Roby melihat kegugupan luar biasa dari gadis yang ada di depannya. Tanpa ia sangka, gadis itu benar-benar menunggunya sampai ia pulang kerja.
Sementara Silia salah tingkah dipandangi terus-terusan. Apalagi dengan pakaian kasual seperti sekarang, tanpa ada topi yang menutupi kepala, Roby terlihat jauh lebih tampan. Cukup untuk membuat Silia sesak napas.Roby memandangi Silia dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Sesekali terdengar ia membuang napas dengan kasar. Roby kecewa dengan penampilan Silia. Jauh berbeda sekali dengan Yesika. Bagai langit dan bumi. Padahal menurut Yesika, gadis di depannya ini adalah anak orang kaya. Tapi kenapa penampilannya sama sekali tak sesuai bayangan?Jauh lebih cantik Yesika yang pandai merias diri. Meski tak dipungkiri ada aura manis yang terlihat dari Silia. Mungkin saja gadis di depannya ini akan terlihat cantik kalau berdandan.“Jadi kamu nungguin aku sampai 3 jam Cuma buat ngajak lomba pandang-pandangan?” tanya Roby, membuat Silia kaget.“Eh, anu... Itu... Aku nggak tahu mau mulai dari mana,” jawab Silia gugup.“Katanya tadi ada yang mau diomongin? Mulai dari situ aja.”Silia berdehem, entah sudah keberapa kalinya.“Apa benar kata Yesika kamu orang yang mau bantu aku?” tanya Silia setelah beberapa lama.“Bantu apa? Yang jelas!”Silia berdehem lagi. Badannya panas dingin. Cepat ia ambil es jeruk di depannya dan meneguk sampai habis.“Mau lagi?” tanya Roby.Silia menggeleng. “Eh, boleh deh!” sambungnya cepat.“Pffttt...” Roby hampir saja menghamburkan tawanya, kalau saja tidak ingat ia sekarang sedang mengalami masalah pelik.Sementara Silia jadi keki. Sial! Kenapa malu-maluin sih?! Padahal maksud Silia kalau ada air es di depan, bisa membantunya mengurangi kegugupannya.“Sekarang udah bisa ngomong?” tanya Roby setelah baru saja Silia kembali meminum es jeruk pesanannya yang baru datang, meski tak sampai habis.“Yesika bilang padaku kalau kamu mau membantu aku keluar dari masalah yang sedang aku hadapi. Apa benar kamu bersedia menikahi aku? Berpura-pura kalau kamu yang menghamili aku?” tanya Silia dengan takut.Roby tak langsung menjawab. Silia jadi gelisah. Ingin rasanya ia mengetok kepala cowok di hadapannya ini. “Cuma jawab iya atau nggak aja lama banget!” pikirnya.“Iya, aku mau. Trus apa lagi? Mau memulai dari mana sandiwara kita?” tanya Roby to the point.“Boleh aku tahu alasan kamu mau menerima tawaran untuk menikahiku? Apa karena kompensasinya?”“Sebaiknya itu nggak usah kamu tanyakan. Kamu nggak perlu tahu alasanku setuju menikahimu, sebagaimana aku nggak mau tahu alasanmu yang memintaku menikahi kamu. Kita tetap berada di jalur dan tujuan kita masing-masing,” jawab Roby. Ia memang sengaja berpura-pura tidak tahu kalau Silia adalah korban pemerkosaan, seperti yang diminta Yesika.“Mmm... Boleh aku tahu apa hubunganmu yang sebenarnya dengan Yesika?”“Kami Cuma teman, Cuma kenalan,” jawab Roby pendek. Yesika memang sudah berpesan padanya agar tak memberitahu Silia hubungan mereka yang sebenarnya.Silia tampak mengangguk.“Aku ingin kamu datang ke rumah dan mengatakan pada orang tuaku kalau kamu telah menghamiliku,” Silia memulai kalimatnya.Roby mendengar dengan saksama agar tak ada satu pun yang luput dari pendengarannya.“Aku ingin kita menikah secepatnya.” Ujar Silia.“Siapa yang membiayai pernikahannya?” tanya Roby dingin.“Ya??” Silia baru sadar kalau menikah tak sesimpel itu.“Siapa yang membiayai pernikahannya? Aku nggak mungkin mengeluarkan uang tabunganku. Dan yang membutuhkan bantuan saat ini adalah kau, bukan aku,” kata Roby lagi.