Share

BAB 2

Yesika memandang kesal cowok di depannya. Sudah hampir setengah jam mereka berdebat, tapi belum menemukan kesepakatan. Meyakinkan lelaki yang berstatus pacarnya ini ternyata jauh lebih sulit dibandingkan saat ia meyakinkan Silia.

“Kamu udah gila Yesi. Ini sama aja kamu menjual aku!” kata Roby dengan mata berkilat marah. Tak ia sangka kalau gadis yang sangat ia cintai akan memintanya untuk menikahi wanita lain dengan iming-iming uang.

“Roby, yang jual kamu siapa? Ini aku lakukan demi masa depan kita. Ini untuk modal kita menikah nanti.”

“Aku yang akan memikirkan modal kita untuk menikah nanti. Aku akan bekerja keras. Kamu nggak perlu memaksa aku untuk melakukan ini. Permintaan kamu di luar nalar, ini nggak masuk akal!”

“Nggak cukup, Roby! Sekeras apa pun kamu kerja nggak akan cukup untuk modal kita menikah dan menjalani kehidupan rumah tangga yang sesuai dengan keinginan aku. Kamu kerja siang malam dalam lima tahun aja belum tentu terkumpul uang segitu. Aku nggak mau hidup susah kayak Ibu aku. Aku nggak mau jadi buruh cuci di rumah orang karena suami yang nggak mampu ngasih aku nafkah!”

“Aku nggak sama dengan Bapak kamu Yesi. Aku ini kerja, sementara...”

“Bapak aku nggak kerja?! Pengangguran maksud kamu?!” potong Yesika. “ Sekarang kamu menghina orang tua aku?!”

Roby berdecak kesal. “Aku nggak bermaksud bilang kayak gitu, Yesi. Aku Cuma mau kamu tahu kalau aku nggak akan membuat kamu menderita. Aku bukan tipe orang pemalas yang akan membiarkan anak istriku nanti hidup susah.”

“Rajin aja nggak cukup, Roby. Kita juga perlu berkorban dan perlu modal kalau mau hidup enak,” bantah Yesika.

“Aku nggak habis pikir kenapa teman kamu yang hamil, aku yang kamu suruh tanggung jawab. Kenapa nggak suruh orang yang menghamilinya yang menikahi dia?”

“Masalahnya nggak sesederhana itu, Roby,” Yesika geregetan.

“Yesi, aku sangat mencintaimu. Selama ini semua aku berikan untuk kamu. Aku memang orang nggak punya, tapi aku selalu berusaha agar kamu bisa mendapatkan keinginanmu selagi aku mampu. Tapi, kenapa sekarang aku merasa kalau perasaanku ini bertepuk sebelah tangan? Aku merasa hanya aku yang mencintaimu.”

“Mulai deh, maksud kamu apa sih?”

“Apa kamu juga mencintai aku, Yesi?”

“Ya iyalah. Kamu kan pacar aku. Ada-ada aja pertanyaannya!” sahut Yesika kesal.

“Kalau gitu, kenapa kamu rela membiarkan aku menikahi perempuan lain hanya karena uang? Apa nggak ada sedikit pun rasa cemburu dalam hati kamu melihatku bersanding dengan orang lain?”

“Ya justru karena alasan uang aku nggak perlu cemburu kan? Karena kamu kan nggak cinta sama dia, dan nggak mungkin bisa jatuh cinta sama cewek kayak dia.”

“Tapi...”

“Udah deh, kalau kamu nggak mau, aku anggap kamu yang nggak cinta sama aku!”

Roby terdiam. Tak tahu lagi harus menjawab apa. Seperti biasa, Yesika selalu egois dan memaksakan apa pun kehendaknya. Hanya saja kali ini ia merasa tak perlu harus menurut, karena bagi Roby, pernikahan bukanlah sebuah permainan.

“Aku antar kamu pulang. Aku capek. Dan aku harap saat kita ketemu nanti, kamu nggak ngomongin hal ini lagi,” tegas Roby. Ia berdiri dan berjalan membelakangi Yesika yang masih duduk. Ia yakin Yesika akan tetap mengikutinya dari belakang.

“Kamu orang baik, Roby. Tolong temanku. Dia korban pemerkosaan. Kalau nggak ada yang menikahinya, dia akan bunuh diri karena malu!”

Kalimat Yesika berhasil membuat Roby menghentikan langkahnya.

***

Silia celingukan. Langkahnya maju mundur saat hendak memasuki pintu sebuah restoran cepat saji di sebuah Mall yang menyediakan menu ayam goreng khas negeri Paman Sam itu.

“Namanya Roby, dia kerja jadi waiter di gerai Texas Chicken di Mall. Kalau kamu mau ketemu dia, langsung datangin aja ke tempat kerjanya. Besok dia kerja shift siang.”

Kalimat Yesika saat tadi meneleponnya masih terngiang di telinga. Silia memang meminta untuk bertemu langsung secara pribadi dengan orang yang akan menikahinya setelah Yesika memberitahu kalau temannya sudah setuju untuk membantu, dengan syarat yang telah diajukan sebelumnya, yaitu uang 50 juta.

