“Ya... saya ngerti Ibu mungkin bangga. Tapi saya harus bilang jujur. Saya putus dari Roby juga karena hal itu. Saya nggak kuat. Silia terus-terusan minta Roby nemenin, bayar ini itu... dan akhirnya, minta dinikahi. Pake duit segala. Saya tahu, karena saya sempat lihat sendiri Roby sampai stres.”
Nasiha menggigit bibir bawahnya. Hatinya mulai bergetar. Kata-kata Yesika tajam, dan ia mencoba menahan agar tidak langsung percaya. Tapi racun itu perlahan menyelinap ke dalam pikirannya.“Bu...” suara Yesika melembut, “Ibu kan ibunya Roby. Masa nggak pengen tahu kebenarannya? Coba tanya langsung deh. Tanya, apakah itu anaknya beneran. Tanya apa Roby pernah nyentuh dia sebelum hamil.”Nasiha menunduk. Diam. Matanya kosong, pikirannya berisik. Ia tidak tahu harus percaya atau menolak. Tapi kata-kata itu terlalu spesifik. Terlalu meyakinkan.Yesika bangkit, merapikan rambutnya. “Saya cuma bisa doain yang terbaik ya, Bu. Tapi jangan sampai Roby buang masa depannya buat tangVatra menoleh ke Roby sebentar, lalu bicara lagi. “Aku tahu sekarang. Kamu nikah sama dia bukan karena cinta. Kamu cuma… nyoba nutupin semuanya, ya kan? Dan kamu…” Ia memandang Roby dalam, “Kamu cowok baik. Tapi kayaknya kamu cuma jadi peredam luka. Bukan cinta pertama.”“Aku nggak peduli kamu siapa—”“Aku Vatra. Cinta pertamanya Silia,” potong Vatra tenang.Silia memejamkan mata. “Vat… jangan mulai.”“Aku nggak akan maksa. Tapi aku nggak bisa pura-pura nggak peduli setelah tahu semuanya.”“Justru karena kamu tahu semuanya, kamu harus pergi,” kata Roby, nadanya masih sopan tapi jelas menahan emosi.“Tapi dia nggak mencintai kamu, kan?” Vatra menyipit. “Aku tahu itu. Aku denger semuanya dari orang yang juga kamu kenal.”Roby menegang.Pasti Yesika.Silia menarik selimutnya, lelah. “Aku baru melahirkan, Vat. Aku nggak punya energi buat drama.”Vatra mendekat setengah langkah, lalu berhenti. “Aku di sini kalau kamu berubah pikiran, Sil.
Yesika menatap layar ponselnya dengan mata merah. Tangannya gemetar, bukan karena takut—tapi karena amarah. Kata-kata Nasiha tadi siang masih bergema di telinganya, seperti cambuk yang terus menghantam harga dirinya.Perempuan seanggun Silia.Perempuan kuat.Perempuan yang lebih baik dari dirinya."Apa hebatnya perempuan itu…"Yesika mengutuki dirinya yang hanya bisa membisu saat pintu ditutup tepat di depan wajahnya. Ia tahu dirinya kalah, tapi tak terima. Dan satu hal yang tak pernah ia pelajari sejak kecil, tahu kapan harus berhenti.Ia membuka galeri ponsel. Tangannya menyisir deretan foto dan tangkapan layar yang sudah lama ia simpan—bukti-bukti masa lalu Silia. Bukti chat Silia saat memakai akun palsu ketika mencari lelaki yang mau bertanggungjawab atas kehamilannya. Ada juga rekaman suara antara dirinya dan Silia—hanya soal malam pemerkosaan itu. Yesika yakin, itu cukup untuk menggiring opini.Yesika membuka grup WhatsApp keluarga besar Sili
"Maaf, Bu. Aku nyesel. Tapi aku bener-bener berharap Ibu bisa terima Silia dan anak itu. Sama kayak aku. Aku udah bahagia dengan hidupku sekarang. Mungkin awalnya karena tekanan. Tapi sekarang... aku tahu aku cinta sama Silia. Dan aku pengen jadi orang yang bisa dia andalkan. Bukan karena dia anak orang kaya. Tapi karena aku nggak bisa ninggalin dia begitu aja setelah semua yang kami lewati."Nasiha menatap anaknya dalam diam. Ada getir di matanya. Tapi juga kilau yang baru—bangga, meski tak sempurna. Luka, tapi dengan pemahaman."Ibu nggak tahu kamu berubah sejak kapan. Tapi kalau ini caranya kamu jadi lelaki... Ibu bisa terima. Asal satu hal, jangan bohong lagi, Roby. Sekali aja kamu nutupin sesuatu lagi... Ibu yang bakal pergi dari hidup kamu."Roby mengangguk, lalu memeluk ibunya erat. "Terima kasih, Bu..."Dan sore itu, meski kebenaran terasa pahit, setidaknya satu luka mulai diobati—dengan kejujuran.Sementara itu, di balik pintu dapur, Silia berdiri d
