Share

Antara Dua Nyawa

Nova baru pertama kali merasakan sakit yang begitu menghujam. Mulas menjalar di sekujur tubuhnya hingga ke punggung. Pikiran negatifnya semakin menjadi saat mendengar suara Angga yang naik satu oktaf disusul dengan cairan dingin turun dari area sensitifnya.

"Awh, Angga. Awh! Sakit," ucap Nova meringis kesakitan. Sprei yang mengalasi kulitnya dengan tempat tidur menjadi pelampiasan Nova melepas sakit.

"Kita ke rumah sakit sekarang!" Angga bergegas melepaskan belenggunya dari Nova. Terdengar panik menyusuri sudut kamar menuju lemari pakaian.

Sakit semakin menjadi. Separuh tubuh Nova perlahan melemas seolah nyawanya sudah diujung kepala. Ruangan besar berukuran 5x6 meter itu terasa seperti sebuah gudang dengan kadar oksigen rendah, menyesakkan dada.

Setengah kesadaran Nova masih bisa meraba pergerakan Angga yang panik melihat darah semakin mengalir deras dari pahanya.

"Bangun perlahan, darahmu semakin banyak."

Hampir saja Nova terjengkat kaget mendengar nada bicara Angga yang semakin meninggi. Namun, ia tidak bisa mengalihkan emosi karena bentakan Angga dan sakit yang berjalan seiringan.

"Angga, sakhit.."

"Tahan sebentar." Hanya itu reaksi yang Angga tunjukan. Dalam gendongan sang suami Nova bisa melihat kekhawatiran di balik wajah datar Angga yang sedikit dipaksakan.

Di tengah berbagai kemungkinan buruk yang menghantui kepalanya, Nova berusaha untuk tetap berpikir positif akan keselamatan janin di dalam kandungannya.

"Rudi! Siapkan mobil sekarang. Pelayan, ambilkan perlengkapan bayi di kamar nyonya," perintah Angga pada semua orang yang bekerja untuknya.

Dalam hitungan menit dua orang pelayan sudah sigap membukakan pintu mobil dan memasukkan dua buah tas ke dalam mobil.

Angga mendudukkan Nova di kursi penumpang, memakaikan sabuk pengaman di tengah ketidaknyamanan Nova dengan tubuhnya sendiri.

"Kenapa aku didudukkan di sini? Sabuk pengaman ini semakin membuatku sesak," kata Nova diselingi dengan raungan kesakitan yang semakin keras. Nova tak tahan lagi. Sakit di perutnya semakin menguras sisa energi.

"Diamlah! Kamu sudah kehilangan banyak darah. Jangan terlalu banyak bergerak." Angga naik pitam. Perdebatan mereka disaksikan oleh para pelayan yang hanya bisa bungkam melihat perselisihan sepasang suami ini.

Nova tak mau ambil pusing. Memilih menarik diri dan meredam sakit dengan mengatur napas. Ternyata realita melahirkan yang akan ia hadapi tak semudah teori melahirkan yang ia pelajari selama kehamilan. Tidak ada persiapan apapun selain persiapan mental yang Nova kantongi. Semua ilmu yang ia pelajari sebelumnya seolah lenyap begitu saja.

Nova harus menelan kekecewaan ketika melihat Angga duduk di balik kemudi. Ia pikir, pria dominan ini akan menemaninya, memberikan dukungan pada Nova layaknya seorang suami pada umumnya.

Apa daya, harapan yang selalu Nova simpan di hatinya selalu dipatahkan oleh realita. Bahkan, di saat sekujur tubuhnya bak ditimpa ribuan kilo beban, sikap Angga masih terlampau dingin padanya.

Ia yakin, sorot kekhawatiran yang sempat terpancar di dua bola mata oranye milik suaminya bukanlah sebuah kekhawatiran untuk dirinya, melainkan untuk janin di kandungannya.

Laju mobil semakin cepat. Nova bisa sedikit bernapas lega kala mengetahui jalanan kota cukup lengang.

"Jika terjadi sesuatu padanya, aku tidak akan memaafkanmu, Nova," ucap Angga tanpa mengalihkan perhatiannya pada pemandangan jalanan yang kosong di depan sana.

"Awh, apakah kamu, awh lupa. Ini semua, akh! Ulahmu tadi." Nova membalas. Sakit yang menyiksanya tidak menjadi alasan bagi Nova untuk diam ketika Angga kembali menyudutkannya. Apakah selama ini yang pria itu lakukan tak cukup membuatnya puas?

