“Kami pulang dulu ya. Besok kalau udah mau check out, telfon aja. Biar Pak Mun yang jemput kalian ke sini.” Ujar Amira sambil memeluk Silia.
Silia hanya mengangguk. Sebenarnya, ia tak ingin menginap di hotel tempat mereka mengadakan acara resepsi. Lebih nyaman kalau ia langsung pulang ke rumah.Tapi ibunya bilang, sayang sekali kalau free room yang diberikan pihak hotel tak dipakai. Apalagi mereka adalah pengantin baru, tentu lebih memerlukan privasi di malam pernikahan.Wajah Silia memerah malu saat tadi sang ibu berkata demikian. Spontan pandangannya terarah pada Roby yang memasang wajah dingin.“Jangan lupa makan. Kalian kayaknya belum sempat makan malam kan? Pesan room service aja. Restoran di hotel ini buka 24 jam.” Pesan Amira, lagi-lagi hanya disambut anggukan Silia.“Udah belum? Ayo pulang, ini udah malam.” Ujar Arman sambil menutup mulutnya yang sedang menguap.Amira kembali memeluk anak gadisnya dan berpamitan pulang. Kini, tinggallah Silia dan Roby. Berdua di dalam sebuah kamar Suite hotel.“Mau sampai kapan bengong di situ?”Suara Roby mengagetkan Silia yang tanpa sadar berdiri cukup lama di depan pintu.Silia jadi salah tingkah. Ia berjalan pelan menuju tempat tidur dan duduk dengan kikuk di sana.“Aku mau mandi dulu. Jangan mengintip!” ujar Roby sambil berdiri.Silia hanya bisa mendelik tak suka mendengar perkataan Roby. Memangnya dia orang mesum?Eh tapi--- kenapa Roby sialan itu membuka baju di depannya? Silia jadi berdebar melihat perut Roby yang penuh dengan roti sobek itu.Dan sepertinya, Silia sangat menikmati pemandangan seperti ini. Jadi, apakah dia memang adalah orang mesum?“Ngapain liat-liat?!” sentak Roby, membuat darah Silia seakan menyembur hingga ke seluruh tubuh karena kaget.“Ya kalau nggak mau dilihat jangan buka baju di situ dong! Dasar cari perhatian!” sungut Silia.Tapi ya tentu saja, dia hanya bisa mengatakannya di dalam hati. Sementara di luar, Silia hanya bisa mengangguk sambil meminta maaf berkali-kali.Roby masuk ke dalam kamar mandi sambil membawa sebuah handuk. Setelah ia menutup pintu, Silia seperti anak tantrum yang melayangkan tinju dan tendangan ke segala arah. Seolah dia sedang menghajar Roby yang menyebalkan itu.“Sombong! Sok ganteng! Kalau bukan karena butuh, aku juga nggak mau kenal sama orang kayak dia!” ujar Silia marah dengan nada suara yang sangat kecil. Ia tak berani mencak-mencak secara terang-terangan.Silia memilih untuk berselancar di dunia maya. Semua akun sosial media telah ia jelajahi. Namun bukannya senang, ia malah merasa semakin bosan.Untuk sesaat ia bingung, apa yang mau ia kerjakan? Matanya belum mengantuk padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam.Ia ingin mandi, namun Roby belum juga keluar dari dalam sana. Lama sekali makhluk itu mandi? Apa yang dia lakukan? Luluran? Main petak umpet? Atau bikin candi?Belum juga semua pikiran di dalam otaknya keluar, ia mendengar suara menjijikkan dari dalam kamar mandi.“Kkhhhuuukkk--- Cuuuiihh--- Arrkhhhh---Hrrrkkk--- Hueekkk---“Silia bergidik. Tiba-tiba saja ia merasa mual. Silia tahu, Roby pasti sedang menyikat giginya.Silia betul-betul paham, karena ia sebenarnya sering mendengar hal yang seperti itu dari sang ayah. Tapi masa’ semua laki-laki kalau sedang menyikat gigi pasti melakukan hal yang sama?“Sekotor apa sih giginya sampai nyikat aja kayak gitu?” sungut Silia. “Mana lama lagi dia keluar. Pengen pipis....” katanya lagi sambil memegangi area bawahnya. Seakan ada sebuah tekanan yang memaksanya untuk mengeluarkan sesuatu.Akhirnya karena sudah tak tahan, Silia berjalan mendekati pintu kamar mandi dan mengetuknya beberapa kali.“Apa?!”“Masih lama nggak? Aku juga perlu ke kamar kecil nih.”