“Kamu pikir hidup aku gampang? Dari kecil aku dibesarkan bapak kayak dia. Pemalas, tukang pukul, penjudi. Ibuku sibuk kerja jadi tukang cuci. Nggak ada yang ngajar aku cara jadi baik, Silia. Yang aku tahu Cuma... cewek harus kuat. Dan satu-satunya kekuatan yang aku tahu... ya cowok. Duit. Gaya hidup.”
Silia mengangguk pelan. “Kamu boleh marah. Tapi kamu juga boleh sembuh. Kamu boleh salah... asal kamu mau bangkit.”Yesika membuang muka. Kesal. Tapi juga mulai tampak goyah.“Yesi,” Silia menggenggam ujung jendela kaca pembatas. “Aku nggak benci kamu. Aku datang bukan buat balas dendam. Aku cuma pengen kamu tobat. Karena kamu masih bisa. Masih sempat.”Yesika menunduk. Bahunya naik turun. Tapi wajahnya tetap menegang.“Udahlah. Pulang aja. Aku nggak butuh dikasihani.”Silia menarik napas panjang. Ia berdiri, mengambil tas kecilnya, dan bersiap pergi. Namun sebelum melangkah keluar, ia berkata lirih,“Terima kasih Yesi, karena udah mau jadi temanku seSilia mendekat, tangannya menyentuh jemari Roby yang menggenggam pegangan koper. “Kita pernah saling tolong, saling rawat. Tapi malam ini, aku ingin kita saling miliki.”Roby membuka mata. Ada air bening menggantung di sana. “Beneran?”Silia tersenyum kecil. “Iya. Kali ini bukan karena keadaan. Tapi karena aku yang memilih.”Ia menarik koper dari tangan Roby, meletakkannya di sudut ruangan. Lalu dengan langkah tenang, menggandeng lelaki itu masuk ke kamar.Kamar mereka tidak terlalu besar, tapi nyaman. Bayi mereka sedang tertidur di boks kecil, tubuh mungilnya digerakkan nafas lembut yang damai. Seolah tahu bahwa malam ini, orang tuanya sedang memilih untuk tetap bersama.Silia duduk di tepi ranjang. Ia membuka cardigan pelan, menyisakan kaus tipis yang membentuk siluet tubuhnya yang belum sepenuhnya pulih dari melahirkan.“Tubuhku mungkin belum ideal lagi,” gumamnya pelan, nyaris takut. “Tapi ini aku. Apa adanya.”Roby berdiri di hadapannya. Ia ta
“Kamu pikir hidup aku gampang? Dari kecil aku dibesarkan bapak kayak dia. Pemalas, tukang pukul, penjudi. Ibuku sibuk kerja jadi tukang cuci. Nggak ada yang ngajar aku cara jadi baik, Silia. Yang aku tahu Cuma... cewek harus kuat. Dan satu-satunya kekuatan yang aku tahu... ya cowok. Duit. Gaya hidup.”Silia mengangguk pelan. “Kamu boleh marah. Tapi kamu juga boleh sembuh. Kamu boleh salah... asal kamu mau bangkit.”Yesika membuang muka. Kesal. Tapi juga mulai tampak goyah.“Yesi,” Silia menggenggam ujung jendela kaca pembatas. “Aku nggak benci kamu. Aku datang bukan buat balas dendam. Aku cuma pengen kamu tobat. Karena kamu masih bisa. Masih sempat.”Yesika menunduk. Bahunya naik turun. Tapi wajahnya tetap menegang.“Udahlah. Pulang aja. Aku nggak butuh dikasihani.”Silia menarik napas panjang. Ia berdiri, mengambil tas kecilnya, dan bersiap pergi. Namun sebelum melangkah keluar, ia berkata lirih,“Terima kasih Yesi, karena udah mau jadi temanku se
“Oke. Lokasi antar kita tentuin nanti malam. Harga fix. Bayar cash. No drama.”Yesika menyeringai. “Akhirnya. Kita bisa kabur dari hidup gembel ini.”Dandi mengangguk. Tapi matanya tak sepenuhnya yakin. Ia menatap bayi kecil itu, dan untuk sejenak... ada sesuatu di tatapannya. Mungkin kasihan. Mungkin hanya ragu.Tapi Yesika tidak memberinya waktu berpikir.“Buang kartu SIM itu sekarang. Dan jangan pernah nyebut nama Silia atau Roby lagi. Kita harus bersih. Titik.”Dandi mengambil SIM card dari ponsel dan mematahkan pelan-pelan. Suara ‘krek’ kecil terasa lebih berat dari biasanya.“Besok kita berangkat pagi-pagi. Kalau bisa sebelum ada yang nyari.”Yesika membenahi tas, mengambil uang receh dari dompet kecil mereka, lalu berkata datar, “Anak ini tiket kita. Cuma sementara. Tapi cukup buat mulai hidup baru. Jauh dari kemiskinan busuk ini.”---Di tempat lain, di sebuah warung kopi pinggir jalan, dua pria duduk memandangi layar laptop dari
