Share

BAB 3

last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-31 12:37:57

Roby memperhatikan gadis di depannya dengan ekspresi datar. Tak disangkanya, Silia benar-benar menunggunya selama tiga jam hanya untuk pertemuan ini. 

Di sisi lain, Silia merasa jantungnya hendak meledak. Roby yang kini berdiri tanpa seragam kerja dan topi, dalam balutan pakaian kasual, terlihat jauh lebih tampan. Detak jantungnya semakin tak beraturan saat mata pria itu menatapnya tanpa berkedip. 

Namun, tatapan Roby bukanlah tatapan kagum. Sebaliknya, ia menelusuri Silia dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan ekspresi tak terbaca. Sesekali, ia membuang napas kasar, jelas kecewa. Yesika bilang gadis ini anak orang kaya, tapi penampilannya jauh dari kata glamor. Dibandingkan Yesika yang selalu tampil sempurna, Silia bagai bumi dan langit. 

"Jadi, kamu nungguin aku tiga jam cuma buat adu tatapan?" tanya Roby santai, menyadarkan Silia dari kegugupannya. 

“Eh, anu… Aku nggak tahu harus mulai dari mana,” jawab Silia canggung. 

“Katanya ada yang mau diomongin?” 

Silia meneguk ludah, lalu dengan gerakan canggung mengambil gelas es jeruk di depannya. Seteguk… dua teguk… habis. 

“Mau lagi?” Roby menaikkan sebelah alis. 

Silia menggeleng, tapi sesaat kemudian buru-buru mengangguk. “Eh, boleh deh!” 

Roby hampir tertawa. Gadis ini benar-benar aneh. 

“Sekarang udah bisa ngomong?” 

Silia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. “Yesika bilang kamu orang yang mau bantu aku. Apa benar?” 

“Bantu apa?” Roby bersandar pada kursi. “Jelasnya.” 

Silia kembali meneguk minumannya. Tangannya terasa dingin, tapi tenggorokannya seolah kering. 

“Apa kamu benar-benar bersedia menikah denganku? Berpura-pura kalau kamu yang menghamiliku?” tanyanya dengan suara nyaris bergetar. 

Roby tidak langsung menjawab. Diamnya membuat Silia semakin gelisah. 

“Jawab iya atau nggak aja kok lama banget…” pikirnya gemas. 

“Iya, aku mau,” jawab Roby akhirnya. “Terus, dari mana kita mulai sandiwara ini?” 

Silia menghela napas lega. Tapi sebelum melanjutkan, ia ingin memastikan sesuatu. “Kenapa kamu mau?” 

Roby menatapnya dalam. “Sebaiknya kita nggak usah saling bertanya alasan.” 

Jawaban itu membuat Silia terdiam. 

“Kalau begitu, aku ingin kamu datang ke rumah besok malam dan mengatakan pada orang tuaku kalau kamu yang menghamiliku.” 

Roby mengangguk. “Lalu?” 

“Aku ingin kita segera menikah.” 

“Siapa yang membiayai?” 

Silia tertegun. Ia baru sadar kalau pernikahan bukan sekadar formalitas. 

“Bukankah aku memberimu lima puluh juta?” 

“Itu untuk bayaranku menjalankan sandiwaramu. Bukan untuk biaya nikah.” 

Silia mengatupkan bibir. “Kalau begitu, aku akan menambahnya. Tapi pernikahannya sederhana saja.” 

“Terserah.” 

“Dan setelah aku melahirkan, kita akan bercerai.” 

Roby tertawa kecil. “Kamu benar-benar menganggap pernikahan ini seperti permainan, ya?” 

Silia terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca. “Aku juga terpaksa,” bisiknya. “Aku selalu membayangkan pernikahanku akan menjadi momen paling indah dalam hidupku… dengan seseorang yang aku cintai. Tapi sekarang… mimpi itu sudah mati. Aku tidak akan pernah memiliki pernikahan bahagia.” 

Roby terdiam. Ia nyaris lupa alasan mengapa ia menerima tawaran ini—karena kasihan. Dan barusan, ia baru saja melontarkan kata-kata yang menyakitkan bagi Silia. 

“Maaf.” Roby mengulurkan sapu tangannya. 

Silia menerimanya, mengusap pipinya yang basah. “Baiklah, sekarang giliranmu. Kau bilang tadi punya syarat?” 

Roby mengangguk. “Pertama, setelah menikah, kita nggak tinggal di rumahmu. Aku akan cari kontrakan.” 

Silia mengernyit. “Kenapa harus keluar dari rumah?” 

“Karena aku nggak nyaman tinggal di rumah mertuaku meski cuma pura-pura,” jawab Roby santai. “Aku juga sering pulang malam, bangun siang, dan ibu kost pasti nggak bakal ngizinin aku bawa perempuan. Lagi pula, ibuku kadang datang dari kampung. Kalau kita tinggal di tempat sendiri, kamu bisa pergi saat dia datang, supaya dia nggak tahu soal pernikahan pura-pura ini.” 

