu. Di dalam sana, Floryn mendapati sosok pria mengenakan jas hitam. Dia terlihat sedang membaca sebuah dokumen. Sepertinya pria itu lebih tua beberapa tahun dari Floryn. “Maaf, saya Floryn, dan saya ingin berbicara dengan Anda,” ucap Floryn memperkenalkan diri. Pria bernama Nathanael—yang akrab disapa Nael—itu langsung menoleh ke arah Floryn. Tatapannya terkesan dingin, bahkan pria itu sama sekali tidak melemparkan senyum pada Floryn. “Duduk,” titahnya sambil mengedikkan kepala ke arah sofa. Segera Floryn duduk di sofa, kedua tangannya itu memegang sebuah amplop cokelat yang kemarin diberikan pria berkemeja hitam. Nael beranjak dari kursi kerjanya, lalu segera menyusul Floryn duduk di sofa. “Ada apa?” Suara pria itu berat dan menekan, tatapannya pun tajam. Floryn tiba-tiba merasakkan sesak, atmosfer di ruangan itu serasa menghimpitnya. Untuk beberapa saat lidah Floryn terasa kelu. “Hei!” seru Nael, yang sedari tadi tak mendapatkan jawaban dari Floryn. “Hah?” Floryn terkesiap, dia mengedipkan matanya beberapa kali dan menjilat bibirnya yang terasa kering. “I-ini … perjanjian ini.” Mendadak Floryn kehabisan kata-kata. Ah, Floryn merasa tidak tenang sekarang. Gelombang kecemasan tiba-tiba menghantam dirinya. Aura intimadasi bisa Floryn rasakan, padahal sejak tadi lawan bicaranya itu tidak melakukan hal yang aneh. Floryn menggeleng, mencoba menepis kegelisahannya. Dia menarik napas dalam, dan mengembuskannya secara perlahan. “Maaf, saya tidak bisa melakukan perjanjian ini! Karena bagi saya ini tidak adil,” protesnya. Alis Nael terangkat sebelah. “Tapi itu perjanjian yang dilakukan mendiang ayahmu. Kalau kamu mau protes, proteslah pada ayahmu,” terang Nael. Deg. Sebuah hantaman keras seolah memukul dada Floryn. “Tapi … ayah saya tidak mungkin melakukan perjanjian pernikahan seperti ini!” sanggahnya. “Apa kamu sudah membacanya dengan baik? Bukankah sudah jelas di sana tertara nama ayahmu, Kevin Winata, lalu beliau menandatangani perjanjian tersebut, kan?” Mendadak Floryn membeku, dia mengigit bibir dalamnya. Semalaman Floryn membaca dengan saksama perjanjian itu, dan memang itu adalah tanda tangan ayahnya. Namun, Floryn tidak bisa menerima hal ini. Karena Kevin—ayah Floryn—tidak pernah membicarakan ini semasa hidupnya. Apalagi perjanjian ini sudah disepakati satu tahun lalu, beberapa bulan sebelum Kevin meninggal. “Tapi … ini perjanjian mereka. Saya tidak tahu apa-apa. Dan, ayah saya sudah meninggal!” Floryn masih bersikeras untuk menolak. Nael berdecak, “Ck! Baca baik-baik perjanjian itu, Floryn! Walau pak Kevin sudah meninggal, tapi pemeran utama dalam perjanjian itu adalah kita. Saya, Natahanel Hartono dan kamu, Floryn Viorentina Winata. Dan, kita harus menikah besok lusa!” tegas Nael. Floryn menggeleng, dia masih belum bisa menerima kenyatannya ini. “Nggak! Saya nggak bisa menikah dengan pria yang tidak saya kenal. Kita saja baru bertemu hari ini. Saya menolak menikah dan menolak untuk membayar pinalti. Saya di sini korban!” tegas Floryn. Nael mendengus lalu dia memalingkan wajahnya sesaat. “Memangnya kamu saja yang menjadi korban? Saya juga sama! Saya tidak tahu menahu tentang perjanjian ini. Tapi, apa boleh buat, dari pada saya membuang uang 1 miliar dengan percuma. Lebih baik saya melakukan perjanjian ini.” Tatapan Nael semakin tajam. “Tapi, kalau kamu menolak, dengan senang hati saya menerima. Hanya saja, kamu yang harus membayar uang 1 miliar itu,” imbuh Nael. Jujur, Floryn merasa benci pada ayahnya sekarang. Selama 24 tahun dirinya hidup, baru kali ini dia membenci ayahnya. Kenapa ayahnya itu melakukan perjanjian gila ini? “Atau … mau aku berikan penawaran menarik, agar kamu bisa terhindar dari pinalti?” tanya Nael tiba-tiba. Floryn mengedipkan matanya, menunjukkan raut wajah penasaran. “Bagaimana kalau kita buat perjanjian di antara kita. Kita tetap menikah sesuai dengan perjanjian orang tua kita. Tapi, kita membuat perjanjian baru.” “Maksudmu?” tanya Floryn. “Pernikahan kontrak, Satu tahun? Mmmh?” Nael menggeleng, “tiga tahun. Sekarang kita menikah agar kita terhindar dari pinalti perjanjian orang tua