“Tuan Angga, semua urusan administrasi dan media sudah saha urus.” Angga berdiri mematung di depan pintu ruang UGD dengan raut wajah datarnya yang khas. Aldo—tangan kanan pria itu melangkah gagah mendekat ketika melihat tuannya.“Pastikan tidak ada satu media pun yang tahu masalah ini. Jikapun ada kebocoran informasi, persiapkan jawaban paling masuk akal,” perintah Angga, tak mengindahkan laporan Aldo untuknya.“Baik, tuan.” Angga kembali ke mode diamnya. Aura kekuasaan yang selalu menyelimuti pria itu perlahan terkikis dengan kegelisahan yang mulai bisa diraba oleh sang asisten. Sorot mata Angga sendu, seolah ia sedang mempertaruhkan sebuah hal paling penting dalam hidupnya. Antara hidup dan mati Angga tengah digadaikan demi menebus sebuah ancaman kehilangan.“Tuan, apakah mau aku belikan kopi untuk sedikit penenang?” tanya Aldo ikut gusar. Melalui ekor matanya, Angga mengamati sosok di sampingnya, “jangan bertingkah seolah kamu dekat denganku. Jelaskan padaku hasil kerjamu hari
Nova tidak menyangka kelahiran bayinya akan lebih cepat dari perkiraan dokter. Ditambah lagi dengan cara yang tak pernah ia inginkan sebelumnya. Calon ibu mana yang tidak khawatir jika kelahiran anaknya disambut dengan adegan menegangkan antara hidup dan mati? Sepanjang iringan brankar yang ia tempati menuju ruang UGD, hati Nova terus bergemuruh dibalut kekhawatiran dan berbagai pikiran negatif yang menjajah pikirannya. Masih terasa jelas bagaimana cairan merah itu terus mengalir di antara kedua kakinya. Membuat Nova hampir tak bisa mempertahankan kesadarannya. Rasa sakit di sekujur tubuhnya tak bisa mengalahkan kegelisahan yang membelenggu Nova saat ini. Sayup-sayup pendengarannya masih menangkap suara suster yang terus berusaha membuat Nova dalam keadaan terjaga. Namun, Nova hanya manusia biasa yang bisa kalah dengan keadaan kapanpun. “Angga..” cicitnya lemah. Berharap pria yang turut mendorong tempat tidurnya sedikit peka akan kesakitan yang ia rasakan. Sayang seribu sayang, h
Tidak pernah terpikirkan oleh Nova sebelumnya akan melewati masa-masa kritis sebelum resmi menjadi seorang ibu. Pertarungan antara hidup dan mati seolah digadaikan di ujung nadinya. Bayi mungil berjenis kelamin perempuan dalam gendongannya kini, setidaknya melengkapi hidup Nova yang tidak diselimuti kebahagiaan sejak menikah dengan Angga.“Kamu cantik sekali, sayang,” ucap Nova. Dua jam setelah kelahiran bayi itu, seolah menjadi babak baru hidupnya yang mulai dipenuhi harapan. “Parasmi persis sekali dengan papamu. Ternyata kamu memang mewarisi segala lekuk dan sudut papa. Kalau begitu, mama beri kamu nama…” “Celvasea.” Ucapan Nova tertahan ketika sebuah nama terlontar dari mulut seseorang yang suaranya tak asing terdengar. Angga, masuk ke ruang rawat VIP yang ditempati oleh Nova saat ini. Sikap angkuhnya tak pernah luntur. Meski di hadapan istri dan anaknya kini, pria itu tetap melangkah sambil membusungkan dada. “Aku sudah memutuskan nama depannya. Kamu hanya boleh memberikan sa
Pria berumur akhir empat puluhan itu mendekati Nova dengan kerlingan mata jahilnya. Entah darimana Pak Jhony bisa mengetahui keberadaannya di sini. “Terima kasih sudah datang menjengukku, Pak Jhony. Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot,” ucap Nova. Ia menyembunyikan ketakutan sekaligus kekhawatiran jikalau kedatangan Pak Jhony akan mengancam keselamatan Celva. Entah apa yang membuat Nova begitu tak menyukai pria yang digadang-gadang sudah memiliki dua istri itu. Setiap kali berhadapan dengannya, firasat Nova selalu mengisyaratkan untuk tidak mengenalnya terlalu dekat. Sebuah parcel buah diletakkan di atas nakas samping brankar Nova. Nova ingin menjaga jarak namun kondisinya yang lemah tak memungkinkannya untuk bergerak kemanapun. Rasa kekhawatiran Nova semakin besar ketika Pak Jhony tiba-tiba mengulurkan tangannya hendak mengelus puncak kepala Celva. Refleks Niva tentu langsung bekerja cepat dengan memundurkan tubuhnya.“Kenapa kam
