Share

Bab 7 Obrolan Singkat

Author: yourayas
last update Huling Na-update: 2025-06-28 09:00:38

Cuti ‘pernikahan’ satu hari terasa begitu lama bagi Elena dan Gerald. Sejak sarapan bersama kemarin pagi, mereka tidak lagi saling menyapa. Elena hanya keluar kamar untuk mengambil makanan, sementara Gerald hanya keluar sebentar untuk membuat kopi sebelum kembali terkunci di ruang kerjanya. Mereka bersikap seperti dua orang asing yang terjebak dalam satu atap—terlalu malas berbagi ruang, terlalu enggan membuka percakapan.

Pagi ini, mereka kembali bertemu. Gerald sudah lebih dulu berada di ruang makan, sedang menyiapkan kopi. Ia mengenakan kemeja putih bersih yang disetrika rapi, dengan jas hitamnya yang belum ia kenakan dan masih disampirkan di sandaran kursi. Penampilannya mencerminkan sosok pria penting, seperti pesona yang selalu ia tunjukkan di ruang rapat maupun berita bisnis.

Sementara itu, Elena melangkah masuk tanpa suara. Ia hanya melirik sekilas pada Gerald, tidak peduli banyak. Elena juga sudah terlihat rapi dengan kemeja putih yang dibalut blazer coklat muda sederhana namun elegan. Rambutnya dibiarkan tergerai alami dengan sentuhan make up tipis dan natural. Perempuan itu memiliki kecantikan yang tak terbantahkan, meskipun hanya berpenampilan sederhana.

Elena memilih untuk segera memanggang roti, tanpa menyapa Gerald yang masih sibuk dengan mesin kopi. Aroma kopi memenuhi ruangan, bercampur dengan aroma roti yang mulai menghangat, menciptakan suasana pagi yang semestinya nyaman—namun terasa dingin dan kaku karena keheningan yang menggantung di antara mereka.

Gerald tetap diam, tidak menoleh, tidak menawarkan kopi. Tangannya sibuk menggulir layar tablet, membaca email yang menumpuk sejak semalam. Ia tampak fokus, atau mungkin sengaja menyibukkan diri.

Elena melirik sekilas ke arahnya, lalu cepat-cepat memalingkan wajah. Ia menahan napas sejenak, lalu menghembuskannya perlahan saat roti sudah siap. Kecanggungan masih memenuhi ruangan, menggantung seperti kabut pagi yang enggan pergi.

Tanpa banyak pikir, Elena mengambil piring rotinya dan berbalik, berniat menyantap sarapan itu sendirian di ruang televisi—jauh dari suasana membeku ini, jauh dari tatapan yang tak kunjung diberikan Gerald.

Namun, baru beberapa langkah ia berjalan, suara berat pria itu menghentikannya.

"Elena," panggil Gerald, datar namun cukup jelas.

Langkah Elena terhenti. Ia diam sejenak, lalu perlahan menoleh. “Apa?”

Gerald mengangkat wajah, menatapnya sebentar. “Kamu bisa sarapan disini,” ujar Gerald singkat dengan suaranya yang rendah dan dingin.

Sejenak, ruangan kembali hening. Kalimat itu meluncur begitu saja, nyaris tanpa beban, seperti sekadar formalitas. Gerald lalu kembali menunduk, menatap tablet di tangannya seolah tak pernah berkata apa pun.

Beberapa saat tidak mendapatkan balasan, Gerald menarik napas singkat. “Itu meja makan. Bukan cuma milikku saja.”

Kata itu membuat Elena mengangkat alis, cibiran kecil lolos dari bibirnya tanpa suara. Tetapi ia menahan diri untuk tidak berdebat. Dengan gerakan terpaksa, ia menarik kursi yang berseberangan dengan Gerald.

Elena mulai mengoleskan selai pada roti panggangnya. Sementara Gerald masih sibuk dengan tabletnya, namun sesekali matanya melirik dari ujungan pandangan. Gerald tidak mengatakannya, tapi kehadiran Elena di meja itu—anehnya—tidak terasa mengganggu.

Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, Gerald kembali membuka suara. "Jadi, apa rencanamu hari ini?"

Elena menghela napas. "Kenapa kamu peduli?"

