Sekarang Daniel tidak memiliki hubungan asmara dengan Odelina, Odelina juga tidak memiliki hubungan dengan pria lain. Tentunya itu hal yang baik.Ralat, ada pria mabuk yang ingin mendekati Odelina. Daniel tidak siap, sehingga pria mabuk itu berhasil pergi ke Resto Makan Sepuasnya dan bertemu dengan Odelina. Namun, setelah Daniel mengetahui keberadaan saingan cinta tersebut, dia diam-diam mencegatnya dan tidak membiarkan pria itu mendapatkan kesempatan lagi untuk mendekati Odelina.Bagaimana mungkin Daniel akan membiarkan orang lain mengambil perempuan yang telah dia jaga selama setahun lebih?“Hari ini mendung, kenapa muka Pak Daniel jadi begitu merah?” tanya Odelina tiba-tiba.Daniel terdiam sejenak, “Merah? Mungkin karena aku latihan terlalu lama, capek, sampai terengah-engah. Makanya mukaku jadi sedikit merah.”Daniel tidak akan mengakui kalau dia tersipu malu karena Odelina membantunya menyeka keringat. Bagaimanapun juga, usia Daniel sudah hampir 40 tahun. Meskipun tidak pernah mem
Pada saat yang sama di Mambera Hotel.Bram yang belum pernah mabuk sejak dia mulai minum minuman keras, untuk pertama kalinya dia mabuk di pernikahan Stefan. Minuman itu sangat enak. Ada Chintya yang menemaninya, suasana hatinya sedang baik. Dia pun minum lebih banyak dari biasanya.Saat meminumnya, Bram merasa minuman itu sangat enak. Namun, kandungan alkoholnya cukup tinggi, sampai membuat Bram mabuk. Saat Bram membuka matanya, dia merasa sakit kepala. Dia pun menutup matanya lagi.Bram belum cukup tidur. Kalau sudah cukup tidur, kepalanya tidak akan terlalu sakit lagi. Namun, tak lama kemudian, dia membuka matanya lagi. Hanya karena dia mendapati dirinya tidur di kamar yang asing baginya.Di manakah ini? Bram tahu ini bukan rumah keluarga Ardaba, juga bukan rumahnya sendiri. Apakah ada orang yang menculiknya dan membawanya pergi selagi dia mabuk? Secara logika, itu tidak mungkin.Bram menghadiri pernikahan di Vila Permai milik keluarga Adhitama. Sekalipun dia mabuk sampai tak sadark
Untung saja Reiki sudah menikah. Junia bahkan sedang hamil. Jadi Bram tidak perlu khawatir. Terlebih lagi, Chintya hanya mengagumi orang hebat. Di mata semua orang, Reiki memang orang yang hebat. Wajar saja jika Chintya memuji Reiki.Begitu melihat nama Chintya di layar ponselnya, Bram seketika merasa sakit kepalanya sudah hilang.“Chintya.”“Pak Bram, kamu sudah bangun? Atau kamu terbangun karena telepon dari aku? Aku lihat kamu tidur sudah cukup lama. Sekarang sudah hampir jam sepuluh. Aku coba-coba telepon, lihat kamu sudah bangun atau belum.”Chintya tidak minum, dia sudah bangun pagi-pagi sekali. Karena sedang bepergian, dia tidak bisa pergi ke ruang latihan untuk berlatih setelah bangun. Dia pun lari pagi cukup lama, baru kembali ke hotel untuk mandi. Setelah itu, dia menikmati sarapan di restoran hotel yang berada di lantai satu hotel.Bram tidur dalam keadaan mabuk. Chintya pun tidak mau mengganggunya, makanya dia pergi ke restoran untuk sarapan sendirian. Restoran di lantai pe
