Membayar pacar sahabat sendiri untuk menikahi dan bertanggung jawab atas kehamilan yang tak diinginkan. Meski bukan sesuatu yang wajar dan dibenarkan, namun Silia mau tak mau melakukannya. Apalagi sosok Roby seakan tak punya kekurangan. Selain ganteng dan ulet dalam bekerja, Roby juga baik dan perhatian. Hidup bersama meski awalnya karena memiliki tujuan masing-masing dan tak saling cinta, justru membawa perubahan besar pada kehidupan Roby dan Silia. Hanya saja, status Yesika sebagai pacar Roby dan Vatra sebagai cinta pertama Silia, menjadi pemicu beragam konflik dalam kisah cinta dan rumah tangga mereka.
View MoreSilia merapatkan jaketnya, matanya sibuk menelusuri layar ponsel. Sudah lebih dari sepuluh kali ia menelepon Yesika, tapi tak ada jawaban. Ia coba menghubungi Munawar, sopir pribadinya, namun hanya suara operator yang terdengar. Tidak aktif.
Sial. Empat gelas minuman yang tadi ia beli kini masuk ke tempat sampah. Percuma. Ia kesal. Ia marah. Yesika benar-benar keterlaluan meninggalkannya begitu saja. Malam semakin larut, jalanan sepi. Beberapa kendaraan lewat sesekali, tapi tak cukup untuk membuatnya merasa aman. Halte bus masih cukup jauh, dan kini ia terpaksa berjalan kaki sendirian. Di kejauhan, empat pasang mata mengawasinya. Mereka pemuda-pemuda mabuk, penuh nafsu dan tak mengenal belas kasihan. Salah satu dari mereka terkekeh seraya berbisik pada yang lain. “Yang ini bakal seru.” Tanpa sadar, Silia terus melangkah, tak tahu bahwa bahaya mengintai. — Yesika menatap ponsel di tangannya, senyum sinis menghiasi wajahnya. Chat-chat yang terbuka di layar membuatnya terkikik. "Silia, Silia… Kau kira bisa menyembunyikan ini dariku?" Di depannya, Silia duduk kaku. Wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca. "Kau membaca pesanku?" suara Silia bergetar. "Tentu saja. Dan aku nggak habis pikir, Sil, kau benar-benar desperate sampai minta orang asing menikahimu?" Yesika tertawa kecil, lalu menyilangkan tangan. "Gila. Kamu pikir siapa yang bakal percaya dan mau? Gratis pula?" Silia mengepalkan tangannya. Rasa malu dan marah bercampur jadi satu. "Aku nggak punya pilihan, Yesi." Yesika menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuh ke sofa. "Oke, aku bakal bantu kamu. Aku kenal seseorang yang bisa pura-pura jadi suami kamu, tapi dia nggak bakal melakukan itu tanpa kompensasi." Silia mengangkat wajah, harapan sekaligus rasa takut bercampur di matanya. "Maksudmu?" "50 juta." "APA?" Silia melotot. "Yesi, itu gila!" Yesika tertawa. "Yang gila itu kamu. Coba pikir, siapa yang mau menikahi wanita hamil tanpa alasan? Kalau kamu nawarin uang, setidaknya masih ada yang tertarik." Silia terdiam. Dadanya terasa sesak. "Aku nggak punya uang sebanyak itu," gumamnya. "Kamu kaya, Sil. Ibumu pasti punya banyak perhiasan. Ambil saja sedikit, toh buat nutup aib kamu sendiri," ujar Yesika enteng. Silia terkejut. "Kamu nyuruh aku mencuri dari ibuku?" Yesika mengangkat bahu. "Kamu nggak punya banyak pilihan. Kamu mau perutmu membesar tanpa suami, atau kamu mau cari jalan keluar?" Silia mengepalkan tangannya. Dadanya naik turun, menahan emosi yang hampir meledak. “Kenapa kamu memberi ide gila ke aku seperti ini, Yesika?” suaranya bergetar, antara