“Kan aku kasi 50 juta.”“Itu untuk bayaranku menikahimu. Untuk upahku mengikuti sandiwaramu.” Tegas Roby.“Kalau gitu aku akan memberi uang tambahannya. Tapi aku akan meminta menikah secara sederhana aja, agar biayanya nggak terlalu besar.”“Terserah!”“Satu lagi, pernikahan kita hanya sampai aku melahirkan. Setelah itu, kita akan mencari alasan untuk bercerai.”Roby tertawa dengan satu embusan napas. “Mudah sekali orang sepertimu mempermainkan pernikahan. Apa kamu nggak merasa bersalah karena mencurangi pernikahan? Atau kamu nggak pernah bermimpi buat menikah?”“Aku juga terpaksa. Aku selalu berharap pernikahanku adalah yang terindah, dengan orang yang sangat aku cintai, yang sangat aku harapkan untuk menjadi suamiku,” mata Silia mulai berkaca-kaca. “Tapi keadaan ini membuat aku terpaksa mengubur harapanku dalam-dalam, selamanya. Nggak akan ada pernikahan bahagia untukku.” Silia mulai menangis.Roby terdiam. Ia benar-benar lupa alasannya yang telah setuju untuk menikah dengan Silia, yaitu karena kasihan dengan tragedi yang menimpa gadis itu. Dan baru saja ia mengeluarkan kata-kata yang telah menyakiti hati dan perasaan Silia.“Maaf. Kalau begitu kita rundingkan apa saja yang harus aku katakan saat nanti aku bertemu orang tuamu.” Roby mengulurkan sapu tangan miliknya untuk Silia. Dan Silia menerimanya, menggunakan sapu tangan itu untuk mengeringkan pipinya yang sudah basah terkena air mata. Setelah itu Silia memberi tahu Roby apa saja yang harus dikatakan pemuda itu saat nanti datang ke rumahnya.“Apa masih ada hal lain yang mau kau katakan?” tanya Roby. Silia menggeleng.“Oke. Kalau gitu sekarang giliran aku yang mengutarakan keinginanku. Aku juga punya syarat yang harus kau penuhi sebelum kita melanjutkan pernikahan ini.”“Kamu juga punya syarat? Kalau gitu apa syaratnya?” tanya Silia.“Pertama, setelah menikah kita nggak tinggal di rumahmu, kau ikut tinggal denganku. Karena sekarang aku masih nge-kost, yang mana nggak mungkin dibolehin Ibu kost buat bawa perempuan, maka aku akan mencari rumah kontrakan untuk kita. Jangan khawatir, untuk rumah kontrakan biar aku yang bayar, kamu nggak perlu keluar uang lagi.”“Kenapa aku harus keluar dari rumahku? Aku nggak pernah jauh dari rumah dan orang tua,” Silia protes.“Satu, kamu udah jadi istri aku meski itu Cuma pura-pura. Dua, aku kerja kadang sampai malam, aku suka bangun siang dan aku nggak enak kalau numpang di rumah orang, apalagi nanti statusnya itu adalah rumah mertuaku. Tiga, Ibu aku kadang datang dari kampung. Kalau di rumah kontrakan sendiri, saat dia datang kau bisa sembunyi atau pergi, asal dia nggak ngeliat kamu. Aku nggak mau Ibuku tahu aku nikah pura-pura dan akan jadi duda. Sampai di sini paham?”“Tapi kalau harus tinggal berdua denganmu....” ucap Silia ragu, tak berani melanjutkan kalimatnya.“Jangan takut. Aku nggak akan ngapa-ngapain kamu. Kamu bukan tipe gadis yang bisa membangkitkan gairahku.”Jleb! Jantung Silia bagai di dilempar ribuan pisau. Silia sempat memindai tubuhnya sendiri sebelum akhirnya melihat ke arah Roby dengan wajah cemberut.“Itu aja?”“Kedua, aku sebenarnya udah punya pacar. Jadi aku minta kamu nggak kepo atau ikut campur urusan percintaanku meski statusku nanti adalah suami kamu, apalagi sampai cemburu. Dan aku harap kamu nggak punya keinginan untuk mengetahui siapa pacar aku.”