Suasana terlihat begitu mewah dan romantis. Dekorasi pelaminan ala hotel bintang 5 yang lengkap dengan bunga-bunga indah membuat siapa pun yang memandang akan merasa takjub.
Para tamu yang hadir merasa kalau Silia adalah gadis yang beruntung, karena bisa mendapatkan pernikahan yang diimpikan banyak gadis di luar sana.Mereka yang datang pun begitu terpesona melihat ketampanan Roby. Meski terdengar desas-desus yang tak mengenakkan, mengingat pernikahan Silia yang begitu mendadak. Pasti menimbulkan berbagai spekulasi di kalangan para undangan yang notabene adalah orang-orang terdekat keluarga Silia.Setelah Roby dengan lancar mengucapkan ijab kabul, disambut teriakan ‘sah’ dari para tamu, Silia tampak di bawa masuk ke dalam ruangan dengan berjalan pelan, diapit oleh dua orang wanita kerabatnya.Silia menjadi pusat perhatian. Gadis itu terlihat cantik, berbanding terbalik dengan penampilannya sehari-hari.“Gimana Roby, cantik kan istrimu?” Nina, yang masih sepupu jauh Silia menggoda Roby.Roby tersenyum. Saat tadi Silia datang mendekat sampai mencium tangannya, mata Roby tak lepas menatap kecantikan Silia. Tapi bagi Roby ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.“Iya cantik,” kata Roby membuat pipi Silia memerah. “Tapi... Lipstiknya terlalu merah,” sambungnya.“Ya penganten emang harus gitu, harus menor. Biar manglingi...” jawab bibi Silia yang tadi menggandeng Silia.Roby hanya bisa mengangguk. Tatapannya beradu pandang dengan Silia. Untuk sesaat terlihat mereka tampak saling mengagumi. Namun di detik lain, mereka sama-sama membuang muka.Roby tampak mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, ia mencari Yesika. Dan akhirnya ia dapat melihat Yesika yang sedang duduk bersama beberapa tamu.Yesika terlihat sangat cantik dengan gaun agak terbuka berwarna pink. Walaupun bukan dari kalangan orang berada, Yesika begitu sangat memperhatikan penampilannya dan pandai memadu-padankan antara pakaian, make up dan perhiasannya yang dipakai.Roby menatap takjub Yesika dari jauh. Meski Silia di sampingnya juga cantik, tapi tetap saja bagi Roby, Yesika adalah gadis yang saat ini dicintainya. Dan dia rela melakukan semua ini demi Yesika.“Selamat ya Silia, semoga pernikahan kamu bahagia. Semoga langgeng sampai kakek nenek. Cepat dapat momongan.”“Eh, iya Tante. Makasih.” Silia tampak terkejut dan terlihat masygul. Tangannya tampak gemetar saat menyalami sepasang suami istri yang saat ini ada di depannya.“Om Cipto sama Tante Hanisa diundang juga?” tanya Silia. Terdengar nada suara yang terlihat keberatan dengan kedatangan kedua orang itu.“Iyalah. Kami kan teman Papamu. Beliau pasti ngundang. Biarpun nggak jadi besanan, iya kan Arman?!” Cipto menggoda Arman yang berdiri tak jauh di samping Silia. Terlihat Arman yang hanya mengangguk sambil tersenyum tawar.Mata Silia mulai memerah. Roby mulai merasa aneh dan jadi penasaran siapa dua orang yang ada di depannya ini.“Gimana kabar Vatra Tante?”“Baik kok. Demi kamu dia bahkan izin kuliah dan pulang. Katanya mau datang ke acara pernikahan kamu dan memberikan selamat secara langsung,” kata Hanisa.Bibir Silia mengatup rapat. Tenggorokannya mendadak terasa kering. Susah payah ia mengumpulkan kekuatannya untuk bicara.