marah dan putus asa. Yesika menatap Silia dengan tatapan yang sulit diartikan, bibirnya melengkung ke atas, tetapi bukan dalam senyum ramah. “Silia, aku nggak memberikan kamu ide gila atau apa pun. Aku hanya memberimu solusi. Kamu yang datang padaku dengan masalah ini, dan aku memberimu jalan keluar.” Silia tertawa getir. “Aku nggak datang padamu, Yesi. Kamu yang lancang buka HP-ku, lalu tiba-tiba ikut campur.” Yesika mendengus. “Oh ayolah, jangan pura-pura suci. Kamu sendiri yang nekat cari suami dari sosial media. Apa kamu pikir itu cara yang lebih baik? Bisa-bisa kamu ketemu orang gila yang lebih berbahaya daripada mereka yang udah ngancurin hidupmu!” Silia menggeleng kuat, matanya mulai berair. “Aku terpaksa. Aku nggak punya pilihan lain!” "Ya makanya aku bantu kamu cari pilihan lain yang lebih masuk akal. Cuma kan emang harus bayar," ujar Yesika dengan wajah mengejek. “Yesika, aku nggak punya uang sebanyak itu,” lanjutnya lirih. “Kamu tahu aku cuma anak perempuan biasa, bukan seseorang yang bisa dengan mudah menghambur-hamburkan puluhan juta rupiah untuk membeli suami.” Yesika menyilangkan tangan di dada. “Oh, betulkah? Kamu anak seorang pengusaha sukses. Kamu tinggal di rumah besar, pakai barang branded, dan kamu bilang nggak punya uang? Ayolah, Silia. Jangan naif. Kamu cuma perlu sedikit lebih pintar untuk mendapatkan uang itu.” Silia mencengkeram ujung bajunya. “Aku nggak akan mencuri dari orang tuaku.” Yesika menghela napas panjang, lalu mencondongkan tubuhnya mendekat. Suaranya merendah, tetapi penuh tekanan. “Kalau begitu, kau harus temukan cara lain. Kalau aku jadi kamu, aku bakal jual sesuatu yang berharga. Perhiasan, barang mahal, atau apa pun itu.” Silia menggigit bibirnya, pikirannya berputar liar. Tidak ada jalan keluar yang mudah. Yesika benar, dia memang membutuhkan seseorang yang bisa mengakui anak dalam kandungannya. Jika tidak, orang tuanya pasti akan hancur saat mengetahui kenyataan ini. “Aku perlu waktu.” “Yesika mengedikkan bahu. “Tapi perutmu nggak bisa nunggu, Silia. Setiap hari, bayi itu tumbuh, dan setiap detik, waktu kamu semakin habis.” Silia terdiam. Ia tahu Yesika ada benarnya, tapi ia juga tahu sesuatu yang lain—Yesika menikmati ini. Temannya itu menikmati bagaimana ia memegang kendali, bagaimana ia bisa menekan Silia hingga ke sudut sempit tanpa jalan keluar. Dan itu membuat Silia semakin muak. Silia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Siapa yang kamu pikir bisa dijadikan suamiku?” tanyanya akhirnya, nada suaranya berat. Yesika tersenyum kecil, senyum kemenangan. “Aku sudah punya seseorang dalam pikiranku. Tapi kamu nggak perlu tahu sekarang. Yang jelas, aku akan atur semuanya. Kamu cuma perlu siapkan uangnya.” “Siapa orang itu?” Silia menatapnya curiga. Yesika bangkit dari duduknya, lalu mengambil tasnya. “Kamu nggak perlu tahu sekarang. Lebih cepat kamu dapatkan uangnya, lebih cepat masalah ini selesai.” Hati Silia terasa diremas. Matanya menatap Yesika, mencari secercah empati di sana. Tapi yang ia temukan hanya senyum licik. "Baik," katanya lirih. "Aku akan cari uangnya." Yesika tersenyum puas. "Bagus. Aku bakal memberimu orang yang tepat. Dan jangan coba-coba bilang ke siapa pun soal