Yesika memandang kesal cowok di depannya. Sudah hampir setengah jam mereka berdebat, tapi belum menemukan kesepakatan. Meyakinkan lelaki yang berstatus pacarnya ini ternyata jauh lebih sulit dibandingkan saat ia meyakinkan Silia.
“Kamu udah gila Yesi. Ini sama aja kamu menjual aku!” kata Roby dengan mata berkilat marah. Tak ia sangka kalau gadis yang sangat ia cintai akan memintanya untuk menikahi wanita lain dengan iming-iming uang.“Roby, yang jual kamu siapa? Ini aku lakukan demi masa depan kita. Ini untuk modal kita menikah nanti.”“Aku yang akan memikirkan modal kita untuk menikah nanti. Aku akan bekerja keras. Kamu nggak perlu memaksa aku untuk melakukan ini. Permintaan kamu di luar nalar, ini nggak masuk akal!”“Nggak cukup, Roby! Sekeras apa pun kamu kerja nggak akan cukup untuk modal kita menikah dan menjalani kehidupan rumah tangga yang sesuai dengan keinginan aku. Kamu kerja siang malam dalam lima tahun aja belum tentu terkumpul uang segitu. Aku nggak mau hidup susah kayak Ibu aku. Aku nggak mau jadi buruh cuci di rumah orang karena suami yang nggak mampu ngasih aku nafkah!”“Aku nggak sama dengan Bapak kamu Yesi. Aku ini kerja, sementara...”“Bapak aku nggak kerja?! Pengangguran maksud kamu?!” potong Yesika. “ Sekarang kamu menghina orang tua aku?!”Roby berdecak kesal. “Aku nggak bermaksud bilang kayak gitu, Yesi. Aku Cuma mau kamu tahu kalau aku nggak akan membuat kamu menderita. Aku bukan tipe orang pemalas yang akan membiarkan anak istriku nanti hidup susah.”“Rajin aja nggak cukup, Roby. Kita juga perlu berkorban dan perlu modal kalau mau hidup enak,” bantah Yesika.“Aku nggak habis pikir kenapa teman kamu yang hamil, aku yang kamu suruh tanggung jawab. Kenapa nggak suruh orang yang menghamilinya yang menikahi dia?”“Masalahnya nggak sesederhana itu, Roby,” Yesika geregetan.“Yesi, aku sangat mencintaimu. Selama ini semua aku berikan untuk kamu. Aku memang orang nggak punya, tapi aku selalu berusaha agar kamu bisa mendapatkan keinginanmu selagi aku mampu. Tapi, kenapa sekarang aku merasa kalau perasaanku ini bertepuk sebelah tangan? Aku merasa hanya aku yang mencintaimu.”“Mulai deh, maksud kamu apa sih?”“Apa kamu juga mencintai aku, Yesi?”“Ya iyalah. Kamu kan pacar aku. Ada-ada aja pertanyaannya!” sahut Yesika kesal.“Kalau gitu, kenapa kamu rela membiarkan aku menikahi perempuan lain hanya karena uang? Apa nggak ada sedikit pun rasa cemburu dalam hati kamu melihatku bersanding dengan orang lain?”“Ya justru karena alasan uang aku nggak perlu cemburu kan? Karena kamu kan nggak cinta sama dia, dan nggak mungkin bisa jatuh cinta sama cewek kayak dia.”“Tapi...”“Udah deh, kalau kamu nggak mau, aku anggap kamu yang nggak cinta sama aku!”Roby terdiam. Tak tahu lagi harus menjawab apa. Seperti biasa, Yesika selalu egois dan memaksakan apa pun kehendaknya. Hanya saja kali ini ia merasa tak perlu harus menurut, karena bagi Roby, pernikahan bukanlah sebuah permainan.“Aku antar kamu pulang. Aku capek. Dan aku harap saat kita ketemu nanti, kamu nggak ngomongin hal ini lagi,” tegas Roby. Ia berdiri dan berjalan membelakangi Yesika yang masih duduk. Ia yakin Yesika akan tetap mengikutinya dari belakang.