"Hanya bertanya. Kita tinggal bersama sekarang. Setidaknya kita perlu tahu jadwal masing-masing."

Elena menyesap espressonya sebelum menjawab. "Pukul 10 ada rapat direksi, lalu meeting dengan tim programming untuk evaluasi program prime time mingguan. Sore ini ada pertemuan dengan calon pengiklan baru."

Gerald mengangguk tenang. "Terdengar sibuk."

"Selalu," Elena menimpali dengan nada sarkastik.

Gerald tersenyum miring. Perempuan di hadapannya ini memang sangat angkuh, dingin, namun selalu terlihat percaya diri. Ia mengamati Elena sejenak—cara ia duduk tegak, gerakan tangannya saat mengangkat garpu memasukkan potongan roti ke dalam mulut, tatapan matanya yang selalu tenang meski menusuk.

Gerald menghela napas, menatap Elena serius. “Aku perlu nomor handphone-mu.”

Elena menatapnya curiga. “Untuk apa?”

"Supaya mudah dihubungi jika ada sesuatu yang penting," jawab Gerald tenang. "Dan akan aneh rasanya jika kita tidak memiliki kontak satu sama lain.”

Gerald lantas mengambil handphonenya dari saku celana, membuka layarnya dan meletakkannya di hadapan Elena. “Tuliskan nomormu disana,” ujarnya secara tidak langsung memerintahkan Elena.

Elena menghela napas, mengambil ponselnya dan mengetikkan nomornya di layar Gerald. "Jangan gunakan ini untuk hal-hal tidak penting," katanya dengan nada peringatan.

Gerald tersenyum kecil, menyimpan nomor itu. "Aku bukan tipe yang suka mengganggu," Gerald memandang Elena, mengangkat alis kecil. “Dan aku hanya akan menghubungimu jika perlu saja.”

Elena berdecih, tidak terusik sama sekali. “Ya baguslah, memang sebaiknya seperti itu,” ujarnya malas, sambil mengembalikan handphone Gerald pada pemiliknya.

Gerald melirik layar sekali lagi. Nama kontaknya hanya tertulis: Elena. Ringkas, dingin, dan tanpa embel-embel.

“Bagaimana aku yakin yang kamu tuliskan ini nomer handphonemu?” gumamnya setengah menyindir.

Elena menatapnya datar. “Kalau kamu ragu, coba telepon sekarang.”

Gerald menatapnya balik, lalu dengan gerakan lambat menekan ikon panggil. Dalam hitungan detik, ponsel Elena yang tergeletak di atas meja mulai berdering pelan.

Tanpa ekspresi, Elena mengangkat ponsel itu, menunjukkan layar pada Gerald. “Puas?”

Gerald mengangguk, tersenyum samar. “Setidaknya sekarang aku tahu kamu tidak berniat membohongiku.”

Elena mendengus malas. “Aku tidak selicik itu.”

Gerald tersenyum miring. “Mungkin tidak hari ini,” ujarnya pada Elena, tatapannya menusuk dalam.

Elena berdecih, tidak goyah sama sekali. “Fuck off,” ucapnya datar, tanpa nada tinggi—justru terdengar lebih menusuk karena ketenangannya.

Gerald tidak bereaksi berlebihan. Ia hanya tersenyum tipis, seperti seseorang yang sudah memperkirakan respons itu sejak awal. Senyum yang lebih dingin dari sebelumnya, namun tidak benar-benar puas.

Ia mengambil tablet dan ponselnya dari meja, lalu mengenakan jas dengan gerakan tenang dan rapi. Tak ada satu pun yang terburu-buru dari tubuh pria itu—semuanya selalu terkontrol, seolah tidak ingin menunjukkan kelemahan apa pun.

Gerald memperhatikan Elena sekilas. “Jangan lupa cincin pernikahanmu, Elena,” ujar Gerald dingin, memandang Elena yang terkejut karena dirinya memperhatikan hal sedetail itu. “Ingat perjanjian kita. Jangan pernah menimbulkan kekacauan dan kecurigaan dari semua orang.”

Elena tidak langsung merespons. Ingatannya bergerak laci meja kamar, ia meletakkan cincin itu semalam. Tanpa berpikir panjang, hanya karena bend aitu terasa begitu asing dan aneh di jarinya.

