“Apa, menikah!” kaget Alvan saat Ibrahim mengatakan tawaran mencengangkan. Waktu menunjukan pukul delapan malam, satu keluarga berbincang setelah makan malam.
“Apa kalian bersedia dinikahkan?” ulang Ibrahim. Aulya tidak mengatakan apapun karena dirinya tidak tahu harus bagaimana, sedangkan Alvan masih bertanya-tanya tentang keputusan tiba-tiba ini. Alvan menatap ke arah Aulya. “Kamu masih belum ingat apa-apa?” Aulya menggeleng sendu sekaligus bingung. Aisyah yang berkata, “Tadi pagi Aulya sudah diperiksa, dokter bilang hilang ingatan tidak bisa ditentukan kapan akan pulih.” Alvan kembali bergeming. Pertanyaan yang dilontarkan ayahnya sangat mendadak hingga dirinya kebingungan. Di sisi lain, setelah obrolan di ruang makan selesai, Aulya merenung seorang diri, “Apa harus ya, saya menikah sama Alvan? Saya tidak tahu apapun, di mana keluarga saya dan siapa saya!" “Sayang ....” Aisyah menyapa dengan hangat seiring membawakan camilan, “kok melamun di halaman belakang.” Sentuhannya selembut sikapnya. “Aul lagi bingung, Umi.” “Tentang apa, coba cerita sama Umi.” Tatapannya sebagaimana seorang ibu. “Tentang pernikahan Aul sama Al. Aul kan belum tahu apa-apa tentang jati diri Aul.” Aisyah mendesah pelan. “Umi dan Abi sudah sering memikirkannya, tetapi sampai sekarang kami pun tidak menemukan jawabannya. Tidak pernah ada yang mencari Aul ....” Belaiannya mengusap belakang kepala Aulya sangat lembut. “Apa Aul tidak punya keluarga?” sendu merayap begitu saja. “Itu juga Umi sama Abi tidak punya jawaban, sama halnya dengan Alvan.” “Kalau misalnya Aul setuju menikah sama Alvan, memangnya Al mau menerima Aul yang tidak ingat apapun?” Aisyah terkekeh, “Kalau itu Aul harus tanyakan langsung pada Alvan.” “Tidak berani, Umi ...." Selama tinggal di rumah keluarga Ibrahim, Auliya memang selugu ini. "Kalau Aul sendiri bagaimana, mau menikah sama Al?” “Mau Umi, tapi Aul minta maaf kalau misalnya Aul punya masa lalu kelam atau masa lalu Aul membuat Umi, Abi sama Al kecewa.” Seketika kalimat Aulya membuat Aisyah mendekapnya sangat sayang. “Kami sudah menganggap Aul sebagai bagian dari keluarga, itu sudah berlaku sejak awal. Bagaimanapun masa lalu Aul itu bukan masalah.” Malam ini Alvan dan Aulya duduk bersisian, membicarakan pernikahan. “Saya mau menikah sama kamu,” ungkap si laki-laki penuh kesungguhan. Maka, Aulya merasa sangat heran. “Kenapa?” “Saya menyukai kamu.” “Apakah modal suka bisa membawa pada pernikahan?” “Tidak juga. Masih banyak hal lain yang menggiring seorang manusia hingga akhirnya berani mengambil keputusan dengan membuat komitmen seperti itu. Suka saja bukan apa-apa.” “Lalu, apa saja yang mendasari kamu mau menikah sama saya?” Aulya ingin mendengarnya dengan jelas dan gamblang karena keputusan yang diungkapkan Alvan bukanlah seperti seorang anak mengajak bermain temannya. Alvan menjelaskan mulai dari gossip yang bermunculan secara perlahan, barulah mengatakan perasaannya, mengakui jika sudah lama dirinya menjadi pengagum Aulya. Namun, si gadis bergeming selama beberapa saat hingga akhirnya bicara. “Saya tidak tahu apakah ini hanya perasaan saya yang