“Aku jarang datang ke sini juga. Pak Bram, sakit kepala, nggak? Mau makan dulu, nggak?” tanya Chintya.“Sakit, jujur ini pertama kalinya aku mabuk. Jadi ini pertama kalinya juga aku sakit kepala karena habis mabuk. Rasanya kepalaku seperti mau pecah. Sakit banget sampai ingin kupukul kepala ini.”Saat bicara, Bram mendongakkan kepalanya lagi sambil mengusap pelipisnya yang sakit. Dia masih mengeluh dalam hati kalau minuman yang disiapkan Stefan begitu enak, sampai membuat mereka mabuk.Stefan sudah siapkan minuman bagus saja, masih saja dikomplain. Dia yang jadi pengantin saja tidak mabuk, malah Bram yang mabuk. Bram saja yang tidak pandai minum.“Kepalaku sakit banget sampai nggak ingin makan. Tapi aku lapar.”Bram sengaja berkata dengan nada memelas, ingin membuat Chintya kasihan padanya. Namun, Chintya tidak merasa kasihan padanya. Bagaimanapun juga, Chintya tidak memiliki perasaan apa pun pada Bram. Namun, karena sopan santun, dia tetap harus peduli pada Bram.“Aku coba tanya ke re
Chintya baru bisa keluar dengan tenang untuk membelikan Bram sarapan. Bram bilang dia ingin makan yang ringan. Chintya pun pergi ke sebuah toko khusus menjual sarapan. Dia membeli sebungkus bubur putih, sedikit sayur asin untuk dimakan bersama bubur.Takut Bram tidak kenyang, Chintya membeli satu porsi pangsit kukus lagi. Setelah itu, dia kembali ke hotel dengan sarapan yang dia beli.Sepuluh menit kemudian. Chintya berdiri di depan pintu kamar Bram. Dia mengetuk pintu sambil memanggil, “Pak Bram, Pak Bram.”Bram segera datang dan membukakan pintu untuk Chintya. Chintya berdiri di depan pintu, menyerahkan sarapan yang dibelinya kepada Bram, lalu bertanya, “Pak Bram, aku minta bagian resepsionis antar madu ke sini dulu. Kamu sudah buatkan air madu?”Bram mengambil sarapan dari Chintya, lalu minggir agar Chintya bisa masuk. Awalnya Chintya tidak ingin masuk. Namun, dia melihat Bram sudah memberi jalan, juga tidak bermaksud menutup pintu. Selain itu, Bram juga sudah berpakaian rapi. Setel
Bram tersenyum, “Mungkin aku jarang minum air yang dimasak begini. Aku nggak pernah.”Bram tiba-tiba mengerti mengapa Stefan jatuh cinta pada Olivia setelah menikah. Stefan menjalani kehidupan sederhana yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Pada awalnya dia merasa asing, juga tidak terbiasa. Pada akhirnya, dia tidak hanya terbiasa, bahkan lebih menyukai kehidupan seperti itu. Makanya Stefan terus menyembunyikan identitas aslinya dari Olivia.Bram berpikir, kapan dia akan menjelaskan tentang dia kepada Chintya? Dia tidak mungkin mengikuti jalan lama Stefan, bukan?Olivia memiliki temperamen yang begitu baik. Namun, setelah ditipu oleh suaminya begitu lama, dia sangat marah ketika mengetahui semua kebenarannya. Olivia bahkan sampai mau bercerai dengan Stefan. Hal itu membuat Stefan ketakutan bukan main. Dia sampai melakukan hal yang mengejutkan semua orang.Chintya tipe orang yang membedakan jelas cinta dan benci. Dia terlihat riang dan cuek, tidak suka perhitungan. Namun, kalau sese
Seperti yang Chintya katakan, kalau mau berbohong, berbohonglah seumur hidup. Jangan sampai orang yang dibohongi tahu. Kalau tidak, katakan yang sejujurnya, berusaha mendapatkan maaf dari orang itu, jangan meneruskan kesalahan yang sama terus-menerus.Bram tidak mungkin berbohong kepada Chintya seumur hidup. Bagaimanapun juga, dia masih harus mengurus bisnis keluarga Ardaba. Kelak Chintya menikah dengannya, Chintya juga harus bertemu dengan keluarganya. Bagaimana mungkin Bram bisa membohonginya selamanya.Chintya bertanya lagi, “Pak Bram, temanmu itu bohong pada orang yang dia sukai, ya? Atau hanya bohong pada temannya yang lain?”“Dia bohong pada perempuan yang dia cintai sejak pandangan pertama. Masalah perasaan, dia nggak tahu harus berbuat apa. Makanya dia curhat padaku. Aku juga nggak tahu harus berkata apa. Dia bohong pada perempuan itu. Alasan utamanya karena dia takut perempuan itu tahu kalau kehidupannya akan selalu berhadapan dengan bahaya. Dia nggak mau buat perempuan itu ak
