Cuti ‘pernikahan’ satu hari terasa begitu lama bagi Elena dan Gerald. Sejak sarapan bersama kemarin pagi, mereka tidak lagi saling menyapa. Elena hanya keluar kamar untuk mengambil makanan, sementara Gerald hanya keluar sebentar untuk membuat kopi sebelum kembali terkunci di ruang kerjanya. Mereka bersikap seperti dua orang asing yang terjebak dalam satu atap—terlalu malas berbagi ruang, terlalu enggan membuka percakapan.
Pagi ini, mereka kembali bertemu. Gerald sudah lebih dulu berada di ruang makan, sedang menyiapkan kopi. Ia mengenakan kemeja putih bersih yang disetrika rapi, dengan jas hitamnya yang belum ia kenakan dan masih disampirkan di sandaran kursi. Penampilannya mencerminkan sosok pria penting, seperti pesona yang selalu ia tunjukkan di ruang rapat maupun berita bisnis.
Sementara itu, Elena melangkah masuk tanpa suara. Ia hanya melirik sekilas pada Gerald, tidak peduli banyak. Elena juga sudah terlihat rapi dengan kemeja putih yang dibalut blazer coklat muda sederhana namun elegan. Rambutnya dibiarkan tergerai alami dengan sentuhan make up tipis dan natural. Perempuan itu memiliki kecantikan yang tak terbantahkan, meskipun hanya berpenampilan sederhana.
Elena memilih untuk segera memanggang roti, tanpa menyapa Gerald yang masih sibuk dengan mesin kopi. Aroma kopi memenuhi ruangan, bercampur dengan aroma roti yang mulai menghangat, menciptakan suasana pagi yang semestinya nyaman—namun terasa dingin dan kaku karena keheningan yang menggantung di antara mereka.
Gerald tetap diam, tidak menoleh, tidak menawarkan kopi. Tangannya sibuk menggulir layar tablet, membaca email yang menumpuk sejak semalam. Ia tampak fokus, atau mungkin sengaja menyibukkan diri.
Elena melirik sekilas ke arahnya, lalu cepat-cepat memalingkan wajah. Ia menahan napas sejenak, lalu menghembuskannya perlahan saat roti sudah siap. Kecanggungan masih memenuhi ruangan, menggantung seperti kabut pagi yang enggan pergi.
Tanpa banyak pikir, Elena mengambil piring rotinya dan berbalik, berniat menyantap sarapan itu sendirian di ruang televisi—jauh dari suasana membeku ini, jauh dari tatapan yang tak kunjung diberikan Gerald.
Namun, baru beberapa langkah ia berjalan, suara berat pria itu menghentikannya.
"Elena," panggil Gerald, datar namun cukup jelas.
Langkah Elena terhenti. Ia diam sejenak, lalu perlahan menoleh. “Apa?”
Gerald mengangkat wajah, menatapnya sebentar. “Kamu bisa sarapan disini,” ujar Gerald singkat dengan suaranya yang rendah dan dingin.
Sejenak, ruangan kembali hening. Kalimat itu meluncur begitu saja, nyaris tanpa beban, seperti sekadar formalitas. Gerald lalu kembali menunduk, menatap tablet di tangannya seolah tak pernah berkata apa pun.
Beberapa saat tidak mendapatkan balasan, Gerald menarik napas singkat. “Itu meja makan. Bukan cuma milikku saja.”
Kata itu membuat Elena mengangkat alis, cibiran kecil lolos dari bibirnya tanpa suara. Tetapi ia menahan diri untuk tidak berdebat. Dengan gerakan terpaksa, ia menarik kursi yang berseberangan dengan Gerald.
Elena mulai mengoleskan selai pada roti panggangnya. Sementara Gerald masih sibuk dengan tabletnya, namun sesekali matanya melirik dari ujungan pandangan. Gerald tidak mengatakannya, tapi kehadiran Elena di meja itu—anehnya—tidak terasa mengganggu.
Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, Gerald kembali membuka suara. "Jadi, apa rencanamu hari ini?"
Elena menghela napas. "Kenapa kamu peduli?"
