Share

Antara Dua Nyawa

Author: JolaSky
last update Last Updated: 2023-10-27 23:49:24

Nova baru pertama kali merasakan sakit yang begitu menghujam. Mulas menjalar di sekujur tubuhnya hingga ke punggung. Pikiran negatifnya semakin menjadi saat mendengar suara Angga yang naik satu oktaf disusul dengan cairan dingin turun dari area sensitifnya.

"Awh, Angga. Awh! Sakit," ucap Nova meringis kesakitan. Sprei yang mengalasi kulitnya dengan tempat tidur menjadi pelampiasan Nova melepas sakit.

"Kita ke rumah sakit sekarang!" Angga bergegas melepaskan belenggunya dari Nova. Terdengar panik menyusuri sudut kamar menuju lemari pakaian.

Sakit semakin menjadi. Separuh tubuh Nova perlahan melemas seolah nyawanya sudah diujung kepala. Ruangan besar berukuran 5x6 meter itu terasa seperti sebuah gudang dengan kadar oksigen rendah, menyesakkan dada.

Setengah kesadaran Nova masih bisa meraba pergerakan Angga yang panik melihat darah semakin mengalir deras dari pahanya.

"Bangun perlahan, darahmu semakin banyak."

Hampir saja Nova terjengkat kaget mendengar nada bicara Angga yang semakin meninggi. Namun, ia tidak bisa mengalihkan emosi karena bentakan Angga dan sakit yang berjalan seiringan.

"Angga, sakhit.."

"Tahan sebentar." Hanya itu reaksi yang Angga tunjukan. Dalam gendongan sang suami Nova bisa melihat kekhawatiran di balik wajah datar Angga yang sedikit dipaksakan.

Di tengah berbagai kemungkinan buruk yang menghantui kepalanya, Nova berusaha untuk tetap berpikir positif akan keselamatan janin di dalam kandungannya.

"Rudi! Siapkan mobil sekarang. Pelayan, ambilkan perlengkapan bayi di kamar nyonya," perintah Angga pada semua orang yang bekerja untuknya.

Dalam hitungan menit dua orang pelayan sudah sigap membukakan pintu mobil dan memasukkan dua buah tas ke dalam mobil.

Angga mendudukkan Nova di kursi penumpang, memakaikan sabuk pengaman di tengah ketidaknyamanan Nova dengan tubuhnya sendiri.

"Kenapa aku didudukkan di sini? Sabuk pengaman ini semakin membuatku sesak," kata Nova diselingi dengan raungan kesakitan yang semakin keras. Nova tak tahan lagi. Sakit di perutnya semakin menguras sisa energi.

"Diamlah! Kamu sudah kehilangan banyak darah. Jangan terlalu banyak bergerak." Angga naik pitam. Perdebatan mereka disaksikan oleh para pelayan yang hanya bisa bungkam melihat perselisihan sepasang suami ini.

Nova tak mau ambil pusing. Memilih menarik diri dan meredam sakit dengan mengatur napas. Ternyata realita melahirkan yang akan ia hadapi tak semudah teori melahirkan yang ia pelajari selama kehamilan. Tidak ada persiapan apapun selain persiapan mental yang Nova kantongi. Semua ilmu yang ia pelajari sebelumnya seolah lenyap begitu saja.

Nova harus menelan kekecewaan ketika melihat Angga duduk di balik kemudi. Ia pikir, pria dominan ini akan menemaninya, memberikan dukungan pada Nova layaknya seorang suami pada umumnya.

Apa daya, harapan yang selalu Nova simpan di hatinya selalu dipatahkan oleh realita. Bahkan, di saat sekujur tubuhnya bak ditimpa ribuan kilo beban, sikap Angga masih terlampau dingin padanya.

Ia yakin, sorot kekhawatiran yang sempat terpancar di dua bola mata oranye milik suaminya bukanlah sebuah kekhawatiran untuk dirinya, melainkan untuk janin di kandungannya.

Laju mobil semakin cepat. Nova bisa sedikit bernapas lega kala mengetahui jalanan kota cukup lengang.