ini. Kau tahu kan apa yang akan terjadi kalau rahasia ini bocor?" Silia menggigit bibirnya. Ada sesuatu yang menggelitik di dalam dirinya, firasat buruk yang semakin kuat. Tapi saat ia membuka mulut untuk bertanya lebih jauh, Yesika sudah melangkah menuju pintu. Namun sebelum keluar, Yesika berbalik. Matanya menyipit, bibirnya membentuk senyum tipis yang nyaris dingin. “Oh ya, satu lagi, Silia. Jangan coba-coba melawan. Jangan cari cara lain. Karena aku bisa jadi satu-satunya orang yang bisa menyelamatkanmu… atau menghancurkanmu.” Pintu tertutup. Dan Silia tahu, ia baru saja membuat kesepakatan dengan iblis.Silia mendekat, tangannya menyentuh jemari Roby yang menggenggam pegangan koper. “Kita pernah saling tolong, saling rawat. Tapi malam ini, aku ingin kita saling miliki.”Roby membuka mata. Ada air bening menggantung di sana. “Beneran?”Silia tersenyum kecil. “Iya. Kali ini bukan karena keadaan. Tapi karena aku yang memilih.”Ia menarik koper dari tangan Roby, meletakkannya di sudut ruangan. Lalu dengan langkah tenang, menggandeng lelaki itu masuk ke kamar.Kamar mereka tidak terlalu besar, tapi nyaman. Bayi mereka sedang tertidur di boks kecil, tubuh mungilnya digerakkan nafas lembut yang damai. Seolah tahu bahwa malam ini, orang tuanya sedang memilih untuk tetap bersama.Silia duduk di tepi ranjang. Ia membuka cardigan pelan, menyisakan kaus tipis yang membentuk siluet tubuhnya yang belum sepenuhnya pulih dari melahirkan.“Tubuhku mungkin belum ideal lagi,” gumamnya pelan, nyaris takut. “Tapi ini aku. Apa adanya.”Roby berdiri di hadapannya. Ia ta
“Kamu pikir hidup aku gampang? Dari kecil aku dibesarkan bapak kayak dia. Pemalas, tukang pukul, penjudi. Ibuku sibuk kerja jadi tukang cuci. Nggak ada yang ngajar aku cara jadi baik, Silia. Yang aku tahu Cuma... cewek harus kuat. Dan satu-satunya kekuatan yang aku tahu... ya cowok. Duit. Gaya hidup.”Silia mengangguk pelan. “Kamu boleh marah. Tapi kamu juga boleh sembuh. Kamu boleh salah... asal kamu mau bangkit.”Yesika membuang muka. Kesal. Tapi juga mulai tampak goyah.“Yesi,” Silia menggenggam ujung jendela kaca pembatas. “Aku nggak benci kamu. Aku datang bukan buat balas dendam. Aku cuma pengen kamu tobat. Karena kamu masih bisa. Masih sempat.”Yesika menunduk. Bahunya naik turun. Tapi wajahnya tetap menegang.“Udahlah. Pulang aja. Aku nggak butuh dikasihani.”Silia menarik napas panjang. Ia berdiri, mengambil tas kecilnya, dan bersiap pergi. Namun sebelum melangkah keluar, ia berkata lirih,“Terima kasih Yesi, karena udah mau jadi temanku se
“Oke. Lokasi antar kita tentuin nanti malam. Harga fix. Bayar cash. No drama.”Yesika menyeringai. “Akhirnya. Kita bisa kabur dari hidup gembel ini.”Dandi mengangguk. Tapi matanya tak sepenuhnya yakin. Ia menatap bayi kecil itu, dan untuk sejenak... ada sesuatu di tatapannya. Mungkin kasihan. Mungkin hanya ragu.Tapi Yesika tidak memberinya waktu berpikir.“Buang kartu SIM itu sekarang. Dan jangan pernah nyebut nama Silia atau Roby lagi. Kita harus bersih. Titik.”Dandi mengambil SIM card dari ponsel dan mematahkan pelan-pelan. Suara ‘krek’ kecil terasa lebih berat dari biasanya.“Besok kita berangkat pagi-pagi. Kalau bisa sebelum ada yang nyari.”Yesika membenahi tas, mengambil uang receh dari dompet kecil mereka, lalu berkata datar, “Anak ini tiket kita. Cuma sementara. Tapi cukup buat mulai hidup baru. Jauh dari kemiskinan busuk ini.”---Di tempat lain, di sebuah warung kopi pinggir jalan, dua pria duduk memandangi layar laptop dari
