Nova tidak menyangka kelahiran bayinya akan lebih cepat dari perkiraan dokter. Ditambah lagi dengan cara yang tak pernah ia inginkan sebelumnya. Calon ibu mana yang tidak khawatir jika kelahiran anaknya disambut dengan adegan menegangkan antara hidup dan mati? Sepanjang iringan brankar yang ia tempati menuju ruang UGD, hati Nova terus bergemuruh dibalut kekhawatiran dan berbagai pikiran negatif yang menjajah pikirannya. Masih terasa jelas bagaimana cairan merah itu terus mengalir di antara kedua kakinya. Membuat Nova hampir tak bisa mempertahankan kesadarannya. Rasa sakit di sekujur tubuhnya tak bisa mengalahkan kegelisahan yang membelenggu Nova saat ini. Sayup-sayup pendengarannya masih menangkap suara suster yang terus berusaha membuat Nova dalam keadaan terjaga. Namun, Nova hanya manusia biasa yang bisa kalah dengan keadaan kapanpun. “Angga..” cicitnya lemah. Berharap pria yang turut mendorong tempat tidurnya sedikit peka akan kesakitan yang ia rasakan. Sayang seribu sayang, h
Tidak pernah terpikirkan oleh Nova sebelumnya akan melewati masa-masa kritis sebelum resmi menjadi seorang ibu. Pertarungan antara hidup dan mati seolah digadaikan di ujung nadinya. Bayi mungil berjenis kelamin perempuan dalam gendongannya kini, setidaknya melengkapi hidup Nova yang tidak diselimuti kebahagiaan sejak menikah dengan Angga.“Kamu cantik sekali, sayang,” ucap Nova. Dua jam setelah kelahiran bayi itu, seolah menjadi babak baru hidupnya yang mulai dipenuhi harapan. “Parasmi persis sekali dengan papamu. Ternyata kamu memang mewarisi segala lekuk dan sudut papa. Kalau begitu, mama beri kamu nama…” “Celvasea.” Ucapan Nova tertahan ketika sebuah nama terlontar dari mulut seseorang yang suaranya tak asing terdengar. Angga, masuk ke ruang rawat VIP yang ditempati oleh Nova saat ini. Sikap angkuhnya tak pernah luntur. Meski di hadapan istri dan anaknya kini, pria itu tetap melangkah sambil membusungkan dada. “Aku sudah memutuskan nama depannya. Kamu hanya boleh memberikan sa
Pria berumur akhir empat puluhan itu mendekati Nova dengan kerlingan mata jahilnya. Entah darimana Pak Jhony bisa mengetahui keberadaannya di sini. “Terima kasih sudah datang menjengukku, Pak Jhony. Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot,” ucap Nova. Ia menyembunyikan ketakutan sekaligus kekhawatiran jikalau kedatangan Pak Jhony akan mengancam keselamatan Celva. Entah apa yang membuat Nova begitu tak menyukai pria yang digadang-gadang sudah memiliki dua istri itu. Setiap kali berhadapan dengannya, firasat Nova selalu mengisyaratkan untuk tidak mengenalnya terlalu dekat. Sebuah parcel buah diletakkan di atas nakas samping brankar Nova. Nova ingin menjaga jarak namun kondisinya yang lemah tak memungkinkannya untuk bergerak kemanapun. Rasa kekhawatiran Nova semakin besar ketika Pak Jhony tiba-tiba mengulurkan tangannya hendak mengelus puncak kepala Celva. Refleks Niva tentu langsung bekerja cepat dengan memundurkan tubuhnya.“Kenapa kam
