Berjalan mengendap-endap, berharap sang pemilik rumah tidak berada di sana atau sudah tertidur. Nesya sudah menduga jika Fariz pasti akan marah besar, apalagi Nesya pergi tanpa seizin suaminya. Gadis itu bernafas lega, saat sudah berada di dalam kamarnya. Tanpa dia sadari, bahwa sosok yang dihindari itu tengah duduk di tempat tidur Nesya seraya memperhatikan gerak-geriknya.
“Huh selamat... Pasti si setan garang itu nggak ada di rumah!” dengan santainya gadis itu membuka pakaiannya lalu melemparnya sembarangan, tanpa tahu jika seragam bau peluh itu mendarat di wajah Fariz.
“Nesya Latisha...” suara lembut namun menyeramkan membuat bulu kuduk Nesya berdiri.
Nesya menggigit bibir bawahnya, menoleh secara perlahan, matanya terbelalak melihat Fariz sudah berdiri di belakangnya.
Tangannya berusaha meraih apapun agar bisa menutupi tubuhnya yang hanya terbungkus tank top, namun Fariz menahannya. Nesya menelan ludah kasar, saat Fariz menatap
Selepas dari klinik, Fariz langsung mengajak Nesya pulang. Alih-alih akan mendapat perlakuan manis dari suaminya, Nesya justru mendapat tatapan tajam dari Fariz.“Apa maksudmu hah?” langsung menghempaskan Nesya ke sofa, Fariz terlihat sangat murka.Nesya diam, gadis itu malah sibuk mengusap tangannya yang terasa perih karena tak sengaja berbenturan. Tiba-tiba Fariz menggebrak meja membuat Nesya terperanjat.“Aku muak!” teriak Nesya dengan nafas memburu, matanya memerah seraya menahan tangis.Fariz tersenyum sinis, dia lantas mencengkeram tangan Nesya yang masih dibalut perban. Lelaki itu membuka pakaiannya, entah kenapa hanya melihat Nesya di bawahnya membuat tubuhnya seketika terasa panas.“Turun dari tubuhku setan!!” Nesya mencoba mendorong tubuh kekar itu, namun sang pemilik sedikit pun tidak bergeser.“Tidak, aku ingin memberimu pelajaran karena sudah berani berbohong. Setelah itu aku akan membun
Pagi hari di kediaman Fariz, lelaki itu tampak panik karena Nesya mendadak demam tinggi, apalagi Nesya terus berteriak histeris saat dirinya hendak mendekat. Sepertinya Nesya trauma dengan apa yang diperbuat Fariz kemarin malam. “Pergi Kak! Jangan sentuh aku!” ujar Nesya dengan suara parau, tubuhnya bergetar saat Fariz sudah duduk di tepi ranjang, seperti biasa, tak ada senyuman yang tampak di wajah rupawan itu. Fariz hanya diam, namun tangannya bergerak untuk mendudukkan Nesya meski gadis itu terus memukul dadanya. “Makan!!” ucap Fariz datar. “Nggak mau! Aku mau makan kalau sama kak Abi,” jawab Nesya seraya menautkan jari jemarinya. “Lihat aku!” Fariz menangkup pipi Nesya, lelaki itu terlihat menggeratkan giginya. “Kurang baik apalagi diriku hah? Jika saja aku tidak mengenal kalian, mungkin saja kakak sialanmu itu sudah mendekam di balik jeruji besi. Dan kamu, aku pasti tidak akan segan-segan untuk menyiksamu!!” ujar Fariz berapi-api.
Fariz menarik tangannya dari tubuh Nesya, laki-laki itu memberikan ponselnya yang sudah terhubung dengan Abi pada istrinya. Seketika dia terperanjat saat Nesya berteriak sambil memanggil nama yang membuat darahnya mendidih. Namun, sebisa mungkin Fariz mengontrol dirinya agar tidak berbuat sesuatu saat ini. “Mereka siapa, Kak?” tangan Nesya menunjuk dua lagi-lagi bertubuh kekar yang berdiri di belakang kakaknya. “Bukan siapa-siapa, apa yang terjadi? Kenapa kamu berada di rumah sakit hmm??” Abi mengalihkan pembicaraan, ia tidak ingin memberi tahu Nesya bahwa mereka adalah orang suruhan Fariz yang ditugaskan untuk mengawasinya, bahkan sesekali menyiksanya jika Nesya membuat Fariz murka. “Aku hanya demam biasa Kak,” Nesya tersenyum, namun hati kecilnya menjerit, ingin rasanya dia berteriak mengatakan bahwa dia ingin pulang. “Waktunya sudah habis!” Fariz langsung menyambar ponselnya dan memutuskan panggilan itu. “Apa-apaan? Belum ada lima menit!” p
