Satu kebohongan terungkap. Aku merasa pengabdianku selama satu tahun ini sia-sia. Lucas berbeda usia lima tahun dariku, mungkin saja dirinya takut menjadi perjaka tua, yang memiliki anak diusia senja. Kerepotan menyekolahkan anak kecil di usianya yang sudah tidak lagi muda.
Aku akui, malam ini pikiranku kacau. Prasangka buruk terus aku lontarkan pada Lucas, meski tak terucap oleh lisan. Mau bagaimana lagi, mendadak aku lupa caranya berprasangka baik padanya karena dia sendiri yang acuh, dia sendiri yang menyimpan foto wanita lain secara sembunyi-sembunyi.
Aku menyibak tirai, menengadah menatap pekatnya malam, bintang memudar redup. Bahkan langit pun enggan berbagi kehangatan denganku. Setitik cahaya bintang pun, tidak mau dia berbagi. Lucas adalah malamku, dapat kupeluk tapi tak mampu menghangatkan, membiarkan aku sendiri kesepian.
Aku masih termenung hingga tengah malam. Berdiskusi dengan hati antara bertahan atau melepaskan. Aku tak sabar datangnya hari esok, karena aku butuh kepastian dan berhenti dengan argumen sepihak dari dalam diri yang menyulut hati.
Suara ringtone telepon mengusik lamunan bodoh ini. Lebih baik begitu, aku seperti orang bodoh jika sedang sendiri. Mungkin terlalu sepi.
Panggilan telepon ternyata dari Lucas. Aku sengaja tidak mengangkat telepon karena malas. Adapun rasa kegelisahan sebaiknya dibicarakan langsung nanti, itu pun kalau aku sanggup. Kalau tida, paling-paling makan hati sendiri sampai kurus.
Pesan WhatsApp masuk dari Lucas
"Kenapa gak di angkat, Flo? Aku tahu kamu belum tidur, kamu suka matiin data kalau mau tidur. Iya 'kan?""Kenapa Mas telepon tadi?"
"Karena kamu masih online, kamu gak boleh kurang tidur, kamu sering migrain."
"Iya, kamu yang bikin aku migrain."
"Ya, sudah tidur, ya! Maaf bikin kamu sakit kepala."
"Makasih, udah perhatian. Semoga tulus, ya!"
"Ya tulus lah. Kamu aneh hari ini. Ada masalah?"
"Ada, Mas besok pagi pulang, ya! Aku mau tanya sesuatu."
"Sorry gak bisa, masih ada urusan. Paling pulang sore."
Yang benar saja, sore katanya. Sore hari waktunya pendek, kemudian malam datang dan dia akan tidur, besoknya kerja. Benar-benar tidak betah di rumah. Biasanya dia yang duluan tidak membalas pesan, sekarang giliran aku. Malas rasanya jika jawabannya seperti itu.
Aku mematikan data, tidur dengan membawa luka. Semoga malam ini aku tidak mimpi buruk.
***Seperti kata dia kemarin malam, dia akan pulang sore. Suara mesin mobil datang dapat kudengar tepat pukul empat sore. Aku berdiri menyambut dirinya, membukakan pintu dan tersenyum, seperti kebiasaan ku dari awal kami menikah. Tidak aku ubah kebiasaan ku itu meskipun hari kemarin hati ini terluka. Kehadirannya adalah penawar paling ampuh.
Aku tersenyum lebar dia membalasnya dengan tersenyum tipis, itu sudah biasa.
"Makan, Mas. Aku sudah masak."
"Masak apa?"
"Sup ikan patin."
Aku tahu dia suka ikan patin, terlihat dia tersenyum sambil melangkah ke dapur. Dia lahap aku bahagia.
Aku menyusulnya, mengambilkan nasi dan lauk untuknya. Waktu yang singkat ini harus aku manfaatkan, dia lebih sering sibuk dengan pekerjaan dan hobby. Mengambilkan dia makanan adalah caraku untuk berbagi kasih dengannya.