"Salahmu sebagai calon ibu tidak menjaga kandungaanmu. Kamu tidak akan pendarahan jika mengikuti aturan mainku. Kamu lupa? Tiap kali aku menjamah tubuhmu, dia selalu baik-baik saja."

Entah respon apa yang bisa membuat Angga berhenti menyudutkan Nova. Hati Nova teriris pilu tiap kali Angga selalu menyalahkannya untuk setiap kejadian.

'Angga benar-benar tidak punya empati!' Nova membatin kesal.

"Dasar tidak punya hati," gumam Nova. Pemandangan di luar jendela jauh lebih menyenangkan bagi Nova dibandingkan melihat wajah tampan seseorang yang selalu merendahkannya.

Dalam situasi seperti ini, di tambah momen-momen trimester terakhir kehamilan, Nova menyadari suasana hatinya mudah berubah. Hal kecil apapun mampu melukai perasaan Nova apalagi kini suaminya sendiri secara sadar dan sengaja berniat membantai habis kewarasannya.

Sosok orang tua yang seharusnya membela Niva, tak terlihat wujudnya. Mereka sudah terlena dengan bergepok-gepok uang bulanan pemberian Angga. Jangankan mengkhawatirkan Nova dan calon cucu mereka, menanyakan kabar pun tidak.

Di balik kekecewaannya, Nova menertawakan dirinya sendiri, nasib buruk mana lagi yang belum pernah ia cecap dalam hidup? Bahagiapun sepertinya ia tidak punya hak untuk itu.

"Ayo turun." Suara Angga tepat di depan wajahnya membuyarkan semua lamunan Nova sepanjang perjalanan. Pandangannya mengedar ke segala arah, menyadari mobil yang ia tumpangi sudah terparkir di depan lobi rumah sakit.

Dibantu oleh dua orang perawat muda tubuh Niva dibaringkan di atas brankar. Rasa sakit di perutnya perlahan memudar namun Nova merasakan sesuatu di bawah tubuhnya sana mendesak untuk keluar.

"Akh! Sakit sus!" Teriak Nova. Suaranya menggelegar di keheningan malam dan dinginnya salah satu ruangan yang ia masuki.

"Mohon tunggu di sini, pak. Kami akan melakukan yang terbaim untuk istri dan bayi bapak."

Sayup-sayup Nova mendengar suara suster. Angga pasti tidak diizinkan masuk menemaniku, pikir Nova.

Kembali Nova mengedarkan pandangan. Hanya ada langit-langit ruangan serba biru dan putih di depan matanya.

"Bu Nova bisa mendengar saya?" tanya Dokter kandungan yang menangani Nova saat ini. Kesadaran Nova semakin menurun seiring dengan aliran darah yang terus mengalir di kakinya. Suhu dingin mulai menjalar di setiap sudut nadinya, melemahkan kerja jantung ia Nova hampir kehabisan napas.

"Dok.. to..long anak..saya.."

Nova tidak bisa mentoleransi rasa sakitnya lagi. Perutnya menegang dan mengeras bersamaan dengan pergerakan janin yang semakin mendesak. Jarum suntik menembus beberapa titik permukaan kulitnya dengan sadis hingga pandangan Nova seketika memudar dan menggelap dalam hitungan detik.

"Suster, code blue!"

Ruangan gawat darurat semakin sibuk dengan berbagai tindakan yang diberikan pada tubuh Nova. Suasana ruangan menegang, seolah malaikat kematian hendak menjemput sebuah nyawa manusia.

Nova tak ingat apapun, bahkan hampir seluruh inderanya tak berfungsi dengan baik. Malam ini, mungkin akan menjadi malam kelam bagi Nova untuk kedua kalinya dan disebabkan oleh orang yang sama.

Sungguh, Nova tak akan memaafkan Angga jika ia harus kembali kehilangan. Nova ikhlas jika nyawanya yang menjadi taruhan, asalian anaknya bisa menghirup udara di dunia yang indah ini. Entah dengan atau tanpa kasih sayang ayahnya.

'kamu harus kuat nak, ayo berjuang bersama..'

Tit! Tit! Titttt!!!

Bunyi nyaring menggema, ruangan mendadak hening dengan helaan napas berat para tenaga kesehatan yang terus berusaha.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status