“Kamu orang baik, Roby. Tolong temanku. Dia korban pemerkosaan. Kalau nggak ada yang menikahinya, dia akan bunuh diri karena malu!”Kalimat Yesika berhasil membuat Roby menghentikan langkahnya.***Silia celingukan. Langkahnya maju mundur saat hendak memasuki pintu sebuah restoran cepat saji di sebuah Mall yang menyediakan menu ayam goreng khas negeri Paman Sam itu.“Namanya Roby, dia kerja jadi waiter di gerai Texas Chicken di Mall. Kalau kamu mau ketemu dia, langsung datangin aja ke tempat kerjanya. Besok dia kerja shift siang.”Kalimat Yesika saat tadi meneleponnya masih terngiang di telinga. Silia memang meminta untuk bertemu langsung secara pribadi dengan orang yang akan menikahinya setelah Yesika memberitahu kalau temannya sudah setuju untuk membantu, dengan syarat yang telah diajukan sebelumnya, yaitu uang 50 juta.Silia yang ke mana-mana tidak pernah sendiri karena sifatnya yang tertutup dan pemalu, kali ini mau tidak mau harus menyelesaikan semua sendiri. Tangan dan kakinya sudah gemetaran. Ia selalu merasa grogi setiap akan bertemu orang baru. Setelah memantapkan hati dan memberanikan diri, Silia mendorong pintu kaca di depannya.“Selamat siang, mau pesan apa?” sapaan ramah wanita di belakang mesin kasir menyambut kedatangannya.Silia menyebutkan pesanan dengan gugup, sambil matanya memandang ke sekeliling yang terlihat hanya ada beberapa meja yang terisi. Ia mencari sosok Roby. Ia sama sekali tak tahu bagaimana wajah Roby, karena Yesika mengaku tak menyimpan fotonya.Silia mengunyah makanannya dengan pelan. Dilihatnya sekelompok gadis yang masuk, seumuran anak SMA, sambil cekikikan para gadis itu memesan.“Kamu yakin Kak Roby hari ini masuk siang?” suara salah seorang gadis SMA tadi terdengar sekilas di telinga Silia, membuatnya menoleh karena tertarik dengan percakapan di meja sebelahnya itu.“Iya yakin. Aku kemaren ke sini, kata Mbak Kasir yang kemarin, hari ini Kak Roby masuk shift siang.”“Mana ya dia, belum kelu... Eh, itu dia tuh...” gadis berambut panjang sebahu dengan heboh memberi isyarat pada teman-temannya. Serentak mereka menoleh ke arah yang ditunjuk, tak terkecuali Silia.Seketika jantung Silia berdebar. Terasa seperti ada angin yang meniup wajah dan rambutnya. Sosok bernama Roby yang dilihatnya, sedang berjalan dengan membawa tray di tangan. Melangkah gontai dengan gaya jalan khas lelaki.Dengan cekatan mengumpulkan barang kotor di atas meja, dan mengelapnya. Kulitnya bersih, dengan bibir merah yang jarang dimiliki pria, serta badan ideal yang tinggi tegap. Sebuah topi berwarna hitam yang sepertinya merupakan pelengkap seragam kerja, menyempurnakan penampilannya. Wajahnya manis, dengan hidung bangir dan alis mata tebal. Wajahnya benar-benar tampan, dan tampannya khas Indonesia banget. Membuat Silia hampir tak berkedip memandanginya.Sejauh ini, Silia jarang mengagumi seorang lelaki, kecuali Vatra, cinta pertamanya sejak masih duduk di Sekolah Dasar. Kepribadiannya yang tertutup dan penampilannya yang biasa saja, membuat Silia tak pernah dekat dengan sosok pria mana pun. Selain itu, Silia masih menyukai Vatra yang kini sedang kuliah di luar negeri.“Udah ambil fotonya? Ambil lagi yang banyak,” terdengar bisik-bisik anak SMA yang sejak tadi seperti cacing kepanasan saat Roby keluar.Silia mendengkus kesal. Entah kenapa ia benci sekali melihat anak-anak itu mengambil foto Roby diam-diam.