“Vatra, pulang? Ada di sini?”“Iya. Tadi diajak berangkat bareng nggak mau. Katanya mau cari kado dulu. Nanti juga ke sini kok.”“Ngomongin aku ya?” terdengar suara seseorang yang membuat mereka semua kompak menoleh, termasuk Roby.Silia bagai membeku. Sosok tampan yang kini sedang berjalan mendekat membuatnya hampir tak bisa menguasai diri. Di hadapannya kini adalah seorang lelaki yang sudah lama ia cintai, cinta pertamanya, Vatra.Dengan senyum yang terkesan dipaksa, Vatra menyalami kedua orang tua Silia, Roby, dan terakhir baru menyalami Silia. Dapat Vatra rasakan betapa dinginnya tangan gadis itu saat ia menjabat tangannya.“Selamat Silia, semoga bahagia.” Hanya itu yang terucap dari mulut Vatra. Bagaimanapun sungguh sangat sulit baginya melihat gadis yang ia cintai bersanding dengan pria lain.Saat kemarin ia mendapat kabar dari ibunya kalau Silia akan segera menikah, Vatra sempat berdiam diri di kamarnya seharian dan bolos kuliah. Setelah pergulatan batin yang panjang, Vatra memutuskan untuk kembali ke Indonesia.Ia ingin datang langsung ke acara pernikahan gadis yang sudah lama bertahta di hatinya, namun belum sempat ia utarakan secara langsung perasaannya itu pada Silia.Selama ini mereka dekat tanpa status hubungan yang jelas, karena Vatra terlalu pemalu untuk mengungkapkan perasaannya. Baginya yang penting mereka saling memahami perasaan masing-masing sudah cukup.Tapi nyatanya, kini Silia telah bersama orang lain. Vatra pikir, mungkin karena selama ini ia tak pernah memberi kepastian untuk Silia.“Ini untukmu,” Vatra menyerahkan sebuah kado kecil berwarna pink ke tangan Silia. “Aku nggak punya maksud apa-apa. Ini hanya sesuatu yang ingin kuberikan untukmu sejak dulu,” katanya lagi.Silia hanya bisa menerima barang pemberian Vatra tanpa berkata sepatah kata pun. Sejak tadi ia sudah bersusah payah menahan tangisnya. Jangan sampai ia mengeluarkan kalimat yang bisa membuat pertahanannya runtuh. Tak mungkin ia menangis karena Vatra di depan semua orang.Tak banyak yang mereka bicarakan. Vatra langsung menuju ke meja prasmanan, mengambil hidangan dan berusaha berbaur dengan beberapa kenalan yang juga menjadi tamu undangan.“Hai, kamu yang namanya Vatra ya?” Yesika menyapa ramah Vatra yang sedang duduk, membuyarkan pandangan pemuda itu, yang sejak tadi memandangi Silia di pelaminan.“Iya,” Vatra pun berusaha ramah. “Kamu....?” tanyanya tak yakin, sebab ia memang tak mengenal Yesika.“Aku Yesika, teman kuliah Silia.”“Oh...” Vatra menjawab pendek.“Kamu yang kuliah di luar negeri itu kan? Aku pernah lihat foto kamu di HP Tante Amira. Katanya kamu pacar Silia?”“Bukan,” Vatra tersenyum. “ Kalau aku pacarnya, sekarang yang di samping Silia adalah aku,” jawab Vatra getir. “Aku Cuma orang yang pernah dekat dengan Silia,” tambahnya.“Oh gitu. Baguslah.” Gumam Yesika.“Bagus kenapa?” tanya Vatra, heran dengan kalimat Yesika barusan.