Silia yang ke mana-mana tidak pernah sendiri karena sifatnya yang tertutup dan pemalu, kali ini mau tidak mau harus menyelesaikan semua sendiri. Tangan dan kakinya sudah gemetaran. Ia selalu merasa grogi setiap akan bertemu orang baru. Setelah memantapkan hati dan memberanikan diri, Silia mendorong pintu kaca di depannya.

“Selamat siang, mau pesan apa?” sapaan ramah wanita di belakang mesin kasir menyambut kedatangannya.

Silia menyebutkan pesanan dengan gugup, sambil matanya memandang ke sekeliling yang terlihat hanya ada beberapa meja yang terisi. Ia mencari sosok Roby. Ia sama sekali tak tahu bagaimana wajah Roby, karena Yesika mengaku tak menyimpan fotonya.

Silia mengunyah makanannya dengan pelan. Dilihatnya sekelompok gadis yang masuk, seumuran anak SMA, sambil cekikikan para gadis itu memesan.

“Kamu yakin Kak Roby hari ini masuk siang?” suara salah seorang gadis SMA tadi terdengar sekilas di telinga Silia, membuatnya menoleh karena tertarik dengan percakapan di meja sebelahnya itu.

“Iya yakin. Aku kemaren ke sini, kata Mbak Kasir yang kemarin, hari ini Kak Roby masuk shift siang.”

“Mana ya dia, belum kelu... Eh, itu dia tuh...” gadis berambut panjang sebahu dengan heboh memberi isyarat pada teman-temannya. Serentak mereka menoleh ke arah yang ditunjuk, tak terkecuali Silia.

Seketika jantung Silia berdebar. Terasa seperti ada angin yang meniup wajah dan rambutnya. Sosok bernama Roby yang dilihatnya, sedang berjalan dengan membawa tray di tangan. Melangkah gontai dengan gaya jalan khas lelaki.

Dengan cekatan mengumpulkan barang kotor di atas meja, dan mengelapnya. Kulitnya bersih, dengan bibir merah yang jarang dimiliki pria, serta badan ideal yang tinggi tegap. Sebuah topi berwarna hitam yang sepertinya merupakan pelengkap seragam kerja, menyempurnakan penampilannya. Wajahnya manis, dengan hidung bangir dan alis mata tebal. Wajahnya benar-benar tampan, dan tampannya khas Indonesia banget. Membuat Silia hampir tak berkedip memandanginya.

Sejauh ini, Silia jarang mengagumi seorang lelaki, kecuali Vatra, cinta pertamanya sejak masih duduk di Sekolah Dasar. Kepribadiannya yang tertutup dan penampilannya yang biasa saja, membuat Silia tak pernah dekat dengan sosok pria mana pun. Selain itu, Silia masih menyukai Vatra yang kini sedang kuliah di luar negeri.

“Udah ambil fotonya? Ambil lagi yang banyak,” terdengar bisik-bisik anak SMA yang sejak tadi seperti cacing kepanasan saat Roby keluar.

Silia mendengkus kesal. Entah kenapa ia benci sekali melihat anak-anak itu mengambil foto Roby diam-diam.

“Adik-adik, jangan suka ngambil foto orang sembarangan tanpa sepengetahuan orangnya. Nggak sopan tau!” tegur Silia dengan suara pelan.

Ketiga gadis muda itu manyun. “Ih, siapa sih tuh nenek-nenek? Sok ngatur. Dia naksir juga kali sama Kak Roby, cih!”

Mata Silia membulat. Ia dibilang nenek-nenek? Anak-anak kurang ajar!

“Biarin aja dah, nggak mungkin kayak Kak Roby suka sama perempuan modelan kayak gitu. Nggak seimbang, hihihi.” Mereka kembali cekikikan. Kuping Silia panas mendengarnya.

“Kak Roby... Sini deh, aku titip yang kotor,” salah satu gadis itu melambai pada Roby. Roby mendekat.

“Kak Roby, minta nomor HP dong,” gadis berambut sebahu berkata dengan gaya centil. Roby hanya mengangguk dan tersenyum. Tapi tak mengatakan apa pun. Ia langsung pergi dari situ dan menuju ke belakang.

Ketiga gadis itu kecewa. Silia tersenyum senang. “Sukurin!” katanya dalam hati.

Setelah ketiga gadis itu pergi, Silia masih betah duduk di situ. Dia tidak tahu bagaimana cara memulai untuk berbicara dengan Roby. Silia memperhatikan Roby yang sedang serius membersihkan meja di sebelahnya.

Silia berdehem. “Bisa minta tolong bawakan yang kotor?” Silia memberanikan diri. Roby hanya tersenyum dan dengan cekatan ia membersihkan meja Silia.

“Roby...” Saat baru saja hendak berbalik, langkah Roby terhenti saat Silia kembali memanggilnya. “Bisa bicara sebentar? Saya... Saya temannya Yesika,” badan Silia gemetar, dan itu berpengaruh juga pada suaranya.

Roby yang mendengar itu langsung paham. Ia sempat terdiam. “Sekarang aku masih ada jam kerja. Kalau mau bicara, aku keluar jam 4 sore,” kata Roby datar.

Silia melirik jam di tangan. Masih jam 1 siang. “Saya... Saya tunggu di luar,” kata Silia dengan susah payah.

Tanpa jawaban Roby berbalik dan meninggalkan Silia yang kini hanya bisa bengong.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status