“Meski aku tidak tahu, tapi makanan buatanku tidak akan mencelakainya.” Arunika mencoba membela diri. Dia tidak seperti yang para pelayan itu pikirkan.
Lagi pula siapa yang mau mencelakai seseorang yang akan menolong ibunya. Arunika juga tidak bodoh.
Pelayan yang ada di depan Arunika tersenyum miring, mengejek.
“Siapa yang tahu. Lagi pula siapa yang pernah makan masakanmu? Tidak ada yang akan percaya kalau masakanmu itu aman.”
Arunika terkesiap seraya menatap tak percaya. Mengapa pelayan ini benar-benar sangat tak sopan padanya?
Bukannya Arunika ingin dihormati karena sudah menikah dengan Raynar, tetapi sebagai sesama manusia bukannya bisa saling menghargai dan menghormati?
“Apa yang sedang kalian lakukan?”
Suara berat dan dingin menginterupsi mereka, membuat Arunika dan semua pelayan menoleh bersamaan ke arah sumber suara.
Raynar menatap tajam satu persatu para pelayan yang kini menunduk saat melihatnya datang. Tatapannya lalu tertuju pada Arunika yang ekspresi wajahnya terlihat jelas kebingungan.
Untuk sepersekian detik senyum samar tersemat di wajah Raynar melihat wajah istrinya, setelahnya raut wajah Raynar kembali datar dan dingin.
“Apa yang terjadi?” Suara Raynar lembut tetapi penuh penekanan, dan tatapannya tetap tertuju pada Arunika.
Melihat tatapan Raynar, Arunika langsung paham jika Raynar sedang menuntut jawaban.
“Aku hanya mau membuat sarapan,” jawab Arunika, “tapi dia tidak mengizinkanku, bahkan mengatakan kalau masakanku bisa mencelakaimu,” imbuh Arunika lirih lalu menunjuk pada pelayan yang mengintimidasinya.
Dia tidak sedang mencari muka, hanya sedang jujur.
Lalu Arunika melihat pelayan itu menggeleng pelan. Sekarang saja takut karena ada Raynar, padahal tadi sangat lantang menghinanya.
“Bu-bukan begitu, Tuan. Saya hanya–”
“Siapa yang memberimu hak mengatur, siapa yang boleh dan tidak boleh berada di dapur ini?!” Raynar menatap mengintimidasi pada pelayan yang ditunjuk Arunika.
“Ti-tidak, Tuan. Bu-bukan begitu maksud saya.” Sindy bicara tergagap dan semakin menunduk, takut.
“Lalu, apa maksudmu?”
Suara berat dan dingin Raynar membuat suasana di dapur itu hening. Udara di sana juga tiba-tiba sesak.
Buk!
Sindy langsung menjatuhkan tubuhnya, mengatupkan kedua tangan di depan dada, memohon ampun pada majikannya. “Saya salah. Saya mohon maaf. Ampuni saya, Tuan.”
Para pelayan lain di sana menatap iba tetapi juga merasa Sindy terlalu nekat. Seharusnya Sindy tidak mengusik istri dari majikan mereka.
“Tapi, saya tidak bermaksud jahat! Saya hanya takut Nyonya belum terbiasa memasak dan bisa mencelakainya … Iya! Itu maksud saya, Tuan, di dapur yang berantakan ini mungkin bisa mencelakai Nyonya.”
Arunika melongo mendengar pembelaan pelayan itu. Ia tidak percaya bahwa pelayan itu berani memutarbalikkan fakta untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
“Bagaimana bisa dapurku berantakan? Jadi, kalian tidak bekerja dengan baik dan hanya membuat keributan?” Suara Raynar menggelegar di dapur menatap semua pelayan yang ada di sana.
Kini, semua pelayan ikut berlutut memohon ampun, dan merutuki Sindy yang berbicara omong kosong dan membuat yang lain terancam.
“Kami mohon ampun, Tuan.” Seluruh pelayan berkata bersamaan. “Kami mohon maaf.”