Dandi tak berkedip. Menatap Yesika dengan serius.“Bapak kenal orang. Yang bisa ‘nampung’. Harganya tinggi... tapi harus bayi yang baru lahir. Gampang dijual.”Yesika mengangguk pelan. “Lakuin aja Pak. Biar Silia ngerasain. Rasanya kehilangan. Rasanya dihancurkan. Sama kayak aku.”Tak ada lagi suara. Tak ada lagi tawa. Hanya diam dan nafas yang berat.Rencana itu belum bulat. Tapi bibitnya sudah tumbuh. Di ruang pengap, di antara abu rokok dan reruntuh harga diri, dua manusia itu mulai menyulam kehancuran untuk satu jiwa tak berdosa—yang bahkan baru lahir ke dunia.**Rumah kontrakan kecil itu masih setengah sepi saat Silia menyalakan kompor. Tangannya sibuk mengaduk bubur, sesekali menoleh ke arah kamar.Putri kecilnya baru saja tertidur. Ia sendiri masih kelelahan, tubuhnya belum benar-benar pulih setelah persalinan. Tapi pagi ini Roby harus keluar, mengambil paket susu formula yang habis sejak kemarin. Ia tak keberatan. Roby sudah melakukan sega
Setelah kelahiran bayi itu, hidup Silia berubah jadi teka-teki yang tak punya jawaban pasti. Bayinya sehat, Roby tetap perhatian, dan Vatra makin sering datang. Tapi hatinya? Semakin berantakan.Pagi itu, Vatra mengajaknya sarapan di taman dekat rumah sakit. Hanya mereka berdua. Ia datang dengan setelan kasual dan senyum yang mematikan, seperti masa lalu yang belum pernah benar-benar ia kubur."Silia," katanya pelan setelah hening cukup lama. "Aku serius."Silia menoleh. "Serius apa?""Serius mau nikahin kamu. Bukan karena pengen memperbaiki masa lalu, tapi karena aku masih cinta. Aku mau kamu. Sama anak kamu. Aku bisa jadi ayahnya."Silia terdiam. Bahkan burung-burung di taman seolah ikut menahan napas."Aku tahu, selama ini mungkin kamu berpikir aku ninggalin kamu dulu. Tapi sekarang, aku balik bukan buat minta penjelasan. Aku balik buat ngelakuin apa yang harusnya aku lakuin dari dulu.""Vatra..." suaranya parau. "Kamu tahu aku udah nikah."
“Kalau kamu beneran sayang anak saya... kamu siap mundur kalau dia milih orang lain?”Roby mengangguk—meski itu mungkin akan membunuhnya. “Saya siap, Pa. Asal dia bahagia.”Arman menatap Roby lama. Untuk pertama kalinya, bukan dengan amarah atau pandangan remeh. Tapi dengan tatapan seorang ayah... yang melihat laki-laki di depan putrinya bukan lagi ancaman, tapi mungkin... perlindungan yang ia tak pernah tahu dibutuhkan.Sementara itu di dalam ruangan, Silia duduk bersandar, memeluk bantal menyusui sambil memperhatikan bayinya yang terlelap di dalam boks.Amira duduk di kursi sebelah tempat tidur, tangan mungilnya menggenggam jemari Silia yang kurus. Ada keheningan yang tak terburu-buru mereka pecahkan. Keheningan yang penuh luka, dan cinta, dan hal-hal yang tak pernah sempat diucapkan selama ini.“Mama minta maaf,” kata Amira akhirnya. Suaranya lembut, serak, seperti seseorang yang baru saja bangun dari mimpi buruk. “Mama harusnya jadi tempat kamu pulang...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments