“Mbak Yesi bilang, kalau Mbak Sil mau pergi kencan. Kita disuruh pulang duluan karena Mbak Sil nanti diantar pulang sama pacarnya.”“Jadi itu yang dibilang Yesi?”“Iya Mbak Sil. Kalau nggak, mana mungkin saya berani ninggalin Mbak Sil sendiri. Apalagi waktu itu Mbak Yesi marah-marah sambil ngancam. Katanya saya bakalan dipecat kalau nggak mau dengar apa kata dia.”“Yesi ngancam kayak gitu?” mata Silia menyipit.“Iya Mbak Sil. Kalau ngancam kayak gitu sih bukan sekali itu aja. Sering pokoknya.” Munawar curhat.Silia geleng-geleng kepala. Tak menyangka kalau Yesika begitu sangat menyebalkan.“Apa selama ini Yesi juga sering memerintah Pak Mun seenaknya dan pakai bahasa yang kasar?” “Ya--- gitulah Mbak Sil. Bukannya saya ini mau mengadu antara Mbak Sil sama temennya. Tapi maaf ya, Mbak Yesi itu lama-lama suka ngelunjak. Bahkan sama orang tua kayak saya gini, Mbak Yesi itu nggak ada hormatnya.” Jelas Munawar.Silia menghela dan membuang nafas dengan kasar. “Pak Mun, mulai sekar
Silia sedikit merasa risih. Kini Roby dan Vatra terlihat seperti sedang saling tatap. Entah apa artinya tatapan kedua cowok itu, hanya Tuhan dan mereka saja yang tahu.“Tante kira kamu ke sini sama Mama kamu.” Amira menyuguhkan teh manis hangat yang baru saja diantarkan Mbok Ida.“Sebenarnya Mama emang mau ke sini, Tante. Tapi mungkin besok atau lusa. Tunggu ada kesempatan. Cuma saya ingin cepat jenguk Silia, soalnya Mama bilang dia lagi sakit. Jadi saya ke sini Cuma mau memberi support buat Silia.” Jawab Vatra.“Ah, bukan sakit sih. Cuma mual-mual sedikit. Biasalah, namanya juga lagi hamil muda.” Amira mengibas kecil tangannya.“Iya, jadi kamu nggak perlu terlalu khawatir. Karena kalau Cuma mengalami mual di trimester pertama kehamilan itu, ada suaminya aja udah cukup. Nggak perlu support atau semangat dari laki-laki lain.” Kali ini, Roby yang bicara.Silia dan Amira bahkan sampai tersentak mendengar kalimat Roby yang begitu dingin. Terutama Silia. Ia bahkan tak menyangka kala
“Kamu jual motor kamu? Atau kamu gadaikan?” Amira menatap lekat wajah tampan Roby. “Nggak kok Ma. Motor Roby Cuma lagi di bengkel.” “Silia bilang motor kamu udah nggak ada, dari sejak kamu antar dia pulang ke sini. Memang apanya yang rusak sampai berhari-hari di bengkel?” Roby menggaruk pelan pelipisnya. Ia bingung hendak menjawab apa. “Apa kamu lagi nggak punya uang, buat bayar biaya bengkel, makanya kamu sengaja biarkan motor kamu masih di sana? Bilang aja, biar Mama bantu. Berapa biaya betulin motor kamu?” “Nggak usah Ma. Beneran. Besok atau lusa, paling udah Roby ambil kok, motornya.” Amira membuang nafas. “Beneran? Bukan karena digadai atau nggak ada uang buat bayar bengkel kan?” tanyanya memastikan. Roby menggeleng sambil tersenyum. “Iya Ma. Makasih karena udah peduli sama Roby.” “Ya kan kamu anak Mama juga.” Amira menepuk pundak Roby. “Eh iya, ini untuk kamu ya. Kali aja Silia nanti kepengen makan ini itu, pakai ini aja. Uang kamu disimpan, ditabung.” Amira memberikan b
“Kamu udah mulai mendingan?” Roby yang baru saja masuk ke rumah menyapa Silia yang tampak duduk termenung di sofa ruang tamu.Kalau gadis itu sudah bisa duduk tanpa terlihat lemah, itu berarti keadaannya lebih baik.Namun Silia tak menjawab. Ia hanya melirik sekilas pada Roby yang tampak menenteng plastik berisi barang belanjaan.Roby tak ambil pusing meski pertanyaannya diabaikan. Ia lebih memilih untuk langsung ke dapur, menyimpan stok makanan yang ia beli dari pasar.Saat kembali ke depan dan melewati ruang tamu, Silia masih diam tanpa mengucapkan sepatah kata pun.“Mau bantu aku masak? Kamu bilang mau belajar.” “Duduk dulu sebentar, Roby. Ada yang mau aku bicarakan.” Silia menatap tajam Roby. Merasa ada sesuatu yang janggal, Roby memilih untuk menuruti kemauan gadis itu.“Kenapa? Ada masalah?” Roby mengambil posisi duduk yang berseberangan. Silia menghela dan membuang nafas sejenak. Tampak ia ingin mengatakan sesuatu, tapi bingung menyusun kata.“Kalau memang ada yang