"Hanya bertanya. Kita tinggal bersama sekarang. Setidaknya kita perlu tahu jadwal masing-masing."
Elena menyesap espressonya sebelum menjawab. "Pukul 10 ada rapat direksi, lalu meeting dengan tim programming untuk evaluasi program prime time mingguan. Sore ini ada pertemuan dengan calon pengiklan baru."
Gerald mengangguk tenang. "Terdengar sibuk."
"Selalu," Elena menimpali dengan nada sarkastik.
Gerald tersenyum miring. Perempuan di hadapannya ini memang sangat angkuh, dingin, namun selalu terlihat percaya diri. Ia mengamati Elena sejenak—cara ia duduk tegak, gerakan tangannya saat mengangkat garpu memasukkan potongan roti ke dalam mulut, tatapan matanya yang selalu tenang meski menusuk.
Gerald menghela napas, menatap Elena serius. “Aku perlu nomor handphone-mu.”
Elena menatapnya curiga. “Untuk apa?”
"Supaya mudah dihubungi jika ada sesuatu yang penting," jawab Gerald tenang. "Dan akan aneh rasanya jika kita tidak memiliki kontak satu sama lain.”
Gerald lantas mengambil handphonenya dari saku celana, membuka layarnya dan meletakkannya di hadapan Elena. “Tuliskan nomormu disana,” ujarnya secara tidak langsung memerintahkan Elena.
Elena menghela napas, mengambil ponselnya dan mengetikkan nomornya di layar Gerald. "Jangan gunakan ini untuk hal-hal tidak penting," katanya dengan nada peringatan.
Gerald tersenyum kecil, menyimpan nomor itu. "Aku bukan tipe yang suka mengganggu," Gerald memandang Elena, mengangkat alis kecil. “Dan aku hanya akan menghubungimu jika perlu saja.”
Elena berdecih, tidak terusik sama sekali. “Ya baguslah, memang sebaiknya seperti itu,” ujarnya malas, sambil mengembalikan handphone Gerald pada pemiliknya.
Gerald melirik layar sekali lagi. Nama kontaknya hanya tertulis: Elena. Ringkas, dingin, dan tanpa embel-embel.
“Bagaimana aku yakin yang kamu tuliskan ini nomer handphonemu?” gumamnya setengah menyindir.
Elena menatapnya datar. “Kalau kamu ragu, coba telepon sekarang.”
Gerald menatapnya balik, lalu dengan gerakan lambat menekan ikon panggil. Dalam hitungan detik, ponsel Elena yang tergeletak di atas meja mulai berdering pelan.
Tanpa ekspresi, Elena mengangkat ponsel itu, menunjukkan layar pada Gerald. “Puas?”
Gerald mengangguk, tersenyum samar. “Setidaknya sekarang aku tahu kamu tidak berniat membohongiku.”
Elena mendengus malas. “Aku tidak selicik itu.”
Gerald tersenyum miring. “Mungkin tidak hari ini,” ujarnya pada Elena, tatapannya menusuk dalam.
Elena berdecih, tidak goyah sama sekali. “Fuck off,” ucapnya datar, tanpa nada tinggi—justru terdengar lebih menusuk karena ketenangannya.
Gerald tidak bereaksi berlebihan. Ia hanya tersenyum tipis, seperti seseorang yang sudah memperkirakan respons itu sejak awal. Senyum yang lebih dingin dari sebelumnya, namun tidak benar-benar puas.
Ia mengambil tablet dan ponselnya dari meja, lalu mengenakan jas dengan gerakan tenang dan rapi. Tak ada satu pun yang terburu-buru dari tubuh pria itu—semuanya selalu terkontrol, seolah tidak ingin menunjukkan kelemahan apa pun.
Gerald memperhatikan Elena sekilas. “Jangan lupa cincin pernikahanmu, Elena,” ujar Gerald dingin, memandang Elena yang terkejut karena dirinya memperhatikan hal sedetail itu. “Ingat perjanjian kita. Jangan pernah menimbulkan kekacauan dan kecurigaan dari semua orang.”
Elena tidak langsung merespons. Ingatannya bergerak laci meja kamar, ia meletakkan cincin itu semalam. Tanpa berpikir panjang, hanya karena bend aitu terasa begitu asing dan aneh di jarinya.