Tatapan Raynar semakin dingin. “Aku tidak butuh maaf kalian. Kalian hanya telah menyia-nyiakan uangku.”
Melihat Raynar menjadi marah, Arunika jadi merasa tidak enak dan tidak nyaman. Dia menghampiri Raynar dan berkata dengan pelan dan kaku. “Sa … sayang, pelayan itu bilang tidak bermaksud jahat. Dia juga benar, aku belum terbiasa di sini.”
Usai berbicara, Arunika hanya diam menunggu tanggapan Raynar. Namun, Arunika terkesiap dan jantungnya hampir melompat ketika Raynar menyelipkan helai rambut Arunika ke belakang telinganya.
“Kamu panggil aku apa tadi?” tanyanya lembut dan pelan.
“Sayang …?” jawab Arunika takut dan tersipu di saat yang bersamaan.
“Kamu ingin masak sarapan apa?”
“Aku belum tahu,” jawab Arunika gugup. “Tapi, aku boleh menyiapkan sarapan?”
“Kamu bisa melakukan apa pun yang kamu mau, karena kamu adalah nyonya di rumah ini.” Raynar berkata lembut, tetapi setelahnya suaranya kembali terdengar menyeramkan di telinga para pelayan. “Dan, tidak ada satu pun yang boleh berbuat semena-mena pada nyonya rumah ini! Kalian mengerti!”
“Mengerti, Tuan.” Suara pelayan menjawab serempak.
Usai memberi perintah, Raynar berbalik pergi meninggalkan dapur.
Para pelayan termasuk Sindy perlahan bangkit, ada beberapa pelayan yang mulai mendekati Arunika untuk mencari muka atau menyelamatkan diri agar bisa tetap bekerja di sana.
Tidak termasuk Sindy yang hanya menatap Arunika kesal. Karena wanita tidak jelas asal usulnya tiba-tiba datang ke rumah ini, dia jadi terkena omelan. Sindy tidak senang melihat Arunika. Wanita itu sangat tak layak untuk tuannya.
Arunika menyadari tatapan itu, tetapi dia tidak ingin membuat keributan lagi. Jadi, dia mengambil kembali bahan makanan yang tadi diambil dari tangannya, dia kemudian pergi ke meja kitchen island untuk mulai memasak sarapan.
Setelah selesai memasak. Arunika dibantu pelayan paruh baya menyajikan sarapan di meja.
“Terima kasih, Bi.” Arunika bersikap sopan karena wanita itu juga baik padanya.
“Sama-sama, saya permisi.”
Arunika mengangguk seraya menatap wanita itu pergi. Dia memandang hasil masakannya, lalu tersenyum puas.
Raynar baru saja datang ke meja makan. Dia melihat Arunika berdiri di samping meja seraya memandangi makanan yang tersaji.
“Kamu datang tepat waktu, sarapannya baru saja siap.” Arunika bicara dengan penuh semangat. “Aku tidak tahu menu apa yang kamu suka, jadi cicipilah dulu, kalau kamu tidak cocok dengan masakan ini, nanti aku siapkan menu lain.”
Raynar menarik kursi dan duduk di sana dalam diam.
Arunika mengernyit. Tadi, suaminya tampak sudah terlihat hangat, tetapi mengapa sekarang kembali sedingin es? Arunika tidak mengerti. Namun, yang terpenting adalah dia sudah berusaha yang terbaik untuk menjadi seorang istri.
Raynar memandang sarapan di meja, kemudian pria itu mengambil cangkir kopi, lalu menyesap cairan hitam itu dengan perlahan.
Raynar tertegun. Kopi buatan Arunika sangat berbeda dari kopi yang biasa ia minum. Raynar menatap cangkir kopi di tangannya sejenak, lalu kembali menyesap kopi hitamnya.
“Siapa yang membuat kopi ini?” tanya Raynar seraya menatap pada Arunika.
“Aku,” jawab Arunika takut-takut, “tidak enak, ya?”
Raynar diam sejenak.
“Mulai sekarang, buatkan kopi seperti ini setiap pagi.” Setelah mengatakan itu, Raynar meletakkan cangkir di meja lalu mulai menyantap sarapannya.