berasal dari imajinasi atau memang ini adalah pengalaman pribadi.” Alvan mengerutkan dahinya heran sekaligus penasaran, “Apa itu?” “Saya merasa pernah membicarakan hal khusus seperti ini dengan seseorang, tapi entah siapa.” “Hal khusus.” Dahi Alvan semakin berkerut heran, “maksudnya menikah?” “Iya, sejenis itu.” Pengakuan Aulya ini membuat Alvan bergeming hingga seakan niatnya menikahi Aulya dihantam sesuatu. “Kamu sudah mencoba mengingat?” “Sudah, tapi saya tidak ingat apapun. Hanya saja sepertinya saya sudah mempunyai pengalaman seperti ini.” Aulya menatap serius ke arah Alvan, “Al, bagaimana kalau misalnya saya pernah menikah atau mungkin sudah punya anak. Kita tidak ada yang tahu. Jadi ..., bagaimana dengan pernikahan kita nanti andai kenyataan tentang saya seperti itu. Apa kamu tidak akan menyesal, apa hari ini kamu tidak akan memikirkannya lagi?” Alvan hanya menatap datar ke arah Aulya. “Saya siap menanggung semua kenyataan tentang kamu, baik atau buruk, pahit atau manis karena jujur saja secara pribadi saya menyukai kamu, saya ingin kita bersama.” Kini senyuman tulus dibentuk. Aulya tidak menanyakan apapun lagi karena keputusan bulat sudah diambil Alvan, maka kini dirinya hanya harus membalas cinta yang diberikan laki-laki di hadapannya. Hati tidak dapat dibohongi, gadis ini selalu merasa nyaman bersama Alvan. Hanya saja soal perasaan, dirinya masih simpang siur karena terhalang oleh kenyataan di masalalu yang masih menjadi misteri. Maka, dua hari kemudian Alvan dan Aulya menikah secara agama setelah melewati banyak pertimbangan dan pertemuan keluarga tentang nasab si gadis. Acara digelar secara besar-besaran, bukan maksud ingin bermewah-mewahan hanya saja Ibrahim memang keluarga mampu hingga pesta seperti ini bukanlah apa-apa. Dirinya juga ingin menyenangkan hati putranya di hari spesial ini, tidak lupa menyenangkan hati Aulya yang sejak awal sudah mendapatkan kasih sayang darinya dan Aisyah sebagaimana pada Alvan. *** Pada malam pertama, pertama kalinya Alvan dan Aulya berada di kamar yang sama, keduanya mengisi kamar si gadis semasa lajang. Kini, ruangan itu sudah dipenuhi wewangian bunga dan juga dekorasi yang sangat indah hingga memanjakan mata dan membuat betah di dalam sana. Alvan menatap Aulya yang masih membersihkan make up di depan cermin. “Kamu tidak sedang datang bulan, kan?” pertanyaan sensitifnya segera mengudara hingga membuat Aulya mengerjap kecil seiring memandangi suaminya dalam pantulan kaca. “Tidak, saya baru saja selesai datang bulan dan harusnya ini adalah masa subur. Itu kata Umi.” Kini Alvan yang mengerjap. “Kamu menanyakan masa subur sama Umi?” “Tidak. Tapi sebelum pernikahan, Umi bertanya kapan terakhir kali menstruasi. Jadi tepat hari ini adalah masa subur menurut perhitungan Umi." “Begitu.” Datar Alvan yang sedang salah tingkah seiring menggaruk kepala tidak gatal, “eu-kalau begitu ..., bagaimana kalau malam ini kita mulai saja,” ajakannya tanpa menatap Aulya dengan tegas. Alvan hanya mengalihkan pandangan ke arah lain dan sesekali saja melirik istrinya. “Iya, kapanpun kamu mau,” jawaban Aulya seolah tanpa