Bram berpikir sejenak, lalu mengangguk tanda setuju dengan Chintya. Kemudian, dia berkata, “Kalau dia benar-benar suka, dia memang harus jujur pada pasangannya. Terima kasih, aku akan sampaikan pada temanku itu dan suruh dia berhenti menyembunyikan apa pun dari pasangannya.”Chintya tersenyum, “Pak Bram nggak perlu berterima kasih. Aku hanya mengutarakan pendapat dan pandanganku saja. Setiap orang memiliki pemikiran yang berbeda. Kita merasa nggak boleh berbohong pada orang lain, tapi orang lain belum tentu berpikir demikian. Ada sebagian orang sudah terbiasa hidup dalam kebohongan. Kamu boleh bilang ke temanmu. Kalau dia mau dengar ya sudah. Kalau nggak mau dengar, kamu juga nggak usah ngomong apa-apa lagi. Kita nggak bisa bangunkan orang yang pura-pura tidur.”Bram merasa sangat canggung. Saat dia mengaku pada Chintya nanti, entah apa yang Chintya pikirkan tentang dia. Bram harus atur sedemikian rupa agar Chintya mengetahui identitasnya dengan cara yang sangat alami. Setelah itu, dia
Yohanna menyudahi percakapan dia dengan teman baiknya dan masuk ke ruang makan. Dua adik dan ibunya sudah duduk di tempat mereka masing-masing. Di depan mereka sudah tersedia semangkuk sup hangat yang menunggu untuk segera dinikmati. Di tempat duduk yang biasa Yohanna tempati juga sudah tersedia semangkuk sup, sama seperti yang diberikan untuk yang lain, yang disajikan langsung oleh Ronny. Setelah Ronny memanggil Yohanna untuk makan, dia langsung kembali ke dapur karena di dapur masih ada dua lauk lagi yang harus dia masak agar hidangannya lengkap. Seusai makan siang, Yohanna beristirahat sejenak karena sebentar lagi dia harus segera kembali ke kantor. Sejujurnya Ronny juga sedikit lelah, tetapi dia masih harus melayani tunangannya itu, dan baru bisa benar-benar beristirahat ketika Yohanna sudah berangkat kerja. Di malam harinya, jika Yohanna tidak makan di rumah, Ronny diberi kebebasan untuk bekerja atau terus beristirahat karena keluarga Pangestu masih memiliki koki yang lain untuk
“Bawa juga suami kamu biar dia nggak salah paham. Takutnya nanti dia pikir kamu datang ke rumahku untuk selingkuh.” “... oke. Aku bakal ajak dia juga. Aku mau lihat cowok kayak apa sih yang punya suara merdu begitu. Seharusnya nggak jelek, ‘kan?” Setelah sejenak terdiam, Yohanna membalas, “Kayaknya mending kamu nggak usah datang, deh. Takutnya kalau kamu datang dan ketemu dia, kamu bakal menyesal sudah menikah karena kamu sudah nggak bisa lagi ngejar-ngejar cowok ganteng.” “Wah, berarti dia pasti ganteng banget, nih. Aku jadi makin nggak sabar main ke rumah kamu. Bisa bikin kamu ngomong begitu berarti dia pasti punya muka yang menarik. Yohanna, kalau kamu sudah nggak mau pakai koki yang ini lagi, jangan lupa kabari aku, ya. Biar aku yang pakai dia. Selama ada koki ganteng di rumahku, aku nggak bakal pernah kelaparan lagi.” “Untuk sekarang, aku masih bisa makan masakannya dia, masih belum muak. Dia memang dari dulu hobinya memasak. Mungkin di zaman dulu dia sempat hidup jadi koki bu