Arunika mengembangkan senyum. Sepertinya dia berhasil menyenangkan Raynar melalui secangkir kopi.
Di sela sarapan, Arunika memandang Raynar yang makan dengan tenang. Meski pria itu makan dengan elegan, tetapi terlihat jelas kalau Raynar menikmati sarapan yang dibuat Arunika.
“Itu, apa aku boleh kembali bekerja siang ini?” tanya Arunika memberanikan diri. Dia bicara agak lirih karena takut Raynar tidak berkenan.
Raynar mengalihkan pandangan pada Arunika. “Pergi saja.”
Dara dan Nenek Galuh datang bersama Miranda ke rumah sakit begitu mendengar kabar Arunika melahirkan. Tak hanya mereka, Erik dan yang lain juga datang karena tak menyangka Arunika melahirkan lebih awal dari hari perkiraan lahir. “Bagaimana kondisimu?” tanya Dara begitu melihat Arunika masih terbaring lemas di ranjang. “Baik, Ma. Lahirannya normal dan bayinya sehat semua,” ucap Arunika dengan rasa haru. “Kamu pasti capek sekali melahirkan dua sekaligus,” ucap Dara lalu mencium kening Arunika penuh kasih sayang. “Sekarang di mana bayinya?” tanya Erik ingin melihat bayi kembar atasannya. “Masih di ruang bayi, diinkubator karena berat badan mereka dibawah standar,” jawab Raynar. Mereka mengangguk-angguk, lalu perhatian mereka tertuju pada Arunika yang berjuang mati-matian melahirkan bayi kembar secara normal. “Kapan kalian nyusul?” tanya Arunika sambil menatap Winnie dan Briella bergantian. “Tommy masih ingin childfree, katanya ingin puas-puas bebas hanya berdua. Kalau dia siap, ak
Beberapa bulan berlalu. Usia kandungan Arunika sudah memasuki usia tujuh bulan dan terlihat sangat besar karena dia hamil anak kembar.Raynar sudah tak mengalami morning sickness, sehingga Raynar bisa menjalani harinya dengan baik.“Aku besok akan mengajukan cuti kuliah karena aku sudah tak sanggup pulang pergi ke kampus dalam kondisi hamil sebesar ini,” ucap Arunika ketika malam itu bersama Raynar di kamar setelah makan malam dengan Raynar.Raynar duduk di samping Arunika lalu mengusap lembut perut Arunika.“Besok aku temani,” ucap Raynar, “memang lebih baik cuti daripada kamu kelelahan dan mengganggu kesehatanmu. Aku tidak mau terjadi sesuatu padamu dan calon bayi kita.”Arunika mengangguk-angguk. Saat Raynar baru saja selesai bicara, ada gerakan di dalam yang membuat Raynar terkejut karena sedang mengusap perut Arunika.“Mereka gerak?” tanya Raynar dengan ekspresi yang tak bisa dideskripsikan. Bahagia, haru, dan terkejut bercampur jadi satu karena sebelumnya bayi mereka tak pernah
Setelah memberi kabar bahagia itu pada Nenek Galuh dan Dara, Arunika sekarang sudah berada di rumah bersama Raynar.Raynar berbaring berbantal paha Arunika, menghadap ke perut sambil mengusap perut istrinya itu.“Kali ini aku akan menjaga mereka dengan sangat baik. Mereka harus tumbuh dengan sehat sampai lahir, begitu juga denganmu,” ucap Raynar lalu mengangkat pandangan untuk menatap istrinya.Arunika memulas senyum. Dia menunduk untuk bisa menatap suaminya sambil mengusap rambut Raynar.“Aku sehat dan baik-baik saja, tapi aku mencemaskanmu. Kamu yang mengalami morning sickness, apa kamu yakin bisa menghadapi ini? Bagaimana dengan pekerjaanmu nantinya? Pasti akan mengganggumu?” tanya Arunika menatap cemas.“Tidak apa, lagi pula itu terjadi saat pagi atau malam. Aku pasti bisa menghadapinya,” balas Raynar lalu bangun dari posisi berbaring dan duduk menatap Arunika.Raynar mengulurkan tangan, lalu mengusap kepala Arunika dengan lembut dan penuh cinta.“Apa pun yang terjadi, asal kamu d
