Yesika masuk dengan seringai di bibir saat melihat Silia dan Roby yang duduk bersama di meja makan. Dia sendiri sudah terbiasa di rumah Silia, karena hampir setiap hari ia datang. “Sarapan dulu, Yesi,” Amira berkata padanya dengan ramah. “Tante tinggal dulu ya, mau nyiram bunga di depan.” Ujarnya lagi.“Iya Tante. Makasih.” Yesika langsung duduk. “Wah pengantin baru lagi sarapan bareng ya? Aku jadi nggak enak nih.” Ujarnya kemudian.Silia benci sekali mendengar nada suara Yesika yang seolah sedang mengejeknya. Gadis itu seperti hendak menertawakannya sekarang.Sementara Roby tampak diam dan tak berani memandang Yesika, membuat Silia semakin heran. Bukannya mereka saling mengenal? Mengapa tak bertegur sapa sama sekali?Saat Silia sedang sibuk menerka, Mbok Ida datang untuk mengemasi bekas sarapan Arman.“Mbak Sil mau jus atau susu?” tanya Mbok Ida dengan sopan, menawarkan jasanya.“Nggak usah, Bi. Saya minum air putih aja,” jawab Silia. Ia tidak mau merepotkan pembantunya itu.
“Apa sih maksud kamu Roby? Kenapa jadi membawa Silia untuk hidup berdua sama kamu di kontrakan? Kamu nggak ada bilang apa pun soal ini.” Omel Yesika, begitu mereka keluar dari ruang makan dan memilih tempat yang agak jauh dari jangkauan mata maupun pendengaran Silia.“Maaf Yesi, aku nggak bilang karena kupikir kamu juga pasti akan setuju. Bagaimanapun ini juga demi keamanan rahasia kita kan? Kalau aku menikah namun tetap tinggal di rumah Silia, orang tuanya pasti curiga kalau pernikahan kami Cuma pura-pura, karena aku nggak mungkin bersikap mesra dengan dia.”“Ya jangan sampai curiga dong! Jalankan aja tugas sebagaimana suami selayaknya. Akting Roby--- akting!”“Nggak bisa Yesi. Kamu tahu kan kalau cinta aku hanya untuk kamu....”Kalimat Roby terpotong saat Yesika memukul lengannya.“Jangan ngomong keras-keras, nanti kedengaran orang!” omel Yesika dengan nada suara tertahan.Roby berdecak. “Karena itu aku minta tolong jangan marah, Yesi. Aku bawa dia keluar dari sini itu, nggak
Silia menyapu pandangan ke sekeliling. Melihat keadaan sekitar ia berpikir, untuk siang hari saja terasa cukup menyeramkan, apalagi kalau malam. “Mari masuk ke dalam Ma.” Lamunan Silia buyar saat mendengar Roby mengajak mereka masuk. “Tetangganya lumayan jauh ya?” Amira beropini. Dan dalam kalimatnya, seakan ada nada khawatir terhadap keselamatan sang putri. “Saya memang sengaja Ma, karena kami nggak mau ada yang mengganggu hidup kami. Mama tahu sendiri, biasanya tetangga suka ikut campur dan berkomentar soal hidup orang lain. Saya nggak suka kalau ada yang membuat Silia kepikiran dengan omongan nggak baik dari orang-orang. Silia sedang mengandung, bisa berbahaya buat bayi kami. Lagi pula, jujur aja. Kemampuan saya hanya bisa menyewa rumah seperti ini.” Jawaban Roby terselip kejujuran dan sedikit kebohongan. Silia agak tersanjung saat mendengar Roby mengatakan ‘bayi kami’. “Kenapa nggak bilang aja biar kami bantu carikan rumah yang lebih layak? Eh--- maksud Mama, mungkin rumah
“Ada kecoa!” Roby mengendurkan badannya yang tadi sempat tegang. “Cuma kecoa? Kamu teriak sampe kayak gitu Cuma karena kecoa?” ucap Roby kesal. “Kecoa bahaya. Kalau terbang, bisa masuk kuping.” “Kata siapaaa?!” “Kali aja....” Silia baru sadar kalau ia baru saja membuat cowok itu marah. Sekarang, malah ia yang jadi cemberut. “Biarpun Cuma kecoa kan, aku takut.” Roby membuang nafas. “Sekarang udah nggak apa-apa kan? Aku mau tidur.” Katanya sambil berbalik badan. “Anu, Roby--- kenapa nggak tidur di dalam sini aja?” tanya Silia ragu. Sebenarnya ia malu menawarkan itu, tapi rasa takut mengalahkan rasa malunya. “Memangnya kenapa kalau aku tidur di luar? Jujur aja aku nggak nyaman kalau harus tidur sekamar dengan kamu, biarpun nggak ngapa-ngapain.” Silia menelan ludah. “Aku takut. Di sini banyak pocong.” “Tahu dari mana di sini banyak pocong?” “Di sekitar rumah ini banyak pohon pisang. Katanya pocong suka duduk di bawah pohon pisang.” Roby nyaris tertawa mendengar jawaban polo