Masalahnya, dengan harta dan kedudukan yang ketua kelas miliki sekarang pun, jarak antara dia dan Yohanna masih terlalu jauh. Yohanna berpikir sejenak dan menjawab, “Ketua kelas kita mukanya yang kayak gimana? Aku nggak ingat sama sekali.” Ketika masih bersekolah, ada banyak sekali kaum pria yang berusaha mendekati Yohanna, tetapi Yohanna sedikit pun tidak memiliki perasaan terhadap mereka. Jadi setiap hari dia hanya memasang wajah yang kaku dan dingin. Dari situ dia mendapat julukan “Ice Princess”, dan makin sedikit orang yang berani mendekatinya. Karena terlalu banyak pria yang menyukainya, Yohanna tidak ingat seperti apa wajah mereka semua. Itu karena Yohanna tahu, mereka bukanlah pria yang dia inginkan. Jadi tidak aneh jika Yohanna tidak ingat seperti apa paras ketua kelasnya. “... ketua kelas kita itu dianggap sebagai cowok terganteng di kelas. Masa kamu nggak ingat? Kita kan sekelas sama dia selama dua tahun, lho,” ujar Ruth. “Cowok yang sekelas sama aku selama dua tahun kan
“Sebentar lagi kan tahun baru, yang tua-tua setiap hari kerjanya telepon aku minta aku cepat pulang. Makanya sekarang aku sudah pulang.” Setelah Ruth menjawab pertanyaan Yohanna, sekarang gantian giliran dia yang bertanya, “Kamu kan baru pulang dari perjalanan bisnis, masa sudah langsung ke kantor lagi tanpa istirahat? Kamu terlalu keras kerjanya, kan kamu punya banyak adik-adik yang bisa bantu kamu. Bagi saja tugas kamu sebagian ke mereka. Jangan semuanya kamu tanggung sendiri. Nggak perlu bikin capek diri sendiri.” Ruth sangat memedulikan Yohanna. Mereka berdua adalah teman baik, tetapi semenak Yohanna mengambil alih bisnis keluarga, mereka jadi jarang bertemu karena Yohanna terlalu sibuk. Sering kali mereka hanya berhubungan melalui chat untuk tetap menjaga pertemanan. Untung saja mereka adalah teman sekelas sejak SD. dengan pertemanan yang sudah terjalin selama bertahun-tahun, tentu tidak akan putus hanya karena Yohanna sibuk bekerja. Yohanna juga sering menjalin hubungan kerja
Yohanna harus membahas masalah pendidikan adiknya dengan kedua orang tuanya. Dia hanya punya satu adik kandung, jadi dia akan sangat mementingkan pendidikan adiknya. Sesibuk apa pun pekerjaan Yohanna, dia akan selalu meluangkan waktu untuk bertanya tentang kegiatan belajar adiknya. Apabila Tommy melakukan kesalahan dan malah dimanja oleh orang tuanya, maka Yohanna yang mau tidak mau harus memarahinya. Tidak peduli Tommy menangis atau merengek manja, kalau sampai Yohanna tahu adiknya bersalah, dia akan memberi pelajaran tegas agar kesalahan itu tidak terulang lagi. Lalu Yohanna juga akan menyuruh Tommy untuk menuliskan apa saja kesalahannya di atas kertas. Apabila orang tua atau om tante juga melindungi Tommy, mereka juga harus ikut menulis kesalahan mereka. Lihat saja siapa yang masih berani melindungi Tommy ketika dia berbuat kenakalan. Namun tentu Yohanna tidak akan menegur jika Tommy melakukan kenakalan kecil yang masih bisa diterima. Sebagai anak kecil, khususnya anak lelaki, waj
Yohanna spontan tersenyum mendengar ucapan manis adik-adiknya. “Berhubung kalian berdua sudah berbaik hati, kalau begitu aku panggil kakak-kakak yang lain untuk pergi belanja bareng. Siapkan dompet kalian, ya. Aku sudah lama nggak pergi belanja, lho. Kalau sudah pergi belanja nanti, apa pun yang aku suka langsung kubeli.” Kedua kakak beradik itu mengangguk, dan Tommy menyahut, “Biasanya Kak Yohanna sibuk kerja, jadi nggak ada salahnya sesekali belanja. Anggap saja waktu untuk bersantai.” Di antara semua anggota keluarga Pangestu, Yohanna memiliki pekerjaan yang paling sibuk dan paling melelahkan. Sejauh yang bisa Tommy ingat, dia tidak pernah satu kali pun melihat kakaknya pergi berbelanja atau pergi berlibur. Setiap hari dia harus bekerja di kantor, menemui klien, dan pergi dinas ke luar kota. Bahkan di akhir pekan pun Yohanna belum bisa bersantai. Terkadang dia masih harus menemani partner bisnis bermain golf, memancing atau berenang. Namun, hanya partner bisnis penting yang bisa