Akhirnya Nova bisa bernapas lega. Kedatangan Angga di tengah dirinya yang sedang bersitegang dengan Jhony bagaikan anugerah yang sudah Nova tunggu sejak tadi. Melihat Angga sudah berada di belakangnya, Jhony gelagapan. Ternyata, selain tak pandai mengintimidasi, Jhony juga payah menyembunyikan kegugupannya. "Pak Angga, akhirnya kamu datang juga. Aku sudah menunggumu sejak tadi," ucap Jhony menjilat. Sikapnya berubah 180 derajat di depan Angga. "Aku ada urusan mendesak jadi aku harus pergi sebentar. Sejak kapan Pak Jhony di sini? Aku bahkan tidak tahu kamu akan datang."Pertanyaan yang sama dengan Nova dilontarkan juga oleh Angga. Nova memilih menarik diri dari perbincangan dua pria itu. Kewarasannya jauh lebih penting dari pada membuang waktu memperhatikan mereka. Kegugupan Jhony semakin jelas karena dirinya terlihat tidak percaya diri. "Setelah acara selesai, aku merasa kurang enak badan. Maka dari itu aku pergi ke rumah sakit ini untuk memeriksakan diri dan tidak sengaja melihat
“Ingat ucapanku ini. Jika nanti muncul pertanyaan mengapa Celva lahir lebih awal dari perkiraan, berikan jawaban yang paling masuk akal. Jangan sampai ada satu katapun dari ucapanmu yang menyudutkan peranku,” ucap Angga. Nova berdiri di sampingnya, sebelah tangan terkait mesra dengan lengan Angga yang keras. Sekeras sifat pria itu. Berbagai wejangan Angga sampaikan untuk Nova, tentu pria itu tidak akan menyampaikannya di depan banyak orang. Sebentar lagi, mereka akan menghadapi kerumunan wartawan yang sudah membuat janji wawancara. Jengah. Satu kata yang menggambarkan suasana hati Nova saat ini. Setiap hal yang terjadi pada rumah tangganya selalu jadi sorotan. Bahkan, kronologi kejadian Nova yang melahirkan lebih awal dari hari perkiraan dokter pun menjadi tanda tanya bagi sebagian besar pemuja seorang Savangga. “Aku tahu apa yang harus aku lakukan,” jawab Nova malas. Di kepalanya, sudah tergambar jelas bagaimana keadaan di luar sana nantinya. Pikiran N
“Kondisi Bu Nova saat ini sudah cukup stabil. Hanya tinggal menunggu beliau sadar, pak,” ucap dokter yang menangani Nova selama dirawat di rumah sakit. Angga yang berdiri di depannya hanya diam mematung dengan sorot mata yang mengandung banyak arti. Tatapannya tak pernah lepas dari sosok istrinya yang terbaring di atas tempat tidur. “Kalau begitu saya permisi dulu, Pak Angga.” Karena tak mendapatkan reaksi apapun, dokter pun pamit dari hadapan Pria itu.Angga melangkahkan kakinya, berhenti tepat di samping Nova. Pandangannya menyapu sekujur tubuh istrinya. Seolah belum percaya bahwa dengan kehidupan yang saat ini ia jalani, Angga tak lagi sendiri. Kepergian adiknya membuat Angga terpukul begitu hebatnya. Hidupnya semakin hancur ketika ia menemukan fakta bahwa pembunuh adiknya adalah Nova. “Karena kamu, satu-satunya keluargaku harus meregang nyawa. Dan sekarang kamu berdrama begitu hebatnya di depan banyak orang.” Angga mengatakan itu tepat di samping telinga Nova. Tanpa ia ketahu
“Apa kamu sudah gila? Mau ditaruh mana wajahku jika sikapmu begitu pada mama?! Astaga!” Sejak kemarin Angga menahan emosinya terhadap sang istri. Sikap Nova yang kekanakan dan diluar kendali membuat Angga harus menahan malu di hadapan mertuanya sendiri.“Aku hanya menyuarakan perasaanku. Apakah itu salah?” “Tentu salah. Sikapmu kemarin bisa menciptakan persepsi negatif tentangku di pikiran orang tuamu. Mereka pasti akan bertanya-tanya bagaimana caraku mendidikmu untuk menjadi seorang istri,” cerocos Angga panjang lebar. Namun sepertinya hal itu hanya akan masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga kiri Nova. Setelah melahirkan, Angga hampir tak bisa mengontrol Nova di bawah kendalinya. “Apakah aku harus menggunakan kekuasaanku untuk membuatmu jera? Aku sudah memberikan semua fasilitas mewah, hidup yang nyaman dan uang yang banyak untuk orang tuamu agar mereka bisa bertahan hidup. Tapi kamu justru berulah.” Kesabaran Angga sudah habis. Ia hampir lupa alasannya menikahi wanita