“Dih, pede banget. Siapa lagi yang mau tahu urusan percintaan dia. Mau punya pacar kek, selingkuhan kek, jadi simpanan tante-tante kek. Bukan urusan aku!” kata Silia dalam hati. Tak berani mengungkapkan langsung di depan Roby, takut cowok itu berubah pikiran dan tak jadi menikahinya.“Paham??”“Iyaaa...”“Yang ketiga, jangan berharap aku akan menjalankan kewajibanku sebagai seorang suami. Kamu urus diri kamu sendiri, aku urus diriku sendiri. Karena secara teori kamu nanti numpang tinggal sama aku, kamu harus rajin beberes rumah. Aku akan tanggung untuk makan kamu, tapi seadanya. Sebaiknya kamu punya uang sendiri, kalau mau makan yang enak sesuai keinginan kamu. Gimana?”Silia diam berpikir. Sungguh syarat yang sebenarnya sederhana, tapi terasa berat baginya. “Oke... Deal!” katanya kemudian.Mereka berjabat tangan. Dan mengakhiri pertemuan mereka sore itu. Besok malam semuanya akan dimulai. Sepanjang jalan pulang Silia tak hentinya membuang napas, mencoba mengurangi beban yang menghimpit dadanya. Malam ini ia tak akan bisa tidur dengan nyenyak.“Ibu jangan suka ngomong asal-asalan. Mama nggak suka orang yang kayak gitu,” kata Roby cepat, mencoba menutupi rasa malu.“Ah masa? Nggak kok,” kata Amira sambil mengusap sudut matanya. “Mama malah suka sama Bu Besan yang apa adanya kayak gini.”Roby menatap mama mertuanya, tak percaya.“Justru Mama senang. Sikap dan omongan Bu Besan benar-benar apa adanya, nggak dibuat-buat... asli banget.”Dan seperti ada tombol yang dipencet, suasana langsung mencair. Nasiha mulai tertawa, begitu pula Amira. Mereka mulai bicara santai, dari masalah kehamilan, resep jamu pelancar lahiran, sampai kebiasaan Roby kecil yang suka ngupil.Di sudut sofa, Roby dan Silia hanya bisa duduk diam, seperti dua remaja yang menyaksikan emak-emaknya bonding di atas level mereka.“Aduh, saya baru tahu, ternyata besan saya lucu banget,” kata Amira sambil mengambil sepotong kue lagi.“Saya juga baru tahu, ternyata ibu mertua anak saya ini kayak permaisuri. Cantik, pinter, kaya... aduh, kalah saya,” timpal Nasiha samb
Silia keluar dari kamar dengan langkah pelan. Kaos oversize Roby yang ia kenakan nyaris mencapai lutut, tapi tetap tak mampu menutupi bagian depan tubuhnya yang menonjol jelas.Nasiha yang sedang duduk di sofa dengan posisi tangan menyilang langsung berdiri.“Bentar…! Berhenti di situ!”Silia refleks berhenti, tubuhnya menegang.Nasiha berjalan cepat, berhenti di depan Silia. Matanya menyipit, lalu tanpa izin langsung meletakkan telapak tangannya ke perut Silia yang bulat itu.“Ini… ini hamil?!”Roby melongok dari pintu kamar. “Lho, kok ibu bisa langsung tahu?”Nasiha melotot ke arah putranya. “Ya jelas taulah! Perutnya gede kayak gitu! Apalagi namanya kalau bukan hamil?!”“Cacingan,” jawab Roby polos.“CACINGAN PALALU!” teriak Nasiha sambil langsung menyambar sandal dan melempar ke arah Roby.Roby nyaris kena di jidat kalau saja dia tidak cepat menunduk.“Ibu sabar dulu, sabar,” katanya sambil mengangkat tangan setengah pasrah. “Silia ini bukan cewek sembarangan, Bu. Dia… dia suka ba
Rumah itu akhirnya sepi lagi. Suara sandal emak-emak yang berisik seperti ledakan kecil setiap langkahnya sudah tak terdengar. Nasiha telah kembali ke kampung dengan koper, tas jinjing, dan keranjang yang kini berisi oleh-oleh dari anak tercinta: detergen cair, daster baru, dan entah kenapa—satu pouch lipstik.Roby mengunci pintu, lalu membalikkan badan sambil berseru lirih, “Merdeka…”Seketika itu juga, ia melompat ke ranjang, di mana Silia yang baru saja ia jemput menunggu dengan senyum malu-malu. Mereka beneran kayak pengantin baru yang lagi ketagihan malam pertama.Mereka tidak banyak bicara. Hanya ada tatapan, tarikan napas, dan tubuh yang saling menemukan dalam keheningan malam. Roby mencium keningnya pelan, lalu turun ke pipi, lalu ke leher. Silia mengerang pelan, “Tunggu dulu... aku mandi dulu ya. Aku pengap.”Roby tertawa pelan. “Kamar mandi Cuma satu. Kalau kamu kelamaan, aku nyusul.”“Terserah. Asal jangan rekam-rekam. Aku belum pakai lipstick waterproof.”“Bisa dihapus. T
