Singkat tapi berkesan, begitulah yang dirasakan Nael. Walau Viona menganggapnya sebagai Kevin, tapi ia juga mendapatkan porsi sebagai suami untuk Floryn.“Sepertinya aku harus mengagendakan liburan berdua sama Floryn,” gumam Nael, sambil tersenyum.“Ya, Pak? Bagaimana?” sahut Savero yang kini berada di hadapan Nael.Sedangkan tepat di sampingnya, Lily menyikut Nael dan membuat dirinya mengerjap.“Ya? Gimana?” ucap Nael dengan wajah bingung.“Tadi, Bapak bi—”“Sepertinya Pak Nael lagi memikirkan acara family gathering untuk departemen kita, Pak Savero,” sela Lily.Savero mengangguk sambil membuka mulutnya kecil. Nael memijat keningnya sambil menunduk—mencoba menyembunyikan ekspresi canggung di wajahnya.“Jadi, untuk program ini apa kita approve saja, Pak?” Savero menanyakan kembali tujuannya datang ke ruangan Nael.Nael pun mengangguk. “Approve, masukkan ke timeline program kita tahun depan, ya. Siapkan juga bahannya untuk nanti saya sampaikan di rapat dewan direksi,” jawabnya.Setelah
Semenjak pertemuan itu, Floryn mengarsipkan ruang obrolannya dengan Kenneth. Bahkan ia menonaktifkan pemberitahuan pesan dari pria itu. Namun, ada satu pesan yang sempat Floryn baca dan itu membuat Floryn menghela napas berat.[Kenneth: Aku akan cari tahu siapa suamimu, Flo. Aku tahu pernikahan kalian itu tidak bahagia!]Jika Kenneth mengirimkan pesan ini beberapa bulan lalu, mungkin saja Floryn bisa berkata iya. Sayangnya, sekarang hubungan Floryn dan Nael sudah mulai membaik. Walau mungkin belum bisa dikatakan ‘bahagia’, tapi Floryn mulai bisa merasakan kehangatan di dalam pernikahan mereka.“Sayang, hari minggu kamu nggak kemana-mana, ‘kan?” tanya Nael, yang baru saja keluar dari kamar mandi.Seketika Floryn menoleh. “Hah? Minggu ini?”Nael mengangguk. “Rencananya aku pengen ajak kamu sama ibu main. Cuma aku bingung main ke mana. Kamu ada saran?” tanya Nael lagi, sambil mendekat ke arah Floryn dan duduk di sampingnya.Selama ini, rasanya Nael belum pernah menghabiskan waktu bersama
Melibatkan Viona ke dalam masalah mereka, rasanya bukan sebuah langkah yang bijak. Ada rasa kesal yang kini menggelayut di dalam dadanya. Tatapan Floryn pada Kenneth pun berubah. Sosok pria yang dulu ia kagumi, berubah menjadi seseorang yang antipati.“Kita harus bicara berdua, Kak,” ucap Floryn dingin.Ajakan Floryn itu disambut dengan senyuman di wajah Kenneth. Memang ini yang ia inginkan. Bisa mendapatkan waktu bersama dengan Floryn.“Dengan senang hati,” timpal Kenneth.Tak lama Ida datang ke café dan Floryn meminta untuk membawa Viona pulang.“Nanti kamu pulang sama siapa?” tanya Ida.“Aku bisa pulang sendiri. Ada yang harus aku selesaikan sama dia,” ucapnya pelan, sambil melirik pada Kenneth.Floryn memberi jarak antara dia dengan Kenneth. Tak ingin pria itu mendengar pembicaraan mereka.“Tapi, Bi ….” Floryn sedikit ragu. Ida menarik kedua alisnya. “Tolong jangan bilang sama Nael, kalau aku lagi sama dia, ya,” pintanya.Jika Nael tahu, kalau Floryn sedang bersama dengan Kenneth.
“Hari ini nemenin ibu kontrol?” tanya Nael. Ia menatap wajah istrinya yang sedang membantunya merapikan dasi.“Iya,” jawab Floryn. Tangannya begitu cekatan—kurang dari dua menit, dasi itu sudah tersemat rapi di kemeja Nael. “Kamu mau ikut?” tanya Floryn. Ia mundur selangkah.Nael menggeleng. “Maaf, belum bisa. Aku ada kunjungan ke firma hukum. Ada beberapa hal yang harus diselesaikan,” terangnya.“Oke nggak papa. Aku sama bi Ida sama Pak Candra,” timpal Floryn dan tersenyum. “Ayo, kita sarapan dulu ke bawah.”Selepas jujur pada Kenneth, Floryn merasa pundaknya ringan—bebannya berkurang. Walau Kenneth masih selalu menghubunginya, tapi kali ini Floryn menonaktifkan notifikasi pesan atau panggilan dari Kenneth.Hubungannya dengan Nael semakin hangat. Suaminya itu seringkali menunjukkan sisi lembutnya. Hanya saja, sifat memaksanya masih ada. Bagi Floryn itu tak masalah, asalkan gunung esnya perlahan mulai mencair.Setelah selesai sarapan, Floryn mengantarkan Nael ke depan. Ia mencium tang
Floryn menundukkan kepalanya, ia berjalan meninggalkan café dengan perasaan yang tak karuan. Air matanya menggenang dan mentes perlahan. Ada perasaan lega bercampur kepedihan. Akhirnya ia tak harus lagi membohongi Kenneth. Dengan tegas, Floryn menyampaikan tentang hubungan mereka berdua.Saat ia sampai di area parkiran, tiba-tiba saja mobil SUV hitam berhenti di depannya. Kaca jendela penumpang terbuka dan menampakkan sosok Nael dari dalam sana.“Masuk!” perintahnya dengan tegas.Floryn menurut, ia membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Mendaratkan tubuhnya di kursi penumpang dan segera memasang sabuk pengaman. Pandangannya lurus kedepan, ia tak ingin menoleh ke arah café dan mencari pria yang sudah tidak ada lagi ruang di hatinya.Nael mentap wajah samping Floryn—garis kesedihan nampak di wajahnya. Namun, sedetik kemudian—ia menancapkan gas pergi meninggalkan area café tersebut.“Gimana?” tanya Nael memecah keheningan di antara mereka. Nada bicaranya terdengar santai, walau ekspresi
Pertanyaan Kenneth membuatnya tak bisa berkata apa pun. Lidahnya terasa kelu dan hawa dingin mulai menusuk kulitnya. Floryn dihantam gelombang kegelisahan. Seolah kata demi kata dan kalimat demi kalimat yang sudah ia persiapkan untuk bertemu dengan Kenneth, hilang sudah.Kenapa Kenneth bisa tahu tentang Nael?Haruskah Floryn menjelaskan siapa Nael sebenarnya?Namun, bagaimana jika itu menimbulkan kecanggungan, mengingat mereka bekerja di tempat yang sama?Kalimat-kalimat bernada tanya itu terus menggema di pikirannya. Floryn tak ingin ada keretakan di antara Nael dan Kenneth. Atau bahkan bisa membuat Kenneth kehilangan pekerjaannya.“Flo, jawab!” tekan Kenneth yang sedari tadi menunggu tanggapan dari Floryn. &ldqu