perlu berpikir hingga Alvan kembali mengerjap dan kembali menggaruk kepala tidak gatal. Namun, malam pertama pernikahan ini bisa juga dianggap malam penentu. Apa sebelumnya Aulya sudah pernah menikah. Apa dia masih perawan? Bersambung ....Zayden dan Alvan bertemu di lapangan basket. Keduanya saling memandang dengan sengit. “Saya yang akan menang!” ucap Zayden dengan memasang wajah angkuh.Alvan menyahut datar, tetapi tatapannya penuh ambisi dan keyakinan. “Mungkin saya masih bisa mengalah dalam permainan, tapi kalau tentang pernikahan, saya akan memperjuangkan Aul sampai akhir!”Tatapan Zayden semakin mengiris, tetapi suaranya tenang. “Perjuangkan saja Aulya sampai kamu menyerah karena Aulya tetap Venus, punya saya.” Seringainya berkibar.Penat, itu yang dirasakan Alvan. Maka, dia memulai permainan tunggal ini. Pertandingan satu lawan satu hanya dirinya dan Zayden.Kedua lelaki yang memperebutkan skor adalah idol kampus, jadi dengan cepat mengundang penonton kaum hawa maupun kaum adam, begitupun dengan Aulya.“Al!” cemas mengambang di hati dan pikiran Aulya. “Al, kenapa harus main basket, kenapa juga harus lawan Zayden. Gimana kondisi kamu ..., saya takut Zayden menyerang kelemahan kamu ....”‘Mata’ itu adalah kelemaha
Hari berikutnya tiba, maka hari ini Aulya mendapatkan telepon dari Niana. Nada suaranya menekan. “Sayang, kamu ini bagaimana. Mama sama Papa sudah bilang, jangan lupa misi kamu di sana, tapi kenapa sekarang Abinya Alvan jadi tahu dan mengundang kami datang!”“Jangan salahkan Venus ...,” rengeknya.“Mama bukan menyalahkan kamu. Tapi sekarang masalah ini jadi melebar. Mama sama Papa tidak ingin masalah ini berkepanjangan.”“Yang namanya perceraian pasti melibatkan orangtua kan, jadi wajar dong, Ma. Tapi ....” Aulya ragu mengatakan keputusannya.Namun, Niana tidak peduli pada kata setelah ‘Tapi.’ Dia hanya peduli pada perceraian Aulya dan Alvan. “Iya, tapi rencana Mama sama Papa jadi berantakan karena orangtua Alvan tahu lebih awal. Tadinya kami akan datang dan langsung menyelesaikan perceraian. Bukan bicara panjang lebar untuk mempertahankan pernikahan.”Suara Aulya diliputi kekhawatiran, tetapi juga bahagia karena keputusanya mempertahan pernikahan mendapat dukungan dari mertua serta s
Hari ini berbeda dari biasanya karena terjadi pertemuan penting antara Ibrahim dan Aisyah bersama Alvan dan Aulya.Suara Ibrahim menjadi yang pertama mengisi ruangan dan terdengar menggema di telinga Alvan dan Aulya. “Kenapa kalian baru pulang?”Alvan menatap ayahnya saat menjawab walaupun sebelumnya wajahnya sedikit menunduk, “Kami minta maaf, Abi. Kemarin kita pergi mendadak dan mendadak tidak pulang. Kemarin kami menginap.”“Kenapa harus menginap?”Lagi, atmosfer ruangan terasa sangat aneh, dingin. Walaupun saat ini Alvan dan Aulya belum mengetahui maksud Ibrahim mengundang mereka ke ruangan ini. Apa karena kemarin mereka tidak pulang? Tapi harusnya ini sudah bukan hal baru.Lagi, Alvan yang menjawab, “Kalau pulang mungkin akan terlalu malam.”“Terlalu malam atau kalian sengaja menghindari kami, orangtua kalian!” Volume suara Ibrahim bertambah, termasuk ketegasannya hingga membuat Alvan dan Aulya yakin jika saat ini terdapat sesuatu yang belum mereka ketahui.Alvan menyahut santun