Silia menggigit bibir. “Tapi kalau harus tinggal berdua denganmu....” ucap Silia ragu, tak berani melanjutkan kalimatnya.

“Jangan takut. Aku nggak akan ngapa-ngapain kamu. Kamu bukan tipe gadis yang bisa membangkitkan gairahku.”

Jleb! Jantung Silia bagai di dilempar ribuan pisau. Silia sempat memindai tubuhnya sendiri sebelum akhirnya melihat ke arah Roby dengan wajah cemberut.

“Itu aja?”

“Kedua.” Roby menatapnya tajam. “Aku punya pacar. Aku nggak mau kamu ikut campur urusan pribadiku, apalagi sampai cemburu.” 

Silia mendengus dalam hati. “Siapa juga yang mau tahu? Mau punya pacar kek, selingkuhan kek, jadi simpanan tante-tante kek. Bukan urusan aku!” pikirnya dalam hati. Tak berani mengungkapkan langsung di depan Roby, takut cowok itu berubah pikiran dan tak jadi menikahinya. Ia hanya mengangguk pasrah. 

“Ketiga, aku nggak akan menjalankan kewajibanku sebagai suami. Kamu urus diri kamu sendiri, aku urus diriku sendiri. Tapi karena kau numpang tinggal denganku, kamu yang harus beberes rumah. Aku bakal tanggung makan kamu, tapi seadanya. Kalau mau makan enak, cari uang sendiri.” 

Silia berpikir sejenak. Syarat itu sederhana, tapi berat. 

“Deal.” 

Mereka berjabat tangan. 

Besok malam, sandiwara ini akan dimulai. 

Silia menghela napas panjang saat berjalan pulang. Dadanya terasa sesak, pikirannya penuh. Malam ini, ia tahu, ia tidak akan bisa tidur nyenyak.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pernikahan Berbayar Si Gadis Culun    Bab 77

    Silia mendekat, tangannya menyentuh jemari Roby yang menggenggam pegangan koper. “Kita pernah saling tolong, saling rawat. Tapi malam ini, aku ingin kita saling miliki.”Roby membuka mata. Ada air bening menggantung di sana. “Beneran?”Silia tersenyum kecil. “Iya. Kali ini bukan karena keadaan. Tapi karena aku yang memilih.”Ia menarik koper dari tangan Roby, meletakkannya di sudut ruangan. Lalu dengan langkah tenang, menggandeng lelaki itu masuk ke kamar.Kamar mereka tidak terlalu besar, tapi nyaman. Bayi mereka sedang tertidur di boks kecil, tubuh mungilnya digerakkan nafas lembut yang damai. Seolah tahu bahwa malam ini, orang tuanya sedang memilih untuk tetap bersama.Silia duduk di tepi ranjang. Ia membuka cardigan pelan, menyisakan kaus tipis yang membentuk siluet tubuhnya yang belum sepenuhnya pulih dari melahirkan.“Tubuhku mungkin belum ideal lagi,” gumamnya pelan, nyaris takut. “Tapi ini aku. Apa adanya.”Roby berdiri di hadapannya. Ia ta

  • Pernikahan Berbayar Si Gadis Culun    Bab 76

    “Kamu pikir hidup aku gampang? Dari kecil aku dibesarkan bapak kayak dia. Pemalas, tukang pukul, penjudi. Ibuku sibuk kerja jadi tukang cuci. Nggak ada yang ngajar aku cara jadi baik, Silia. Yang aku tahu Cuma... cewek harus kuat. Dan satu-satunya kekuatan yang aku tahu... ya cowok. Duit. Gaya hidup.”Silia mengangguk pelan. “Kamu boleh marah. Tapi kamu juga boleh sembuh. Kamu boleh salah... asal kamu mau bangkit.”Yesika membuang muka. Kesal. Tapi juga mulai tampak goyah.“Yesi,” Silia menggenggam ujung jendela kaca pembatas. “Aku nggak benci kamu. Aku datang bukan buat balas dendam. Aku cuma pengen kamu tobat. Karena kamu masih bisa. Masih sempat.”Yesika menunduk. Bahunya naik turun. Tapi wajahnya tetap menegang.“Udahlah. Pulang aja. Aku nggak butuh dikasihani.”Silia menarik napas panjang. Ia berdiri, mengambil tas kecilnya, dan bersiap pergi. Namun sebelum melangkah keluar, ia berkata lirih,“Terima kasih Yesi, karena udah mau jadi temanku se