"Jika terjadi sesuatu padanya, aku tidak akan memaafkanmu, Nova," ucap Angga tanpa mengalihkan perhatiannya pada pemandangan jalanan yang kosong di depan sana.

"Awh, apakah kamu, awh lupa. Ini semua, akh! Ulahmu tadi." Nova membalas. Sakit yang menyiksanya tidak menjadi alasan bagi Nova untuk diam ketika Angga kembali menyudutkannya. Apakah selama ini yang pria itu lakukan tak cukup membuatnya puas?

"Salahmu sebagai calon ibu tidak menjaga kandungaanmu. Kamu tidak akan pendarahan jika mengikuti aturan mainku. Kamu lupa? Tiap kali aku menjamah tubuhmu, dia selalu baik-baik saja."

Entah respon apa yang bisa membuat Angga berhenti menyudutkan Nova. Hati Nova teriris pilu tiap kali Angga selalu menyalahkannya untuk setiap kejadian.

'Angga benar-benar tidak punya empati!' Nova membatin kesal.

"Dasar tidak punya hati," gumam Nova. Pemandangan di luar jendela jauh lebih menyenangkan bagi Nova dibandingkan melihat wajah tampan seseorang yang selalu merendahkannya.

Dalam situasi seperti ini, di tambah momen-momen trimester terakhir kehamilan, Nova menyadari suasana hatinya mudah berubah. Hal kecil apapun mampu melukai perasaan Nova apalagi kini suaminya sendiri secara sadar dan sengaja berniat membantai habis kewarasannya.

Sosok orang tua yang seharusnya membela Niva, tak terlihat wujudnya. Mereka sudah terlena dengan bergepok-gepok uang bulanan pemberian Angga. Jangankan mengkhawatirkan Nova dan calon cucu mereka, menanyakan kabar pun tidak.

Di balik kekecewaannya, Nova menertawakan dirinya sendiri, nasib buruk mana lagi yang belum pernah ia cecap dalam hidup? Bahagiapun sepertinya ia tidak punya hak untuk itu.

"Ayo turun." Suara Angga tepat di depan wajahnya membuyarkan semua lamunan Nova sepanjang perjalanan. Pandangannya mengedar ke segala arah, menyadari mobil yang ia tumpangi sudah terparkir di depan lobi rumah sakit.

Dibantu oleh dua orang perawat muda tubuh Niva dibaringkan di atas brankar. Rasa sakit di perutnya perlahan memudar namun Nova merasakan sesuatu di bawah tubuhnya sana mendesak untuk keluar.

"Akh! Sakit sus!" Teriak Nova. Suaranya menggelegar di keheningan malam dan dinginnya salah satu ruangan yang ia masuki.

"Mohon tunggu di sini, pak. Kami akan melakukan yang terbaim untuk istri dan bayi bapak."

Sayup-sayup Nova mendengar suara suster. Angga pasti tidak diizinkan masuk menemaniku, pikir Nova.

Kembali Nova mengedarkan pandangan. Hanya ada langit-langit ruangan serba biru dan putih di depan matanya.

"Bu Nova bisa mendengar saya?" tanya Dokter kandungan yang menangani Nova saat ini. Kesadaran Nova semakin menurun seiring dengan aliran darah yang terus mengalir di kakinya. Suhu dingin mulai menjalar di setiap sudut nadinya, melemahkan kerja jantung ia Nova hampir kehabisan napas.

"Dok.. to..long anak..saya.."

Nova tidak bisa mentoleransi rasa sakitnya lagi. Perutnya menegang dan mengeras bersamaan dengan pergerakan janin yang semakin mendesak. Jarum suntik menembus beberapa titik permukaan kulitnya dengan sadis hingga pandangan Nova seketika memudar dan menggelap dalam hitungan detik.

"Suster, code blue!"

Ruangan gawat darurat semakin sibuk dengan berbagai tindakan yang diberikan pada tubuh Nova. Suasana ruangan menegang, seolah malaikat kematian hendak menjemput sebuah nyawa manusia.