“Oke! Nanti aku beliin Kakak baju baru,” ucap Tommy. Tommy sama sekali tidak kekurangan uang saku. Ketika tahun baru tiba, para orang tua akan memberikan sejumlah uang yang dimasukkan ke dalam amplop merah. Sebagian yang itu Tommy serahkan kepada ibunya, dan sebagian lagi dia pakai sendiri untuk membeli barang apa pun yang dia inginkan. Dia juga sangat pandai dalam mencatat keuangannya, dia ingat untuk apa saja uangnya dipakai, atau barang-barang apa saja yang dia beli. Yohanna membungkukkan badannya sedikit dan mencubit pipi adiknya. Mata dan alisnya membentuk setengah lingkaran seperti sedang tersenyum. “Kamu belajar yang benar dan harus nurut sama aku saja aku sudah senang. Nggak perlu beliin aku baju baru. Aku punya uang untuk beli baju baru sendiri.” Di lemari baju Yohanna masih banyak baju baru yang bahkan belum sempat dia kenakan. Biasanya dia sehari-hari mengenakan jas kerja, dan hanya mengenakan pakaian santainya di akhir pekan atau ketika sedang beristirahat di rumah. Ibu
Yohanna tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia langsung keluar dari dapur dan duduk kembali ke sofanya semula. Risa tetap memberikan beberapa camilan yang ada dan berkata, “Yohanna, kalau sudah lapar banget, makan saja sedikit. Yang ini nggak terlalu manis. Koki yang biasa tahu kamu nggak suka manis, jadi gulanya dikurangi.” “Selama aku nggak di rumah, dia pasti bikin sesuai sama selera kalian. Aku nggak bisa makan,” balas yohanna. “Nggak terlalu manis pun aku tetap nggak suka.” Bukan hanya perkara tingkat kemanisan saja, tetapi Yohanna memang tidak suka segala jenis dessert yang dibuat oleh kokinya. “Gimana kalau makan biskuit saja?” tanya Risa khawatir seraya menyodorkan bungkusan biskuit kepadanya. “Atau makan buah juga boleh. Di rumah ada buah yang kamu bisa makan. Dijamin masih segar.” “Nggak usah, Ma. Mama duduk saja, nggak perlu kasih aku ini itu. Setengah jam lagi sup yang Ronny buat sudah jadi. Aku tunggu saja.” Yohanna tidak suka makan buah di saat perut kosong. Biasanya di
Ada sih ada saja, tetapi Yohanna tidak tertarik kepada mereka. Yohanna merasa dia punya selera yang cukup tinggi. “Ma, sudahlah, nggak usah bahas beginian lagi. Aku lapar, aku mau lihat apa ada camilan untuk ganjal perut.” Yohanna pun beranjak dari tempat duduknya karena sudah tidak ingin lagi membicarakan topik tentang pernikahan dengan ibunya. “Selama kamu dan Ronny pergi, dessert yang ada di rumah dibuat sama koki yang satu lagi. Dessert buatan dia terlalu manis buat kamu. Kamu pasti nggak bakal suka,” kata Risa. Walau begitu, anggota keluarga lainnya semua pada suka. Hanya Yohanna saja yang tidak suka. Yohanna masih bisa makan dessert buatan Ronny walaupun tidak terlalu banyak. Ronny mengaku dia tidak begitu pandai dalam membuat makanan manis. Risa pernah mencoba dessert buatan Ronny,dan memang tingkat kemanisannya tidak setinggi koki yang biasa, dan tingkat kelembutannya juga sedikit lebih baik. Mungkin karena itu, Yohanna masih bisa menikmati dessert buatan Ronny. Yohanna pu