Setelah kelahiran bayi itu, hidup Silia berubah jadi teka-teki yang tak punya jawaban pasti. Bayinya sehat, Roby tetap perhatian, dan Vatra makin sering datang. Tapi hatinya? Semakin berantakan.
Pagi itu, Vatra mengajaknya sarapan di taman dekat rumah sakit. Hanya mereka berdua. Ia datang dengan setelan kasual dan senyum yang mematikan, seperti masa lalu yang belum pernah benar-benar ia kubur."Silia," katanya pelan setelah hening cukup lama. "Aku serius."Silia menoleh. "Serius apa?""Serius mau nikahin kamu. Bukan karena pengen memperbaiki masa lalu, tapi karena aku masih cinta. Aku mau kamu. Sama anak kamu. Aku bisa jadi ayahnya."Silia terdiam. Bahkan burung-burung di taman seolah ikut menahan napas."Aku tahu, selama ini mungkin kamu berpikir aku ninggalin kamu dulu. Tapi sekarang, aku balik bukan buat minta penjelasan. Aku balik buat ngelakuin apa yang harusnya aku lakuin dari dulu.""Vatra..." suaranya parau. "Kamu tahu aku udah nikah."Setelah kelahiran bayi itu, hidup Silia berubah jadi teka-teki yang tak punya jawaban pasti. Bayinya sehat, Roby tetap perhatian, dan Vatra makin sering datang. Tapi hatinya? Semakin berantakan.Pagi itu, Vatra mengajaknya sarapan di taman dekat rumah sakit. Hanya mereka berdua. Ia datang dengan setelan kasual dan senyum yang mematikan, seperti masa lalu yang belum pernah benar-benar ia kubur."Silia," katanya pelan setelah hening cukup lama. "Aku serius."Silia menoleh. "Serius apa?""Serius mau nikahin kamu. Bukan karena pengen memperbaiki masa lalu, tapi karena aku masih cinta. Aku mau kamu. Sama anak kamu. Aku bisa jadi ayahnya."Silia terdiam. Bahkan burung-burung di taman seolah ikut menahan napas."Aku tahu, selama ini mungkin kamu berpikir aku ninggalin kamu dulu. Tapi sekarang, aku balik bukan buat minta penjelasan. Aku balik buat ngelakuin apa yang harusnya aku lakuin dari dulu.""Vatra..." suaranya parau. "Kamu tahu aku udah nikah."
“Kalau kamu beneran sayang anak saya... kamu siap mundur kalau dia milih orang lain?”Roby mengangguk—meski itu mungkin akan membunuhnya. “Saya siap, Pa. Asal dia bahagia.”Arman menatap Roby lama. Untuk pertama kalinya, bukan dengan amarah atau pandangan remeh. Tapi dengan tatapan seorang ayah... yang melihat laki-laki di depan putrinya bukan lagi ancaman, tapi mungkin... perlindungan yang ia tak pernah tahu dibutuhkan.Sementara itu di dalam ruangan, Silia duduk bersandar, memeluk bantal menyusui sambil memperhatikan bayinya yang terlelap di dalam boks.Amira duduk di kursi sebelah tempat tidur, tangan mungilnya menggenggam jemari Silia yang kurus. Ada keheningan yang tak terburu-buru mereka pecahkan. Keheningan yang penuh luka, dan cinta, dan hal-hal yang tak pernah sempat diucapkan selama ini.“Mama minta maaf,” kata Amira akhirnya. Suaranya lembut, serak, seperti seseorang yang baru saja bangun dari mimpi buruk. “Mama harusnya jadi tempat kamu pulang...
Vatra menoleh ke Roby sebentar, lalu bicara lagi. “Aku tahu sekarang. Kamu nikah sama dia bukan karena cinta. Kamu cuma… nyoba nutupin semuanya, ya kan? Dan kamu…” Ia memandang Roby dalam, “Kamu cowok baik. Tapi kayaknya kamu cuma jadi peredam luka. Bukan cinta pertama.”“Aku nggak peduli kamu siapa—”“Aku Vatra. Cinta pertamanya Silia,” potong Vatra tenang.Silia memejamkan mata. “Vat… jangan mulai.”“Aku nggak akan maksa. Tapi aku nggak bisa pura-pura nggak peduli setelah tahu semuanya.”“Justru karena kamu tahu semuanya, kamu harus pergi,” kata Roby, nadanya masih sopan tapi jelas menahan emosi.“Tapi dia nggak mencintai kamu, kan?” Vatra menyipit. “Aku tahu itu. Aku denger semuanya dari orang yang juga kamu kenal.”Roby menegang.Pasti Yesika.Silia menarik selimutnya, lelah. “Aku baru melahirkan, Vat. Aku nggak punya energi buat drama.”Vatra mendekat setengah langkah, lalu berhenti. “Aku di sini kalau kamu berubah pikiran, Sil.