“Zayden, kita harus bicara!” ucap tegas Aulya tanpa senyuman, justru raut wajahnya sangat dingin.Zayden menyahut dengan suara lembut disertai senyuman hangat, “Bicara apa?”“Tentang perceraian saya sama Al!” Amarah dilukis Aulya dalam wajah cantiknya, tetapi sikap Zayden tidak berubah.“Saya siap mendengarkan.” Senyuman Zayden semakin hangat.Sejenak, Aulya memandangi sepasang mata Zayden yang hitam legam dan dalam hingga terlihat misterius.“Saya tidak mau bercerai sama Al. Jadi tolong berhenti mengharapkan saya dan bilang sama orangtua kamu, kita tidak akan pernah bercerai!”Aulya pikir Zayden akan terluka dan menunjukan isi hatinya dalam ekspresi seperti yang pernah dilihatnya, tetapi dugaannya salah. Laki-laki ini sangat tegar dan tenang. “Saya akan tetap menunggu kamu. Lagian, bukan saya yang mau kalian bercerai, tapi Mama sama Papa kamu.”“Tapi pasti kamu juga, kan!”Tentu saja Zayden tidak akan mengaku untuk menjaga nama baiknya di hadapan gadis yang diinginkannya. “Jangan nud
Pagi ini raut wajah Aulya sangat cemas setelah membaca chat yang dikirim ibunya semalam. [Papa sudah bicara pada Ustaz tentang perceraian kalian.]Titik-titik keringat dingin bermunculan di puncak dahi Aulya. “Aul tidak mau cerai sama Al ..., tapi kan Aul juga tidak mungkin jadi anak durhaka!”Perasaan gelisah yang menyelimuti hati Aulya semakin tebal tatkala Niana kembali mengirimkan chat setelah tahu putrinya membaca chat semalam. [Jangan lupa misi kamu di sana. Ingat, jangan terbuai oleh apapun yang dilakukan Alvan!]Aulya memperbanyak istigfar yang dilantunkan di dalam hati karena sedang berada di kamar mandi, di depan wastafel.Kedua kelopak matanya tertutup saat Aulya mencoba mencari jalan keluar dari masalah ini hingga akhirnya menemukan solusi yang menurutnya paling mudah. “Saya harus bicara sama Zayden. Saya harus berhasil buat Zayden benci dan akhirnya berhenti menunggu saya cerai sama Al!”Tekadnya sekuat karang di lautan, tetapi ciut seketika saat menatap wajah Alvan karen
Alvan dan Fauzan mengisi waktu dengan mengaji, begitupun dengan Aulya walaupun tempat laki-laki dan perempuan terpisah.“Padahal saya maunya mengaji sama Al, tapi tidak mungkin sih, ini kan masjid walaupun kita suami istri,” gumam Aulya seiring melirik ke kiri dan kanan, memperhatikan para gadis yang mengaji masing-masing.Waktu magrib tiba tanpa terasa. Aulya dapat menyaksikan Alvan yang berdiri di paling depan karena dia ditunjuk menjadi imam walaupun sempat menolak.Senyuman bangga Aulya terlukis begitu saja melihat suaminya yang tampak hebat dalam urusan ilmu agama. Apalagi saat memimpin rumahtangga.Punggung Alvan terlihat kekar, tapi juga lembut di mata Aulya hingga akhirnya satu-persatu laki-laki menutupi Alvan hingga suaminya menghilang dari pandangan, dan Aulya hanya bisa melihat punggung pria lain.Dari shalat magrib, lalu berlanjut ke shalat isha. Aulya mengisi waktu dengan mengaji dan sedikit saling bertukar cerita dengan beberapa gadis di sana.Aulya mendapatkan banyak te