Ia membalas tatapan Gerald. “Aku bisa mengurus sikapku sendiri, Gerald. Jangan pernah ragukan aku soal itu.”

Gerald mengangguk singkat, seolah puas dengan jawaban itu, lalu berjalan meninggalkan ruang makan.

Saat pintu utama tertutup dengan suara klik yang ringan namun tegas, Elena masih berdiri di tempatnya. Diam. Membeku dalam pikiran-pikirannya sendiri.

Dengan enggan, ia melangkah ke arah laci, membuka laci kecil itu, dan mengeluarkan cincin tipis berlapis emas putih yang sempat membuat jarinya terasa berat sejak hari pertama dikenakan.

Elena memakai ‘lagi’ cincin pernikahan itu di jari manisnya. Seolah cincin itu adalah sebuah pertanda bahwa Elena telah terikat. Terikat oleh perjanjian yang terpaksa.

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 136 Cari Elena

    Satu jam kemudian.Jakarta diguyur hujan deras. Lampu-lampu jalan berpendar buram di balik kaca mobil yang dipenuhi titik air.Gerald duduk di kursi belakang, ponsel di tangannya terus berdering. Lucas di depan sedang menelpon orang-orang kepercayaannya, menyebarkan perintah langsung dari Gerald Mahatma: Cari Elena. Gunakan semua sumber daya. Aku tidak peduli berapa biayanya.Gerald sendiri hanya diam, matanya menatap keluar jendela, tapi pikirannya berlari jauh. Tangannya menggenggam cincin pernikahan di jari manisnya. Ia menahan napas panjang, seolah mencoba bertahan dari kepanikan yang menelan seluruh tubuhnya.“Pak…” Lucas menoleh. “Saya sudah hubungi tim keamanan internal Maha Pictures, juga pihak keamanan apartemen. Semua disiagakan. Bahkan saya sudah kontak teman saya di kepolisian.”Gerald masih diam. Lalu, perlahan ia berkata, suaranya nyaris bergetar. “Kalau dia terluka, Lucas…” Ia berhenti sebentar, lalu menatap bawahannya dengan tatapan yang belum pernah terlihat sebelu

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 135 Kabar Elena Menghilang

    Langit Jakarta sore itu tampak mendung, awan kelabu menggantung berat di atas gedung-gedung tinggi. Hujan seperti menahan diri di udara, menunggu waktu untuk turun. Suasana di Atmaja Televisi pun sama suramnya — sibuk, tapi menegangkan tanpa alasan yang jelas.Elena baru saja menyelesaikan rapat dengan tim acara. Ia tampak sedikit lelah, namun tetap menjaga senyum. Beberapa kru menyapanya saat ia keluar dari ruang meeting lantai lima, dan Elena sempat melambaikan tangan dengan sopan.“El, mau gue bantu bawain dokumennya?” tanya Rani, sekretaris pribadinya.Elena menggeleng lembut. “Gak usah, Ran. Lo istirahat saja. Gue cuma mau turun ke lobby sebentar.”Rani mengangguk. “Oke, El.”Elena melangkah ke lift dengan tumpukan berkas di tangan. Pikirannya masih sibuk menimbang revisi rundown untuk acara mendatang. Ia bahkan tidak memperhatikan ketika seseorang mengenakan topi hitam dan masker wajah berdiri di dekat lift bersamanya — hanya sekadar mengira itu tamu kantor.Lift turun perlahan.

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 134 Proteksi Dari Jauh

    Udara di kota itu terasa hangat dan lembap, menyelimuti seluruh area hotel tempat Gerald menginap. Dari jendela kamar lantai dua belas, terlihat gemerlap lampu kota yang tak pernah benar-benar gelap. Tapi bagi Gerald, pemandangan itu tak memberi ketenangan apa pun.Ia duduk di tepi ranjang, menatap layar laptop yang penuh laporan produksi film. Di depannya, beberapa berkas terbuka, tapi matanya kosong — pikirannya tak sepenuhnya di sini.Sebuah pesan dari Elena muncul di layar ponsel.Elena: “Sudah selesai meeting-nya?”Elena: “Jangan lupa makan malam, ya.”Gerald tersenyum tipis, lalu mengetik cepat.Gerald: “Sudah. Aku mau makan habis ini. Kamu sudah makan, Sayang?”Tak lama, balasan muncul.Elena: “Sudah. Jangan khawatir.”Namun entah kenapa, Gerald tetap tidak bisa berhenti khawatir.Ia menatap layar ponsel itu lama, jari-jarinya mengetuk ringan meja.Biasanya, setiap kali Elena mengirim pesan, ada sedikit emoji atau tanda yang menunjukkan perasaannya — entah senyum, tanda hati, a