  • Pernikahan Berbayar Si Gadis Culun    Bab 75

    “Oke. Lokasi antar kita tentuin nanti malam. Harga fix. Bayar cash. No drama.”Yesika menyeringai. “Akhirnya. Kita bisa kabur dari hidup gembel ini.”Dandi mengangguk. Tapi matanya tak sepenuhnya yakin. Ia menatap bayi kecil itu, dan untuk sejenak... ada sesuatu di tatapannya. Mungkin kasihan. Mungkin hanya ragu.Tapi Yesika tidak memberinya waktu berpikir.“Buang kartu SIM itu sekarang. Dan jangan pernah nyebut nama Silia atau Roby lagi. Kita harus bersih. Titik.”Dandi mengambil SIM card dari ponsel dan mematahkan pelan-pelan. Suara ‘krek’ kecil terasa lebih berat dari biasanya.“Besok kita berangkat pagi-pagi. Kalau bisa sebelum ada yang nyari.”Yesika membenahi tas, mengambil uang receh dari dompet kecil mereka, lalu berkata datar, “Anak ini tiket kita. Cuma sementara. Tapi cukup buat mulai hidup baru. Jauh dari kemiskinan busuk ini.”---Di tempat lain, di sebuah warung kopi pinggir jalan, dua pria duduk memandangi layar laptop dari

  • Pernikahan Berbayar Si Gadis Culun    Bab 74

    Dandi tak berkedip. Menatap Yesika dengan serius.“Bapak kenal orang. Yang bisa ‘nampung’. Harganya tinggi... tapi harus bayi yang baru lahir. Gampang dijual.”Yesika mengangguk pelan. “Lakuin aja Pak. Biar Silia ngerasain. Rasanya kehilangan. Rasanya dihancurkan. Sama kayak aku.”Tak ada lagi suara. Tak ada lagi tawa. Hanya diam dan nafas yang berat.Rencana itu belum bulat. Tapi bibitnya sudah tumbuh. Di ruang pengap, di antara abu rokok dan reruntuh harga diri, dua manusia itu mulai menyulam kehancuran untuk satu jiwa tak berdosa—yang bahkan baru lahir ke dunia.**Rumah kontrakan kecil itu masih setengah sepi saat Silia menyalakan kompor. Tangannya sibuk mengaduk bubur, sesekali menoleh ke arah kamar.Putri kecilnya baru saja tertidur. Ia sendiri masih kelelahan, tubuhnya belum benar-benar pulih setelah persalinan. Tapi pagi ini Roby harus keluar, mengambil paket susu formula yang habis sejak kemarin. Ia tak keberatan. Roby sudah melakukan sega

  • Pernikahan Berbayar Si Gadis Culun    Bab 73

    Setelah kelahiran bayi itu, hidup Silia berubah jadi teka-teki yang tak punya jawaban pasti. Bayinya sehat, Roby tetap perhatian, dan Vatra makin sering datang. Tapi hatinya? Semakin berantakan.Pagi itu, Vatra mengajaknya sarapan di taman dekat rumah sakit. Hanya mereka berdua. Ia datang dengan setelan kasual dan senyum yang mematikan, seperti masa lalu yang belum pernah benar-benar ia kubur."Silia," katanya pelan setelah hening cukup lama. "Aku serius."Silia menoleh. "Serius apa?""Serius mau nikahin kamu. Bukan karena pengen memperbaiki masa lalu, tapi karena aku masih cinta. Aku mau kamu. Sama anak kamu. Aku bisa jadi ayahnya."Silia terdiam. Bahkan burung-burung di taman seolah ikut menahan napas."Aku tahu, selama ini mungkin kamu berpikir aku ninggalin kamu dulu. Tapi sekarang, aku balik bukan buat minta penjelasan. Aku balik buat ngelakuin apa yang harusnya aku lakuin dari dulu.""Vatra..." suaranya parau. "Kamu tahu aku udah nikah."

  • Pernikahan Berbayar Si Gadis Culun    Bab 72

    “Kalau kamu beneran sayang anak saya... kamu siap mundur kalau dia milih orang lain?”Roby mengangguk—meski itu mungkin akan membunuhnya. “Saya siap, Pa. Asal dia bahagia.”Arman menatap Roby lama. Untuk pertama kalinya, bukan dengan amarah atau pandangan remeh. Tapi dengan tatapan seorang ayah... yang melihat laki-laki di depan putrinya bukan lagi ancaman, tapi mungkin... perlindungan yang ia tak pernah tahu dibutuhkan.Sementara itu di dalam ruangan, Silia duduk bersandar, memeluk bantal menyusui sambil memperhatikan bayinya yang terlelap di dalam boks.Amira duduk di kursi sebelah tempat tidur, tangan mungilnya menggenggam jemari Silia yang kurus. Ada keheningan yang tak terburu-buru mereka pecahkan. Keheningan yang penuh luka, dan cinta, dan hal-hal yang tak pernah sempat diucapkan selama ini.“Mama minta maaf,” kata Amira akhirnya. Suaranya lembut, serak, seperti seseorang yang baru saja bangun dari mimpi buruk. “Mama harusnya jadi tempat kamu pulang...

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status