“Lupakan saja Roby. Itu bukanlah hal yang penting buatmu.” Silia menolak untuk menjelaskan. Bagaimanapun, ia tak mau Roby tahu kalau hal yang sangat ia takutkan adalah, apabila Vatra sampai mendengar tentang apa yang telah terjadi padanya. Roby hanya bisa membuang nafas. Sebenarnya ada rasa bersalah dalam hati karena telah membuat hati Silia bersedih. “Apa aku boleh tidur? Aku tak bisa membantumu masak hari ini. Biar aku beli di luar untuk makan nanti. Kau buat saja makanan untuk kau makan sendiri.” Didengar dari nada suara Silia yang bergetar, Roby tahu kalau gadis itu sedang menahan tangis. Pemuda itu hanya bisa menelan saliva. “Istirahatlah. Aku akan masak, dan kau tak perlu beli makanan di luar. Makanlah dari apa yang sudah disediakan. Aku masak untuk kita makan berdua.” Silia tak menjawab. Hatinya sangat sedih dan kacau. Ia hanya mengangguk kecil dan langsung beranjak dari tempat duduknya. “Hei--- maafkan aku.” Roby berkata saat Silia hampir masuk ke dalam kamar. “Kalau k
“Vatra... Tunggu sebentar...” Yesika berlari kecil mengejar Vatra yang hampir masuk ke dalam mobilnya. “Kamu....?” Vatra berusaha mengingat siapa gadis yang kini berdiri terengah-engah di hadapannya. “Kamu masih ingat aku?” Vatra mengangguk. “Kamu temannya Silia kan?” Tanyanya kemudian. “Iya. Kita berkenalan di acara pernikahannya. Masih ingat namaku?” Wajah Yesika yang tadinya full senyum mendadak datar saat melihat Vatra menggeleng. Tak disangka, Vatra bahkan tak mengingat namanya sama sekali. Itu artinya, pertemuan pertama mereka kemarin tidak mengesankan pemuda tampan itu. “Aku Yesika, teman Silia dari SMA.” Yesika mengulurkan tangan, memperkenalkan dirinya kembali. Mau tak mau, Vatra menyambutnya. “Kalau begitu, aku pergi dulu.” Vatra pamit sambil menundukkan kepalanya sekali. “Eh, kamu ke arah mana? Boleh aku menumpang?” pertanyaan Yesika membuat Vatra kembali urung masuk ke dalam mobilnya. “Memangnya kamu mau ke mana?” Vatra
“Mau kuantar ke mana?” Vatra membuyarkan lamunan Silia. “Terserah kamu saja. Aku sedang tak tahu mau ke mana.” Silia masih menatap keluar kaca mobil dengan pandangan kosong.“Kau sudah makan?”“Aku tak berselera makan.”“Kalau mau, kita pergi ke restoran kenalanku yang baru buka.”“Tidak usah. Aku tak mau mengganggu selera makan orang-orang saat mendengar aku muntah.”Vatra bisa melihat kesedihan dari raut wajah Silia. Sebagai orang yang pengertian, ia memilih untuk tak bertanya apa-apa lagi. Vatra sengaja membiarkan Silia hanyut dalam pikirannya sendiri.“Kamu mau lihat pantai atau ke taman kota?” Vatra menawarkan salah satu dari dua tempat favorit Silia.Wanita yang sedang hamil muda itu hanya memandanginya dengan tatapan seolah meminta pendapat. “Atau mau main ke rumahku?” Vatra menggoda Silia.“Ketiga tempat itu juga boleh.” Silia akhirnya tersenyum. Ia tahu kalau Vatra hanya sedang berusaha untuk menghiburnya.“Benarkah?” Vatra senang melihat Silia mengiyakan. “Jadi,
“Kau ke mana saja semalaman? Kenapa tidak pulang? Apa kau tak tahu kalau aku ketakutan sepanjang malam?!”Silia mencecar Roby dengan pertanyaan saat pemuda itu datang pagi ini. Wajah lelah dan lesu Roby terlihat begitu ia membuka topi yang menutupi kepalanya.Roby memilih untuk tak mengindahkan pertanyaan Silia. Ia terus berjalan masuk ke dalam rumah dan bersikap seolah punya kesibukan.Roby mengambil handuk dan baju bersih di dalam lemari. Ia mau mandi. Namun tiba-tiba saja Silia menahan tangannya.“Tolong lepaskan. Aku mau mandi dan tidur.”“Kenapa denganmu, Roby?! Apa kini kau secara terang-terangan menunjukkan kalau kau tak menyukaiku? Kau sudah tak mau melanjutkan pernikahan ini? Mau melanggar perjanjian kita?!” Silia marah karena merasa tak dipedulikan.Semalaman ia menunggu Roby dalam keadaan takut. Karena tak lama setelah Vatra pulang, Silia terbangun dan menyadari kalau Roby tak ada. Padahal sudah hampir tengah malam. Roby tak kunjung datang dan tak mengangkat panggilan