Nova tak ingat apapun, bahkan hampir seluruh inderanya tak berfungsi dengan baik. Malam ini, mungkin akan menjadi malam kelam bagi Nova untuk kedua kalinya dan disebabkan oleh orang yang sama.

Sungguh, Nova tak akan memaafkan Angga jika ia harus kembali kehilangan. Nova ikhlas jika nyawanya yang menjadi taruhan, asalian anaknya bisa menghirup udara di dunia yang indah ini. Entah dengan atau tanpa kasih sayang ayahnya.

'kamu harus kuat nak, ayo berjuang bersama..'

Tit! Tit! Titttt!!!

Bunyi nyaring menggema, ruangan mendadak hening dengan helaan napas berat para tenaga kesehatan yang terus berusaha.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Jebakan Kakak Mantanku   Terjebak Dalam Belenggu Dosa

    Semilir angin menerpa wajah Nova , terasa menyegarkan namun tidak mampu mengangkat sedikit beban berat yang sedang ia pikul saat ini. Ia duduk sendirian di taman yang terhubung langsung dengan kolam renang gedung apartemen Mario seorang diri. Pandangannya mengedar, memperhatikan aktivitas penghuni lain gedung ini yang berlalu lalang di depannya. Di mata Nova, mereka terlihat seperti hidup tanpa beban. bebas tertawa dan bertukar senyum dengan orang-orang yang mereka cintai. “Apakah mereka begitu menikmati hidup mereka?” Nova berkata lirih. Pada angin, pada percikan air kolam yang berterbangan tipis dan mengenai wajahnya. Kini ia berada di tengah-tengah orang-orang individualis. Mereka hanya akan mengurus permasalahan hidup mereka sendiri alih-alih menaruh simpati pada sosok yang duduk sendirian di kursi taman seperti Nova. Di saat sendiri seperti ini, Nova tidak bisa mengendalikan pikirannya. Bayangan masa lalu kelam terus menerus mengisi setiap sudut pikiran Nova tanpa ampun. Seper

  • Pernikahan Jebakan Kakak Mantanku   Cincin Tanda Jadi

    “Kamu suka cincinnya?” Angga duduk di samping Nova ikut menatap cincin lamaran yang baru saja disematkan di jari Nova. Wanita itu mengangguk cepat. Matanya tidak lepas dari jari manis yang dilingkari cincin berlian warna biru muda. “Cantik sekali cincinnya. Kamu sangat tahu seleraku.”Angga terkekeh. Tingkah Nova sangat menggemaskan. Bibir tebal nan ranum itu terus berceloteh melayangkan kekagumannya akan benda itu. “Aku memilih cincin yang sama cantiknya dengan kamu,” sahut Angga memuji. “Gombal!” seloroh Nova sambil menepuk lengan Angga. “Kamu memang berbakat berkata manis, hm?” “Boleh kalau sama istri sendiri ‘kan?”Nova mendelik, “Kita belum resmi menikah lagi, ya. Jangan sesumbar.” Rintik hujan di luar sana semakin menambah kesan romantis. Angga tidak kuasa menahan diri untuk tidak melekatkan tubuhnya pada tubuh Nova. ia terkesan tidak peduli dengan Noah yang terus mengoceh di dalam stroller bayi tak jauh dari sofa. “Kalau begitu, aku akan mempercepat jadwal pernikahan kedu

  • Pernikahan Jebakan Kakak Mantanku   Mengukir Memori

    Denting bunyi alat makan yang beradu dengang mangkuk memenuhi setiap sudut kamar hotel tipe suite itu. Di meja makan kecil yang terasa intim, dua orang menghitung setiap detik dengan rasa bahagia di dada. Sekali lagi, Nova menuangkan beberapa jenis sayuran dan daging ke dalam mangkuk milik Angga. Begitu juga sebaliknya. “Aku belum pernah makan apapun sampai menambah porsi tiga kali. Kamu berhasil membuat berat badanku naik, ya,” ucap Angga sambil tertawa renyah. Senyumnya lebar, lepas tanpa beban. Kerutan halus di matanya, menjelaskan betapa tulus perasaan yang sedang pria itu tunjukkan di depan Nova. Nova ikut tertawa, hatinya tergelitik hanya dengan mendengar celotehan Angga barusan. Setelah sekian lama meredam senyum, hari ini adalah hari pertamanya tertawa begitu keras dan lepas. Suaranya mengudara bebas, seakan masa lalu tidak pernah membebani hidup Nova. “Berat badanku juga akan naik karena dari tadi kamu isi daging ke mangkukku tanpa henti, Angga,” sahut Nova tidak mau kal

