“Hari ini nemenin ibu kontrol?” tanya Nael. Ia menatap wajah istrinya yang sedang membantunya merapikan dasi.“Iya,” jawab Floryn. Tangannya begitu cekatan—kurang dari dua menit, dasi itu sudah tersemat rapi di kemeja Nael. “Kamu mau ikut?” tanya Floryn. Ia mundur selangkah.Nael menggeleng. “Maaf, belum bisa. Aku ada kunjungan ke firma hukum. Ada beberapa hal yang harus diselesaikan,” terangnya.“Oke nggak papa. Aku sama bi Ida sama Pak Candra,” timpal Floryn dan tersenyum. “Ayo, kita sarapan dulu ke bawah.”Selepas jujur pada Kenneth, Floryn merasa pundaknya ringan—bebannya berkurang. Walau Kenneth masih selalu menghubunginya, tapi kali ini Floryn menonaktifkan notifikasi pesan atau panggilan dari Kenneth.Hubungannya dengan Nael semakin hangat. Suaminya itu seringkali menunjukkan sisi lembutnya. Hanya saja, sifat memaksanya masih ada. Bagi Floryn itu tak masalah, asalkan gunung esnya perlahan mulai mencair.Setelah selesai sarapan, Floryn mengantarkan Nael ke depan. Ia mencium tang
Floryn menundukkan kepalanya, ia berjalan meninggalkan café dengan perasaan yang tak karuan. Air matanya menggenang dan mentes perlahan. Ada perasaan lega bercampur kepedihan. Akhirnya ia tak harus lagi membohongi Kenneth. Dengan tegas, Floryn menyampaikan tentang hubungan mereka berdua.Saat ia sampai di area parkiran, tiba-tiba saja mobil SUV hitam berhenti di depannya. Kaca jendela penumpang terbuka dan menampakkan sosok Nael dari dalam sana.“Masuk!” perintahnya dengan tegas.Floryn menurut, ia membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Mendaratkan tubuhnya di kursi penumpang dan segera memasang sabuk pengaman. Pandangannya lurus kedepan, ia tak ingin menoleh ke arah café dan mencari pria yang sudah tidak ada lagi ruang di hatinya.Nael mentap wajah samping Floryn—garis kesedihan nampak di wajahnya. Namun, sedetik kemudian—ia menancapkan gas pergi meninggalkan area café tersebut.“Gimana?” tanya Nael memecah keheningan di antara mereka. Nada bicaranya terdengar santai, walau ekspresi
Pertanyaan Kenneth membuatnya tak bisa berkata apa pun. Lidahnya terasa kelu dan hawa dingin mulai menusuk kulitnya. Floryn dihantam gelombang kegelisahan. Seolah kata demi kata dan kalimat demi kalimat yang sudah ia persiapkan untuk bertemu dengan Kenneth, hilang sudah.Kenapa Kenneth bisa tahu tentang Nael?Haruskah Floryn menjelaskan siapa Nael sebenarnya?Namun, bagaimana jika itu menimbulkan kecanggungan, mengingat mereka bekerja di tempat yang sama?Kalimat-kalimat bernada tanya itu terus menggema di pikirannya. Floryn tak ingin ada keretakan di antara Nael dan Kenneth. Atau bahkan bisa membuat Kenneth kehilangan pekerjaannya.“Flo, jawab!” tekan Kenneth yang sedari tadi menunggu tanggapan dari Floryn. &ldqu
Setelah kepergian Nael menuju tempat kerjanya. Floryn segera mengecek ponselnya. Sial, baterainya habis dan di harus mengisi daya terlebih dahulu.Matanya menatap pada kotak kecil berwarna merah, yang ia dapatkan dari Nael. Floryn mengulurkan tangan, mengambil kotak tersebut yang terletak di atas nakas. Perlahan ia membuka kotak itu dan seketika pupil matanya bergetar.Di dalamnya ada sebuah cincin bermata putih. Sangat cantik dan cocok jika melingkar di jari manis kirinya. Sayangnya, hal itu tentu tak bisa ia lakukan. Floryn mendesah kasar, berusaha melepaskan kegelisahan di dalam hatinya.“Katakan padanya, kalau kamu sudah menikah!”Kalimat itu kembali berdengung di telinganya. Floryn memejamkan mata—mau tak mau dan siap tak siap, ia harus memberi tahu fakta yang sebenarnya pada Kenneth. Sebelum perasaan pria itu jatuh lebih dalam dan perlahan bisa menghancurkannya.Ketika ponselnya sudah terisi daya beberapa persen. Floryn segera menghidupkan benda pintar itu. Sontak ia terkejut,
Kelopak mata Floryn terbuka perlahan, membiarkan cahaya matahari pagi menyusup masuk dan menyapu lembut wajahnya. Ia melenguh, merasakan kepalanya yang sedikit terasa berat. Tangannya itu meremas rambutnya pelan. Telinganya mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi.‘Ah, pasti itu Nael,’ pikirnya.Floryn kembali memejamkan mata, pikirannya menyelam pada kejadian sebelum dirinya terbangun dari tidur. Sejurus kemudian, matanya membeliak. Ia segera bangkit dari tidur dan mengecek pakaiannya—lalu Floryn meringis.“Aahhh!” resahnya.Tangannya mengacak rambutnya dengan kasar. Jantungnya terus berdegup dengan kencang. Hatinya tak tenang, saat mendapati dirinya terbangun dengan pakaian yang berbeda dari kemarin.Floryn ingat, semalam ia bersama dengan Nael—merayakan ulang tahunnya. Kemudian mereka berciuman—seketika Floryn merasa letupan lain di dadanya. Perutnya tiba-tiba terasa mulas, saat mengingat dirinya mabuk dan meracau tak jelas.“Aaah. Bodoh kamu, Floryn!” rutuknya. Wajahn
Floryn berjinjit, mencoba menyesuaikan dengan tinggi tubuh Nael. Bibir mereka masih tertaut. Sangat lembut dan memberikan sensasi aneh di dalam diri Floryn. Jantungnya terus berdegup kencang, tak karuan—tapi ia sangat menyukai sensasinya. Sesaat Floryn tersentak, saat tangan Nael merengkuh pinggangnya. Kini tubuh mereka sangat dekat, tanpa ada pembatas apa pun. Ciuman mereka terus berlanjut. Seolah mereka merasa candu dengan kelembutan masing-masing. Hati Floryn terasa mengembang dan tubuhnya seperti melayang. Ini adalah ciuman pertama selama 25 tahun hidupnya. Ternyata rasanya sangat memabukkan, sampai-sampai ia enggan untuk menjauh dari Nael. Namun, Floryn mulai merasakan kehabisan oksigen. Perlahan ia mendorong dada bidang Nael. Ciuman mereka pun berakhir. Napas Floryn dan Nael menderu, mereka saling menatap dalam dan tersenyum. “Terima kasih, Flo,” bisik Nael. Sebenarnya Nael masih ingin lebih, dadanya begitu membuncah dan menuntut untuk melakukan hal itu lebih lama. Namun, ia