Dengan tergesa, Roby mulai meraih pakaian dari kursi, sementara Silia juga ikut panik, berusaha bangkit dan berpakaian semampunya meski perutnya makin besar.“Kamu harus pergi dulu. Sekarang,” ujar Roby cepat. “Kita ke rumahmu. Aku antar.”“Tapi kita belum sarapan. Kamu belum...” Silia menunduk, wajahnya merah padam.Roby menatapnya sejenak, lalu mendekat, mencium kening Silia dengan dalam.“Nanti. Malam ini. Atau besok. Yang jelas... ini belum selesai, oke?”Silia tak bisa menahan senyum walau gugup. Ia mengangguk pelan, lalu menyambar jaket tipisnya. Roby masih mendesis pelan karena harus menahan hasratnya sendiri, tapi waktu tak memberi pilihan.Dalam waktu sepuluh menit, mereka sudah di atas motor, menembus kabut pagi yang masih menggantung tipis. Silia memeluk Roby dari belakang, tak tahu kenapa, hatinya mendadak berat saat mereka berhenti di depan gerbang rumah mewah milik orangtuanya.“Jangan lupa bilang kamu lagi jomblo parah,” kata Silia, mencoba bercanda meski suaranya sedik
Silia menatap ke bawah, menggeleng lirih. “Dulu kupikir... itu yang terbaik. Aku merasa itu satu-satunya cara untuk menebus aibku. Aku sudah bersumpah tak akan menikah lagi seumur hidup. Aku hanya ingin jadi ibu... yang cukup bagi anakku.”Ia mengangkat wajahnya perlahan, matanya mulai berkaca.“Tapi sekarang… setelah semalam… setelah kau memperlakukanku seperti aku layak dicintai…” suaranya pecah, “aku mulai takut. Takut... berharap.”Roby bergeser, meraih tangannya lagi. Tapi Silia menarik diri. Bukan karena marah. Tapi karena takut.“Aku nggak yakin kau akan bahagia bersamaku, Roby,” ucapnya lirih. “Aku... bukan perempuan yang utuh. Aku bukan gadis yang bersih. Aku—”“Berhenti.” Suara Roby memotongnya, lembut namun tegas.Ia bangkit dan berdiri di hadapannya, kemudian berlutut satu kaki. Ia mendongak, menatap Silia dengan penuh keteguhan. “Kau korban, bukan pelaku. Kau perempuan paling kuat yang pernah kukenal. Dan semalam... adalah malam paling hangat yang pernah aku alami. Aku t
Silia tak menjawab. Tapi tubuhnya tak menolak saat Roby menunduk dan mencium bibirnya lagi. Lebih dalam. Lebih hangat. Kedua tangannya membelai wajah Silia, kemudian menelusup ke belakang leher, menariknya lebih dekat.Dan kali ini, tanpa keraguan. Roby melumat bibir itu dalam keheningan yang mendesis. Nafas Silia tercekat, tapi tubuhnya ikut tenggelam, menuruti setiap tarikan, setiap tekanan lembut yang Roby beri.Silia hampir kehilangan napas, tapi tidak ingin melepaskan. Ia tak tahu, ciuman bisa terasa selembut ini... seintim ini. Roby mencium dengan kesabaran, menciptakan jeda di antara desahan mereka untuk menyisipkan napas dan rasa.Ciuman itu berkembang—dari malu-malu jadi lebih dalam, lebih panas. Roby memandu, seolah menari, seolah ingin menunjukkan bahwa ini bukan sekadar rasa penasaran.Tak ada yang tergesa. Tak ada yang dipaksa.Tangan Roby bergerak ke pinggang Silia, menarik tubuhnya lebih dekat. Mereka nyaris tak bisa bernafas, tapi tak satu pun ingin berhenti.Ciuman it