  • Pernikahan Jebakan Kakak Mantanku   Pagutan Pemersatu

    Nova baru saja membuka matanya ketika aroma masakan membelai penciumannya. Bersama dengan kesadaran yang masih mengawang, ia bangkit dan duduk di sisi ranjang, mengumpulkan serpihan kesadaran yang masih tercerai berai. Semalaman Nova terjaga hingga jam tiga pagi. Susah payah ia berusaha memejamkan mata dengan upaya apapun. Namun tidak satupun berhasil membawanya berkelana ke alam bawah sadar. Kini, di saat dia baru beberapa jam terlelap, dia dimanjakan oleh aroma sedap dari luar kamar. “Siapa yang pagi-pagi begini sudah menyajikan makanan?” ucapnya bergumam pelan pada diri sendiri. Dengan langkah gontai, ia melangkah menuju pintu. Rambut panjangnya menjuntai indah menutupi sebagian wajah Nova yang masih sangat cantik meski baru bagun tidur. “Selamat pagi,” ucap seseorang menyapa Nova. Suara berat itu langsung mengumpulkan seluruh kesadaran Nova karena dia tahu betul siapa pemilik suara itu. Tepat ketika Nova mengangkat pandangannya, tatapannya bertemu dengan Angga untuk sepersekia

  • Pernikahan Jebakan Kakak Mantanku   Apakah Ini Akhir Cerita?

    Pipi merona kontras dengan wajah pasi itu, tidak henti menjadikan kotak cincin di atas meja sebagai pusat perhatiannya, Nova bergeming dalam keheningan. Angga sudah kembali ke kamarnya sendiri setelah Nova memintanya untuk mengulur waktu dan memikirkan tentang masa depan ini. Di dalam ruangan itu, pikiran Nova hanyut pada nostalgia memori pernikahannya dengan Angga dulu. ‘Tidak perlu terlalu buru-buru. Apapun keputusanmu, aku akan menerimanya dengan lapang dada. Selama keputusan itu berasal dari hatimu, kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga. Bersama ataupun tidak.’ Kalimat itu terus terngiang di telinga Nova sejak Angga meninggalkan kamar ini. “Tidak perlu buru-buru?” Nova bergumam, kemudian terdengar suara kekehan lolos dari mulutnya. “Aku adalah pembunuh adiknya, bagaimana mungkin dia menyimpan rasa padaku?” Nova dilema lagi. Seperti ada sosok lain dalam dirinya yang sengaja mengajaknya berdialog. Tidak ditampik, perasaan cintanya masih ada. Tetapi, kenyataan yang No

  • Pernikahan Jebakan Kakak Mantanku   Obrolan Bermakna

    Kamar hotel yang Nova pijaki saat ini terlihat lebih layak untuk dihuni dirinya dan bayi mungil yang kini terlelap di dalam stroller. Ketika memasuki kamar itu, rasanya jauh lebih tenang dibandingkan kamar hotel yang Nova tinggali sebelumnya. Setelah perbincangan panjang yang ia lakukan dengan Angga, pada akhirnya Nova menyetujui ajakan Angga untuk meninggalkan tempat itu. Dua hari Angga memberikan Nova waktu untuk berpikir keputusan mana yang akan ia ambil antara menetap di Korea sendirian atau menerima ajakan Angga untuk kembali ke Indonesia. “Ini kamar yang akan kamu tempati selama tiga hari ke depan,” kata Angga. Pria itu mensejajarkan langkahnya dengan Nova ikut memindai desain interior yang estetik didominasi warna putih dan biru. “Berkas pemindahanmu sedang aku urus. Tiga hari lagi kamu bisa kembali ke Indonesia. Dan jika kamu butuh apapun, kamu bisa panggil aku. Kamarku ada di sebelah,” ucap Angga lagi. Ia tersenyum canggung pada Nova, dan dibalas dengan hal yang sama. “