“Ya... saya ngerti Ibu mungkin bangga. Tapi saya harus bilang jujur. Saya putus dari Roby juga karena hal itu. Saya nggak kuat. Silia terus-terusan minta Roby nemenin, bayar ini itu... dan akhirnya, minta dinikahi. Pake duit segala. Saya tahu, karena saya sempat lihat sendiri Roby sampai stres.”Nasiha menggigit bibir bawahnya. Hatinya mulai bergetar. Kata-kata Yesika tajam, dan ia mencoba menahan agar tidak langsung percaya. Tapi racun itu perlahan menyelinap ke dalam pikirannya.“Bu...” suara Yesika melembut, “Ibu kan ibunya Roby. Masa nggak pengen tahu kebenarannya? Coba tanya langsung deh. Tanya, apakah itu anaknya beneran. Tanya apa Roby pernah nyentuh dia sebelum hamil.”Nasiha menunduk. Diam. Matanya kosong, pikirannya berisik. Ia tidak tahu harus percaya atau menolak. Tapi kata-kata itu terlalu spesifik. Terlalu meyakinkan.Yesika bangkit, merapikan rambutnya. “Saya cuma bisa doain yang terbaik ya, Bu. Tapi jangan sampai Roby buang masa depannya buat tang
Suara bel kecil menggantung di pintu studio berbunyi nyaring saat pintu dibuka. Roby yang sedang merapikan hasil rias pengantin pagi tadi sontak menoleh. Ia tidak langsung mengenali sosok perempuan yang berdiri di ambang pintu.Sampai perempuan itu melepas kacamata hitamnya.“Yesi?” Roby berdiri tegak, tubuhnya menegang.Yesika melangkah masuk, membiarkan tatapannya menelusuri setiap sudut studio. Rak kaca tertata rapi, kursi makeup dengan lampu sorot profesional, bahkan logo bertuliskan R. Atelier yang menempel di sudut cermin. Semuanya membuat alisnya naik sedikit.“Wah. Aku kira kamu cuma bantu-bantu. Ternyata kamu yang punya tempat ini?”Roby tidak menjawab. Ia hanya memutar kursi makeup ke samping, menyandarkan diri, berusaha tetap tenang.Yesika tertawa kecil. “Lucu juga. Dulu kamu cowok dari kampung, kerja jadi pelayan. Sekarang jadi makeup artist beneran?”“Orang bisa berubah,” jawab Roby datar. “Apalagi kalau mereka dipaksa nikahin peremp
Restoran kecil itu tak terlalu ramai. Meja kayu hangat, tanaman dalam pot, dan musik akustik pelan yang menyatu dengan aroma kopi dan roti panggang. Di sudut jendela yang paling banyak cahaya, Roby duduk berhadapan dengan perempuan yang kini selalu jadi tujuannya pulang.Silia mengenakan dress sederhana warna krim dan outer tipis. Rambutnya dikuncir rendah, dan wajahnya polos tanpa riasan. Tapi bagi Roby, tak ada yang lebih menenangkan selain wajah itu. Wajah perempuan yang tak pernah mempermalukannya meski mereka harus tinggal di kontrakan sempit. Yang selalu diam-diam menyisihkan uang belanja demi membelikan Roby kuas make-up baru.“Ini tempat favorit kamu yang baru?” tanya Silia, meneguk teh hangatnya.Roby mengangguk, lalu menyendok separuh scrambled egg dari piringnya ke piring Silia. “Iya. Deket dari salon, dan lebih enak kalau kita brunch di tempat yang tenang. Bisa ngobrol panjang, nggak perlu buru-buru.”Silia tersenyum. “Padahal kamu paling nggak