“Adik-adik, jangan suka ngambil foto orang sembarangan tanpa sepengetahuan orangnya. Nggak sopan tau!” tegur Silia dengan suara pelan.Ketiga gadis muda itu manyun. “Ih, siapa sih tuh nenek-nenek? Sok ngatur. Dia naksir juga kali sama Kak Roby, cih!”Mata Silia membulat. Ia dibilang nenek-nenek? Anak-anak kurang ajar!“Biarin aja dah, nggak mungkin kayak Kak Roby suka sama perempuan modelan kayak gitu. Nggak seimbang, hihihi.” Mereka kembali cekikikan. Kuping Silia panas mendengarnya.“Kak Roby... Sini deh, aku titip yang kotor,” salah satu gadis itu melambai pada Roby. Roby mendekat.“Kak Roby, minta nomor HP dong,” gadis berambut sebahu berkata dengan gaya centil. Roby hanya mengangguk dan tersenyum. Tapi tak mengatakan apa pun. Ia langsung pergi dari situ dan menuju ke belakang.Ketiga gadis itu kecewa. Silia tersenyum senang. “Sukurin!” katanya dalam hati.Setelah ketiga gadis itu pergi, Silia masih betah duduk di situ. Dia tidak tahu bagaimana cara memulai untuk berbicara dengan Roby. Silia memperhatikan Roby yang sedang serius membersihkan meja di sebelahnya.Silia berdehem. “Bisa minta tolong bawakan yang kotor?” Silia memberanikan diri. Roby hanya tersenyum dan dengan cekatan ia membersihkan meja Silia.“Roby...” Saat baru saja hendak berbalik, langkah Roby terhenti saat Silia kembali memanggilnya. “Bisa bicara sebentar? Saya... Saya temannya Yesika,” badan Silia gemetar, dan itu berpengaruh juga pada suaranya.Roby yang mendengar itu langsung paham. Ia sempat terdiam. “Sekarang aku masih ada jam kerja. Kalau mau bicara, aku keluar jam 4 sore,” kata Roby datar.Silia melirik jam di tangan. Masih jam 1 siang. “Saya... Saya tunggu di luar,” kata Silia dengan susah payah.Tanpa jawaban Roby berbalik dan meninggalkan Silia yang kini hanya bisa bengong.Roby melihat kegugupan luar biasa dari gadis yang ada di depannya. Tanpa ia sangka, gadis itu benar-benar menunggunya sampai ia pulang kerja. Sementara Silia salah tingkah dipandangi terus-terusan. Apalagi dengan pakaian kasual seperti sekarang, tanpa ada topi yang menutupi kepala, Roby terlihat jauh lebih tampan. Cukup untuk membuat Silia sesak napas.Roby memandangi Silia dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Sesekali terdengar ia membuang napas dengan kasar. Roby kecewa dengan penampilan Silia. Jauh berbeda sekali dengan Yesika. Bagai langit dan bumi. Padahal menurut Yesika, gadis di depannya ini adalah anak orang kaya. Tapi kenapa penampilannya sama sekali tak sesuai bayangan?Jauh lebih cantik Yesika yang pandai merias diri. Meski tak dipungkiri ada aura manis yang terlihat dari Silia. Mungkin saja gadis di depannya ini akan terlihat cantik kalau berdandan.“Jadi kamu nungguin aku sampai 3 jam Cuma buat ngajak lomba pandang-pandangan?” tanya Roby, membuat Silia kaget.“Eh