Pagi harinya, kondisi Nesya sudah mulai stabil. Dia juga sudah siap untuk pergi ke sekolah, kebetulan hari ini dia mendapat giliran piket membuatnya harus berangkat lebih pagi. Seperti biasa, dia pergi dengan berjalan kaki tanpa membawa uang serupiah pun. Tanpa bekal makanan ataupun minuman, Fariz benar-benar membuat Nesya tersiksa. Dengan langkah sedikit berlari, akhirnya Nesya sampai di sekolah, menatap di sekeliling, rupanya hanya dirinya yang berada di sekolah itu.“Ah sudahlah, mending aku mulai bersih-bersih,” gumam Nesya, tangannya mulai menyapu di setiap sisi.Terdengar langkah kaki yang kian mendekat, bersamaan dengan tawa nyaring yang menggema di area itu, Nesya sudah tahu jika mereka adalah Tika dan kawan-kawannya. Mereka dikenal sebagai gadis pembuat onar, sering menghina atau merendahkan orang yang dirasa lebih rendah darinya, entah karena status sosial ataupun penampilannya.“Jadi ini yang namanya Nesya? Si gadis centil sok cantik
“Apa yang kamu rasakan?” tanya Fariz saat melihat Nesya sudah terbangun, manik elang itu seakan menusuk jantung Nesya yang belum sadar sepenuhnya.“K-kakak..” seraya menahan rasa pusing yang menerjang kepalanya, tubuh mungil itu meringsek ke dada bidang Fariz, dia menangis tersedu-sedu mengingat kejadian yang dialaminya beberapa jam yang lalu.Fariz bergeming, tidak menolak dan juga tidak membalas. Laki-laki itu bisa merasakan kausnya yang basah karena air mata Nesya, namun seketika tangannya menghempas tubuh Nesya hingga terlentang di tempat tidur.“Katakan! Sejak kapan kamu meminumnya!” sentak Fariz seraya melempar beberapa pil kontrasepsi ke wajah Nesya. Rupanya sebelum Nesya sadar, Fariz sempat memeriksa tas istrinya, dan betapa terkejutnya saat di menemukan sesuatu yang bisa menjadi penghalang rencananya.“A-aku,” Nesya gelagapan, dia benar-benar takut melihat Fariz yang tengah diselimuti kemurkaan. Ing
Pagi ini, Nesya berangkat ke sekolah dengan perasaan senang. Berulang kali ia mengulum senyum sambil sesekali melirik pria tampan di sebelahnya. Entah ketempelan jin atau setan mana, Fariz tiba-tiba menyuruh Nesya untuk masuk mobil. Meskipun terkesan karena keterpaksaan, namun bagi Nesya tidak apa-apa.“Pulang sekolah jangan keluyuran! Ini uang jajan untuk seminggu, jangan makan sembarangan, aku tidak mau melihatmu merintih kesakitan, sangat merepotkan!” ujarnya seraya melempar selembar uang berwarna merah pada Nesya.Mengangguk dengan mata berbinar-binar, kalimat yang keluar dari bibir suaminya, berhasil membuatnya terbang melayang. Entah ini namanya perhatian atau apalah, Nesya tidak peduli, ia tidak ingin merusak suasana hatinya karena berasumsi yang tidak-tidak.Selepas kepergian Fariz, Nesya melangkahkan kakinya memasuki gerbang sekolah yang menjulang tinggi itu. Tiba-tiba dia terkesiap saat sebuah tepukan mendarat di bahunya, dilihatnya seorang
“Sya, pulang bareng yuk!” Fabian menepuk jok belakang motornya, dengan senyum penuh harap, dia menatap gadis manis itu yang setiap hari mengusik hatinya.“Ogah!” Nesya menolak mentah-mentah, dia kembali teringat dengan peristiwa menyebalkan saat dirinya bersama Fabian.“Kenapa? Ayo lah... Kali ini aja kok.” bujuk Fabian, dia tidak akan menyerah sebelum Nesya mengatakan iya. Pemuda itu tidak tahu bahwa Nesya sedang berusaha menghindar karena ancaman Fariz beberapa waktu yang lalu.“Ish.. Kalau aku bilang nggak ya enggak!” jawab Nesya ketus, lama-lama dia jengkel harus menghadapi dua lelaki yang tidak ada beresnya. Yang satu tukang ancam, dan yang satunya lagi pemaksa.“Dih galak amat. Buruan naik, udah mau hujan loh,” tangannya menunjuk ke arah langit, memang benar jika sebentar lagi akan turun hujan.Nesya menghela nafas, dia pun mengiyakan permintaan Fabian membuat lelaki itu senang bukan
Nesya langsung menutup mulutnya rapat-rapat, matanya sesekali mencuri-curi pandang pada Fariz yang terlihat sangat murka, apalagi setelah menyadari perbuatannya. Masih di tempat yang sama yakni parkiran, pikiran Nesya mulai melayang, memikirkan sesuatu yang akan terjadi setelah ini.“Masuk!” Nesya tersentak, saat tubuhnya didorong dengan kasar, belum lagi pintu mobil yang dibanting membuat jantungnya hampir copot.“Kak, tadi itu Fabian cuma ngajak aku makan,” Nesya memberanikan diri untuk berbicara pada singa jantan yang sedang mengemudi.Fariz tak menanggapi ucapan Nesya, pria itu terlihat mencengkeram kemudi karena saking kesalnya dengan Nesya, bisa-bisanya gadis itu malah membela Fabian disaat Fariz tengah marah.“Kak..” mulut mungil menggemaskan itu seolah belum puas mengoceh sebelum mendapat respons dari Fariz.“Apa kamu nggak bisa diam hah?” Fariz menepikan mobilnya, dia langsung mencengkeram pi