Entah setan apa yang sudah merasuki Nova tadi hingga tega hampir menghabisi nyawanya sendiri. Akal warasnya seolah buntu. Bayangan-bayangan kelam terus berputar di kepalanya. Namun, Nova harus bisa menahan diri. Di pangkuannya kini Celva tertidur lelap setelah meminum ASI. Anaknya menjadi saksi hidup betapa Nova tidak bisa menahan depresinya sendirian. Tekanan dari Angga dan perasaan tak berharga terus menghantuinya.Tetapi, saat mendengar tangisan Celva. Semuanya berubah. Suara anaknya bagaikan angin segar di tengah Nova yang berdiri diantara gurun pasir. Detik itu juga Nova sadar, Celva adalah kebahagiaan terbesar yang Tuhan berikan untuknya.“Maafkan mama, sayang. Tidak seharusnya mama memikul ini semua sendirian,” ujar Nova pada bayinya yang baru berusia dua hari itu. Nova memindahkan Celva ke dalam keranjang bayi dengan sangat hati-hati. Seolah bayi itu adalah sebongkah kaca yang ringkih. Celva tertidur lelap di gendongannya. Baru kali ini Nova menyadari, ada seseorang yang
Nova baru saja membuka matanya ketika aroma masakan membelai penciumannya. Bersama dengan kesadaran yang masih mengawang, ia bangkit dan duduk di sisi ranjang, mengumpulkan serpihan kesadaran yang masih tercerai berai. Semalaman Nova terjaga hingga jam tiga pagi. Susah payah ia berusaha memejamkan mata dengan upaya apapun. Namun tidak satupun berhasil membawanya berkelana ke alam bawah sadar. Kini, di saat dia baru beberapa jam terlelap, dia dimanjakan oleh aroma sedap dari luar kamar. “Siapa yang pagi-pagi begini sudah menyajikan makanan?” ucapnya bergumam pelan pada diri sendiri. Dengan langkah gontai, ia melangkah menuju pintu. Rambut panjangnya menjuntai indah menutupi sebagian wajah Nova yang masih sangat cantik meski baru bagun tidur. “Selamat pagi,” ucap seseorang menyapa Nova. Suara berat itu langsung mengumpulkan seluruh kesadaran Nova karena dia tahu betul siapa pemilik suara itu. Tepat ketika Nova mengangkat pandangannya, tatapannya bertemu dengan Angga untuk sepersekia
Pipi merona kontras dengan wajah pasi itu, tidak henti menjadikan kotak cincin di atas meja sebagai pusat perhatiannya, Nova bergeming dalam keheningan. Angga sudah kembali ke kamarnya sendiri setelah Nova memintanya untuk mengulur waktu dan memikirkan tentang masa depan ini. Di dalam ruangan itu, pikiran Nova hanyut pada nostalgia memori pernikahannya dengan Angga dulu. ‘Tidak perlu terlalu buru-buru. Apapun keputusanmu, aku akan menerimanya dengan lapang dada. Selama keputusan itu berasal dari hatimu, kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga. Bersama ataupun tidak.’ Kalimat itu terus terngiang di telinga Nova sejak Angga meninggalkan kamar ini. “Tidak perlu buru-buru?” Nova bergumam, kemudian terdengar suara kekehan lolos dari mulutnya. “Aku adalah pembunuh adiknya, bagaimana mungkin dia menyimpan rasa padaku?” Nova dilema lagi. Seperti ada sosok lain dalam dirinya yang sengaja mengajaknya berdialog. Tidak ditampik, perasaan cintanya masih ada. Tetapi, kenyataan yang No