kita. Tapi, di balik itu, kita juga punya perjanjian pernikahan kontrak. Kita menikah hanya tiga tahun, tanpa melibatkan cinta di dalamnya." Nael menjeda kalimatnya, dia menarik punggungnya dari sandaran kursi. "Tenang saja, aku tidak akan menuntut apa pun darimu. Bahkan tentang keturunan. Yang kamu harus lakukan hanya berada di sampingku. Dan, selama kita menikah, aku akan membayar seluruh biaya kebutuhan dan pengobatan ibumu. Bagaimana?” Mata Floryn membulat, dia terkejut dengan setiap kalimat yang diucapkan Nael. “Sebentar … kamu tahu kondisi ibu saya?” tanya Floryn. Dengan cepat Nael mengangguk. Bulu kuduk Floryn berdiri sekarang. Dia merasa takut bercampur kesal. “Saya akan beri psikiater terbaik untuk ibumu agar demensianya tidak semakin parah. Tawaran yang menarik, bukan? Bukankah kamu sudah mulai kebingungan untuk mencari biaya pengobatan ibumu?” seloroh Nael. Mata Floryn membulat. Kenapa Nael bisa tahu tentang penyakit ibunya? Sejauh mana dia mengetahui kondisi Floryn? Sontak Floryn berdiri. Dia merasa ngeri dengan sosok Nael sekarang. Kemudian dia melemparkan amplop tersebut pada Nael. “Sekali tidak, tetap tidak! Terima kasih!” tegas Floryn dengan tatapan menyalang. Lalu dia hendak beranjak, tapi sialnya ujung sepatunya itu malah menabrak kaki meja. Bruk! Seketika Floryn tersungkur ke depan dan jatuh tepat di pelukan Nael. Matanya membelalak, terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Segera Floryn merentangkan tanganya dan menyangga tubuhnya agar sedikit menjauh dari Nael. Namun, tiba-tiba Floryn membeku, saat tanpa sengaja tatapan mereka saling bertemu. “Pak Nael, berkas untuk rapat nanti sia—” Mendengar seseorang masuk ke ruangan, sontak membuat Nael mendorong Floryn. Gadis itu pun terkesiap, dia langsung berdiri dan berbalik. Di belakangnya kini sedang berdiri seorang pria paruh baya dengan mulut yang sedikit menganga. “Floryn?” ucap pria itu sedikit terkejut. Mata pria itu melirik pada Floryn dan Nael secara bergantian. Kemudian dia tersenyum lebar dengan mata menyipit. “Ah, rupanya kalian sudah tidak sabar, ya? Padahal tinggal dua hari lagi kalian menikah. Atau pernikahannya mau saya percepat jadi besok?” BERSAMBUNG ….Tatapan pria itu penuh tajam–penuh selidik. Ia melempar pandangan pada Floryn dan Kenneth secara bergantian.“Pak Kenneth? Kenapa kalian ada di sini?” tanyanya penuh rasa curiga.“Pak Axel,” balas Kenneth, sedikit terkejut dengan kemundulan Axel. Ia sempat menangkap Axel menyebut nama Floryn tadi–dan itu cukup mengguncang pikirannya.“Axel. Udah mulai?” tanya Floryn.Ia merasa mendapatkan sebuah oxygen di tengah tekanan yang menghimpitnya. Tentu saja Floryn tak ingin melepaskan kesempatan ini.“Sebentar lagi,” jawab Axel sambil menatap Floryn.Gadis itu mengirimkan sinyal dari sorot matanya. Meminta Axel untuk membawanya pergi dari sini.“Kalian ngapain? Kalian saling kenal?” tanya Axel.Floryn mendesah, nyatanya pria itu tidak peka.“Kami lagi ngobrol, Pak. Iya, saya sudah kenal Floryn sejak lama. Kebetulan saya murid dari ayahnya Floryn,” papar Kenneth.Axel mengangguk, sambil mengkerucutkan bibirnya. “Oh, pak Kevin,” katanya.Namun, Axel kembali menatap pada Floryn. Seketika gadis
Tangan Floryn terasa nyeri akibat cengkeraman pria itu yang begitu kuat. Tak hanya itu, langkah pria itu yang lebar dan cepat—membuat Floryn sedikit kesusahan dengan gaun dan alas kaki yang ia kenakan. Pria itu membawa Floryn keluar dari ballroom dan singgah di dekat dekat lorong menuju tangga darurat.Beberapa orang melintasi lorong, tapi tak ada satu pun yang memperhatikan mereka. Mungkin karena ini pesta besar, di mana semua orang terlalu sibuk menjaga citra masing-masing.“Lepas, Kak Ken!” sentak Floryn. Ya—pria yang menarik paksa Floryn adalah Kenneth Marsello.Floryn tentu sangat terkejut, ketika mendapati pria itu. Sehingga membuatnya tak bisa bereaksi—untuk menolak. Ia melupakan tentang Kenneth, padahal pria itu merupakan karyawan Niskala, dan tentunya dia hadir di acara ini. Seketika Floryn menyesal, karena tidak bisa lebih waspada.Kenneth melepaskan cengkramannya dari tangan Floryn. Ia menatap gadis itu—dari atas lalu turun ke bawah. Tentu saja Kenneth merasa terpana dengan
