"Kenapa kau dulu tidak menikahi Priska saja? Bukankah ibumu lebih menyukainya ketimbang aku? Orang tuanya bahkan lebih kaya dari orang tuaku. Pasti kalian akan mendapatkan lebih dari apa yang sudah diberi oleh orang tuaku!" Mas Wira melirik tajam ke arahku. Mungkin tersinggung dengan ucapanku barusan. Biar saja. Aku memang sengaja ingin memancing emosinya. Namun sayangnya hanya sebentar. Setelahnya, ia kembali fokus menatap layar macbooknya."Priska cantik, modis, kuliahnya di luar negeri. Apa lagi yang kurang darinya?" "Dia bahkan memiliki daya tarik yang mampu memikat lelaki. Aku saja yang wanita kagum padanya." Lagi, aku kembali memancingnya.Sial! Lelaki itu bahkan terlalu asik dengan pekerjaannya. Ia tak mengacuhkanku sama sekali. Kesabaranku nyaris habis sekarang."Aku ingin cerai saja," ucapku akhirnya. Mas Wira kembali menghadiahiku tatapan tajam yang menusuk. "Kamu bilang apa?""Aku sangat lelah. Aku benar-benar ingin menyerah. Tolong lepaskan aku. Bisa kan?" ucapku memela
Jantungku kian bertalu-talu. Sampai-sampai aku bisa mendengar suara degup jantungku sendiri. Siapa pemilik nomor ini?Foto profilnya kosong, bahkan namanya saja tidak ada. Sepertinya memang sengaja tidak ditulisnya. Kusentuh tombol hijau guna memanggil si pengirim foto tak bernama. Hanya berbunyi tut ... tut ... tut .... Namun sepertinya tidak aktif.Apakah ini nomor baru Mas Wira? Menurut pengakuannya bukankah dia yang telah memerkosaku? Tapi untuk apa dia mengirimiku gambar ini? Apakah dia bermaksud menerorku? Tidak mungkin. Mas Wira tidak mungkin melakukan hal bodoh seperti ini.Apakah kutelepon Mas Wira saja, ya? Aku ingin menanyakan hal ini padanya. Namun ketika aku sudah bersiap meneleponnya, tiba-tiba saja aku urung melakukannya. Aku tidak boleh gegabah. Sebaiknya, kucari tahu dulu sembari diam-diam menyelidiki Mas Wira. Apakah benar dia pengirimnya?***Jam menunjukkan angka lima tatkala Mas Wira sampai di rumah. Wajahnya terlihat tegang bercampur lelah tak seperti biasanya.
Aku baru saja masuk ke dalam kamar dan tak menemukan keberadaan Mas Wira di sana. Sudah pukul delapan malam namun suamiku itu belum juga turun untuk makan malam. Tidak biasanya ia seperti ini."Mas ...!" Kupanggil dia seraya mengetuk pintu kamar mandi. Siapa tahu ada di dalam. Namun tak ada sahutan. Sepertinya memang kosong. Ke mana ya, Mas Wira?Samar-samar, aku mendengar suara Mas Wira sedang mengobrol di balkon. Aku lantas berjalan ke arah sana. Pintu balkon dalam keadaan terbuka sedikit. Agar tidak ketahuan, aku memilih mengintip keluar melalui gorden yang sedikit kusibakkan.Tampak Mas Wira yang sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon genggamnya dengan raut wajah tegang. Sampai-sampai aku bisa melihat rona wajahnya yang memerah karena emosi. Sedang berbicara dengan siapa dia? Kenapa bisa sampai seemosi itu?Kutajamkan pendengaranku demi mendengar obrolannya."Jangan pernah ganggu istriku! Kau hanya bisa merusaknya saja! Ke mana pun kau lari, aku akan terus mengejarmu!"
