Tak terasa sudah larut malam, hati berdecak gelisah menunggu Andrean menghubungi, menunggu pernyataan cinta darinya tapi tidak ada. Aku masih duduk di kasur dengan harapan terlalu jauh, sambil ditemani Renata yang sudah terbuai di alam mimpi.
Benar kata Alan, Andrean sangat santai dan tanpa beban. Jiwanya mengalir bagai air tapi alirannya seret tidak deras, jika ditimpa kemarau akhirnya kering juga. Aku menurunkan ego, yang tadinya menunggu menjadi maju duluan. Mungkin, aku bisa mengawali kisah kami dengan mengajaknya menengok neneknya Renata.
Aku mengirim pesan. "Selamat malam, Dean. Besok kamu ada waktu? Aku mau mengajakmu nengok neneknya Flora, Tante Lusi."
"Malam, Flora. Kebetulan besok aku ke luar kota, gimana kalau lusa kita nengoknya?"
"Oh gitu, tapi biasanya Tante Lusi suka ngomel kalau aku gak segera datang menemuinya. Kalau aku pergi aja besok tanpamu, gak apa-apa 'kan?"
"Iya, gak apa-apa. Lusanya kamu bisa datang lagi denganku."
Gimana nasib flora??
Aku masih duduk sembari menahan sakit akibat ditarik paksa oleh Marco, di dalam hati menahan segala rasa takut. Otakku berkelana liar memikirkan kemungkinan yang terburuk. Saat tangan Marco mencengkram kuat pipiku hingga perih, air mataku pun jatuh. Kedua matanya melotot mengerikan, bagaikan mata setan. Jika aku punya kekuatan ingin sekali mencolok sepasang iris warna Hazel itu. "Jangan harap kamu bisa pergi dari sini sebelum bersumpah tidak akan mengatakan apa pun pada Lucas." Marco mengancam kembali. "Aku ke sini untuk mencari Cherry. Aku gak dapat keuntungan apa pun jika menceritakan yang barusan aku lihat, Pak. Urusan Lucas bukan urusanku, mana aku peduli sama dia." Aku meyakinkan Marco. Namun aku tidak berani bersumpah apa pun. Walaupun memang aku tidak peduli pada Lucas tapi aku sayang sama Mamah Lusi. Yang lebih penting saat ini, aku hanya ingin pergi dari tempat ini. Aku berkata kembali, agar Marco percaya. "Lucas sudah mencampakkan aku. Aku t
"Maaf, Mah. Mungkin aku lancang bertanya seperti ini. Sejak kapan Amanda dan papah memiliki hubungan? Apa karena terlalu sering mengurus Amanda hingga mereka kebablasan." Mamah menggeleng. "Sudah lama, semenjak Amanda dan Lucas masih pacaran. Sebelum putus Amanda sering berselisih paham dengan Lucas. Sejak saat itu Amanda sering mengadu pada papah Lucas. Dan entah mengapa mamah merasa mereka jadi dekat." "Mamah tahu dari mana? Apa ada yang laporan?" "Ada. Kalau bukan teman Lucas yang laporan, mamah juga hanya anggap Amanda cuma cari perhatian saja pada Marco." "Teman Lucas?" "Iya, teman dekat. Kamu juga kenal 'lah. Jadi menurut kesaksian dia, Amanda kecelakaan karena mengendarai kendaraan saat mabuk." Lidahku terkunci tak tega untuk menanggapi takut salah bicara. Sementara, perkataan mamah pun juga menggantung di udara. Dia nampak akan melanjutkan ucapannya hanya isak tangis menunda ucapan itu. Hingga akhirnya, butiran bening di sudut
Angin sore menerpaku, aku duduk di bangku salah satu food court yang berada di daerah pegunungan ditemani Andrean, dia mengajakku ke tempat ini. Beraneka jenis pohon yang berjejer, nampak indah dilihat dari kejauhan tapi tidak menghilangkan rasa risau yang membalut di dalam diri. Malahan, alam terbuka membuat aku semakin terlena, mengingatkan aku betapa pedihnya kesepian."Kamu kenapa, Flo. Gak suka tempat ini? Padahal, menurutku tempat ini begitu indah, udaranya yang sejuk membuat pikiranku tenang.""Aku suka, kok, aku sedang menikmatinya."Ya, Dean benar. Tempat ini memang tenang dan sunyi. Akan tetapi, entah mengapa pikiranku saat ini malah mengingat tempat sunyi yang abadi, sehingga aku malah gelisah. Sebetulnya simpel saja, aku hanya ingin membalas pesan dari mamah Lusi yang dengan terpaksa aku abaikan karena Andrean tadi siang merebut paksa ponselku.Dia tidak suka aku terlalu dekat dengan mamah Lusi karena menurut pendapatnya, hal itu hanya akal-