  • Pernikahan Jebakan Kakak Mantanku   Kenyataan yang Harus Diterima

    Tidak ada sedikitpun kebohongan di mata Angga ketika Nova mencoba menjelajah titik kejujuran di iris hitam Angga. Pria itu, masih berdiri di posisi yang sama. Sorot matanya cukup mampu membuat nyali Nova menciut. Angga tidak hanya memaparkan sebuah fakta, melainkan juga membujuk Nova untuk mengakui ada sesuatu yang hilang dalam diri wanita itu.Nva berkata lirih, ketika ia sadar situasi tidak berpihak padanya. “Kalau kamu tahu aku yang membunuh adikmu, kenapa kamu tidak penjarakan aku saja alih-alih balas dendam?” tanya Nova.Angga masih menatapnya lamat, dari bagaimana pria itu bersikap Nova tahu Angga tidak memiliki sedikitpun niat untuk menjerumuskan ke dalam bui. “Menyeretmu ke dalam penjara juga butuh bukti dan pengakuan langsung. Aku sempat merencanakan itu sebelumnya tapi…” ucap Angga menjeda. Sesuatu di dadanya mulai mengusik. “Rasa cintaku padamu saat ini jauh lebih besar dari dendam yang pernah tertanam di hatiku.” Setitik euforia kecil bergema di hati Nova. Sebuah alasan y

  • Pernikahan Jebakan Kakak Mantanku   Flashback

    Hari itu, seharian langit tidak secerah biasanya. Rintih hujan terus membasahi setiap sudut kota dan menyelimutinya dengan aroma romantis. Seorang wanita berjalan di antara lalu lalang orang-orang yang sibuk menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Sedangkan dirinya, sepeninggalannya dari rumah tadi, hanya kekesalan yang berusaha ia kendalikan. Langkah kaki wanita itu terasa berat. Apalagi tiap kali melirik ke ponselnya dan membuka pesan berisi video yang membuat dadanya berkecamuk. Sesampainya di depan sebuah gedung kos, wanita itu melepas sepatu flatnya yang basah. Menggedor pintu kayu di depannya dengan tidak sabar. Tak lama, seorang pria keluar dari kamar itu sambil memamerkan raut wajah bingung. “Kamu mau kesini kenapa tidak bilang dulu, sayang?” tanya pria itu. “Kamu harus jelasin sama aku akan satu hal,” balas wanita didepannya. Sorot mata tajam menghunus langsung ke ulu hati Andre, pria itu. “Jelasin apa, Nova? Apa aku buat salah?” Alih-alih menjawab, Nova malah menero

  • Pernikahan Jebakan Kakak Mantanku   Pemintaan Pengakuan

    Sofa biru muda di depan ranjang menjadi tempat Nova singgah sejak beberapa saat lalu. Di depannya sudah tersaji sepiring pasta yang Angga beli dari layanan pesan antar. Pria itu, kini tengah disibukkan dengan teko portable yang mengeluarkan kepulan asap. Aroma kopi menguar memenuhi setiap sudut kamar ini. Pergerakan Angga diam-diam menjadi objek pengamatan Nova. Setiap hal yang pria itu lakukan kini menjadi perhatiannya. “Kenapa tidak dimakan? Apakah menunya tidak sesuai seleramu?” tanya Angga. Ia mengambil posisi duduk di depan Nova. Sambil menaruh secangkir kopi di hadapan wanita itu. “Aku kenyang. Kamu saja makan masakan buatanmu,” jawab Nova ketus. Pandangannya sengaja beralih ke arah lain demi menghindari sesuatu yang terasa menggetarkan dadanya tiap kali menatap Angga. Angga menarik piring pasta dari hadapan Nova. Mengaduk pasta itu perlahan, kemudian menyodorkannya ke hadapan Nova. “Biar aku suapi,” kata Angga. Nova terlalu lama tenggelam dalam lamunan, hingga ia tidak me

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status