“Oh, nggak. Karena kita sama-sama dekat dengan Silia, kamu bisa hubungi aku kapan aja kalau butuh teman selama di sini,” kata Yesika. Hatinya senang sekali. Dia merasa akan punya kesempatan untuk mendekati Vatra.Sudah sejak lama Yesika mengagumi Vatra. Selain kaya, Vatra juga tampan. Bahkan ketampanannya bisa disejajarkan dengan Roby. Hanya saja ketampanan Vatra ditunjang penampilannya yang menampakkan kalau dia anak orang kaya.Yesika memandangi Vatra dari atas hingga ke bawah. Visual Vatra benar-benar mengagumkan bagi Yesika. Dan Vatra adalah anak orang kaya, berbeda jauh dengan Roby. Yesika bertekad dalam hati. Ia akan mendapatkan Vatra bagaimanapun caranya.Silia mendekat, tangannya menyentuh jemari Roby yang menggenggam pegangan koper. “Kita pernah saling tolong, saling rawat. Tapi malam ini, aku ingin kita saling miliki.”Roby membuka mata. Ada air bening menggantung di sana. “Beneran?”Silia tersenyum kecil. “Iya. Kali ini bukan karena keadaan. Tapi karena aku yang memilih.”Ia menarik koper dari tangan Roby, meletakkannya di sudut ruangan. Lalu dengan langkah tenang, menggandeng lelaki itu masuk ke kamar.Kamar mereka tidak terlalu besar, tapi nyaman. Bayi mereka sedang tertidur di boks kecil, tubuh mungilnya digerakkan nafas lembut yang damai. Seolah tahu bahwa malam ini, orang tuanya sedang memilih untuk tetap bersama.Silia duduk di tepi ranjang. Ia membuka cardigan pelan, menyisakan kaus tipis yang membentuk siluet tubuhnya yang belum sepenuhnya pulih dari melahirkan.“Tubuhku mungkin belum ideal lagi,” gumamnya pelan, nyaris takut. “Tapi ini aku. Apa adanya.”Roby berdiri di hadapannya. Ia ta
“Kamu pikir hidup aku gampang? Dari kecil aku dibesarkan bapak kayak dia. Pemalas, tukang pukul, penjudi. Ibuku sibuk kerja jadi tukang cuci. Nggak ada yang ngajar aku cara jadi baik, Silia. Yang aku tahu Cuma... cewek harus kuat. Dan satu-satunya kekuatan yang aku tahu... ya cowok. Duit. Gaya hidup.”Silia mengangguk pelan. “Kamu boleh marah. Tapi kamu juga boleh sembuh. Kamu boleh salah... asal kamu mau bangkit.”Yesika membuang muka. Kesal. Tapi juga mulai tampak goyah.“Yesi,” Silia menggenggam ujung jendela kaca pembatas. “Aku nggak benci kamu. Aku datang bukan buat balas dendam. Aku cuma pengen kamu tobat. Karena kamu masih bisa. Masih sempat.”Yesika menunduk. Bahunya naik turun. Tapi wajahnya tetap menegang.“Udahlah. Pulang aja. Aku nggak butuh dikasihani.”Silia menarik napas panjang. Ia berdiri, mengambil tas kecilnya, dan bersiap pergi. Namun sebelum melangkah keluar, ia berkata lirih,“Terima kasih Yesi, karena udah mau jadi temanku se
“Oke. Lokasi antar kita tentuin nanti malam. Harga fix. Bayar cash. No drama.”Yesika menyeringai. “Akhirnya. Kita bisa kabur dari hidup gembel ini.”Dandi mengangguk. Tapi matanya tak sepenuhnya yakin. Ia menatap bayi kecil itu, dan untuk sejenak... ada sesuatu di tatapannya. Mungkin kasihan. Mungkin hanya ragu.Tapi Yesika tidak memberinya waktu berpikir.“Buang kartu SIM itu sekarang. Dan jangan pernah nyebut nama Silia atau Roby lagi. Kita harus bersih. Titik.”Dandi mengambil SIM card dari ponsel dan mematahkan pelan-pelan. Suara ‘krek’ kecil terasa lebih berat dari biasanya.“Besok kita berangkat pagi-pagi. Kalau bisa sebelum ada yang nyari.”Yesika membenahi tas, mengambil uang receh dari dompet kecil mereka, lalu berkata datar, “Anak ini tiket kita. Cuma sementara. Tapi cukup buat mulai hidup baru. Jauh dari kemiskinan busuk ini.”---Di tempat lain, di sebuah warung kopi pinggir jalan, dua pria duduk memandangi layar laptop dari