Kamar hotel yang Nova pijaki saat ini terlihat lebih layak untuk dihuni dirinya dan bayi mungil yang kini terlelap di dalam stroller. Ketika memasuki kamar itu, rasanya jauh lebih tenang dibandingkan kamar hotel yang Nova tinggali sebelumnya. Setelah perbincangan panjang yang ia lakukan dengan Angga, pada akhirnya Nova menyetujui ajakan Angga untuk meninggalkan tempat itu. Dua hari Angga memberikan Nova waktu untuk berpikir keputusan mana yang akan ia ambil antara menetap di Korea sendirian atau menerima ajakan Angga untuk kembali ke Indonesia. “Ini kamar yang akan kamu tempati selama tiga hari ke depan,” kata Angga. Pria itu mensejajarkan langkahnya dengan Nova ikut memindai desain interior yang estetik didominasi warna putih dan biru. “Berkas pemindahanmu sedang aku urus. Tiga hari lagi kamu bisa kembali ke Indonesia. Dan jika kamu butuh apapun, kamu bisa panggil aku. Kamarku ada di sebelah,” ucap Angga lagi. Ia tersenyum canggung pada Nova, dan dibalas dengan hal yang sama. “
Tidak ada sedikitpun kebohongan di mata Angga ketika Nova mencoba menjelajah titik kejujuran di iris hitam Angga. Pria itu, masih berdiri di posisi yang sama. Sorot matanya cukup mampu membuat nyali Nova menciut. Angga tidak hanya memaparkan sebuah fakta, melainkan juga membujuk Nova untuk mengakui ada sesuatu yang hilang dalam diri wanita itu.Nva berkata lirih, ketika ia sadar situasi tidak berpihak padanya. “Kalau kamu tahu aku yang membunuh adikmu, kenapa kamu tidak penjarakan aku saja alih-alih balas dendam?” tanya Nova.Angga masih menatapnya lamat, dari bagaimana pria itu bersikap Nova tahu Angga tidak memiliki sedikitpun niat untuk menjerumuskan ke dalam bui. “Menyeretmu ke dalam penjara juga butuh bukti dan pengakuan langsung. Aku sempat merencanakan itu sebelumnya tapi…” ucap Angga menjeda. Sesuatu di dadanya mulai mengusik. “Rasa cintaku padamu saat ini jauh lebih besar dari dendam yang pernah tertanam di hatiku.” Setitik euforia kecil bergema di hati Nova. Sebuah alasan y
Hari itu, seharian langit tidak secerah biasanya. Rintih hujan terus membasahi setiap sudut kota dan menyelimutinya dengan aroma romantis. Seorang wanita berjalan di antara lalu lalang orang-orang yang sibuk menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Sedangkan dirinya, sepeninggalannya dari rumah tadi, hanya kekesalan yang berusaha ia kendalikan. Langkah kaki wanita itu terasa berat. Apalagi tiap kali melirik ke ponselnya dan membuka pesan berisi video yang membuat dadanya berkecamuk. Sesampainya di depan sebuah gedung kos, wanita itu melepas sepatu flatnya yang basah. Menggedor pintu kayu di depannya dengan tidak sabar. Tak lama, seorang pria keluar dari kamar itu sambil memamerkan raut wajah bingung. “Kamu mau kesini kenapa tidak bilang dulu, sayang?” tanya pria itu. “Kamu harus jelasin sama aku akan satu hal,” balas wanita didepannya. Sorot mata tajam menghunus langsung ke ulu hati Andre, pria itu. “Jelasin apa, Nova? Apa aku buat salah?” Alih-alih menjawab, Nova malah menero
Sofa biru muda di depan ranjang menjadi tempat Nova singgah sejak beberapa saat lalu. Di depannya sudah tersaji sepiring pasta yang Angga beli dari layanan pesan antar. Pria itu, kini tengah disibukkan dengan teko portable yang mengeluarkan kepulan asap. Aroma kopi menguar memenuhi setiap sudut kamar ini. Pergerakan Angga diam-diam menjadi objek pengamatan Nova. Setiap hal yang pria itu lakukan kini menjadi perhatiannya. “Kenapa tidak dimakan? Apakah menunya tidak sesuai seleramu?” tanya Angga. Ia mengambil posisi duduk di depan Nova. Sambil menaruh secangkir kopi di hadapan wanita itu. “Aku kenyang. Kamu saja makan masakan buatanmu,” jawab Nova ketus. Pandangannya sengaja beralih ke arah lain demi menghindari sesuatu yang terasa menggetarkan dadanya tiap kali menatap Angga. Angga menarik piring pasta dari hadapan Nova. Mengaduk pasta itu perlahan, kemudian menyodorkannya ke hadapan Nova. “Biar aku suapi,” kata Angga. Nova terlalu lama tenggelam dalam lamunan, hingga ia tidak me