Bukannya aku lupa akan luka yang kemarin. Hanya saja, jika sewaktu-waktu aku didepak olehnya, setidaknya aku pernah merasakan berbagi kasih dengannya. Setidaknya, aku menuai ladang amalku dari situ. Pertikaian hanya membuatku menjadi tidak sehat.
"Makasih, Flo."
"Sama-sama."
Aku mengambil nasi untukku setelah dia mengambil suapan yang pertama. Dari gerak-geriknya, aku yakin dia suka dengan masakanku.
"Enak?"
"Enak, sekali."
Aku pun akhirnya makan punyaku, anggap saja kita sedang merayakan satu tahun ulang tahun pernikahan kita, yang tepatnya jatuh pada hari kemarin, sangat kebetulan bertepatan dengan penemuan foto wanita lain di laci meja kerjanya.
Setelah selesai makan, aku mengekor dia sampai ruang tengah. Melihat dia menyalakan televisi dan memilih acara berita sore. Aku duduk di sampingnya, menunggu hatiku siap untuk bertanya masalah foto.
Aku bisa bertanya kapan saja, memang. Akan tetapi hatiku tidak siap menerima jawabannya. Mungkin saja, seumur hidup aku akan sakit hati jika itu adalah pacarnya.
"Ada apa? Kenapa menatapku kaya gitu?" Lucas melemparkan pertanyaan saat aku keterusan menatapnya dengan tatapan tajam.
Aku bungkam, memilih kata-kata yang sesuai, aku tertunduk dengan gemetar.
"Ada masalah? Katakan saja, gak usah takut. Aku suamimu bukan orang lain."
Aku mengangguk, sebelah hatiku menyesal telah menuduh dirinya duluan, tanpa bertanya. Harusnya aku bertanya. Tapi aku takut.
Lucas menyentuh rambutku, mengelusnya lembut. Seingatku, ini pertama kalinya. Aku kaget, dia biasanya langsung menikam jika butuh kegiatan biologis, lalu tertidur dengan pulas. Tidak pernah main hati. Ayolah, aku mulai luluh kembali.
"Katakan apa masalahmu."
Baiklah, aku mulai. "Maaf aku bertanya kaya gini. Aku ingin tahu siapa foto yang ada di laci meja kerjamu."
Aku menatap Lucas lekat, ada perubahan pada garis wajahnya. Baru saja kami merasakan kehangatan beberapa menit, kemudian berubah kaku kembali hanya karena satu pertanyaan sensitif ini.
"Kamu buka laci? Kamu berani?"
"Maaf."
"Aku sudah peringatkan dari awal jangan berani membuka laci di situ."
"Ya, tapi itu siapa?"
Lucas bungkam. Tanpa harus susah payah mendesak dia menjawab aku sudah tahu bahwa foto itu adalah miliknya yang berarti. Kesalahan, yang mungkin saja indah baginya.
"Bukan siapa-siapa. Aku jarang buka laci itu. Aku hanya lupa membuang foto itu, sorry."
"Intinya dia siapa? Dari tadi aku mengajukan satu pertanyaan tapi jawabanmu berputar-putar."
"Lupakan! Aku janji akan membuangnya."
"Lupakan?"
"Apa menurutmu kamu sopan bertanya masa lalu suamimu? Aku bilang aku lupa membuangnya, itu foto lama."
"Aku tahu itu foto lama, tapi baru kamu simpan. Bingkainya saja tidak berdebu. Aku tidak bodoh."
Lucas bangkit, melangkah pergi.
"Ke mana?"
"Mau membuang foto yang membuatmu marah."
"Tapi itu foto siapa? Aku hanya tanya, siapa."
"Namanya Amanda."
"Siap dia?"
"Tidak usah tahu."