Arman berkali-kali menghembuskan napasnya dengan kasar. Terlihat sekali kalau dia sedang berusaha menahan amarahnya. Berusaha agar kepalan tangannya tak mendarat di wajah pemuda yang baru saja mengaku menghamili putri kesayangannya. Putri kebanggaan satu-satunya. Sementara di sebelahnya, Amira sang istri sudah menangis sejak tadi.“Apa yang kurang dari kami, Silia? Kenapa kau melakukan ini pada kami? Kenapa kau tega mengecewakan kami?” tangis Amira. Ia tak menyangka putrinya yang selama ini pendiam dan tak pernah keluyuran, tahu-tahu hamil. Di saat kuliahnya masih belum selesai.Arman hanya bisa menggertakkan gigi. Di depannya, Silia dan Roby terlihat menunduk dengan takut.“Kapan kalian melakukannya? Dan berapa kali?” tanya Arman dengan nada suara berat.“Cuma sekali Om. Saat Silia keluar mentraktir teman-teman di hari ulang tahunnya,” jawab Roby, sesuai dengan arahan Silia. Semua sudah mereka siapkan. Jawaban dari pertanyaan yang mungkin akan muncul saat mereka mulai bersandiw
Hari yang dinanti tiba. Sejak pagi terlihat kesibukan di rumah Silia. Meski acara ijab kabul dan resepsi akan diadakan di hotel, tapi Silia didandani dan dipersiapkan dari rumahnya, baru nanti akan di bawa ke hotel dengan memakai mobil pengantin. “Gimana? Ideku bagus kan?” tanya Yesika sambil membantu Silia memakai baju dalaman sebelum memakai gaun pengantin untuk acara akad pagi ini.Silia hanya diam. Malas menanggapi omongan Yesika.“Kamu masih ada hutang loh. Kamu baru transfer 38 juta. Masih kurang 12 juta.”“Iya aku tahu. Bisa nggak sih kamu nggak ngomongin hal itu sekarang?! Aku nggak mau ada yang dengar.”“Ya aku kan Cuma ngingetin aja. Nggak usah galak napa? Sensi amat jadi orang!” balas Yesika kesal.Mereka kembali diam saat ada seseorang yang masuk ke kamar mengambil sesuatu.“Jangan terlalu mendalami peran ya. Jangan sampai jatuh cinta sama Roby,” kata Yesika saat kembali hanya tinggal mereka berdua.“Memangnya kenapa? Dia pacar kamu?” tanya Silia asal. Tapi cukup
Suasana terlihat begitu mewah dan romantis. Dekorasi pelaminan ala hotel bintang 5 yang lengkap dengan bunga-bunga indah membuat siapa pun yang memandang akan merasa takjub. Para tamu yang hadir merasa kalau Silia adalah gadis yang beruntung, karena bisa mendapatkan pernikahan yang diimpikan banyak gadis di luar sana. Mereka yang datang pun begitu terpesona melihat ketampanan Roby. Meski terdengar desas-desus yang tak mengenakkan, mengingat pernikahan Silia yang begitu mendadak. Pasti menimbulkan berbagai spekulasi di kalangan para undangan yang notabene adalah orang-orang terdekat keluarga Silia.Setelah Roby dengan lancar mengucapkan ijab kabul, disambut teriakan ‘sah’ dari para tamu, Silia tampak di bawa masuk ke dalam ruangan dengan berjalan pelan, diapit oleh dua orang wanita kerabatnya. Silia menjadi pusat perhatian. Gadis itu terlihat cantik, berbanding terbalik dengan penampilannya sehari-hari. “Gimana Roby, cantik kan istrimu?” Nina, yang masih sepupu jauh Silia meng
“Kami pulang dulu ya. Besok kalau udah mau check out, telfon aja. Biar Pak Mun yang jemput kalian ke sini.” Ujar Amira sambil memeluk Silia.Silia hanya mengangguk. Sebenarnya, ia tak ingin menginap di hotel tempat mereka mengadakan acara resepsi. Lebih nyaman kalau ia langsung pulang ke rumah.Tapi ibunya bilang, sayang sekali kalau free room yang diberikan pihak hotel tak dipakai. Apalagi mereka adalah pengantin baru, tentu lebih memerlukan privasi di malam pernikahan.Wajah Silia memerah malu saat tadi sang ibu berkata demikian. Spontan pandangannya terarah pada Roby yang memasang wajah dingin.“Jangan lupa makan. Kalian kayaknya belum sempat makan malam kan? Pesan room service aja. Restoran di hotel ini buka 24 jam.” Pesan Amira, lagi-lagi hanya disambut anggukan Silia.“Udah belum? Ayo pulang, ini udah malam.” Ujar Arman sambil menutup mulutnya yang sedang menguap.Amira kembali memeluk anak gadisnya dan berpamitan pulang. Kini, tinggallah Silia dan Roby. Berdua di dalam s