“Bukan mukamu. Tapi lingkar mata kamu menghitam. Apa kamu semalam nggak bisa tidur?” Silia mengucek mata, berharap bisa menghilangkan mata panda-nya. Meski ia tahu pasti, kalau tak mungkin bisa hilang semudah itu. “Iya, entah jam berapa aku baru bisa tidur.” “Kenapa? Aku kan udah menuruti kemauan kamu dengan tidur sekamar. Masa’ masih takut ada hantu.” “Aku takut kecoa itu datang lagi. Atau ada ular dan binatang yang lain.” “Tapi nggak ada kan? Kamu terlalu banyak pikiran.” “Enak aja ngomong kayak gitu. Kamu sih, nggak tahu gimana rasanya kalau lagi takut. Biarpun ada kamu di kamar, tapi kan kamu tidur di atas, sedangkan aku di bawah.” “Kan kamu sendiri yang mau. Bukan aku yang minta.” “Ya tapi sebagai laki-laki harusnya kamu paham dong, kalau sebaiknya mengalah sama perempuan. Apalagi aku sedang hamil. Ini mentang-mentang aku bilang begitu, kamu juga ngelakuin hal yang sama, nggak pake pertimbangan lagi.” “Jadi sebenarnya kamu itu sebagai perempuan, mau omongannya diturutin a
“Giliran kita masih lama, Ma?” Silia gelisah karena terlalu lama berada di ruang tunggu. Ia agak risih karena beberapa pasien ibu hamil memandangnya. Ya, mungkin saja itu adalah hal biasa, mengingat tak banyak yang bisa dilakukan selama mengantri menunggu nama mereka dipanggil. Namun tetap saja, Silia tak terbiasa dengan hal seperti itu. Ia tak suka dilihat dan diperhatikan oleh orang asing. “Sebentar lagi Sayang. Tunggu aja.” Jawab Amira setengah berbisik. “Nggak mungkin sebentar lagi Ma, antriannya rame kayak gini.” Silia terlihat bimbang. “Udah diem aja. Kita pake jalur VVIP. Jadi paling sebentar lagi udah dipanggil. Kita nanti beda ruangannya. Tunggu ya, sebentar lagi.” Bujuk Amira. Silia hanya mengangguk dan tak lagi mengajukan pertanyaan. Ia kini justru tampak berpikir tentang suatu hal janggal sebelum pergi ke sini. Ia melihat saat Yesika di rumahnya tadi, perilaku Roby seolah mengisyaratkan kalau cowok itu sedang berusaha mendekati Yesika. Anehnya, Yesika tampak menghind
“Pak?? Ngapain ke sini? Bapak tahu tempat ini dari mana?”Lelaki berumur di depan Roby itu terlihat cengengesan. Senyumnya yang dipaksakan terlihat sangat menyebalkan di mata Roby.“Bapak dengar dari Yesi katanya kamu pindah ke kontrakan, nggak nge-kost lagi di tempat yang lama.” Ujar Dandi.“Iya, tapi kenapa Bapak datang ke sini?” Roby berkata dengan setengah berbisik sambil melangkah keluar dan menutup pintu. Ia tak mau Silia tahu tentang kedatangan Dandi.“Ya Bapak Cuma mau jenguk kamu aja, Roby. Kamu udah lama nggak main ke rumah. Apalagi sejak nikah sama temen Yesi. Maksud Bapak, biarpun kamu nggak jadi menantu, ya tetap aja kita harus--- ehm... silaturahmi.” Roby panik saat Dandi mengatakan itu. Kalau sampai Silia dengar, gadis itu bisa tahu kalau dia adalah pacar Yesika.Meski sebenarnya Roby tak peduli, tapi kalau sampai hal ini bocor karena ulah ayah Yesika itu, tetap saja dia yang akan disalahkan.“Pak, tolong --- jangan sembarangan datang ke sini. Kita bisa ketemu d
Wajah pucat yang dipenuhi keringat sebesar biji jagung itu terlihat menegang. Roby panik melihat Silia yang kelojotan sambil memegang dada.“Kamu kenapa? Hei--- dada kamu sakit?” Roby berusaha membantu Silia duduk. Namun gadis itu mengeraskan badan dan kembali berbaring.“Rasanya mau mati, Roby... Biarkan aku berbaring aja kayak gini. Jantungku sakit, dadaku rasanya sempit. Aku nggak bisa bernafas. Seperti ada yang terbakar di dalam sini...” Silia menunjuk dadanya sambil menggenggam tangan Roby dan meremasnya dengan kuat, menahan rasa sakit berdenyut yang teramat sangat.“Kamu sakit jantung? Sejak kapan kayak gini?” Roby mengelap kening basah Silia. Sungguh ia sangat tak tega melihat gadis itu mengerang kesakitan. Untungnya hari ini dia pulang kerja lebih awal. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi pada Silia.Silia menggeleng. “Asam lambung. Kayaknya asam lambungku naik. Roby--- tolong aku, kenapa sakit sekali...” Silia melenguh dan nafasnya terengah-engah.“Tunggu di sini se