Ia membalas tatapan Gerald. “Aku bisa mengurus sikapku sendiri, Gerald. Jangan pernah ragukan aku soal itu.”
Gerald mengangguk singkat, seolah puas dengan jawaban itu, lalu berjalan meninggalkan ruang makan.
Saat pintu utama tertutup dengan suara klik yang ringan namun tegas, Elena masih berdiri di tempatnya. Diam. Membeku dalam pikiran-pikirannya sendiri.
Dengan enggan, ia melangkah ke arah laci, membuka laci kecil itu, dan mengeluarkan cincin tipis berlapis emas putih yang sempat membuat jarinya terasa berat sejak hari pertama dikenakan.
Elena memakai ‘lagi’ cincin pernikahan itu di jari manisnya. Seolah cincin itu adalah sebuah pertanda bahwa Elena telah terikat. Terikat oleh perjanjian yang terpaksa.
***
Malam itu, setelah Gerald mengantar Elena kembali ke kantornya, apartemen mewah di puncak gedung pencakar langit itu terasa sepi, namun tidak lagi kosong. Gerald memarkir mobilnya di basement, lalu naik lift dengan langkah-langkah yang, entah mengapa, terasa lebih berat dari biasanya. Ia seharusnya bisa langsung menuju kamarnya, bersantai, membaca laporan, dan mempersiapkan mental untuk hari besar esok. Itulah rutinitasnya. Itulah yang selalu ia lakukan.Namun, malam ini berbeda. Pikiran Gerald terus-menerus kembali pada Elena. Pada gaun zamrud itu, bagaimana gaun itu meluncur anggun di tubuh Elena, bagaimana warna itu menghidupkan matanya, dan bagaimana ia sendiri—Gerald Aiden Mahatma—merasa terpukau. Ia membenci perasaan tidak terkendali ini. Ia membenci fakta bahwa Elena, yang seharusnya hanya menjadi bagian dari kontrak bisnisnya, kini begitu kuat menguasai benaknya.Ia masuk ke apartemen. Lampu di ruang tamu utama masih mati. Keheningan menyambutnya. Gerald bisa saja langsung ke
Ketika Elena kembali ke area showroom, Gerald sudah berdiri di meja kasir, kartu kreditnya berada di tangan. Ia tidak bertanya harga. Ia tidak ragu. Ia hanya membeli."Sudah?" Gerald bertanya begitu Elena mendekat, nadanya kembali datar. Ia sudah berdiri di meja kasir, kartu kreditnya baru saja ditarik dari mesin, seolah ia tak sabar untuk meninggalkan tempat itu. "Kita bisa pergi."Gerald tidak menunggu jawaban Elena. Ia hanya berbalik dan berjalan menuju pintu butik. Elena, masih sedikit limbung oleh intensitas momen yang baru saja berlalu, mengikuti di belakangnya. Gerald membuka pintu penumpang untuk Elena, sebuah isyarat yang tidak biasa dari pria itu. Gerald menutup pintu dengan suara pelan, lalu berputar dan masuk ke kursi pengemudi. Mesin mobil menyala, meraung pelan, sebelum melaju mulus membelah jalanan Jakarta yang mulai ramai.Mobil bergerak perlahan di tengah kemacetan kota. Gerald menatap jalanan dengan serius, namun, matanya sesekali mencuri pandang ke arah Elena, yang
Siang harinya, setelah perdebatan dengan Leo beserta banyaknya dokumen yang perlu ia tinjau sebelum pengumuman akuisisi besok malam, Elena masih berada di ruangannya dengan segelas kopi yang masih dingin. Berulang kali dia memegang pelipisnya, sedikit pusing dengan banyaknya dokumen yang perlu ia tangani.Ditengah itu semua, telepon di meja Elena berdering. Itu adalah nomor pribadi Gerald. Elena mengangkatnya dengan sedikit bingung. Tidak biasanya pria itu menghubunginya lebih dulu."Elena," suara Gerald terdengar tegas di ujung sana. "Pastikan jadwalmu kosong siang ini pukul dua."Elena mengernyitkan dahinya. "Ada apa, Gerald? Aku ada jadwal rapat dengan tim promosi sore ini.""Batalkan," Gerald membalas tanpa basa-basi. "Aku ingin kamu ikut ke butik."Elena terdiam? Ia selalu mengelola penampilannya sendiri, memilih busana untuk setiap acara, disesuaikan dengan peran dan citra yang ingin ia sampaikan. Gerald tidak pernah mencampuri urusan ini. "Untuk apa?" tanyanya, nada suaranya se