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 133 Dinas Luar Kota

    Udara sore di Jakarta perlahan berubah lembap. Hujan baru saja turun sebentar, meninggalkan aroma tanah basah yang lembut menembus jendela apartemen. Langit tampak pucat keabu-abuan, dan cahaya lampu kota mulai menyala satu per satu, menandakan datangnya malam yang tenang.Elena sedang di dapur, menyiapkan teh chamomile — minuman favorit Gerald setiap kali ia merasa tegang menjelang perjalanan jauh. Sementara dari arah ruang kerja, terdengar suara suaminya sedang berbicara dengan seseorang lewat telepon, suaranya berat dan tegas, khas Gerald ketika berbicara urusan bisnis.Tak lama kemudian, pintu ruang kerja terbuka. Gerald keluar, masih mengenakan kemeja biru tua yang bagian lengannya digulung sampai siku. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap memancarkan ketenangan yang hanya ia miliki.Elena menoleh sekilas, tersenyum kecil. “Sudah selesai rapat virtualnya?”Gerald mengangguk sambil duduk di kursi makan. “Ya, baru saja. Tapi… ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu.”Nada suaranya

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 132 Rencana?

    Dua hari setelah pertemuan itu di Café Aurelia, Clara masih belum tenang.Setiap kali ponselnya bergetar, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.Ia tahu Leo akan menghubunginya lagi — dan entah kenapa, sebagian dari dirinya menunggu hal itu terjadi.Dan benar saja.Sore itu, saat ruang rapat Maha Pictures baru saja kosong dan Gerald kembali ke ruang kerjanya, notifikasi pesan masuk membuat Clara menghentikan langkahnya.LEO: “Sudah waktunya kau membuktikan dirimu berguna.”Clara menatap layar lama, jemarinya kaku.Ia menatap pintu ruang kerja Gerald yang tertutup rapat, lalu menjawab cepat.CLARA: “Apa maksudmu?”LEO: “Aku butuh sesuatu yang hanya bisa kau dapatkan — jadwal Gerald selama dua minggu ke depan.”Clara menelan ludah. Jadwal pribadi Gerald?Itu bukan hal yang sulit untuknya — Lucas, sekretaris pribadi Gerald, sering menyalin file jadwal untuknya jika ada urusan produksi atau promosi. Tapi sekarang, tujuannya berbeda.Tujuan ini… berbahaya.CLARA: “Untuk apa kau mem

  • Pernikahan Bisnis Dua CEO   Bab 131 Pesan Itu Lagi

    Pagi itu Jakarta terasa tenang. Sinar matahari menyusup dari balik tirai kamar, menyentuh permukaan selimut dengan lembut. Suara burung yang bertengger di balkon terdengar samar bercampur dengan dengung pelan mesin pendingin udara.Elena membuka mata pelan. Cahaya hangat menimpa wajahnya, dan pandangan pertama yang ia lihat adalah Gerald — masih tertidur di sebelahnya, tubuhnya miring menghadapnya. Napasnya tenang, dalam, dan bibirnya sedikit terbuka.Elena tersenyum kecil. Ia memperhatikan wajah itu beberapa detik — garis rahang yang tegas, rambut sedikit berantakan, dan ekspresi damai yang jarang muncul di wajah seorang CEO yang selalu tampil tangguh. Ia lalu duduk perlahan, memastikan tidak membangunkannya, dan meraih ponsel di nakas.Notifikasi muncul beruntun — beberapa pesan kerja dari tim Atmaja Televisi, jadwal meeting, dan satu notifikasi yang membuatnya tiba-tiba berhenti bergerak.Nomor tak dikenal.Pesan itu hanya satu baris.“Kalian terlihat bahagia kemarin malam. Tapi ak

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status