Lucas melangkah kembali ke ruang kerjanya, ditangannya aku melihat dia membawa keluar satu foto dari dalam kamar. Lalu membuangnya ke tong sampah di hadapanku.
"Kamu lihat? Sudah aku buang. Jadi jangan diungkit-ungkit lagi. Jangan jadi masalah lagi. Dan jangan bilang-bilang ayah dan ibu."
Aku mengangguk, tanpa merubah ekspresi kesalku. Dia bilang jangan bilang ayah ibu, pasti foto itu akan membuat marah orang tuanya.
Dan Amanda. Nama itu tidak akan aku lupakan. Aku harus mewaspadainya, aku takut dia hadir merusak segalanya. Merusak pondasi yang baru saja akan aku bangun dengan Lucas. Selama ini, aku dan Lucas pasangan suami istri yang kaku.
Aku ingin memperbaikinya tanpa hadirnya Amanda.
TBC
Aku seakan bermimpi, saat membuka mata di pagi hari, dan yang pertama kali aku lihat adalah sosok wanita yang kucinta. Dulu, dia mengisi hati ini kemudian pergi dengan membawa luka. Aku tidak bisa mencegahnya walaupun sudah berusaha menahannya. Dia tidak setuju dengan tawaran yang aku berikan. Tawaran untuk berpoligami. Entahlah, aku merasa tidak ada yang salah waktu itu. Hatiku tetap ada untuknya. Lalu sudah aku katakan berulang kali bahwa menikahi wanita lain hanya sebatas alasan yang mendesak. Bukankah pria mempunyai hak jika mampu? Tapi istriku tidak mau peduli dengan apa pun alasannya. Amanda mantanku, dia kembali setelah cukup lama tidak berjumpa. Dia datang dengan tidak berdaya, sakit dan menyedihkan. Dia memintaku untuk melindunginya. Karena katanya, tidak ada satu pria pun yang mencintai wanita lumpuh dengan tulus. Karena akulah penyebab dia kecelakaan. Aku merasa bersalah mendengar kata-katanya. Dia memukul terus kakinya yang pincang, dan ha
Semua mata tertuju padaku bukan karena pernyataan Lucas, tapi karena aku tersedak dengan tiba-tiba. Wajahku pasti terlihat konyol saat ini, aku malu. Lucas memberiku segelas air putih dan aku menandaskannya dengan segera. Saat ada kalimat selamat yang terlontar dari mulut mereka secara bergantian, hatiku belum sepenuhnya sadar. Seakan Lucas sedang membuat konten prank di Chanel YouTube untuk menjahiliku. Tapi saat aku melirik ke arahnya dia nampak serius. Kami pulang. Sepanjang perjalanan pulang Lucas nampak tersenyum. Pria gila itu selalu berhasil mewujudkan keinginannya. Sementara aku mendadak gugup, tak berselera untuk bicara namun jiwaku terasa hangat. Walau caranya membuat aku jengkel, tapi aku suka saat dia meminta aku kembali jadi miliknya. Lucas menerima panggilan telepon, entah dari siapa. Namun raut wajahnya nampak lesu dan risau. "Huh, merepotkan!" umpat Lucas. "Ada apa?" tanyaku ragu-ragu. "Papah masuk rumah sakit, dia pecah pembul
Aku paham, butuh waktu cukup lama untuk seseorang memahami isi hati orang lain. Begitupun bagi Andrean, meskipun Lucas sudah merangkul dan meminta maaf. Dia mematung, tidak ada minat sedikitpun untuk berbicara dengan Lucas. Tak lama dia memilih pulang. Dia hanya pamit kepadaku dan tidak menanggap Lucas ada di dekatnya. Lucas menatap punggung Andrean hingga menghilang. Tertunduk dan melamun, mungkin saja Lucas ingin hubungannya baik seperti dulu kala. Menjalani masa kecil bersama, sekolah dan masuk universitas yang sama dan kini hubungannya retak hanya karena masalah hati. Aku paham pahitnya ditinggalkan sahabat sendiri. Cukup lama aku dan Lucas berada di ruang yang sama namun memilih saling diam dari tadi. Akhirnya Lucas menatap ke arahku dan tersenyum. "Flora, lagi sibuk? Apa bisa minta waktumu sebenar saja buat ikut denganku?" Aku tersenyum, tidak biasanya dia meminta waktuku dengan sesopan itu. Lucas berkata kembal