Pagi hari terasa seperti fajar yang membawa beban ganda bagi Elena. Secara profesional, ia merasa bersemangat untuk pekan yang akan datang—pengumuman akuisisi Atmaja Pictures oleh Mahatma Entertainment adalah puncak kariernya yang gemilang. Namun, secara pribadi, jiwanya terasa tercabik. Bayangan wajah terluka Leo di pelataran gereja, kontras dengan khotbah Pastor yang menusuk tentang hati yang terpecah, terus menghantuinya. Dan, anehnya, pujian tak terduga dari Gerald di hadapan orang tuanya telah menambahkan lapisan kerumitan baru pada ikatan palsu mereka.Ia duduk di kursi kerjanya yang ergonomis di kantornya yang mewah di pusat kota Jakarta, menatap layar monitor yang menampilkan detail-detail terakhir untuk acara hari Selasa. Jemarinya menari di atas keyboard, mengetik email dengan cekatan.Ponsel di mejanya tiba-tiba bergetar, menampilkan nama yang seketika membuat jantungnya berdesir tak nyaman, namun juga membawa sedikit rasa rindu yang terlarang: Leo. Elena menatap nama itu s
Mereka duduk mengelilingi meja makan bundar berukir, yang dilapisi taplak brokat mewah. Aroma hidangan modern yang dimasak oleh Isabella memenuhi ruang makan, menciptakan suasana hangat yang kontras dengan ketegangan tak terlihat antara Gerald dan Elena. Percakapan mengalir santai tentang topik umum, seperti cuaca dan rencana liburan keluarga yang belum terealisasi, sampai akhirnya Darius mengarahkan pembicaraan ke wilayah yang lebih familiar bagi Gerald.“Gerald,” Darius memulai, menyesap teh melatinya sambil menatap Gerald. "Dengar-dengar proyek film barumu akan segera masuk pra-produksi penuh, Gerald?" Darius kini menoleh, mengalihkan topik ke hal yang lebih 'aman'. "Liam Alexander adalah aktor yang hebat. Mama dan Papa sudah tidak sabar menunggu hasilnya."Gerald merasa lega. Ini adalah wilayahnya. "Iya, Pa. Kami akan mulai bekerja keras minggu depan. Liam memang aset yang luar biasa." Ia tidak menyebutkan masalah kampanye promosi yang sempat membuatnya pusing, atau bagaimana ide E
Misa dimulai. Suara paduan suara memenuhi ruangan, nyanyian pujian yang khusyuk. Gerald mengikuti gerakan ritual dengan otomatis, pikirannya sesekali melayang pada jadwal padat minggu depan. Di sampingnya, Elena juga tampak khusyuk, tatapannya lurus ke depan, seolah benar-benar tenggelam dalam ibadah, meskipun sebagian kecil pikirannya masih terjebak pada sosok Leo di luar sana.Kemudian, tibalah sesi khotbah. Pastor melangkah maju ke mimbar, tatapannya menyapu seluruh jemaat. Suaranya berwibawa, namun menenangkan. "Saudara-saudari sekalian," Pastor memulai, "hari ini kita merenungkan tentang makna sejati sebuah ikatan. Ikatan perkawinan, sebuah anugerah kudus, bukan hanya tentang dua individu yang bersatu di hadapan Tuhan, tetapi juga tentang dua jiwa yang berjanji untuk saling setia, saling mendukung, dan saling menjaga, dalam suka maupun duka."Gerald menyilangkan tangannya di dada, posturnya tetap tegap. Ia mendengarkan, namun pikirannya mulai mengembara. Ikatan, kesetiaan... omon