Kata orang, cinta juga bisa datang terlambat. Sama halnya seperti momen ini. Momen dimana sekujur tubuh Nova mematung saat berhadapan dengan sosok yang menghujam hatinya dengan kerinduan mendalam. Otaknya terasa mati karena Nova tidak bisa mendeteksi perintah apapun dari sana. Sedang Nova bergeming, ada sosok yang kini menatapnya penuh harap. Sosok itu berdiri tegak. Setegar karang yang tak jera menghantamnya dengan gelombang. Banyak cara Nova lakoni untuk menghabiskan keberanian Angga agar tak lagi menemuinya. Berharap dengan memupuk benci, hal itu akan membuat jarak diantara mereka semakin panjang. Sayang, yang terjadi justru kebalikannya. Angga lantang menerabas gelombang, hingga sebagian kecil dari dirinya enyah. Tidak lagi Nova lihat sorot angkuh di mata Angga, pun gestur cinta berlebihan terhadap diri sendiri pada pria itu. Berat Nova mencoba untuk menelan ludah, tapi, Angga justru mulai kembali bersuara. “Aku tahu ini keterlaluan. Tapi aku mohon, kali ini kita bicarakan dar
Secarik kertas di tangan Angga konsisten membuat pikiran pria itu terus berputar. Di dalam kursi pesawat, pemandangan kota-kota kecil di bawah sana sama sekali tidak menarik minat Angga untuk beralih sedetikpun dari kertas itu. “Kau sudah menatap kertas itu hampir satu jam lamanya, Tuan. Apa kau tidak ingin melihat pemandangan indah di luar jendela itu?” Suara Chris membuat Angga mendongak. Ia menatap sang asisten dengan sorot jengah seraya menghembuskan napas berat. “Kapan pesawat akan landing?” tanya Angga. Responnya sangat jauh dari konteks obrolan yang dibangun oleh Chris. “Bukannya ini sudah dua jam?” “Kurang lebih lima menit lagi kita mendarat, Tuan. Bersabarlah, kesabaran akan berbuah manis,” jawab Chris. Pria itu kembali memandang lurus ke depan. Dimana para pramugari tengah sibuk memberikan peringatan untuk mengencangkan sabuk pengaman. Angga kembali berkutat pada pikirannya. Bayangan ekspresi wajah Nova berubah-ubah di sana sesuai dengan asumsi-asumsi yang Angga ciptakan
Sudah satu minggu lamanya, Mario menetap di hotel yang sama dengan Nova. Menjadi garda terdepan bagi nova tanpa diminta. Sore ini langit cukup cerah namun perlahan beranjak mengabu sebelum matahari benar-benar pamit dari altarnya. Mario bangkit dari sofa, diikuti sang asisten di belakangnya. “Kau sudah dapat informasi yang aku minta?” tanyanya sambil melangkah menuju mini bar di sudut ruang santai. “Sudah, Tuan. Saya dihubungkan oleh asisten beliau yang kebetulan sedang berada di Korea saat ini. Menurut informasi, Pak Angga sedang sakit.” “Sakit?” Mario mengulang. “Iya, Pak. Saya sudah coba mencari tahu tentang penyakit beliau, tapi Asisten pribadinya tidak bersedia memberi informasi detail.” “Tapi, kau sudah lakukan apa yang aku minta ‘kan?” Sang asisten mengangguk mantap. “Sudah, Pak. Beliau bersedia untuk bertemu malam ini jam tujuh.” Melihat pemandangan di luar jendela besar kamar hotelnya, Mario beralih pada arloji di tangan. “Sudah pukul enam. Kita berangkat sekarang saj