Arunika mengajak Raynar ke rumah sakit untuk berobat. Anehnya saat sampai di rumah sakit, kondisi Raynar baik-baik saja. “Sepertinya aku tidak jadi sakit,” ucap Raynar. Arunika seketika melotot mendengar ucapan suaminya. “Bagaimana bisa kamu bilang tidak sakit? Sejak semalam sampai pagi ini kamu muntah, masih saja mengelak,” amuk Arunika saat mereka menunggu dokter pribadi Raynar praktek. Raynar memilih menutup bibir daripada salah bicara. Dia diam menunggu sampai akhirnya perawat meminta Raynar masuk ruang pemeriksaan. “Kenapa Anda tidak meminta saya datang ke rumah saja?” tanya dokter itu. “Saya lihat Anda ada jadwal praktek di sini, jadi kami langsung ke sini saja,” jawab Arunika. Dokter itu tersenyum mengangguk-angguk. “Jadi, ada keluhan apa?” tanya dokter. “Suami saya muntah dari semalam, bahkan tadi juga muntah lagi. Tapi begitu sampai di sini, dia malah bilang kalau baik-baik saja, siapa yang percaya, coba?” Arunika yang terus bicara sampai membuat Raynar hanya diam sep
Arunika mengerutkan kening mendengar suara lantang Clara dari seberang panggilan.“Kenapa, sih? Suaramu seperti sedang menolak mentah-mentah tawaran musuhmu?” tanya Arunika keheranan.“Bukan, bukan begitu maksudku. Aku hanya tidak mau merepotkanmu, lagian ada Papa yang akan jemput lalu kami mau kumpul dulu.”“Oh … ya bilang saja, nolaknya sampai segitunya, aku berasa patah hati.”Arunika mendengar suara tawa dari seberang panggilan, lalu Clara kembali bicara.“Ya sudah, aku mau mengabarimu itu saja. Besok aku harus siap-siap agar bisa pulang tepat waktu. Sampai ketemu di sana, aku tidak sabar bertemu denganmu.”Arunika tersenyum dan membalas, “Aku juga, aku bahkan punya hadiah untukmu.”“Senangnya, tunggu aku pulang.”Arunika menatap layar ponselnya setelah panggilan itu berakhir. Dia tersenyum penuh kelegaan karena akhirnya Clara akan pulang dan bisa menghabiskan liburan bersama Clara.**Saat malam hari. Raynar baru saja selesai mandi dan membuka laci samping nakas untuk mengambil s
Satu tahun berlalu dengan cepat Arunika menjalani pendidikan lanjutannya dengan baik. Dua tahun lagi dia selesai, sehingga Arunika harus bekerja lebih giat untuk belajar.“Aru.”Arunika menghentikan langkah saat mendengar suara Gio memanggil. Dia membalikkan badan dan melihat Gio berjalan menghampirinya.“Ada apa, Kak?” tanya Arunika saat Gio sampai di hadapannya.“Apa kamu masih ada kelas?” tanya Gio.“Sudah tidak ada,” jawab Arunika sambil menggeleng, “lho, bukannya Kak Gio sudah tidak ada kelas, kan mau persiapan wisuda.”Gio mengangguk, lalu membalas, “Karena itu aku menemuimu, ada yang mau kumintai tolong.”Kening Arunika berkerut halus.“Minta tolong apa?” tanya Arunika memastikan.“Bantu aku milih hadiah,” pinta Gio.“Hadiah? Buat siapa? Teman yang juga wisuda minggu depan?” tanya Arunika memastikan.Gio tersenyum malu-malu lalu membalas, “Bukan, tapi untuk orang yang spesial. Dia bilang mau datang ke wisudaku, jadi aku mau memberinya hadiah juga.”Arunika membentuk huruf O den