“Sebentar lagi!”Silia manyun, namun memilih untuk menunggu di depan pintu karena sudah kebelet.Benar saja, tak lama knop pintu diputar dan Roby yang Cuma berhanduk keluar dengan rambut basah dan... wangi.Silia kagum, harum semerbak menyeruak masuk ke dalam hidungnya. Seolah kamar mandi yang dipakai Roby baru saja dicuci dengan sebotol besar sabun cair yang super wangi.Dan lebih mengagetkan, lagi-lagi Silia terpana melihat wajah tampan Roby yang terlihat sangat segar setelah mandi. Rambut basahnya seolah membuat bibir merah cowok itu terlihat makin menggiurkan. Silia sampai menelan ludahnya sendiri.“Katanya mau pakai kamar kecil?! Ngapain malah bengong? Emang udah jadi hobi ya, bengong terus?!” ujar Roby dingin.Silia malas menanggapi. Percuma saja. Lebih baik dia langsung mengeluarkan hajat air seninya yang tadi sempat keluar sedikit.Namun belum sempat ia menutup pintu, terdengar suara Roby memanggilnya lagi.“Hei... Langsung mandi sana! Badan kamu pasti keringetan! Aku nggak suka sama cewek yang bau asem!” ujar Roby sambil melempar handuk kering yang langsung mendarat mulus di atas kepala Silia.Silia ingin protes, tapi tak berani. Kenapa sih cowok itu selalu mengeluarkan perkataan nyelekit padanya? Padahal Silia merasa tak punya salah secara langsung. Apa ini memang sengaja dilakukan Roby agar ia terus menjaga jarak?“Iya. Jangan ngomel terus dong. Ngomongin aja baik-baik, apa susahnya?” ujar Silia dengan nada lemah. Ia tak berani marah-marah.Silia menutup pintu kamar mandi. Setelah buang air kecil, ia membuka seluruh pakaiannya dan menghidupkan shower.Air yang dingin terasa begitu menyegarkan. Membuat hatinya sedikit sejuk. Silia sengaja membiarkan wajahnya tersiram air. Meski tak mungkin ada yang tahu, sebenarnya ia sedang menangis.Ia ingat saat malam naas itu pulang ke rumah, hal yang pertama kali dilakukannya adalah mandi di bawah siraman shower. Ia berusaha membersihkan jejak para bajingan yang telah menodainya. Ia jijik dengan badannya sendiri.Perlahan Silia memegang perutnya. Meski belum membesar, ia tahu ada sebuah kehidupan kecil di dalam sana. Meski tak diinginkan, tapi Silia bertekad akan membiarkan nyawa itu terus hidup.Silia mendekat, tangannya menyentuh jemari Roby yang menggenggam pegangan koper. “Kita pernah saling tolong, saling rawat. Tapi malam ini, aku ingin kita saling miliki.”Roby membuka mata. Ada air bening menggantung di sana. “Beneran?”Silia tersenyum kecil. “Iya. Kali ini bukan karena keadaan. Tapi karena aku yang memilih.”Ia menarik koper dari tangan Roby, meletakkannya di sudut ruangan. Lalu dengan langkah tenang, menggandeng lelaki itu masuk ke kamar.Kamar mereka tidak terlalu besar, tapi nyaman. Bayi mereka sedang tertidur di boks kecil, tubuh mungilnya digerakkan nafas lembut yang damai. Seolah tahu bahwa malam ini, orang tuanya sedang memilih untuk tetap bersama.Silia duduk di tepi ranjang. Ia membuka cardigan pelan, menyisakan kaus tipis yang membentuk siluet tubuhnya yang belum sepenuhnya pulih dari melahirkan.“Tubuhku mungkin belum ideal lagi,” gumamnya pelan, nyaris takut. “Tapi ini aku. Apa adanya.”Roby berdiri di hadapannya. Ia ta
“Kamu pikir hidup aku gampang? Dari kecil aku dibesarkan bapak kayak dia. Pemalas, tukang pukul, penjudi. Ibuku sibuk kerja jadi tukang cuci. Nggak ada yang ngajar aku cara jadi baik, Silia. Yang aku tahu Cuma... cewek harus kuat. Dan satu-satunya kekuatan yang aku tahu... ya cowok. Duit. Gaya hidup.”Silia mengangguk pelan. “Kamu boleh marah. Tapi kamu juga boleh sembuh. Kamu boleh salah... asal kamu mau bangkit.”Yesika membuang muka. Kesal. Tapi juga mulai tampak goyah.“Yesi,” Silia menggenggam ujung jendela kaca pembatas. “Aku nggak benci kamu. Aku datang bukan buat balas dendam. Aku cuma pengen kamu tobat. Karena kamu masih bisa. Masih sempat.”Yesika menunduk. Bahunya naik turun. Tapi wajahnya tetap menegang.“Udahlah. Pulang aja. Aku nggak butuh dikasihani.”Silia menarik napas panjang. Ia berdiri, mengambil tas kecilnya, dan bersiap pergi. Namun sebelum melangkah keluar, ia berkata lirih,“Terima kasih Yesi, karena udah mau jadi temanku se
