Share

Bab 6

"Papa ngga serius 'kan?"

Ana menatap Rita, jelas sekali tergambar raut tak terima di wajah wanita paruh baya itu. Lalu pandangannya beralih pada Barata yang tetap terlihat tenang. Meski ketiga orang di sini dengan jelas memperlihatkan rasa tidak suka pada keputusan laki-laki tua itu.

Jangan tanyakan perasaannya sebab sejujurnya dia pun bingung dengan keputusan mendadak ini. Baru saja beberapa hari menjadi bagian keluarga Wijaya, tapi hidupnya sudah jungkir balik seperti ini. Meski dalam sudut hatinya dia merasa senang.

Bekerja di kantor merupakan keinginannya. Tak hanya itu dia berharap bisa memberi kehidupan yang layak untuk ayahnya jika nanti keluar dari penjara.

"Tentu saja aku serius," jawab Barata tegas. Satu per satu dia tatap wajah di sekelilingnya. Tak ada raut berarti, tapi ketenangan itu tentu berhasil menciptakan keresahan di hati orang-orang.

"Tapi dia bukan wanita berpendidikan!" geram Rita. Wanita itu bahkan sudah melayangkan tatapan tajam pada Ana. Bagaimana bisa sosok rendahan seperti Ana seberuntung ini?

"Apa kamu lupa Rita? Aku pun bukan orang yang berpendidikan, aku juga lulusan SMA sama seperti Ana," ujar Barata. Dia dulu memang memulai semuanya dari bawah, baru setelah sukses dia melanjutkan pendidikan demi meningkatkan kemampuan diri.

"Tapi, Pa—"

"Ingat Rita! Ana sudah menjadi bagian dari keluarga ini, bahkan dia lebih berhak bekerja di sana daripada Rena. Karena bagaimana pun Ana adalah menantu keluarga ini."

Rita tidak lagi protes karena nada tegas Barata, meski raut pria itu terlihat tenang tak menunjukkan emosi apapun. Lagipula siapapun pasti tidak akan berani membantah. Pada akhirnya Rita hanya mampu menggenggam sendok lebih kuat untuk melampiaskan amarah.

Arjuna sendiri hanya diam, tidak berani membantah kalimat sang kakek. Karena hidupnya masih ditopang oleh kakek. Lagipula juga bukan urusannya Ana mau bekerja apa tidak. Selama wanita itu tidak menyusahkannya, dia tidak masalah sama sekali. Toh, bukan dia yang ditugaskan membimbing Ana, jadi masih aman.

Sedangkan Rena yang duduk di hadapan Ana, hanya menunduk. Sama seperti sang ibu wanita itu mencekeram sendok dan garpunya lebih erat. Dalam hati terus meruntuki Ana dan menganggap perempuan itu adalah musuhnya.

"Ada lagi yang mau kalian tanyakan?"

Semua diam. Tidak ada yang menjawab pertanyaan Barata karena entah mengapa suasana tiba-tiba menjadi menegangkan. Lagipula kalimat itu terdengar seperti pertanyaan yang tak butuh jawaban.

"Ana," panggil Barata.

"Iya," jawab Ana sambil menatap laki-laki tua yang tengah menatapnya hangat. Senyumnya pun terlihat tulus.

"Kamu mau 'kan?" tanya Barata penuh harap.

Wanita berumur 28 tahun itu gelagapan, bingung harus menjawab apa. Ini terlalu mendadak dan membingungkan baginya. Bagaimana bisa dia terjebak dalam situasi seperti ini?

Sebesar apapun keinginannya untuk bekerja, tapi ditanya saat suasana sedang memanas tentu dia tak siap. Apalagi saat Rita seolah tengah membakarnya dengan tatapan tajam. Terus terang dia sedikit merinding.

Mungkin melihat Ana yang tidak kunjung menjawab, Barata kembali berkata, "jangan khawatir, nanti akan ada seseorang yang membantu kamu. Dan Kakek tidak memberi pilihan menolak."

Mendengar itu, Ana hanya bisa mengangguk. Lagipula Barata seperti punya kekuatan, untuk membuat siapapun menuruti keinginannya. Wibawa pria itu benar-benar kuat.

"Baiklah, Arjuna." Kakek Barata beralih menatap cucunya, "jangan lupa nanti antar Ana belanja."

Arjuna mengangguk, sedetik kemudian dia melirik tajam pada istrinya. Apa yang sudah dilakukan wanita itu? Hingga kakek terlihat begitu menyukainya. Dia saja sebagai cucu ketika meminta sesuatu sering dipersulit.

Banyak syarat yang harus dikerjakan sebelum mendapatkan keinginannya. Itupun tak mudah sebab sang kakek seolah tengah mempersulitnya. 

"Apa perlu bantuanku, Kek?" tanya Rena tiba-tiba. Dia sampirkan rambutnya ke belakang telinga. Senyum lebar dia tunjukkan pada semuanya.

"Maksudnya?"

"Ya, mungkin saja nanti Ana kebingungan. Jadi aku bisa memberi saran mana yang harus dibeli, mana yang tidak. Ana, kan sepertinya belum punya pengalaman mengenai apa yang pantas dipakai ke kantor."

Ana membalas tatapan Rena dengan tenang, dia tersenyum lembut pada wanita cantik itu. Bukan mau berburuk sangka, tapi Ana jelas tahu kalau wanita itu tidak tulus menawarkan bantuan. Melainkan hal itu semata-mata dilakukan agar bisa mengawasi Arjuna.

Mana mungkin, kan perempuan yang belum saja jam membentaknya kini berubah menjadi baik? Hal yang sungguh mustahil!

"Jadi gimana? Aku bolehkan ikut?" tanya Rena, raut muka wanita itu begitu antusias. Ah, lebih tepatnya pura-pura antusias.

Sebelum Barata sempat menjawab, Ana lebih dulu menjawab pertanyaan rivalnya itu, "o ... tentu saja."

Rena mau ikut, kan? Maka dia akan mengajaknya sekaligus memberitahu posisi mereka yang sebenarnya. Dia akan menunjukkan dia lah seorang istri sah dari Arjuna Wijaya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status