Yesika menatap layar ponselnya dengan mata merah. Tangannya gemetar, bukan karena takut—tapi karena amarah. Kata-kata Nasiha tadi siang masih bergema di telinganya, seperti cambuk yang terus menghantam harga dirinya.Perempuan seanggun Silia.Perempuan kuat.Perempuan yang lebih baik dari dirinya."Apa hebatnya perempuan itu…"Yesika mengutuki dirinya yang hanya bisa membisu saat pintu ditutup tepat di depan wajahnya. Ia tahu dirinya kalah, tapi tak terima. Dan satu hal yang tak pernah ia pelajari sejak kecil, tahu kapan harus berhenti.Ia membuka galeri ponsel. Tangannya menyisir deretan foto dan tangkapan layar yang sudah lama ia simpan—bukti-bukti masa lalu Silia. Bukti chat Silia saat memakai akun palsu ketika mencari lelaki yang mau bertanggungjawab atas kehamilannya. Ada juga rekaman suara antara dirinya dan Silia—hanya soal malam pemerkosaan itu. Yesika yakin, itu cukup untuk menggiring opini.Yesika membuka grup WhatsApp keluarga besar Sili
"Maaf, Bu. Aku nyesel. Tapi aku bener-bener berharap Ibu bisa terima Silia dan anak itu. Sama kayak aku. Aku udah bahagia dengan hidupku sekarang. Mungkin awalnya karena tekanan. Tapi sekarang... aku tahu aku cinta sama Silia. Dan aku pengen jadi orang yang bisa dia andalkan. Bukan karena dia anak orang kaya. Tapi karena aku nggak bisa ninggalin dia begitu aja setelah semua yang kami lewati."Nasiha menatap anaknya dalam diam. Ada getir di matanya. Tapi juga kilau yang baru—bangga, meski tak sempurna. Luka, tapi dengan pemahaman."Ibu nggak tahu kamu berubah sejak kapan. Tapi kalau ini caranya kamu jadi lelaki... Ibu bisa terima. Asal satu hal, jangan bohong lagi, Roby. Sekali aja kamu nutupin sesuatu lagi... Ibu yang bakal pergi dari hidup kamu."Roby mengangguk, lalu memeluk ibunya erat. "Terima kasih, Bu..."Dan sore itu, meski kebenaran terasa pahit, setidaknya satu luka mulai diobati—dengan kejujuran.Sementara itu, di balik pintu dapur, Silia berdiri d
“Ya... saya ngerti Ibu mungkin bangga. Tapi saya harus bilang jujur. Saya putus dari Roby juga karena hal itu. Saya nggak kuat. Silia terus-terusan minta Roby nemenin, bayar ini itu... dan akhirnya, minta dinikahi. Pake duit segala. Saya tahu, karena saya sempat lihat sendiri Roby sampai stres.”Nasiha menggigit bibir bawahnya. Hatinya mulai bergetar. Kata-kata Yesika tajam, dan ia mencoba menahan agar tidak langsung percaya. Tapi racun itu perlahan menyelinap ke dalam pikirannya.“Bu...” suara Yesika melembut, “Ibu kan ibunya Roby. Masa nggak pengen tahu kebenarannya? Coba tanya langsung deh. Tanya, apakah itu anaknya beneran. Tanya apa Roby pernah nyentuh dia sebelum hamil.”Nasiha menunduk. Diam. Matanya kosong, pikirannya berisik. Ia tidak tahu harus percaya atau menolak. Tapi kata-kata itu terlalu spesifik. Terlalu meyakinkan.Yesika bangkit, merapikan rambutnya. “Saya cuma bisa doain yang terbaik ya, Bu. Tapi jangan sampai Roby buang masa depannya buat tang