Dandi tak berkedip. Menatap Yesika dengan serius.“Bapak kenal orang. Yang bisa ‘nampung’. Harganya tinggi... tapi harus bayi yang baru lahir. Gampang dijual.”Yesika mengangguk pelan. “Lakuin aja Pak. Biar Silia ngerasain. Rasanya kehilangan. Rasanya dihancurkan. Sama kayak aku.”Tak ada lagi suara. Tak ada lagi tawa. Hanya diam dan nafas yang berat.Rencana itu belum bulat. Tapi bibitnya sudah tumbuh. Di ruang pengap, di antara abu rokok dan reruntuh harga diri, dua manusia itu mulai menyulam kehancuran untuk satu jiwa tak berdosa—yang bahkan baru lahir ke dunia.**Rumah kontrakan kecil itu masih setengah sepi saat Silia menyalakan kompor. Tangannya sibuk mengaduk bubur, sesekali menoleh ke arah kamar.Putri kecilnya baru saja tertidur. Ia sendiri masih kelelahan, tubuhnya belum benar-benar pulih setelah persalinan. Tapi pagi ini Roby harus keluar, mengambil paket susu formula yang habis sejak kemarin. Ia tak keberatan. Roby sudah melakukan sega
Setelah kelahiran bayi itu, hidup Silia berubah jadi teka-teki yang tak punya jawaban pasti. Bayinya sehat, Roby tetap perhatian, dan Vatra makin sering datang. Tapi hatinya? Semakin berantakan.Pagi itu, Vatra mengajaknya sarapan di taman dekat rumah sakit. Hanya mereka berdua. Ia datang dengan setelan kasual dan senyum yang mematikan, seperti masa lalu yang belum pernah benar-benar ia kubur."Silia," katanya pelan setelah hening cukup lama. "Aku serius."Silia menoleh. "Serius apa?""Serius mau nikahin kamu. Bukan karena pengen memperbaiki masa lalu, tapi karena aku masih cinta. Aku mau kamu. Sama anak kamu. Aku bisa jadi ayahnya."Silia terdiam. Bahkan burung-burung di taman seolah ikut menahan napas."Aku tahu, selama ini mungkin kamu berpikir aku ninggalin kamu dulu. Tapi sekarang, aku balik bukan buat minta penjelasan. Aku balik buat ngelakuin apa yang harusnya aku lakuin dari dulu.""Vatra..." suaranya parau. "Kamu tahu aku udah nikah."
“Kalau kamu beneran sayang anak saya... kamu siap mundur kalau dia milih orang lain?”Roby mengangguk—meski itu mungkin akan membunuhnya. “Saya siap, Pa. Asal dia bahagia.”Arman menatap Roby lama. Untuk pertama kalinya, bukan dengan amarah atau pandangan remeh. Tapi dengan tatapan seorang ayah... yang melihat laki-laki di depan putrinya bukan lagi ancaman, tapi mungkin... perlindungan yang ia tak pernah tahu dibutuhkan.Sementara itu di dalam ruangan, Silia duduk bersandar, memeluk bantal menyusui sambil memperhatikan bayinya yang terlelap di dalam boks.Amira duduk di kursi sebelah tempat tidur, tangan mungilnya menggenggam jemari Silia yang kurus. Ada keheningan yang tak terburu-buru mereka pecahkan. Keheningan yang penuh luka, dan cinta, dan hal-hal yang tak pernah sempat diucapkan selama ini.“Mama minta maaf,” kata Amira akhirnya. Suaranya lembut, serak, seperti seseorang yang baru saja bangun dari mimpi buruk. “Mama harusnya jadi tempat kamu pulang...