Suara ketukan di pintu kamar mandi membuat Silia terkejut, seolah membuyarkan semua lamunannya.“Hei, ngapain aja sih di dalam dari tadi? Kamu masih hidup kan?”Roby bertanya sambil terus mengetuk pintu. Terdengar sangat jelas rasa khawatir dalam kalimatnya.“Iya. Tunggu dulu sebentar.”Silia cepat meraih handuk yang tergantung. “Aku mau keluar sekarang. Kamu jangan ngeliat ya.” Ujar Silia, setelah membuka sedikit pintu kamar mandi.Roby tak menjawab. Ia hanya memandang Silia dengan tatapan yang sungguh sulit diartikan.“Hadap sana dong! Aku mau keluar!” sentak Silia.“Kamu malu? Aku udah jadi suami kamu.” Ujar Roby.Silia berdecak. “Kalau gitu, apa kita akan melakukan hubungan suami istri malam ini?” tantang Silia.Roby hanya membuang nafas. Tak disangka gadis itu justru berbalik mempermainkannya. Akhirnya ia memilih untuk mengalah dengan mengubah posisi menjadi membelakangi Silia.Silia keluar dengan kaki sedikit berjinjit. Meski tak menimbulkan suara, namun langkahnya m
Silia membuka mata dan menggeliat sebentar. Tangannya menggapai-gapai sesuatu yang semalam ia simpan di bawah bantal, yaitu ponselnya.Setelah dapat, ia menghidupkan benda pipih itu dan melihat jam di layar. Baru jam enam pagi. Perlahan ia duduk dengan mata yang masih sepat. Seketika ia celingukan. Pandangannya menyisir ke seluruh ruangan, dan kembali berakhir di sofa tempat ia meletakkan selimut dan bantal semalam.Kedua benda itu masih tersusun rapi layaknya belum disentuh sama sekali. Dan tentu saja, tak tampak keberadaan Roby di kamar ini.Alis Silia bertaut. “Ke mana dia? Masa’ nggak ada pulang sama sekali?” gumamnya.Silia menuruni ranjang dan berjalan ke arah sofa. Baru saja ia hendak memegang bantal dan selimut itu, terdengar pintu kamarnya terbuka dan Roby masuk.Sesaat mereka saling diam saat tatapan itu bertemu. “Kamu udah bangun?” tanya Roby sambil berjalan masuk menuju kamar mandi.“Kamu dari mana? Nggak pulang dari semalam?” Silia balik bertanya.“Itu urusanku
“Jangan ngaco kamu, Sil. Kalau dia pacar aku, nggak mungkin aku biarkan dia nikah sama kamu!” Sanggah Yesika.“Ya kalau gitu jawab dong pertanyaanku, dari mana kamu tahu kalau Roby keluar malam-malam dan ketemu sama pacarnya. Apa kamu kenal sama pacarnya Roby?”“Ya pokoknya aku tahu! Kamu nggak usah nanya-nanya lagi. Aku tuh pinter dan banyak koneksi. Jadi mudah aja bagi aku buat dapatkan informasi yang kayak gini.” Silia memandang Yesika dengan tatapan tak percaya. Ia tahu, kalau Yesika saat ini sedang berbohong. Namun ia sama sekali tak punya cara untuk membuktikannya.“Sebenarnya maksud kamu apa sih pagi-pagi udah datang ke sini Yesi? Kamu tahu nggak sih, kalau aku cukup merasa terganggu dengan adanya kamu di sini?” Kata Silia pelan, namun tajam.Yesika tertawa kecil. Kalau saja bukan karena mereka sekarang sedang berada di hotel, mungkin Yesika sudah memaki Silia dan mengungkit aibnya. Seperti yang pernah ia lakukan di hari pernikahan gadis itu.Namun Yesika masih berpikir,