Aku masih duduk di lantai. Hati seakan terhimpi pahitnya kenyataan saat mendengar Marco mengatakan bahwa Mamah Lusi sudah tiada. Aku mengharapkan kesembuhan beliau. Namun ternyata malah perpisahan abadi seperti ini yang terjadi. Masih berasa mimpi, bahwa dia telah pergi dengan membawa luka.Orang yang berada di depanku yang menciptakan luka itu. Aku melirik ke arahnya dia sedang menatapku dengan ekspresi datar."Kamu mau ikut ke rumah bersama saya? Saya mau ke sana?" tanya Marco.Walaupun dalam keadaan sedih, aku masih punya akal sehat, mana mau pergi bersamanya yang ada nanti aku celaka. "Tidak, saya bisa pergi sendiri, Pak.""Kamu yakin? Dengan kondisi kamu yang payah kaya gitu mau ke rumah sendiri?""Pergi saja! Jangan banyak tanya, Pak."Marco mengangkat ke dua alis. Dari raut wajahnya, dia memang tidak berniat mengajakku, dia hanya tertarik untuk mengata-ngataiku.Aku perlahan berdiri. Sementara pria
"Hallo, Amanda!"Amanda menoleh, wajahnya nampak panik saat dia tersadar yang datang adalah aku. "Ngapain kamu nyamperin aku?"Amanda memalingkan wajah, diam-diam dia meringis dalam tangis tapi aku masih bisa melihatnya dari arah samping. Aku menarik kursi rodanya lalu membawa Amanda ke belakang rumah hanya untuk bisa menumpahkan rasa kesal dengan puas."Apaan, sih kamu? Aku mau dibawa ke mana?" tanya Amanda saat dirinya aku bawa ke belakang rumah.Aku tidak menjawab, hingga akhirnya aku masuk ke gudang di rumah itu dan mengunci pintu."Flora, aku mohon jangan bilang apa pun pada Lucas. Aku takut padanya, dia kalau marah mengerikan." Amanda berkata mendahuluiku sebelum aku memarahinya. Dia nampak panik."Bukan Lucas yang mengerikan. Tapi kamu yang keterlaluan. Wajar saja seorang anak akan marah besar saat berhadapan langsung dengan orang yang sudah membuat ibunya terluka. Terlebih, kamu bersembunyi di dalam perlindungan dia selama ini.""Iya
Rungan ini pengap dan gerah karena tidak ada pendingin ruangan, ditambah melihat Amanda dari tadi meraung-raung seperti kucing di dalam karung yang hendak dibuang ke hutan, membuat kepalaku terkena sakit kepala sebelah gara-gara mendengar suaranya. Dia lebay dan bikin pusing, aku tidak bisa membayangkan bagaimana saat Amanda di samping Lucas. Pasti hidup Lucas bagaikan lelucon bernuansa tragedi.Aku membuka pintu untuk keluar dari tempat ini. Saat pintu terbuka aku melihat wajah Lucas yang penuh tanda tanya saat melihatku. Aku yakin, dia yang mengetuk pintu dari tadi.Lucas bertanya lirih setelah sebelumnya melirik ke belakangku ada Amanda di sana. "Ngapain kalian ada di tempat ini?""Lagi bicara sesuatu."Tangan Lucas bergerak, perlahan terangkat hendak menyentuh pipiku namun tertahan di udara, kemudian dia mengepalkan tangannya dan menaruhnya lagi ke tempat semula. Dia mendengus dan menyimpan semua hasrat untuk diri sendiri."Di sini panas, kamu
"Kenapa dari kemarin pesan dariku tidak kamu baca?" Andrean bertanya padaku saat dia berkunjung ke rumah tanpa persetujuan dariku.Satu pertanyaan itu membuatku tertekan. Aku masih terlarut dalam duka, dua Minggu yang lalu mamah Lusi meninggal, aku pun sedang malas menerima tamu. Namun dia tidak pernah mengerti. Ditambah, sudah ketahuan bahwa Andrean sekongkol bersama Amanda membuat aku tidak ingin menemuinya dulu.Andrean mencengkram pundakku. Aku menepisnya. "Tolong jangan kasar gini, Andrean! Aku mau istirahat, lebih baik kamu pulang saja!""Kita harus lanjutkan membahas pernikahan kita! Please!" Andrean mendesak."Tidak sekarang!""Kapan kamu bisa?""Tidak sekarang dan tidak juga untuk selamanya. Aku rasa kita lebih cocok jadi teman dan partner bisnis. Aku kehilangan kamu yang dulu. Kamu sudah berubah jadi over protektif padaku."Andrean meraup udara yang banyak disekitarnya, wajahnya nampak resah bercampur kesal. "Kamu pikir, aku
Saat itu, Ibuku yang selama ini tidak pernah tahu menahu urusanku tiba-tiba hadir di pemakaman mamahnya Lucas. Ternyata bukan tanpa alasan, karena Mamah Lusi yang memanggil beliau sebelum wafat. Hanya untuk menyampaikan satu permohonan terakhir sebelum melepas nyawanya satu Minggu yang lalu. Dia meminta aku dan Lucas rujuk demi kebahagiaan Renata.Aku diam sebagai tanda protes. Ibuku datang-datang menodong dengan permintaannya tanpa berniat memperbaiki hubungan dulu denganku. Dan apakah tidak pernah terbersit dalam hatinya, meminta maaf padaku? Maaf karena dulu berniat melenyapkan aku dari dunia ini. Walau belum lahir, tapi aku hidup di dalam perutnya. Untung usahanya gagal.Ibu berkata padaku dan Lucas, "Flora, Lucas! Ibu rasa permintaan Lusi adalah satu amanah yang harus dipenuhi. Kalian mungkin bisa menurunkan ego masing-masing karena sudah terikat oleh seorang anak."Aku berdiri, memberi senyum ke arahnya. "Ibu! Aku bukan orang yang dengan mudah terpengaruh