Dandi tak berkedip. Menatap Yesika dengan serius.“Bapak kenal orang. Yang bisa ‘nampung’. Harganya tinggi... tapi harus bayi yang baru lahir. Gampang dijual.”Yesika mengangguk pelan. “Lakuin aja Pak. Biar Silia ngerasain. Rasanya kehilangan. Rasanya dihancurkan. Sama kayak aku.”Tak ada lagi suara. Tak ada lagi tawa. Hanya diam dan nafas yang berat.Rencana itu belum bulat. Tapi bibitnya sudah tumbuh. Di ruang pengap, di antara abu rokok dan reruntuh harga diri, dua manusia itu mulai menyulam kehancuran untuk satu jiwa tak berdosa—yang bahkan baru lahir ke dunia.**Rumah kontrakan kecil itu masih setengah sepi saat Silia menyalakan kompor. Tangannya sibuk mengaduk bubur, sesekali menoleh ke arah kamar.Putri kecilnya baru saja tertidur. Ia sendiri masih kelelahan, tubuhnya belum benar-benar pulih setelah persalinan. Tapi pagi ini Roby harus keluar, mengambil paket susu formula yang habis sejak kemarin. Ia tak keberatan. Roby sudah melakukan sega
Setelah kelahiran bayi itu, hidup Silia berubah jadi teka-teki yang tak punya jawaban pasti. Bayinya sehat, Roby tetap perhatian, dan Vatra makin sering datang. Tapi hatinya? Semakin berantakan.Pagi itu, Vatra mengajaknya sarapan di taman dekat rumah sakit. Hanya mereka berdua. Ia datang dengan setelan kasual dan senyum yang mematikan, seperti masa lalu yang belum pernah benar-benar ia kubur."Silia," katanya pelan setelah hening cukup lama. "Aku serius."Silia menoleh. "Serius apa?""Serius mau nikahin kamu. Bukan karena pengen memperbaiki masa lalu, tapi karena aku masih cinta. Aku mau kamu. Sama anak kamu. Aku bisa jadi ayahnya."Silia terdiam. Bahkan burung-burung di taman seolah ikut menahan napas."Aku tahu, selama ini mungkin kamu berpikir aku ninggalin kamu dulu. Tapi sekarang, aku balik bukan buat minta penjelasan. Aku balik buat ngelakuin apa yang harusnya aku lakuin dari dulu.""Vatra..." suaranya parau. "Kamu tahu aku udah nikah."
“Kalau kamu beneran sayang anak saya... kamu siap mundur kalau dia milih orang lain?”Roby mengangguk—meski itu mungkin akan membunuhnya. “Saya siap, Pa. Asal dia bahagia.”Arman menatap Roby lama. Untuk pertama kalinya, bukan dengan amarah atau pandangan remeh. Tapi dengan tatapan seorang ayah... yang melihat laki-laki di depan putrinya bukan lagi ancaman, tapi mungkin... perlindungan yang ia tak pernah tahu dibutuhkan.Sementara itu di dalam ruangan, Silia duduk bersandar, memeluk bantal menyusui sambil memperhatikan bayinya yang terlelap di dalam boks.Amira duduk di kursi sebelah tempat tidur, tangan mungilnya menggenggam jemari Silia yang kurus. Ada keheningan yang tak terburu-buru mereka pecahkan. Keheningan yang penuh luka, dan cinta, dan hal-hal yang tak pernah sempat diucapkan selama ini.“Mama minta maaf,” kata Amira akhirnya. Suaranya lembut, serak, seperti seseorang yang baru saja bangun dari mimpi buruk. “Mama harusnya jadi tempat kamu pulang...