Akhirnya Nova bisa bernapas lega. Kedatangan Angga di tengah dirinya yang sedang bersitegang dengan Jhony bagaikan anugerah yang sudah Nova tunggu sejak tadi. Melihat Angga sudah berada di belakangnya, Jhony gelagapan. Ternyata, selain tak pandai mengintimidasi, Jhony juga payah menyembunyikan kegugupannya. "Pak Angga, akhirnya kamu datang juga. Aku sudah menunggumu sejak tadi," ucap Jhony menjilat. Sikapnya berubah 180 derajat di depan Angga. "Aku ada urusan mendesak jadi aku harus pergi sebentar. Sejak kapan Pak Jhony di sini? Aku bahkan tidak tahu kamu akan datang."Pertanyaan yang sama dengan Nova dilontarkan juga oleh Angga. Nova memilih menarik diri dari perbincangan dua pria itu. Kewarasannya jauh lebih penting dari pada membuang waktu memperhatikan mereka. Kegugupan Jhony semakin jelas karena dirinya terlihat tidak percaya diri. "Setelah acara selesai, aku merasa kurang enak badan. Maka dari itu aku pergi ke rumah sakit ini untuk memeriksakan diri dan tidak sengaja melihat
“Ingat ucapanku ini. Jika nanti muncul pertanyaan mengapa Celva lahir lebih awal dari perkiraan, berikan jawaban yang paling masuk akal. Jangan sampai ada satu katapun dari ucapanmu yang menyudutkan peranku,” ucap Angga. Nova berdiri di sampingnya, sebelah tangan terkait mesra dengan lengan Angga yang keras. Sekeras sifat pria itu. Berbagai wejangan Angga sampaikan untuk Nova, tentu pria itu tidak akan menyampaikannya di depan banyak orang. Sebentar lagi, mereka akan menghadapi kerumunan wartawan yang sudah membuat janji wawancara. Jengah. Satu kata yang menggambarkan suasana hati Nova saat ini. Setiap hal yang terjadi pada rumah tangganya selalu jadi sorotan. Bahkan, kronologi kejadian Nova yang melahirkan lebih awal dari hari perkiraan dokter pun menjadi tanda tanya bagi sebagian besar pemuja seorang Savangga. “Aku tahu apa yang harus aku lakukan,” jawab Nova malas. Di kepalanya, sudah tergambar jelas bagaimana keadaan di luar sana nantinya. Pikiran N
“Kondisi Bu Nova saat ini sudah cukup stabil. Hanya tinggal menunggu beliau sadar, pak,” ucap dokter yang menangani Nova selama dirawat di rumah sakit. Angga yang berdiri di depannya hanya diam mematung dengan sorot mata yang mengandung banyak arti. Tatapannya tak pernah lepas dari sosok istrinya yang terbaring di atas tempat tidur. “Kalau begitu saya permisi dulu, Pak Angga.” Karena tak mendapatkan reaksi apapun, dokter pun pamit dari hadapan Pria itu.Angga melangkahkan kakinya, berhenti tepat di samping Nova. Pandangannya menyapu sekujur tubuh istrinya. Seolah belum percaya bahwa dengan kehidupan yang saat ini ia jalani, Angga tak lagi sendiri. Kepergian adiknya membuat Angga terpukul begitu hebatnya. Hidupnya semakin hancur ketika ia menemukan fakta bahwa pembunuh adiknya adalah Nova. “Karena kamu, satu-satunya keluargaku harus meregang nyawa. Dan sekarang kamu berdrama begitu hebatnya di depan banyak orang.” Angga mengatakan itu tepat di samping telinga Nova. Tanpa ia ketahu
“Apa kamu sudah gila? Mau ditaruh mana wajahku jika sikapmu begitu pada mama?! Astaga!” Sejak kemarin Angga menahan emosinya terhadap sang istri. Sikap Nova yang kekanakan dan diluar kendali membuat Angga harus menahan malu di hadapan mertuanya sendiri.“Aku hanya menyuarakan perasaanku. Apakah itu salah?” “Tentu salah. Sikapmu kemarin bisa menciptakan persepsi negatif tentangku di pikiran orang tuamu. Mereka pasti akan bertanya-tanya bagaimana caraku mendidikmu untuk menjadi seorang istri,” cerocos Angga panjang lebar. Namun sepertinya hal itu hanya akan masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga kiri Nova. Setelah melahirkan, Angga hampir tak bisa mengontrol Nova di bawah kendalinya. “Apakah aku harus menggunakan kekuasaanku untuk membuatmu jera? Aku sudah memberikan semua fasilitas mewah, hidup yang nyaman dan uang yang banyak untuk orang tuamu agar mereka bisa bertahan hidup. Tapi kamu justru berulah.” Kesabaran Angga sudah habis. Ia hampir lupa alasannya menikahi wanita