Pikiranku melayang entah ke mana. Padahal aku sedang menggoreng ikan sekarang. Teror dari orang itu membuat pikiranku seketika buntu. Setelah insiden itu, Mas Wira hanya menenangkanku saja. Meski aku berharap ada suatu tindakan yang dilakukannya untukku. Entahlah, aku sendiri pun enggan memaksanya. Kelelahan yang menggelayut di wajahnya membuatku cukup merasa segan untuk mengganggunya."Non, jangan ngelamun, nanti ikannya gosong," bisik Bi Inah yang membuatku spontan terkejut."Oh ... iya, Bik." Tanganku dengan lincah membalik ikan di penggorengan."Daging prestonya kayaknya sebentar lagi mateng tuh, Non." Bibi mengingatkan sambil menunjuk tungku sebelah yang di gunakan untuk memasak rawon menggunakan panci presto.Aku pun mengangguk. Bik Inah lantas beranjak dari sisiku. Seperti tak sadar, aku pun kembali dalam lamunanku. Tak berapa lama, aku dibuat terkejut dengan bunyi nyaring dari panci presto. Buru-buru kukecilkan api kompor. Setelah agak lama dan kupastikan rawonku telah mat
Iseng, aku lalu membuka lemari khusus yang digunakan untuk menyimpan barang-barang lamaku. Dari mulai pernak-pernik, kemudian buku-buku pelajaran semasa SD, SMP, maupun SMA, semua kusimpan rapi di dalam lemari tersebut.Kubuka dan kuperiksa satu per satu barang 'bersejarah' penuh kenangan yang telah menemaniku dari masa ke masa itu.Tanganku meraih sebuah buku diari zaman SMA milikku yang masih tampak rapi meskipun sudah lama tak tersentuh. Bibirku menyunggingkan sebuah senyum tipis kala membuka lembaran demi lembaran kertas yang mulai tampak usang tersebut. Bukan kisah percintaan. Melainkan sebuah barisan tulisan konyol teman-teman sekelasku yang menuliskan tentang data dirinya.Secara tak sengaja, aku menemukan selembar foto yang terselip di antara lembaran kertas tersebut. Lagi-lagi aku tersenyum melihatnya. Sebuah foto diriku bersama dengan seorang teman lelaki yang bernama Yudha. Dia adalah kakak kelasku. Lelaki berkaca mata dan bertubuh sangat subur. Kulitnya putih bersih, ora
Aku bergegas berlari ke halaman rumah."Kak! Berhenti! Ini bukan salah Mas Wira, Kak!" jeritku memohon.Kak Yessa menghentikan pukulannya kemudian beralih melototiku."Udah dibikin hampir mati di rumah itu masih juga kamu bilang bukan kesalahannya??!" hardiknya."Itu perbuatan mamanya, Kak. Mas Wira baik," balasku sambil menangis."Aku mohon lepaskan Mas Wira, Kak. Dia suami Yessi," mohonku lagiKak Yessa tampak emosi, dadanya turun naik."Aarrgghh!! Kalo bukan Yessi yang minta. Udah gue bikin mati loe!!" teriaknya di telinga Mas Wira. Setelahnya ia berlalu dari tempat itu.Begitu Kak Yessa pergi, aku langsung meraih Mas Wira yang sudah terkulai lemas ke dalam pelukan. Wajahnya babak belur, sudut bibirnya bengkak mengeluarkan darah. Aku yakin, tenaga Mas Wira cukup mampu untuk melawan kakakku yang membabi buta tadi. Akan tetapi, mengingat Kak Yessa adalah seorang wanita, terlebih kakak iparnya, pastinya membuat Mas Wira berpikir ribuan kali untuk melawannya."Mas, kamu masih sadar, ka
Tanganku panas dingin sambil duduk menunggu di ruang tengah dengan penuh ketegangan. Kesannya seperti menunggu salah satu keluarga yang sedang menjalani operasi. Namun, di dalam sana adalah keluarga Mas Wira yang sedang disidang oleh papi.Beberapa kali terdengar gebrakan meja. Aku takut jika terjadi keributan dan mereka berkelahi. Mami yang duduk di sebelahku kemudian meremas tanganku, seolah ingin mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Sementara Kak Yessa berdiri sambil menyilangkan tangannya, tubuhnya disandarkannya di sofa.Tak berapa lama, terdengar bunyi bel pintu. Itu pasti Bang Yossi. Barusan dia menelepon dan memberi tahu kalau akan datang ke sini. Bi Rum kemudian berlari tergopoh-gopoh guna membukakan pintunya.Bang Yossi kemudian menghampiri kami dengan tergesa-gesa. Ia datang sendirian tanpa membawa anak dan istrinya."Gimana?" tanyanya."Masih disidang." Kak Yessa yang menjawab sembari menunjuk ke ruang kerja papi menggunakan dagunya. Bang Yossi kemudian beralih memperha
Hunian baru ini terdiri dari dua lantai. Warnanya didominasi oleh cat putih. Bentuknya simpel namun tampak elegan. Ada taman kecil di sekeliling rumah yang ditumbuhi oleh rumput jepang, menambah kesan asri pada hunian minimalis tersebut."Ini semua Mas yang nanem?" tanyaku begitu tiba di taman belakang rumah yang juga berbentuk minimalis.Mas Wira mengangguk. "Suka nggak?" "Suka sekali. Aku nggak nyangka Mas pinter soal tanam-menanam," pujiku.Terdapat beberapa tanaman hias di dalam pot-pot kecil yang ditata apik sedemikian rupa. Serta di pojok taman ada sebuah kolam ikan hias berbentuk mini, cantik sekali. Semuanya dibuat serba mini, namun itulah yang kusuka."Kamu suka rumah ini, Yessi?" Aku mengangguk secara antusias. "Rumahnya nyaman, Mas. Juga sejuk."Mas Wira tersenyum lalu memelukku dari belakang. "Semoga kamu betah tinggal di sini, ya?""Aamiin.""Boleh aku tanya sesuatu, Yessi?""Hm. Mas mau nanya apa?" tanyaku sembari agak mendongak, agar aku dapat melihat wajahnya."Tadi