Aku melempar pakaian Lucas ke lantai di kamar. "Cepat pakai pakaianmu! Memalukan! Mentang-mentang tidak ada Renata, so merasa jadi anak muda? Jangan coba-coba tebar pesona padaku! Tidak akan mempan." "Siapa yang tebar pesona? Terus menurutmu, cara pakai handuk seorang bapak satu anak bagaimana? Apa dililitkan di leher, hah? Atau diikat pada dua kaki seperti orang yang sedang diculik penjahat? Kamu akan lebih menjerit histeris jika melihat aku seperti itu." Ah sialan, kenapa Lucas berkata seperti itu aku malah membayangkan Lucas melilitkan handuk ke leher dan kaki. Aku jadi frustrasi membayangkan visual aneh itu. Sepertinya Lucas melangkah mengambil pakaiannya yang tercecer. Entahlah, setelah dengar ocehannya aku langsung menutup pintu tanpa menatap ke arahnya. Kemudian aku menyeduh macchiato untuk kami berdua. Lucas keluar kamar dengan stelan casual warna denim. Seingatku, pakaian itu aku yang pilihkan, belanja di online shop saat ada diskon dan grati
Lucas menggendong Andrean. "Mau kita buang ke mana pria brengsek ini?"Aku teramat resah, masa iya Lucas mau membuang Andrean seperti barang bekas. Apa mungkin dia akan melempar Andrean ke lapangan yang tandus seperti halnya membuang Amanda kemarin itu?"Jangan becanda, Lucas." Aku mengikuti langkah Lucas yang pelan karena beban di punggungnya."Kamu parkir mobil di mana?" tanya Lucas."Aku gak bawa mobil, mobil ada di parkiran Cofee Shop. By the way, aku hanya berniat membawa Andrean ke pinggir dekat pohon itu. Kita bisa taruh dia di sana saja, lalu pura-pura tidak tahu apa yang terjadi." Aku menunjuk pohon besar yang di depannya terdapat tong sampah."Andrean tidak akan muat jika masuk ke tempat sampah sekecil itu. Kita butuh TPS berukuran besar.""Ayolah, Lucas! Kamu tahu sendiri maksudku adalah taruh Andrean di pinggir pohon, supaya tidak menghalangi jalan. Bukan menaruh Dean di tong sampah."Lucas tersenyum, sambil terus berjalan
Sejenak, aku merasa diri ini kehilangan akal sehat karena membiarkan mantan suami mengecup puncak kepalaku. Dan bisa-bisanya aku memejamkan mata menahan degup jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Bibir Lucas enggan berpindah selama beberapa menit, mungkin dia keterusan. Aku membuka mata, tersentak saat melihat ada orang yang lewat sehingga tanpa sengaja menyundul kepala Lucas. Menyisir rambut dengan jari, dan merapikan posisi baju yang hampir kusut. Aku hampir melupakan Lucas yang sedang meringis menahan sakit pada bibir. Dia menutup mulut dengan kedua tangannya, dengan ekspresi bodoh sedang menahan sakit. Lucas menatapku. "Agghh ... dasar cewek preman! Lihat ini! lukaku bertambah lagi di bibir. Apa bedanya kamu dengan scurity di kantor Papah?" Sembarangan, bisa-biaanya Lucas menyamakan aku dengan scurity kantor yang bertubuh besar. "Suruh siapa kamu begitu lancang mencium kepalaku? Lagian kamu pikir kepalaku juga tidak sakit beradu dengan