Setelah pertemuan dengan Nada di ruang tunggu, mereka segera menuju ballroom—saat seorang staff datang. Floryn merasakan degupan jantungnya semakin kencang, ketika melihat banyak orang dengan penampilan rapi dan berkelas.Ia sedang duduk di meja bundar, yang bertuliskan keluarga Hartono. Di sana ada Nael, Gabby dan Axel. Sedangkan Samuel dan Albert, terlihat sedang bertegur sapa dengan beberapa tamu penting di sana. Sedangkan Grace, terlihat berada di meja sebelah—bersama dengan beberapa wanita sebayanya.“Nael,” panggil seseorang pada Nael. Terlihat seorang pria muda—mungkin sebaya dengan Nael—berkacamata dan memiliki ekspresi wajah yang datar.Nael tentu langsung menoleh, dan ia sedikit terkejut. “Arthur?” sahut Nael.“Bisa kita bicara sebentar?” tanya pria yang bernama Arthur itu.“Oh tentu!” balas Nael. Ia melirik pada Floryn dan memegang tangan wanita itu. “Tunggu sebentar, ya,” pesannya, lalu pergi.Floryn hanya mengangguk, ada dan tidak adanya Nael di sampingnya—tak mampu menut
Suara perempuan menginterupsi pembicaraan mereka. Langkahnya sangat elegant—masuk ke dalam ruang tunggu VVIP. Di samping perempuan itu, berdiri seorang pria jangkung dan seorang anak laki-laki berumur sekitar sepuluh tahun.Grace tergagap, ia mundur satu langkah. Wajahnya kaku—seperti kanebo kering—saat mendapati sosok perempuan yang begitu dihormatinya tiba-tiba saja muncul. Umur wanita itu memang jauh lebih muda dari Grace, tapi status sosialnya—tentu di atas Grace.“Bu … bu Nada,” ucap Grace dengan tenggorokannya yang tercekat.Albert yang ada di ruangan tersebut langsung bangkit dengan sorot mata yang gugup. Mendadak suasana di ruangan itu terasa lebih menegangkan.“Bu Grace, bisa jelaskan maksud ucapanmu?” Nada bicara Nada menekan, tatapannya tajam. Ia mendekat ke arah Grace.“Ah … itu.” Bicara Grace terdengar gugup. Bahkan ia mengalihkan pandangan ke sembarang tempat—tak ingin bertatap dengan Nada.Tidak bisa membiarkan hal kecil ini menjadi serius, Albert langsung mendekat pada
“Aku nggak pernah beliin kamu gaun. Nael emang mempersiapkan itu untuk kamu pakai saat keluarga Fernandi datang,” terang Gabby memperjelas keadaannya. Gadis itu menoleh ke arah jendela, menatap jalanan dengan tatapan nanar. Ada kerutan penyesalan terlukis pada raut wajahnya. “Sayangnya saat itu aku nggak dewasa. Aku mewarisi sifat tempramen Mama dan masih berada di bawah kendali dia. Tapi … sekarang aku nggak akan kayak gitu lagi,” ucapnya lirih. Kalimat terakhir nyaris tak terdengar dan termasarkan dengan suara klakson mobil. Floryn terdiam, ia melihat Gabby yang seolah sedang merenungi kesalahannya. Hanya saja, ia masih ingin mengajukan pertanyaan lain. “Terus, kenapa kamu yang kasih gaun itu, bukan Nael?” tanya Floryn. Gabby menoleh, ia tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. “Aku nggak tahu dan dia nggak kasih tahu. Dia cuma memerintahku dengan sebuah ancaman,” ungkapnya. Floryn menarik dirinya, ia hanya bisa menghela napas. Untuk bagian itu, sepertinya bukan ranah Floryn un
Floryn menatap gaun yang minggu lalu baru saja dipilih Nael, untuk digunakan olehnya di acara anniversary Niskala hari ini. Ia memejamkan matanya, ada perasaan gugup yang mulai merayap. Rasanya Floryn merasa kurang percaya diri dengan gaun itu. Karena ia merasa belum pantas menggunakan gaun semewah itu. Tok. Tok. Tok. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Floryn. Ia menoleh dan bergegas membuka pintu, lalu mendapati Gabby di hadapannya. “Flo, kamu belum siap-siap buat acara nanti malam?” tanya Gabby, melihat kakak iparnya itu masih mengenakan pakaian santainya. “Hmm?” Floryn menyahut, wajahnya nampak bingung. “Aku baru nyiapin gaunnya. Nanti baru mau mandi dan baru siap-siap,” ujarnya. Gabby mengerutkan alisnya. “Kamu siap-siap di mana?” tanyanya lagi. “Di mana?” Wajah Floryn semakin menunjukkan kebingungan. “Ya di sini,” katanya polos. Mendengar pengakuan Floryn membuat Gabby menghela napas kasar. Bahunya tiba-tiba melemas dan lehernya terasa tak bertulang. Sedetik kemudian i