“Oke. Lokasi antar kita tentuin nanti malam. Harga fix. Bayar cash. No drama.”Yesika menyeringai. “Akhirnya. Kita bisa kabur dari hidup gembel ini.”Dandi mengangguk. Tapi matanya tak sepenuhnya yakin. Ia menatap bayi kecil itu, dan untuk sejenak... ada sesuatu di tatapannya. Mungkin kasihan. Mungkin hanya ragu.Tapi Yesika tidak memberinya waktu berpikir.“Buang kartu SIM itu sekarang. Dan jangan pernah nyebut nama Silia atau Roby lagi. Kita harus bersih. Titik.”Dandi mengambil SIM card dari ponsel dan mematahkan pelan-pelan. Suara ‘krek’ kecil terasa lebih berat dari biasanya.“Besok kita berangkat pagi-pagi. Kalau bisa sebelum ada yang nyari.”Yesika membenahi tas, mengambil uang receh dari dompet kecil mereka, lalu berkata datar, “Anak ini tiket kita. Cuma sementara. Tapi cukup buat mulai hidup baru. Jauh dari kemiskinan busuk ini.”---Di tempat lain, di sebuah warung kopi pinggir jalan, dua pria duduk memandangi layar laptop dari
Dandi tak berkedip. Menatap Yesika dengan serius.“Bapak kenal orang. Yang bisa ‘nampung’. Harganya tinggi... tapi harus bayi yang baru lahir. Gampang dijual.”Yesika mengangguk pelan. “Lakuin aja Pak. Biar Silia ngerasain. Rasanya kehilangan. Rasanya dihancurkan. Sama kayak aku.”Tak ada lagi suara. Tak ada lagi tawa. Hanya diam dan nafas yang berat.Rencana itu belum bulat. Tapi bibitnya sudah tumbuh. Di ruang pengap, di antara abu rokok dan reruntuh harga diri, dua manusia itu mulai menyulam kehancuran untuk satu jiwa tak berdosa—yang bahkan baru lahir ke dunia.**Rumah kontrakan kecil itu masih setengah sepi saat Silia menyalakan kompor. Tangannya sibuk mengaduk bubur, sesekali menoleh ke arah kamar.Putri kecilnya baru saja tertidur. Ia sendiri masih kelelahan, tubuhnya belum benar-benar pulih setelah persalinan. Tapi pagi ini Roby harus keluar, mengambil paket susu formula yang habis sejak kemarin. Ia tak keberatan. Roby sudah melakukan sega
Setelah kelahiran bayi itu, hidup Silia berubah jadi teka-teki yang tak punya jawaban pasti. Bayinya sehat, Roby tetap perhatian, dan Vatra makin sering datang. Tapi hatinya? Semakin berantakan.Pagi itu, Vatra mengajaknya sarapan di taman dekat rumah sakit. Hanya mereka berdua. Ia datang dengan setelan kasual dan senyum yang mematikan, seperti masa lalu yang belum pernah benar-benar ia kubur."Silia," katanya pelan setelah hening cukup lama. "Aku serius."Silia menoleh. "Serius apa?""Serius mau nikahin kamu. Bukan karena pengen memperbaiki masa lalu, tapi karena aku masih cinta. Aku mau kamu. Sama anak kamu. Aku bisa jadi ayahnya."Silia terdiam. Bahkan burung-burung di taman seolah ikut menahan napas."Aku tahu, selama ini mungkin kamu berpikir aku ninggalin kamu dulu. Tapi sekarang, aku balik bukan buat minta penjelasan. Aku balik buat ngelakuin apa yang harusnya aku lakuin dari dulu.""Vatra..." suaranya parau. "Kamu tahu aku udah nikah."
“Kalau kamu beneran sayang anak saya... kamu siap mundur kalau dia milih orang lain?”Roby mengangguk—meski itu mungkin akan membunuhnya. “Saya siap, Pa. Asal dia bahagia.”Arman menatap Roby lama. Untuk pertama kalinya, bukan dengan amarah atau pandangan remeh. Tapi dengan tatapan seorang ayah... yang melihat laki-laki di depan putrinya bukan lagi ancaman, tapi mungkin... perlindungan yang ia tak pernah tahu dibutuhkan.Sementara itu di dalam ruangan, Silia duduk bersandar, memeluk bantal menyusui sambil memperhatikan bayinya yang terlelap di dalam boks.Amira duduk di kursi sebelah tempat tidur, tangan mungilnya menggenggam jemari Silia yang kurus. Ada keheningan yang tak terburu-buru mereka pecahkan. Keheningan yang penuh luka, dan cinta, dan hal-hal yang tak pernah sempat diucapkan selama ini.“Mama minta maaf,” kata Amira akhirnya. Suaranya lembut, serak, seperti seseorang yang baru saja bangun dari mimpi buruk. “Mama harusnya jadi tempat kamu pulang...